Ketika Kongres Pemuda diselenggarakan tanggal 28 Oktober 1928, Ali Mochtar Hoeta Soehoet umurnya baru 17 hari (lahir di Sipirok 11 Oktober 1928). Meski demikian, pada umur 25 tahun, Ali Mochtar Hoeta Soehoet pada tanggal 28 Oktober 1953 bertindak sebagai Ketua Panitia Hari Sumpah Pemuda. Tahun 1953 merupakan kali pertama hasil keputusan Kongres Pemuda 1928 diperingati. Saat itu, Ali Mochtar Hoeta Soehoet adalah Ketua Perhimpoenan Mahasiswa Akademi Wartawan Djakarta. Ali Mochtar Hoeta Soehoet terpilih sebagai Ketua Perhimpoenan Mahasiswa Akademi Wartawan Djakarta pada tanggal 19 April 1953 (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-04-1953).
De nieuwsgier, 03-03-1951 |
Komandan Tentara
Pelajar
Pada
tahun 1948 Wakil Presiden Mohammad Hatta meminta Parada Harahap untuk mengelola
surat kabar di ibukota RI (PDRI) di pengungsian di Bukittinggi. Nama surat
kabarya Detik. Tujuan penerbitan Detik ini untuk media perjuangan diantara
titik-titik pengugsian pada era Perang Kemerdekaan. Akses untuk mendatangkan
percetakan dan bahan-bahan sudah tertutup karena Kota Padang dan Kota Sibolga
sudah diduduki oleh militer Belanda.
Parada Harahap
lalu mendatangkan percetakan dari Kota Padang Sidempoean. Untuk membawa dan
mengamankan percetakan tersebut Parada Harahap meminta bantuan Ali Mochtar
Hoeta Soehoet, Komadan Tentara Pelajar di Padang Sidempoean untuk membawanya ke
Bukittinggi. Ali Mochtar Hoeta Soehoet lalu diminta untuk turut mengelola surat
kabar Detik.
Pasca
pengakuan kedaulatan RI, Ali Mochtar Hoeta Soehoet hijrah ke Djakarta. Awalnya
ikut bekerja bersama Parada Harahap, namun kemudian diperbantukan ke surat
kabar Indonesia Raya (pimpinan Mochtar Lubis).
Ketua Panitia Hari
Sumpah Pemuda
Hari
sumpah pemuda terjadi pada tanggal 26 Oktober 1953, hari yang mana para pemuda
bersumpah (lihat De nieuwsgier, 21-10-1953). Pada malam tanggal tersebut para
pemuda di Djakarta berkumpul dan melakukan sumpah pemuda. Inilah tanggal yang
dapat dikatakan sebagai Hari Sumpah Pemuda. Materi sumpah yang dibacakan dalam
bersumpah tersebut pada tanggal 28 Oktober 1953 itu adalah persis apa yang
menjadi hasil keputusan Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Kongres Pemuda
1928 dan hasil keputusannya tidak pernah diperingati pada tahun-tahun
sesudahnya. Oleh karena itu apa yang menjadi hasil keputusan Kongres Pemuda
1928 sudah lama terlupakan. Hasil keputusan Kongres Pemuda 1928 baru muncul
pada tahun 1953 ketika para pemuda berkumpul dan melakukan sumpah (yang disebut
Sumpah Pemuda). Sejak itulah terminologi Sumpah Pemuda ada hingga ini hari. Ini
berbeda dengan tanggal 17 Agustus 1945 tanggal yang mana Indonesia merdeka
dengan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan (Republik) Indonesia. Tanggal 17
Agustus 1945 disebut Hari Proklamasi Kemerdekaan RI. Lalu hari ini diperingati pada tahun-tahun sesudahnya
hingga masa ini. De nieuwsgier, 21-10-1953
Mengapa
pemuda bersumpah pada tahun 1953? Ini semua mengacu pada dua hal. Pertama, sejak
pasca pengakuan kedaulatan RI (1949) hingga tahun 1953 terdapat banyak
permasalahan yang justru mengarah pada disintegrasi bangsa. Keinginan untuk
mengembalikan Papua yang masih di tangan Belanda masih ada hambatan baik dari
dalam maupun dari luar. Dari dalam dianggap belum prioritas karena banyaknya
permasalahan, dari luar ditengarai Belanda tidak akan melepaskannya. Isu
lainnya adalah munculnya pemberontakan di sejumlah daerah, seperti Atjeh, Djawa
Barat dan Soelawesi Selatan. Isu yang juga menjadi perhatian adalah pemerintah
berseberangan dengan militer dan juga isu tekanan pers. Dua isu yang terakhir
tampaknya sangat dikhawatirkan oleh pemerintah. Kedua, Soekarno, Presiden RI
mulai bermimpi besar dapat diartikan dalam dua segi: ‘Indonesia Hebat’ dan
‘Sukarno adalah Radja’.
Dalam konteks
inilah secara politis para pemuda diinisiasi (kembali) berkumpul untuk
memperbarui kesetiaan. Ada sejumlah tokoh penting pada tahun 1953 yang terkait
dan memiliki kepentingan dengan memperbarui kesetiaan pemuda yang nota bene
munculnya Sumpah Pemuda, Ide ini berasal dari Parada Harahap (Tokoh Pers). Pada
saat itu ada dua kelompok yang berseberangan: di satu pihak adalah pemerintah
yang berpusat pada Soekarno, (Presiden) dan wakilnya, Mohammad Hatta. Sementara
di pihak lain terdiri dari pemimpin militer (yang berpusat pada Kol. Abdul
Haris Nasution), pemimpin media (yang berpusat pada Mochtar Lubis) serta
mahasiswa. Orang-orang yang terbilang netral dalam permasalahan, selain Parada
Harahap adalah Zainul Arifin (Tokoh Parlemen) dan Mohammad Yamin.
Parada
Harahap menyusun rencana strategis untuk mendinginkan kedua belah pihak yang
berseteru. Kedua kubu sangat dekat dengan Parada Harahap. Tujuannya adalah agar
tetap terjadi persatuan dan kesatuan meski terjadi ada perbedaan pendapat. Saat
itu, Parada Harahap adalah Direktur (dekan) Akademi Wartawan Djakarta dan Ketua
Perguruan Tinggi Swasta (kini Kopertis). Pada saat itu, Mohammad Yamin menjadi
Menteri Pendidikan (sejak 30 Juli 1953).
Mohammad Yamin
adalah tokoh pemuda di masa lalu, sebagai sekretaris panitia Kongres Pemuda
1928 (bendahara Amir Sjarifoeddin). Pembina kongres pemuda adalah Parada
Harahap. Saat itu Parada Harahap adalah sekretaris Permoefakatan
Perhimpoenan-Perhimpoenan Partai Kebangkitan Indonesia (PPPKI). Saat yang
bersamaan terjadi Kongres PPPKI (senior) dengan Kongres Pemuda (junior). Ketua
panitia Kongres PPPKI adalah Parada Harahap. Saat itu, Parada Harahap pemilik
sejumlah media, salah satu diantaranya Bintang Timoer (tiras tertinggi di
Batavia) dan juga ketua himpoenan pengusaha pribumi Batavia (kini Kadin).
Sponsor pembiayaan Kongres Pemuda adalah Parada Harahap. Inilah alasan mengapa
bendahara panitia Kongres Pemuda ditetapkan Amir Sjarifoeddin.
.
Untuk
menggerakkan mahasiswa, Parada Harahap dan Mohammad Yamin (dari sisi
pemerintah) mengandalkan Ali Mochtar Hoeta Soehoet, Ketua Dewan Mahasiswa
Akademi Wartawan Djakarta. Penetapan Ali Mochtar Hoeta Soehoet ini sebagai
ketua Panitia Kongres Pemuda 1953 juga untuk menghilangkan perasaan khawatir
dari kubu Mochtar Lubis (media) dan Kol. Abdul Haris Nasution (militer). Sebab,
Ali Mochtar Hoeta Soehoet, sambil kuliah adalah Kepala Divisi Manajemen surat
kabar Indonesia Raya (pimpinan Mochtar Lubis). Sebelumnya, Parada Harahap adalah
yang merekrut Ali Mochtar Lubis, Komandan Tentara Pelajar Padang Sidempoean dan
membawanya ke Djakarta lalu memperkenalkannya kepada Mochtar Lubis. Dengan
demikian, grand designnya sudah Ok.
