Pada era Portugis, gambaran tentang hulu sungai Tjiliwong hanya ditemukan di Pelabuhan Soenda Kelapa (Thome Pires, 1535). Dalam laporan Portugis di hulu sungai Tjiliwong terdapat kerajaan lokasi ibukotanya disebut Dajo. Masih dalam laporan Portugis, pada tahun 1522 utusan kerajaan meminta bantuan Portugis di Malaka untuk membantu. Namun pasukan Portugis terlambat tiba, ketika Banten yang beragama Islam telah menaklukkan kerajaan pada tahun 1523.
Benteng Padjdjaran (Peta ekspedisi Scipio, 1687) |
Kolonisasi
Meluas ke Pedalaman
Kolonisasi
Belanda (VOC) yang berpusat di Batavia motif awalnya perdagangan (1619) dan
dalam perkembangannya berkembang menjadi pembentukan pemerintahan (1800). Aktivitas
perdagangan Belanda (VOC) dibagi ke dalam empat periode (lihat Hendrik
Kroeskamp, 1931). Periode pertama dimana VOC hanya melakukan perdagangan secara
longgar dan terbatas hubungan dengan komunitas di sekitar pantai, sampai
sekitar 1615. Periode kedua, dimana wilayah penduduk asli (pribumi) diperluas
menjadi bagian perdagangan VOC, sampai sekitar 1663; periode ketiga, dimana
penduduk asli sebagai sekutu VOC, sampai dengan 1666; dan periode keempat,
penduduk asli dijadikan sebagai subyek VOC.
Peta Portugis |
Ini
berarti sejak 1666, VOC mulai menganggap penting penduduk asli, utamanya di
kota-kota pantai. Dengan begitu dimungkinkan membentuk koloni baru, kota baru
seperti Batavia sebagaimana kemudian terbentuk kota koloni (benteng) di
Semarang, Soerabaja dan Padang. Lalu dari kota-kota pantai, koloni-koloni baru
dikembangkan ke pedalaman.
Hal inilah yang
terjadi ke pedalaman di berbagai tempat, termasuk di hulu sungai Tjiliwong.
Ekspedisi pertama ke hulu sungai Tjiliwong dimulai pada tahun 1687 yang
dipimpin oleh Sersan Pieter Scipio.
Ekspedisi ke
Hulu Sungai Tjiliwong
Ekspedisi
ke hulu sungai Tjiliwong dimulai tahun 1687. Laporan ekspedisi ini telah
didokumentasikan dalam bentuk peta ekspedisi yang berjudul Lantkaat van Batavia
na de Zuyd, zee door den Sergt Scipio, 1695. Ekspedisi pertama ini tidak
dimulai dari Batavia, melainkan dari selatan melalui sungai besar di Pelabuhan
Ratu yang sekarang hingga berakhir di Meester Cornelis. Seperti biasanya,
ekspedisi tidak dalam konteks membuka jalan baru, sebaliknya mengikuti jalan
lama yang sudah ada dan umum digunakan penduduk asli.
Pelabuhan Ratu (Peta ekspedisi Scipio, 1687) |
Ekspedisi-ekspedisi
sebelumnya di (pulau) Jawa selalu dimulai dari (pantai) utara. Ekspedisi yang
dipimpin Scipio merupakan ekspedisi (Belanda) yang dilakukan. Sejauh ini,
(pantai) selatan Jawa sudah lama terabaikan oleh Belanda, yang selalu lalu
lalang di selatan Jawa adalah Portugis dan Spanyol. Ini terkait dengan koloni
mereka yang tersisa di Timor. Hal ini dapat dibandingkan peta-peta yang dibuat
oleh Portugis, selalu dibuat detil di selatan dibandingkan di (pantai) utara.
Sedangkan peta-peta yang dibuat Belanda lebih detil di (pantai) utara.
Benteng
Padjadjaran Cikal Bakal Istana Bogor
Yang
menarik dalam peta ekspedisi ini, diantara dua sungai besar (Ciliwung-Cisadane)
yang berada pada persinggungan terdekat didirikan benteng. Benteng ini ditulis
dalam peta sebagai Fort Padjadjaran. Tidak diketahui mengapa disebut Fort Padjadjaran,
namun satu fakta dalam peta ini ditulis nama gunung Padjadjaran (gunung yang berada
di hulu sungai Ciliwung dan sungai Cisadane yang diduga gunung Pangrango yang
sekarang).