Algemeen de Preangerbode, 19-02-1951 |
Akademi Wartawan di seberang Istana di Decapark (Peta 1942) |
Ditangkap dan
Ditahan
Kongres
Pemuda 1953 telah berhasil dilakukan dengan hasil Sumpah Pemuda. Sejak inilah
adanya sumpah pemuda di Indonesia (bukan sejak 1928). Namun perseteruan
Soekarno dan Mochtar Lubis tidak ada ujungnya. Dua tokoh Indonesia yang paling
teguh pada pendirian masing-masing. Parada Harahap, Mohammad Yamin dan Ali
Mochtar Hoeta Soehoet telah berusaha mendinginkan dua pihak pihak, namun apa
daya. Kedua tokoh tersebut sama-sama memiliki pendirian yang keras, sama-sama
mengusung kebenaran masing-masing. Lantas apa yang menjadi pangkal perkara
munculnya perseteruan mereka. Mochtar Lubis
menulis, Soekarno tak terima.
De nieuwsgier,
02-03-1951: ‘Karena ada keluhan oleh Presiden, diperintahkan oleh Jaksa Agung,
ex officio, Mochtar Lubis redaktur Indonesia Raya, Senin dipanggil oleh kepala
jaksa A. Karim sehubungan dengan tulisan dimana presiden adalah yang
bertanggung jawab atas kematian banyak orang Indonesia selama pendudukan’
Pasca
Kongres Pemuda 1953 dan Hari Sumpah Pemuda. Bukannya makin mendingin tetapi
makin kisruh. Soekarno menganggap dirinya mulai diserang. Hal ini karena
Soekarno mulai keluar dari rel. Namun Soekarno berbalik menekan dan mulai
membatasi kebebasan pers. [Soekarno telah lupa, di era Belanda (1935) sejumlah
surat kabar dibreidel termasuk Bintang Timoer pimpinan Parada Harahap dan
Fikiran Ra’jat pimpinan Soekarno]. Mochtar Lubis bereaksi dan memimpin
demonstrasi. Inilah demonstrasi kebebasan pers pertama (bahkan sejak era
Belanda).
Demonstrasi Pers (Java-bode, 06-08-1953) |
Parada
Harahap seakan terjepit ditengah dua kekuatan (pemerintah dan pers) dan
diantara dua sahabat yang sama-sama pendiriannya keras (Soekarno dan Mochtar
Lubis). Pada tahun 1951 Parada Harahap telah menerbitkan buku berjudul
Kemerdekaan Pers. Suatu buku memori Parada Harahap tentang pers bagaimana
Parada Harahap dan juga termasuk Soekarno dikekang Belanda dalam kehidupan pers
dan buku yang berisi pentingnya kebebasan pers. Parada Harahap yang sudah mulai
menua ingin lengser ke prabon dan menjauhi dunia politik.
De nieuwsgier,
17-01-1953: Bintang Timoer terbit kembali dengan CEO Parada Harahap, Perusahaan
baru ini akan menerbitkan koran dan majalah non-politik yang obyektif.
Perusahaan ini juga akan menerbitkan The Times of lndonesia. Staf editorial
adalah Pak Mochtar Lubis dan Hafner Jr.
Anehnya
pada tahun ini pula Soekarno dan Mochtar Lubis mulai berseteru. Mochtar Lubis
memajukan kemerdekaan pers (baca: kebebasan pers). Soekarno malah berbalik
arah.
Mochtar Lubis
mendirikan surat kabar Indonesia Raya pada tanggal 29 Desember 1949 (Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-01-1950).
Mochtar Lubis saat itu masih bersama Adam Malik di kantor Berita Antara, Adam Malik
sebagai direktur dan Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksi. Setahun kemudian,
Mochtar Lubis mendapat pengakuan dari PWI sebagai penulis artikel terbaik
(Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
19-02-1951). Tidak lama kemudian tulisan Mochtar Lubis mendapat sandungan.
Mochtar Lubis dianggap menciderai Soekarno.
Situasi
yang semakin menghangat inilah yang menjadi awal munculnya ide Parada Harahap
untuk menggalang pemuda untuk berkumpul dan berkongres dengan dalih memperingati
25 tahun lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan dalam Kongres Pemuda 1928.
Ancamannya: Soekarno dan Mochtar Lubis berseteru (keduanya adalah sahabatnya).
Opportunitinya: Menteri Pendidikan adalah Mohammad Yamin dan Ali Mochtar Hoeta
Soehoet adalah Ketua Dewan Mahasiswa Akademi Wartawan Djakarta (keduanya adalah
sahabatnya). Parada Harahap sendiri adalah Ketua Kopertis (dapat menjalin
hubungan dengan pemerintah) dan Direktur Akademi Wartawan Djakarta (dapat
menjalin hubungan dengan mahasiswa dan pemuda).
Namun
semua itu Kongres Pemuda 1953 dengan Sumpah Pemuda nyatanya tidak cukup untuk
mendinginkan kedua belah pihak antara Soekarno dan Mochtar Lubis. Meski
demikian keduanya terus menjalankan visi misinya. Soekarno terus bergiat
memimpin pemerintahan dan Mochtar Lubis terus bergiat memimpin pers. Soekarno
terus memperluas hubungan dengan negara sahabat, Mochtar Lubis juga semakin
meluaskan jaringannya ke pers internasional.
De nieuwsgier,
03-01-1955: ‘Pada tanggal 29 Desember, Indonesia Raya genap lima tahun dan itu
adalah fakta yang menyenangkan. Dalam dunia surat kabar, Indonesia Raya
Indonesia menempati tempat yang unik. Kebanyakan surat kabar di sini, jika
tidak berfiliasi partai dalam arti sempit, atau menjadi bagian dari golongan
tertentu. Dalam lagu pertama Indonesia Raya ditulis antara lain bahwa koran itu
akan tetap jauh dari satu sisi pelaporan yang yang menyenangkan tetapi
merugikan yang lain. Hal ini ingin mendidik masyarakat untuk berpikir jernih.
Terhadap tindakan tidak adil dan tidak tepat dari mereka juga datang,
bagaimanapun, akan praktek-praktek ini. Kami tidak akan ragu-ragu untuk
mengusir apa yang salah dan berbahaya, kami mendukung apa yang harus didukung
dan benar dipertimbangkan untuk kebaikan bersama. Mudah untuk menulis hal seperti
itu, tetapi sulit untuk diterapkan. Ini adalah keutamaan Indonesia Raya di
bawah pimpinan energik, Mochtar Lubis, bahwa selalu berpegang motto ini;
ancaman dan intimidasi diabaikan. Indonesia Raya dalam ketidakadilan berpikir,
melihat, bahkan menyerang, secara terbuka dan keras. Sekarang Indonesia Raya
melakukan oposisi terhadap pemerintah saat ini. Ia melakukannya karena percaya
bahwa pemerintah ini terlalu sedikit yang mengoreksinya, dan menulis di
editorial. Jika pemerintah berikutnya, tidak peduli siapa yang bemar yang akan
melakukan sesuai dengan prinsip Indonesia Raya dia akan vinoen bahwa majalah di
antara lawan-lawannya. Dan itulah tradisi bahwa Indonesia Raya dengan beberapa
surat kabar terbaik di dunia memiliki kesamaan. Selamat berdjoang, Indonesia
Raya’
Yang
paling ditakutkan oleh koran adalah pembreidelan dan yang paling ditakutkan
oleh seorang editor adalah ditangkap lalu dipenjara. Mochtar Lubis tidak takut
dipenjara, dan Indonesia Raya tidak takut dibreidel. Misi keduanya adalah
kebenaran dan mengentaskan ketidakadilan. Inilah ciri-ciri editor dan koran
yang benar-benar koran kelas dunia. Mochtar Lubis semakin menginternasional
(sebagai Ketua Pers Internasional Indonesia). Ali Mochtar Lubis yang telah
lulus Akademi Wartawan menjadi wartawan dengan latar belakang pendidikan pers.
Ali Mochtar Lubis di Indonesia Raya semakin intens tidak hanya untuk urusan
manajemen tetapi juga untuk urusan jurnalistik. Jika Mochtar Lubis berhalangan
misalnya jika tengah melawat ke luar negeri, Ali Mochtar Hoeta Soehoet
menempati posisi Mochtar Lubis. Adigium Indonesia Raya adalah Mochtar Lubis dan
Mochtar Lubis adalah Indonesia Raya. Kini di mata pemerintah (Soekarno) Mochtar
Lubis adalah Ali Mochtar Hoeta Soehoet dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet adalah
Mochtar Lubis. Akibatnya Ali Mochtar Hoeta Soehoet juga kerap mendapat tekanan.
De nieuwsgier,
30-01-1956: ‘Percobaan kebakaran. Di atap rumah wartawan Ali Mochtar Hoeta
Soehoet, yang terkait dengan surat kabar Indonesia Raya di Djalan Petodjo
Benatu nomor 8, sebuah kain yang diminyaki dilempar ke atap dan terbakar pada
Kamis malam. Percobaan pembakaran ini segera dapat dipadamkan dan oleh karena
itu insiden ini tidak menimbulkan konsekuensi serius’.
Mochtar
Lubis dipanggil jaksa untuk kali kedua. Pertama tahun 1951 mengenai tuduhan
terhadap Soekarno yang harus bertanggungjawab banyaknya peduduk Indonesia yang
tewas selama pendudukan Jepang dan agresi Belanda. Kini (1956), Mochtar Lubis
menyuarakan korupsi di tubuh pemerintahan Soekarno, cabinet Ali Sastroamidjojo.
Tidak hanya dipanggil jaksa tetapi juga diinterogasi oleh militer. Sementara
itu, antara jaksa (pemeritah) dan tentara (militer) tampak berseberangan.
De Tijd:
godsdienstig-staatkundig dagblad, 25-08-1956 (Tiga editor Indonesia
mempertanyakan): ‘Tiga editor Indonesia terkenal diinterogasi mengenai berita
yang telah diterbitkan tentang skandal korupsi di dada pemerintah. Dalam hal
ini Jaksa Agung Suprapto meminta Asosiasi Jurnalis Indonesia untuk bekerja
dengan membatasi publikasi berita sensasional tentang korupsi. Tiga editor yang
masih harus menjalani pertanyaan lebih lanjut dalam beberapa hari mendatang.
Mochtar I.ubis, dari koran independen Indonesia Raya, koran yang pertama kali
datang dengan cerita tentang upaya untuk menangkap menteri luar negeri, Ruslan
Abdoelgani...Suhardi dari koran nasionalis, Berita Minggu menantang surat kabar Indonesia Raya, Mochtar Lubis
untuk berduel karena cerita korupsinya’. Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-10-1956: ‘Editor Indonesia Raya
Mochtar Lubis, yang Jumat telah tiba dari perjalanan ke luar negeri, akan
dituntut karena menerbitkan berita di Indonesia Raya pada 14 Agustus 1956 di
bawah judul: Ada menteri terlibat skandal Rp. 1,500.00,-. Mochtar Lubis sebagai
editor yang bertanggung jawab, dituduh telah menyinggung kehormatan dan
reputasi pemerintah (dalam hal ini Menteri Luar Negeri) dan telah dikompromikan
penyelidikan dalam kasus ini serta akan ditangani oleh pengadilan. Maengkom
saat ini sebagai hakim dan mewakili Jaksa, Dali Mutiara. Mochtar Lubis sekarang
menyatakan hingga Sabtu masih belum menerima panggilan’
Kasus
Mochtar Lubis ini adalah pengadilan terbesar di era kemerdakaan. Tidak hanya
prosesnya lama (beberapa kali ditunda), juga melibatkan banyak saksi, seperti:
Kolonel Kawilarang, Lic Hok Thay, Piet de Queljoe, Letkol. Prajogo. Generaal-Majoor
Nasution, Mr. Moh. Roem en adj.hoofdkommissaris Saud Wirjasendjaja. Dalam
persidangan itu sendiri terjadi perdebatan sengit antara pembela di satu sisi
dan Jaksa dan hakim di sisi lain. Namun yang menarik adalah ketika hakim
mengaitkan artikel Mochtar Lubis--edisi 14 Agustus 1955 dan edisi 6 September
1955--(Abdul Haris Nasution). Mochtar menjawab, tidak ada permusuhan dengan
Nasution, karena kami adalah kawan lama yang baik, kata Mochtar Lubis.
Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1956:
‘Ketika ditanya oleh hakim apakah artikel anda akan menyiratkan permusuhan?
Mochtar Lubis menjawab: Tidak. Kepala Staf Angkatan Darat, Nasution, adalah
teman lama yang baik, kata Mochtar Lubis. Ketika ditanya oleh hakim apakah artikel
di Indonesia Raya menuduh Perdana Menteri Ali melakukan kekotoran nama patriot
Indonesia dan Indonesia Raya menuduh pemerintah melakukan konspirasi politik?
Mochtar menjawab: Tidak ada maksud permusuhan, negatif dan artikel ini
mengatakan bahwa koreksi pada pemerintah. Ketika ditanya oleh jaksa apa yang
dimaksud dengan konspirasi politik, jawab terdakwa, bahwa istilah konspirasi
politik untuk Perdana Menteri Ali adalah istilah yang terlalu sopan, karena
pada kenyataannya, Perdana Menteri Ali membela Roeslen Abdulgani, yang bersama
dengan Lic Hok Thay terlibat melakukan korupsi dalam sebuah kasus’.
De nieuwsgier,
08-12-1956: ‘Hadiah untuk Mochtar Lubis. Himpunan Pengarang Islam, pemimpin
redaksi dari Indonesia Raya, Mochtar Lubis, sebagai pengakuan atas
perjuangannya untuk kepentingan tanah air dan orang-orang, ditawarkan Qur'ani.
Asosiasi percaya bahwa Mochtar Lubis adalah salah satu wartawan Indonesia yang
berani dengan pendapatnya, dan juga pentingnya membela tanah air dan
orang-orang, meskipun dituntut. Asosiasi ini menganggap bahwa Mochtar Lubis
yang memimpin Indonesia Raya penulis yang benar-benar berani memberi komentar
untuk keluar, untuk kepentingan tanah air da berani membela, bahkan sebelumnya
dituntut’
Pengadilan
terhadap yang berlarut-larut yang ingin membungkam Mochtar Lubis telah menyita
banyak perhatian penduduka Indonesia. Pemerintah yang korup dan pers yang
kredibel telah membuat penduduk Indonesia bereaksi. Mochtar Lubis pada malam
ketika dalam perjalanan ke rumah saudaranya Aminuddin Lubis ditangkap oleh CPM.
Sementara itu, di kantor redaksi Indonesia Raya sejumlah berkas yang akan
dimuat besok hari disita (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 22-12-1956). Kini, reaksi dari militer sendiri yang pro keadilan.
Lalu kemudian Mohammad Hatta, wakil presiden juga mulai gerah. Inilah awal
munculnya keretakan antara Soekarno dengan Mohammad Hatta.
De Tijd:
godsdienstig-staatkundig dagblad, 22-12-1956: ‘Radio Medan mengatakan: Noord
Sumatera dipisahkan dari Jakarta, Soekarno ingin menyatakan keadaan darurat,
pesan disensor. Pemberontakan militer Indonesia membentang di atas seluruh
Sumatra Tengah dan Utara, markas besar militer di Jakarta kemarin sore telah
menetapkan kebijakan penuh sensor pcrstclegrammen. Pagi ini: disebut radio
Medan, dalam siaran untuk iptriile bahwa Kolonel Simbolon, salah satu komandan
Indonesia, kekuatan di Tengah dan Noord Sumatra, ketaatan mengecam pemerintah
Ali Sastroamidjojo. Editor harian Indonesia Raya, Mochur Lubis, pagi ini ditangkap
oleh militer tetap setia kepada politie di Jakarta. Mochtar Lubis adalah orang
yang telah berbicara untuk waktu fcfchuldiging pertama korupsi terhadap Menteri
Luar Negeri Indonesia, Ruslan Abdulgani’.