Fort Padjadjaran
ini disebut demikian, boleh jadi bukan karena mengikuti nama gunung, tetapi
diduga mengikuti nama yang ditemukan di area benteng (fort) ini. Jika disebut
Fort Padjadjaran dapat diartikan sebagai berikut: Pertama, ekspedisi yang
dipimpin Scipio ini berdiam lama di area dua sungai terdekat ini yang bertujuan
untuk melakukan eksplorasi wilayah lebih luas. Kedua, Kedua, tim ekspedisi menetapkan
lokasi benteng sebagai pusat identifikasi sebagai penanda dalam navigasi
militer. Ketiga, karena pos (militer) tim ekspedisi ini sudah ditetapkan dan
tim bekerja cukup lama, boleh jadi tim menemukan lokasi mereka sebagai bekas
kerajaan yang sudah lama diketahui tetapi belum dicatat namanya. Dari situ nama
Padjadjaran muncul. Sebab antara tahun ekspedisi (1687) dan tahun penyalinan
(kembali) peta tahun 1695 (delapan tahun) banyak hal yang terjadi di sekitar
area dua sungai khususnya di dalam perkembangan benteng.
Benteng Philipina (eks benteng Padjadjaran), Lukisan 1772) |
Lokasi benteng
ini yang dimulai dari ekspedisi Scipio (1687) dalam perkembangannya menjadi
lokasi tempat peristirahatan (villa, buiten zorg) yang dibangun sejak tahun
1745 oleh Baron van Imhoff. Namun villa ini hancur dalam perang melawan raja
Banten tahun 1752. Lalu kemudian dibangun dua villa baru di belakang benteng.
Villa ini seperti dua villa sama dan sebangun (kembar) yang mana tampak dari
depan (air mancur) benteng seakan berada di tengah dua villa tersebut. Dua
vila, masing-masing berukuran 30 x 15 meter. Benteng kecil yang disebut Fort Philipina
dijadikan sebagai garnisun militer yang dihuni oleh 16 tentara. Sebagaimana
kelak diketahui, akibat gempa besar dua villa ini hancur dan dibagun istana
(Istana Buitenzorg). Akan tetapi akibat genmpa yang terjadi tahun 1824 istana
ini hancur dan dibangun kembali tahun 1834 (sebagaimana bentuknya yang terlihat
hingga ini hari). Ketika tahun 1834 istana dibangun kembali, garnisun militer
(eks benteng Philipina, eks benteng Padjadjaran) dipindahkan ke luar istana
yang berada tepat di depan pintu gerbang istana (POM militer yang sekarang di
sisi jalan Sudirman dekat lampu merah).
Dengan
demikian, apa yang bisa kita lihat sekarang tentang Istana Bogor (eks Istana
Buitenzorg) sesungguhnya bermula dari suatu benteng yang disebut Fort
Padjdjaran (kemudian namanya menjadi benteng Philipina). Benteng ini awalnya
penanda navigasi militer, kini menjadi penanda navigasi destinasi wisata. Semua
itu berawal dari ekspedisi pertama orang Eropa/Belanda ke hulu sungai Ciliwung
yang dipimpin oleh Sersan Pieter Scipio.
Ekspedisi
berikutnya baru dilakukan pada tahun 1701 setelah peta ekspedisi Scipio ini
dirilis. Ekspedisi kedua ini tentu saja mengikuti petunjuk peta ekspedisi
Scipio. Ekspedisi ini dipimpin Michiel Ram dan Cornelis Coops. Ekspedisi ketiga
dilakukan tahun 1703 yang dipimpin oleh Abraham Jan van Riebeeck. Dua deskripsi
ekspedisi ini akan dibuat dalam dua artikel yang berbeda.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
awal-awal abad ke 17, VOC sudah menuliskan nama Pajajaran dan Muara Ratu dalam petanya. Subhanalloh (Agus Prana Mulia, Bogor).
BalasHapus