De Tijd:
godsdienstig-staatkundig dagblad, 22-12-1956: ‘Kolonel Simbolon adalah atasan
langsung dari Letnan Kolonel berusia 34 tahun, Ahmed Hussein, yang kemarin
dengan garis divisi Banteng sekitar Bukittinggi (sebelumnya Fort de Kock) telah
melakukan kudeta tak berdarah. Berita Indonesia melaporkan bahwa Soekarno
mempertimbangkan seluruh negara Indonesia kondisi darurat. Kabinet Indonesia
pada sesi khusus memutuskan untuk mengirim militer dan delegasi sipil ke Pos
Sumatra untuk bernegosiasi dengan komandan yang memberontak.
Meski
Mochtar Lubis ditangkap tadi malam, dan sejumlah berkas di kantor redaksi Indonesia Raya disita. Berkas yang disita
tentang artikel permintaan halus mengundurkan diri Sokarno dan tentang pendapat
para politisi tentang peristiwa di Sumatra Tengah. Koran independen ini pagi
ini tetap terbit dengan E. Bahauddin bertindak sebagai editor. Mochtar Lubis
dipenjara di rumah tahanan CPM (jalan) Guntur, lalu dipindahkan ke penjara
militer (jalan) Boedi Oetomo. Kini, Mochtar Lubis dibela Mohammad Yamin (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 02-01-1957). Lalu Mochtar Lubis didukung PWI Bandung.
Algemeen Indisch
dagblad: de Preangerbode, 04-01-1957: ‘Terhadap penangkapan Móchtar Lubis dan
sensor terhadap Indonesia Raya, PWI Bandung telah memprotes keras dan melakukan
di depan kantor PWI dengan tangan di kepala
dengan berjongkok sebagai bentuk protes terhadap pemberlakukan hukum
pers’.
Dukungan
PWI Bandung ini mudah dipahami karena dua hal. Pertama, PWI Bandung umumnya
para wartawan yang berafiliasi dengan Koran Pikiran Rakyat (yang didirikan 30
Mei 1950). Apa ada kaitan antara Indonesia Raya dengan Pikiran Rakyat kurang
jelas tetapi kedua koran ini sama-sama mengusung pakem independen dengan
semboyan yang sama pula, yakni: Dari Rakyat Oleh Rakyat Untuk Rakyat. Kedua,
Pemimpin Umum Pikiran Rakyat sendiri kala itu dijabat oleh wartawan bernama
Sakti Alamsyah, seorang mantan penyiar di era Jepang. Sakti Alamsjah adalah
Ketua PWI Bandung. Mochtar Lubis di era Jepang juga adalah redaktur di radio
militer Jepang. Kedua orang ini berusia sama yang lahir di tahun yang sama
(1922). Keduanya berasal dari Padang Sidempoean: Mochtar Lubis dari Kotanopan
yang lahir di Sungei Penuh, Kerinci, Jambi,
sementara Sakti Alamsjah Siregar dari Sipirok yang lahir di Sungai Karang,
Serdang, Deli.
Sejak Mochtar
Lubis ditangkap, dipenjarakan di rumah tanahan CPM di Guntur dan dipenjarakan
di Boedi Oetoemo banyak protes dari berbagai kalangan dalam negeri dan luar
negeri. Namun, anehnya PWI Pusat sebagai badan tertinggi wartawan Indonesia
sejauh ini belum memberikan pernyataan. Kini, Mochtar Lubis dipindahkan dari
penjara menjadi tahanan rumah.
Mochtar
Lubis tidak sendiri. Semua membela Mochtar Lubis dan protes terhadap Soekarno.
Sebaliknya, Soekarno tidak sendiri membebaskan negara untuk merebut
kemerdekaan. Masih banyak yang lain. Lantas, seratus tokoh pemimpin pertama
yang telah mengambil inisiatif sebelas tahun yang lalu untuk deklarasi
kemerdekaan Indonesia, melakukan rapat saat Negara ini tengah terancam (Het
vrije volk: democratisch-socialistisch dagblad, 24-01-1957).
Sejak Mochtar Lubis di pengadilan dan kemudian
penahanan dan lalu tahanan rumah, surat kabar Indonesia Raya tetap jalan di
bawah kepemimpinan Ali Mochtar Hoeta Soehoet.
Mochtar
Lubis didukung oleh para Sastrawan (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-01-1957), Dukungan terhadap Mochtar
Lubis tidak hanya dari dalam negeri. Tetapi juga dari luar negeri seperti:
International Press Institute (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 07-01-1957).
Mochtar Lubis menjalani Sidang Keenam dan mendapat dukungan dari
Pakistan (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 12-01-1957). Dari dalam negeri, Mochtar Lubis didukung oleh
Masyumi (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 08-01-1957), para penulis dari Himpunan Pengarang Islam
(Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
10-01-1957); Adam Malik minta Mochtar Lubis dilepaskan kepada Menteri
Pertahanan (Abdul Haris Nasution). Mochtar Lubis juga mendapat dukungan dari
Negara tetangga.
Selama
ketidakhadiran Mochtar Lubis, Ali Mochtar Hoeta Soehoet tidak takut dengan
represif. Ali Mochtar Hoeta Soehoet tetap direlnya, Indonesia Raya tetap
mengusung kebenaran. Ali Mochtar Hoeta Soehoet tampaknya telah banyak belajar
dari komandannya, Mochtar Lubis. Ali Mochtar Hoeta Soehoet, mantan Komandan
Tentara Pelajar di Padang Sidempoean telah bertrasformasi menjadi komandan pers
di Djakarta.
Akhirnya
Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjadi target. Sebab Ali Mochtar Hoeta Soehoet
ternyata tidak kalah ‘galak’ dibandingkan dengan bosnya Mochtar Lubis.
Pemimpin Redaksi
[surat kabar] Indonesia Raya, Ali Mochtar Hoeta Soehoet ditahan setelah
seminggu ditangkap pada tanggal 20 Agustus 1957 bersama rekannya, Mohammad
Noer, dari [surat kabar[ Indonesia Raya (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-08-1957). Mereka berdua dituduh
Komandan militer Djakarta Raya yang melanggar Pasal 23 Peraturan SOB dan Kepala
Ordo Liga 30 Juli 1957. Keduanya bestatus tahanan kota sambil menunggu
keputusan lebih lanjut.
Trio baru Indonesia |
Perguruan Tinggi Djurnalistik: Mentor Ali Mochtar Hoeta Soehoet Wafat
Untuk
soal keberanian pers, Ali Mochtar Hoeta Soehoet banyak belajar dari Mochtar
Lubis sebagaimana dulu Mochtar Lubis belajar banyak dari seniornya Parada
Harahap. Namun untuk urusan pendidikan pers Ali Mochtar Hoeta Soehoet sudah
barang tentu banyak belajar dari dekannya di Akademi Wartawan Djakarta, Parada
Harahap, seorang tokoh pers sejak era Belanda yang menemukan Ali Mochtar Hoeta
Soehoet di Padang Sidempoean pada era Perang Kemerdekaan.
Akademi Wartawan
Djakarta adalah institusi pendidikan pertama di bidang pers yang beralamat di
Decapark (seberang Istana). Akademi ini didirikan oleh Parada Harahap bulan
Februari 1951. Ali Mochtar Hoeta Soehoet termasuk salah satu mahasiswa angkatan
pertama. Setahun kemudian (April 1951) akademi baru ini dijadikan yayasan. Pada
tahun 1952 Akademi Wartawan Djakarta membuka ruang perkuliahan di Tjikini. Lalu
dalam perkembangannya, setelah wisuda pertama (1954) Akademi Wartawan Djakarta
ditingkatkan statusnya menjadi perguruan tinggi (universitas) dengan nama baru
Perguruan Tinggi Djurnalistik (Hogeschool voor journalistiek) dibawah yayasan
Perguruan Tinggi Djurnalistik. Yang mana sebagai ketua Mr. Drs. MKM Tambunan.
Ketua Kehormatan yayasan adalah Walikota Sudiro dan pelindung Wakil Perdana
Menteri Mr Wongsonegoro (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 11-10-1954).
Pada
tahun 1955, Perguruan Tinggi Djurnalistik, suksesi Akademi Wartawan Djakarta
untuk lebih meningkatkan kualitas, pemerintah menawarkan bantuan anggaran
pendidikan namun dukungan tersebut akan diberikan asalkan Perguruan Tinggi
Djurnalistik dapat dialihkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan secara
keseluruhan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 01-02-1955).
Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-01-1955:
‘Organisasi mahasiswa jurnalistik di Jogja. Persatuan Paladjar Djurnalistik
Indonesia, Persatuan Siswa Wartawan Indonesia dan Ikatan Siswa Wartawan
Indonesia telah membentuk sebuah komisi hari ini [di Jogja] untuk melakukan
penggabungan antara tiga organisasi dan antara semua organisasi mahasiswa dan
jurnalistik di seluruh Indonesia’.
Lalu
pada tahun 1956 di Perguruan Tinggi Djurnalistik dibentuk Dewan Guru (Algemeen
Indisch dagblad: de Preangerbode, 25-07-1956) yang dipimpin oleh seorang ketua
dan sekretaris.
Sebagaimana
diketahui Mochtar Lubis sejak 1951 sudah ada indikasi antara Soekarno
(pemerintah) dan Mochtar Lubis (pers) muncul ketegangan. Lalu Mochtar Lubis di
Indonesia Raya (1956) menuduh para menteri Soekarno melakukan tindak korupsi.
Akibat itu, Mochtar Lubis dan Indonesia Raya (surat kabar dimana Ali Mochtar
Hoeta Soehoet bekerja) mendapat tekanan dan harus menjalani sidang yang berlarut-larut.
Ali Mochtar Hoeta Soehoet juga sempat mendapat teror Januari 1956 ketika orang
tertentu melempar api ke atap rumahnya. Pada bulan Desember 1956 Mochtar Lubis
ditangkap dan ditahan. Sejak itu pers nasional menjadi heboh yang mendapat
sorotan internasional. Bahkan masalah pers ini diduga telah memicu munculnya
pemberontakan di daerah (Sumatra Tengah dan Sulawesi Utara) tahun 1957. Para
pemimpin pensdiri republik bahkan melakukan pertemuan yang mendukung Mochtar
Lubis. Kekisruhan yang terus menggerogoti kewibawan pemerintah juga telah
memicu keretakan antara Soekarno dan Mohammad Hatta. Sebuah surat kabar
Djakarta memberi komentar: ‘Dwi Tunggal: Tanggal Tunggal Tinggal Tunggal’.
Mochtar Lubis menjadi pusat perhatian dari semua pihak. Ali Mochtar Hoeta Soehoet sebagai pemeran
pengganti di Indonesia Raya juga ditangkap dan ditahan lagi tanggal 20 Agustus
1957. Sama seperti sebelumnya surat kabar Indonsia Raya akhirnya dibreidel. Mochtar
Lubis, yang setelah ditangkap, lalu setelah empat belas hari diubah menjadi tahanan rumah, di mana tidak
ada yang bisa bertemu, tidak dapat menelepon, tidak menulis artikel untuk
korannya, dan lain-lain (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 10-04-1957).
Pada penangkapan yang kedua ini Mochtar Lubis dan Indonesia Raya tamat.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 06-08-1957 |
Sejak pemogokan
dosen Perguruan Tinggi Djurnalistik tidak terdeteksi lagi nama perguruan tinggi
di bidang pers ini untuk selanjutnya. Boleh jadi Perguruan Tinggi Djurnalistik
mati suri lalu mati untuk selamanya. Ini mengindikasikan tidak hanya wartawan
yang ditangkap dan surat kabar dibreidel tetapi juga perguruan tinggi
jurnalistik juga ditutup?
Java-bode, 12-06-1956 |
Lantas
dimana Parada Harahap setelah Akademi Wartawan Djakarta ditutup (dan munculnya
Perguruan Tinggi Djurnalistik). Parada Harahap pada tahun 1956 diberitakan
menjabat sebagai Dekan Perguruan Tinggi Ilmu Kewartawanan dan Politik.
Perguruan tinggi ini baru dibuka di bawah yayasan Ibnu Chaldun (Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-06-1956). Dalam
pembukaan perguruan tinggi yayasan Islam ini, Parada Harahap memberikan kuliah
umum berjudul Pelatihan untuk Wartawan (de opleiding tot journalist).
Java-bode, 12-06-1956 |
Parada
Harahap dalam kuliah umumnya itu pada intinya ingin mempromosikan jurnalisme
yang sehat. Apakah ini suatu isyarat yang terkesan menyindir bahwa dunia
jurnalis saat itu tidak sehat, yang mana Mochtar Lubis dan Indonesia Raya
tengah berjuang sendiri (dalam melawan pemerintah dan militer yang represif).
Parada Harahap bagaikan guru yang ingin membina dan juga melindungi para
juniornya.
Parada Harahap
tidak terlalu banyak di pers praktis dan lebih banyak di dunia akademik
jurnalis. Pada saat itu (1956) hanya ada sejumlah media yang tetap independen.
Pada tahun ini ada tujuh wartawan Indonesia yang berangkat ke Jepang untuk
menghadiri Konferensi Pers Internasional, yakni Adinegoro dari PIA, Adarn Malik
dari Antara, S. Tahsin dari Bintang Timur. S. Tasrif dari Abadi, Rosihan Anwar
dari Pedoman, AK Loebis dari SPS dan Mochtar Lubis dari Indonesia Raya
(Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 15-03-1956). International Press
Institute chpater Djakarta didirikan tahun 1952 dengan dewan sebagai berikut:
Mochtar Lubis (Indonesia-Raya) sebagai ketua, S. Tasrif (Abadi) sebagai
sekretaris, BM Diah (Merdeka) sebagai bendahara dan Rosihan Anvvar (Pedoman)
sebagai komisaris (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 28-02-1952). Hampir semua wartawan yang memiliki integritas
berafiliasi dengan Parada Harahap. Adinegoro adalah mantan editor Bintang
Timoer milik Parada Harahap pada tahun 1930. Adam Malik adalah anak buah Parada
Harahap yang melanjutkan kantor berita pertama yang didirikan Parada Harahap,
Alpena (bersama WR Supratman). S. Tahsin sudah barang tentu, karena Bintang
Timur diterbitkan kembali oleh Parada Harahap. AK Loebis dan Mochtar Lubis
serta BM Diah (marga Diah sebagaimana marga Hoeta Soehoet)) adalah juga mantan
anak buah Parada Harahap. Hanya dua yang tidak berafiliasi dengan Parada
Harahap yakni S. Tasrif dan Rosihan Anwar. Surat kabar Abadi yang digawangi
oleh S. Tasrif adalah surat kabar milik Masyumi (pimpinan Boerhanoeddin
Harahap) sedangkan Pedoman (milik dari PSI). Surat kabar berhaluan Islam
lainnya adalah Pemandangan dan Duta Masjarakat. Tujuh orang yang berseberangan
dengan pemerintah ini, seakan tujuh pertama orang Indonesia (yang melawan
Belanda) ke Jepang tahun 1933 di bawah pimpinan Parada Harahap. Tiga diantara tujuh
orang pertama Indonesia ke Jepang tersebut, selain Parada Harahap adalah
Abdulah Lubis (pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan) dan Mohammad Hatta
(yang baru lulus sarjana dari Belanda). Satu lagi surat kabar (independen) yang
bersuara lantang adalah Sumber, pimpinan S. Panjaitan. Surat kabar lainnya
adalah Suluh Indonesia (PNI) dan Harian Rakjat (PKI).
Java-bode, 12-06-1956 |
Java-bode, 14-08-1956 |
Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-08-1957 |
Sebagaimana
surat kabar Indonesia Raya (Mochtar Lubis dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet) yang
dibreidel tahun 1957, surat kabar Java Bode masih terbit. Pada perayaan dies
natalis pertama Perguruan Tinggi Ilmu Kewartawanan dan Politik (Sekolah Tinggi
Ilmu Jurnalisme dan Ilmu Politik) tahun 1957 melakukan"bazaar
jurnalistik" yang diadakan di Gedung Wanita di Jakarta (Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-08-1957).
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 06-08-1957: ‘Mochtar Lubis de beste journalist (Mochtar Lubis
adalah jurnalis terbaik). Surat kabar Indonesia Raya dan editornya Mochtar
Lubis terpilih sebagai surat kabar terbaik dan jurnalis terbaik di Indonesia
saat ini. Hal ini dibuktikan dengan hasil survei yang baru-baru ini diadakan
oleh Perguruan Tinggi Ilmu Kewartawanan dan Politik di Jakarta sebagai bagian
kegiatan tridarma pada saat dies natalis. Sebagai jurnalis terbaik kedua adalah
direktur kantor berita PIA, Adinegoro. Mochtar Lubis diberikan piala dan hadiah
mesin tik’.
Pengumuman
hasil survei jurnalis terbaik ini, Mochtar Lubis tengah menghadapi tuntutan
dari pemerintah/militer. Hasil survei ini merupakan suara masyarakat luas yang
disurvei. Tidak lama kemudian pada bulan Agustus 1957 pemerintah/militer seakan
merespon hasil survei tersebut dengan menghukum Mochtar Lubis dengan tanahan
dan surat kabarnya Indonesia Raya yang digawangi oleh Ali Mochtar Lubis
dilarang terbit (dibreidel) untuk selamanya. Mochtar Lubis dan Ali Mochtar
Hoeta Soehoet hanya tinggal badan, jiwa mereka (Indonesia Raya) telah melayang.
Jika
Mochtar Lubis meski ditahan dalam status tahanan rumah, tetapi gerak-geriknya
dipantau, tidak boleh menjadi editor lagi, tidak boleh mengirim artikel ke
media manapun. Singkat kata: Jiwa Mochtar Lubis telah dihabisi. Hal ini berbeda
dengan Ali Mochtar Hoeta Soehoet hanya kehilangan Indonesia Raya, tetapi masih
bisa menjadi editor di tempat lain. Ali Mochtar Hoeta Soehoet masih memiliki
saham di surat kabar Sumber (pimpinan S. Pandjaitan). Oleh karenanya Mochtar
Hoeta Soehoet masih aktif di PWI.
Ali Mochtar
Hoeta Soehoet dalam suatu rapat umum PWI yang sekaligus melakukan pemilihan
direksi baru, mengajukan usul untuk membuat kode etik wartawan dan perlunya
solidaritas wartawan. Dia mengajukan empat rancangan resolusi mengenai isu
terkini saat ini di dunia pers Indonesia. Rancangan resolusi ini akan dikirim
ke pemerintah dan komandan tertinggi militer (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-10-1957).
Dalam
perkembangannya, Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjadi seorang tokoh pers yang
telah memainkan peran seperti seniornya: Parada Harahap dan Mochtar Lubis.
Pada tahun 1959
surat kabar Java Bode dilarang terbit oleh pemerintah karena alasan berbahasa
Belanda. Pemerintah sangat alergi dengan Belanda, karena masalah Irian Barat belum
selesai. Bahkan nama terminologi Betawi juga dilarang karena dianggap berasal
dari terminologi Batavia (namun orang Betawi protes keras). Lalu pada tahun
1959 ini juga Parada Harahap dikabarkan meninggal dunia di Jakarta dengan
tenang. Mentor Mochtar Lubis dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet hilang untuk
selamanya.
Kebebasan
pers di Indonesia telah dipasung. Para editor tidak berkutik lagi. Semua media
dikontrol oleh pemerintah/militer. Semua para editor diawasi. Tidak hanya
Mochtar Lubis, tetapi juga Adam Malik dan Sakti Alamsjah. Tentu saja dalam hal
ini Ali Mochtar Hoeta Soehoet.
Setelah terjadi
peristiwa G 30/S PKI (1965) dan terjadi pergeseran kepemimpinan dari rezim orde
lama (Soekarno) ke rezim orde baru (Soeharto) sedikit pers bernapas lega.
Pengekangan pers memang tidak sepenuhnya dilepas, pers justru diarahkan untuk
berafiliasi dengan militer orde baru (1966). Adam Malik sudah di pemerintahan.
Mochtar Lubis dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet tidak berafiliasi dengan pers
militer. Namun Sakti Alamsjah berafiliasi dengan surat kabar militer. Namun
kegamangan ini tidak lama, boleh jadi karena peran Adam Malik di pemerintahan,
kebebasan pers mulai dibuka (1967). Mochtar Lubis menerbitkan lagi Indonesia
Raya di Djakarta dan Sakti Alamsjah menerbitkan surat kabar Pikiran Rakyat di
Bandung (dua surat kabar ini mottonya sama: ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk
Rakyat’.
Ali
Mochtar Hoeta Soehoet bergabung dengan surat kabar Abadi (yang berafiliasi
dengan Masyumi). Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjabat sebagai Wakil Pemimpin
Umum.
Selain masih
berkecimpung di media, Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjadi bagian dari PWI. Pada
tahun 1977 Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjadi salah satu anggota Komisi
Pembentukan Lembaga Pusat Pendidikan dan Latihan Pers yang berada di bawah
naungan Dewan Pers. Dua tahun sesudahnya Ali Mochtar Hoeta Soehoet mendirikan
Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) yang menjadi rektor pertama.
Namun
persoalan baru muncul kemudian. Pers dan mahasiswa memiliki padangan miring terhadap pemerintah.
Puncak kisruh ini adalah apa yang dikenal dengan Peristiwa Malari tahun 1974.
Uniknya polanya sama. Jika di era orde lama Parada Harahap netral karena dekat
juga dengan Soekarno. Yang berontak saat itu adalah pers yang dipimpin Mochtar
Lubis dan mahasiswa yang dipimpin Ali Mochtar Hoeta Soehoet. Kini (1973) Adam
Malik yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri netral karena dekat dengan
Soeharto. Yang berontak saat ini adalah mahasiswa yang dipimpin oleh Hariman
Siregar dan pers yang dipimpin oleh Mochtar Lubis.
Dampak dari
Peristiwa Malari tahun 1974 pelakunya lebih banyak. Pers dibreidel termasuk
surat kabar Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis dan surat kabar Abadi (Ali
Mochtar Hoeta Soehoet). Pimpinan mahasiswa Hariman Siregar (ketua dewan
mahasiswa Universitas Indonesia) juga ditahan. Mochtar Lubis tamat.
Sejak
pembredeilan sejumlah media, pers kembali diarahkan oleh pemerintah, kata halus
untuk dikontrol. Yang tidak sejalan akan dibreidel. Hal serupa ini pernah
terjadi di era orde lama (Soekarno). Saat itu pers yang berafiliasi Partai PKI
sedikit mendapat angin. Kini di era orde baru (Soekarno), PKI telah dianggap
terlarang dan pers berafiliasi PKI hilang. Pemerintah yang mengarahkan pers
lalu untuk pers bisa bertahan harus mengikuti arahan, termasuk surat kabar
Pikiran Rakyat yang dipimpin oleh Sakti Alamsjah.
Di era orde
baru, sejak 1966 sudah mulai terbentuk Dewan Pers. Suatu badan pers yang
bersifat independen yang operasionalnya dilakukan oleh PWI. Namun kegiatannya baru efektif setelah
Peristiwa Malari 1974. Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil organisasi pers,
wakil Pemerintah dan wakil masyarakat dalam hal ini ahli-ahli di bidang pers
serta ahli-ahli di bidang lain.
Pada
tahun 1977 Dewan Pers membentuk sebuah komisi dalam upaya pembentukan lembaga pusat
pendidikan dan latihan pers. Ali Mochtar Hoeta Soehoet yang tidak memiliki
media lagi, termasuk salah satu anggota komisi tersebut. Pengangkatan Ali
Mochtar Hoeta Soehoet sebagai anggota komisi karena sebelumnya sudah pernah
(berpengalaman) menjadi anggota Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) yang menjabat
sebagai Wakil Sekretaris (1970-1972) dan Wakil Ketua (1972-1974). Pada saat menjabat Wakil Ketua SPS ini Ali
Mochtar Hoeta Soehoet juga merangkap sebagai Ketua Bidang Pendidikan.
Di lingkungan
perguruan tinggi juga muncul pusat-pusat pendidikan dan latihan pers. Salah
satu yang menonjol adalah Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya/LP3Y
yang mana salah satu pentolannya yang terkenal Ashadi Siregar. Alumni SMA
Negeri 1 Padang Sidempoean dan dan dosen UGM ini juga dikenal sebagai pengarang
novel, Novel terkenalnya Cintaku di Kampus Biru. Jabatan akademik terakhir
Ashadi Siregar adalah Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (1996-1999).
Sejak
pembreidel sejumlah media, Mochtar Lubis (Indonesia Raya) dan Ali Mochtar Hoeta
Soehoet (Abadi) kedua tokoh pers itu mulai beralih profesi. Mochtar Lubis, yang
juga sebagai penulis mulai menekuni bidang penerbitan buku-buku bermutun
(terkenal dengan Yayasan Obor). Ali Mochtar Hoeta Soehoet, lebih condong
memilih salah satu profesi seniornya Parada Harahap yakni di bidang pendidikan
(pers).
Ali Mochtar
Hoeta Soehoet kemudian tahun 1979 muncul sebagai pimpinan Sekolah Tinggi Ilmu
Komunikasi sebagai Dekan, suatu posisi yang pernah dijabat oleh seniornya
Parada Harahap di Akademi Wartawan Djakarta (1951-1953) dan di Perguruan Tinggi
Kewartawanan dan Politik (sejak 1956). Lalu kemudian sekolah tinggi ilmu
komunikasi ini berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Publisistik. Pada tahun 1985
nama dan statusnya diubah lagi menjadi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
yang disingkat IISIP (nama ini terus eksis hingga ini hari).
Pada
masa tua. Ali Mochtar Hoeta Soehoet tetap di bidang pendidikan pers
(sebagaimana seniornya Parada Harahap). Jabatan pimpinan (Dekan/Rektor) IISIP
Jakarta di Lenteng Agung berakhir tahun 2001. Setelah itu Ali Mochtar Hoeta
Soehoet menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan ‘Kampus Tercinta’, yayasan
yang menyelenggarakan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.
Posisi Ketua Dewan Pembina Yayasan ini tetap dijabat oleh Ali Mochtar Hoeta
Soehoet hingga tiba saatnya Allah SWT memanggilnya, saat yang serupa seperti
yang dialami oleh seniornya Parada Harahap sebagai Dekan Perguruan Tinggi
Kewartawanan dan Politik. Parada Harahap meninggal dunia tahun 1959.
Ali Mochtar Hoeta Soehoet Dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata
Ali
Mochtar Hoeta Soehoet, tokoh pers dan pendiri IISIP Jakarta, lahir di Sipirok,
Tapanuli Selatan 11 November 1928 meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 2011
dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta Selatan.
Ali Mochtar
Hoeta Soehoet memulai kegiatan heroik ketika era Perang Kemerdekaan yang
bertindak sebagai Komandan Tentara Pelajar di Padang Sidempuan. Ali Mochtar
Hoeta Soehoet ikut mengelola surat kabar Detik, media perjuangan ketika ibukota
RI berada di pungungsian di Bukittinggi. Sejak hijrah ke Batavia, Ali Mochtar
Hoeta Soehoet aktif untuk menyelenggarakan peringatan lagu Indonesia Raya
dikumandangkan dan lahirnya Sumpah Pemuda. Ali Mochtar Hoeta Soehoet juga aktif
mengkoreksi pemerintah demi negara yang sejahtera melalui pers. Last but not
least Ali Mochtar Hoeta Soehoet turut aktif mencerdaskan para kandidat insan
persn melalui pendidikan pers. Atas semua kegiatan yang dilaluinya itu dengan
tulus ikhlas Ali Mochtar Hoeta Soehoet diberi tanda kehormatan Bintang Gerilya,
tanda Jasa Pahlawan dan bintang-bintang Satyalantjana Peristiwa Perang
Kemerdekaan ke-I, Satyalantjana Peristiwa Perang Kemerdekaan ke-II,
Satyalantjana Satya-Dharma, Satyalantjana Wira-Dharma dan Satyalantjana Penegak
(pangkat Letnan Satu).
Pada
masa tua. Ali Mochtar Hoeta Soehoet tetap di bidang pendidikan pers
(sebagaimana seniornya Parada Harahap). Jabatan pimpinan (Dekan/Rektor) IISIP
Jakarta di Lenteng Agung berakhir tahun 2001. Setelah itu Ali Mochtar Hoeta
Soehoet menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan ‘Kampus Tercinta’, yayasan
yang menyelenggarakan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.
Posisi Ketua Dewan Pembina Yayasan ini tetap dijabat oleh Ali Mochtar Hoeta
Soehoet hingga tiba saatnya Allah SWT memanggilnya, saat yang serupa seperti
yang dialami oleh seniornya Parada Harahap sebagai Dekan Perguruan Tinggi
Kewartawanan dan Politik. Parada Harahap meninggal dunia tahun 1959.
Diantara empat
tokoh pers asal Padang Sidempuan tersebut saya hanya dengan Sakti Alamsjah saya
bersua. Saya bertemu dengan Sakti Alamsjah (Siregar) di Bandung tahun 1981.
Sakti Alamsjah, anak Sipirok yang sekampung dengan Ali Mochtar Hoeta Soehoet
bertukar kisah dengan paman saya (adik ayah saya) yang tinggal di Sukabumi dimana saya turut hadir ketika berkunjung ke
rumah Sakti Alamsjah (uwak saya yakni abang ayah saya adalah suami dari adik Sakti Almasjah). Dari sinilah awalnya saya mendengar kisah para generasi
awal asal Padang Sidempuan berjuang di Djakarta. Saat itu saya adalah Komandan Regu Pramuka Tapanuli Selatan (Padang Sidempuan) ke Raimuna Nasional di Cibubur, Jakarta. Ada perbedaan waktu 33 tahun, ketika Ali Mochtar Hoeta Soehoet sebagai Komandan Tentara Pelajar Padang Sidempoean (Mandailing en Angkola), 1948 dengan saya Komandan Regu Pramuka Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan) tahun 1981.
Parada
Harahap telah banyak melahirkan jurnalis hebat dari dunia praktis seperti
Djamaloedin alias Adinegoro (PIA), Adam Malik (Antara), Mochtar Lubis (Indonesia Raya), Sakti Alamsyah (Pikiran Rakyat), BM Diah (Merdeka)
dan termasuk Boerhanoedin Harahap (Abadi). Setali tiga uang, Ali Mochtar Hoeta Soehoet
juga telah banyak melahirkan jurnalis hebat melalui kampus di bidang pendidikan
publisistik, termasuk diantaranya Andy F. Noya (yang poluer dengan Kick’s
Andy).
Parada Harahap,
Sakti Alamsjah dan Ali Mochtar Hoeta Soehoet adalah sedikit dari jurnalis hebat Indonesia
yang berhasil membimbing anak-anaknya di dalam keluarga. Parada Harahap
mengantarkan anak-anaknya hingga lulus perguruan tinggi. Salah satu putri
Parada Harahap adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1957)
bernama Aida Dalkit Harahap, perempuan pertama ahli hukum dari (pulau) Sumatra.
Sakti Alamsjah menyekolahkan anak-anaknya ke Eropa (Inggris), salah satu
diantaranya adalah Perdana Alamsyah yang kini menjadi Direktur Utama PT Pikiran Rakyat
Bandung. Ali Mochtar Hoeta Soehoet juga berhasil mendidik anak-anaknya hingga
perguruan tinggi, salah satu diantaranya Ilham Parsaulian Huta Suhut yang
menjadi Rektor IISIP Jakarta hingga sekarang. Mereka ini telah berjuang untuk RI tetapi juga tidak lalai di lingkungan keluarga.
Pelurusan Sejarah: Soekarno Tidak Pernah
Terlibat dalam Kongres Pemuda dan Hari Sumpah Pemuda
Ada
dua kesalahan esensial dalam penulisan sejarah Sumpah Pemuda. Pertama,
disebutkan bahwa Soekarno terlibat dalam Kongres Pemuda 1928. Faktanya adalah
Mohammad Yamin dan Amir Sjarifoedin yang banyak terlibat di Kongres Pemuda
1928. Kongres PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda (junior) pada Oktober 1928
relatif bersamaan waktunya. Ketua Panitia Kongres PPPKI adalah Parada Harahap
yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris PPPKI (Ketua PPPKI adalah MH
Thamrin). Sebagai Ketua Panitia Kongres PPPKI, Parada Harahap juga merangkap
sebagai pembina (panitia) Kongres Pemuda. Parada Harahap dkk adalah sponsor
pembiayaan Kongres Pemuda (Parada Harahap adalah Ketua Kadin Batavia). Soekarno
tidak diplot berpartisipasi dalam Kongres Pemuda, tetapi Parada Harahap
mengundang Soekarno untuk berpidato di Kongres PPPKI. Selain Soekarno, Mohammad
Hatta juga diundang untuk berpidato di Kongres PPPKI tetapi Mohammad Hatta
tidak bisa hadir karena kesibukan kuliah di Belanda (tetapi mengirim utusan Ali
Sastroamidjojo). Dengan demikian,
Soekarno dan Mohammad Hatta tidak pernah berpartisipasi dalam Kongres Pemuda.
Pembentukan
PPPKI digagas oleh Parada Harahap. Pembentukan supra organisasi ini didukung
oleh Soetan Casajangan. Pelaksanaan pembentukan PPPKI ini dilaksanakan di rumah
Husein Djajadiningrat. Soetan Casajangan adalah pendiri organisasi mahsiswa
pertama di Belanda (Indisch Vereening) 1908 yang mana Ketua Soetan Casajangan
dan Husein Djajadiningrat sebagai sekretaris. Parada Harahap sebagai
revolusioner, pendiri surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean 1919,
ketika hijrah ke Batavia 1923 selalu berpartisipasi dalam dua organisasi
sekaligus yakni Sumatranen Bond dan Bataksc Bond. Untuk sekadar catatan:
Sumatranen Bond didirikan oleh Sorip Tagor (kakek Inez/Risty Tagor) di Belanda
tahun 1917. Sedangkan Batakch Bond didirikan oleh Dr. Abdoel Rasjid. Dalam
konteks ini Parada Harahap adalah sekampung (sama-sama kelahiran Padang
Sidempoean) dengan senior-seniornya Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan,
Sorip Tagor (Harahap) dan Abdoel Rasjid (Siregar).
Kedua,
dalam Kongres Pemuda 1953 Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai
Wakil Presiden juga tidak terlibat. Yang berpartisipasi langsung dalam Kongres
Pemuda 1953 adalah Ali Mochtar Hoeta Soehoet. Dua orang dibelakang Ali Mochtar
Hoeta Soehoet sebagai pembina (tidak langsung) adalah Parada Harahap dan
Mohammad Yamin. Saat itu, Parada Harahap adalah Direktur Akademi Wartawan dan
juga sebagai Ketua Kopertis (pembina Kongres Pemuda Kongres 1928). Sementara
Mohammad Yamin adalah Menteri Pendidikan (sekretaris panitia Kongres Pemuda
1928). Parada Harahap selain sekretaris PPPKI juga adalah sekretaris Sumatranen
Bond, sementara Mohammad Yamin sebagai mahasis Rechthoogeschool juga adalah
anggota Jong Sumatranen Bond. Tempat pelaksanaan Kongres Pemuda di Decapark,
kampus Akademi Wartawa yang mana sebagai Ketua Dewan Mahasiswa adalah Ali
Mochtar Hoeta Soehoet.
Perbedaan Pendapat Selalu Ada yang Menyatukan |
Kongres Pemuda
1953 mengusung dua agenda. Pertama memperingati 25 tahun lagu Indonesia Raya
dikumandangkan dalam Kongres Pemuda 1928. Lagu Indonesia Raya adalah ciptaan WR
Supratman (anak buah Parada Harahap). Kedua, untuk memperbarui kesetiaan pemuda
dengan melakukan sumpah. Isi sumpah yang dibacakan adalah isi hasil keputusan
Kongres Pemuda 1928 (satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa). Munculnya ide
Kongres Pemuda 1953 dan ide adanya sumpah pemuda (baca: Sumpah Pemuda) adalah
untuk menengahi permasalahan krisis bangsa yang mengutub dua kubu: Kubu petama
(Soekarno, Mohammad Hatta dan Ali Sastroamidjojo) dan kubu yang kedua (militer
Kol. Abdul Haris Nasution dan pers Mochtar Lubis). Kol. Abdul Haris Nasution sebagai panglima
sudah dipecat Soekarno 1952 karena protes, sementara Mochtar Lubis dipidana
karena menulis di surat kabar Indonesia Raya bahwa Soekarno harus bertanggungjawab
terhadap kematian jutaan rakyat Indonesia sebagai romusha di era pendudukan
Jepang yang mana Soekarno. Dalam
situasi inilah Parada Harahap mengambil peran menengahi dengan menginisiasi
diantara dua pihak yang berseteru dengan
menggalang pemuda untuk melakukang Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah
Pemuda. Parada Harahap cukup dekat kepada masing-masing dua kubu. Sementara Ali
Mochtar Hoeta Soehoet cukup dekat dengan Parada Harahap (mahasiswanya di
Akademi Wartawan) dan juga cukup dekat dengan Mochtar Lubis (stafnya di
Indonesia Raya). Parada Harahap tentu saja didukung habis oleh juniornya
Mohammad Yamin (yang kini menjadi Menteri Penidikan). Parada Harahap dan
Mohammad Yamin di posisi netral dalam situasi politik saat itu yang nota bene
berada di belakang Kongres Pemuda 1953 dan munculnya Sumpah Pemuda. Pada
dasarnya Kongres Pemuda 1953 mengusung satu agenda utama yakni memperingati 25
tahun lagu Indonesia Raya (lihat De nieuwsgier, 21-10-1953). Di dalam kongres
ini juga para pemuda memperbarui kesetiaan yang memunculkan ide para pemuda
bersumpah (Sumpah Pemuda). Mengapa Indonesia Raya dan mengapa pula Sumpah
Pemuda menjadi hal terpenting dari hasil Kongres Pemuda 1953 ini? Ini mudah
dipahami: bahwa lagu Indonesia Raya mendampingi hasil putusan kongres dalam
Kongres Pemuda 1928. Parada Harahap adalah pembina kongres dan Mohammad Yamin
adalah sekretaris panitia. Hal yang penting bagi Parada Harahap, di satu pihak
lagu Indonesia Raya diciptakan WR Supratman adalah anak buah yang sekaligus
sahabat baiknya (bukankah WR Supratman cukup lama tinggal bersama di rumah
Parada Harahap?) dan di pihak lain Indonesia Raya adalah nama surat kabar anak
buahnya yang sekaligus sahabat baiknya Mochtar Lubis. Lantas mengapa Putusan
Kongres (1928) bertransformasi menjadi Sumpah Pemuda (1953). Ini juga mudah
dipahami. Mohammad Yamin adalah pengagum Majapahit yang terkenal dengan Sumpah
Palapa. Dalam hal inilah peran Mohammad Yamin dalam Kongres Pemuda 1953
dikaitkan.
Dengan
demikian Soekarno tidak pernah sama sekali berpartisipasi dalam Kongres Pemuda
baik tahun 1928 maupun tahun 1953. Namun demikian, Soekarno mendukung (secara
pasif) baik Kongres Pemuda 1928 dan Kongres Pemuda 1953. Setelah Kongres Pemuda
1928 tidak ada lagi kegiatan besar pemuda (semacam pelaksanaan kongres-kongres
berikutnya) hingga munculnya kemudian Kongres Pemuda 1953. Soekarno setelah
Kongres PPPKI 1928 semakin intens di PPPKI (bersama Parada Harahap, MH Thamrin
dan Soetomo). Demikian juga setelah Kongres Pemuda 1953 yang terkenal dengan
Sumpah Pemuda (pada Kongres Pemuda 1928 belum ada sumpah permuda) Soekarno
cukup intens mensosialisasikan hasil Kongres Pemuda 1953 (Sumpah Pemuda) di
setiap kesempatan. Sosialisasi ini juga dilakukan oleh Mohammad Hatta dan
Mohammad Yamin di setiap kesempatan. Respon inilah yang diinginkan oleh Parada
Harahap. Dan inisiatifnya untuk menggalang pemuda dan melakukan sumpah yang
dipimpin oleh Ali Mochtar Hoeta Soekoet tampaknya telah berhasil.
Generasi Pemersatu (Persatuan dan Kesatuan) |
Afdeeling Padang Sidempoean (Afd. Mandailing dan Angkola) |
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar