Kemarin tanggal 7 November 2017 Lafran Pane, pahlawan Indonesia secara resmi diumumkan sebagai Pahlawan Nasional. Gelar Pahlawan Nasional ini akan diberikan besok 9 November 2017 kepada ahli waris Lafran Pane di Istana Negara Jakarta. Pengusulan Lafran Pane sebagai Pahlawan Nasional bukan dari Medan, Provinsi Sumatra Utara tetapi Provinsi DI Yogyakarta. Ini menunjukkan bahwa Lafran Pane kelahiran Padang Sidempoean benar-benar pahlawan nasional lintas daerah milik seluruh rakyat Indonesia.
Lafran Pane (foto wikipedia) |
Lafran Pane Pendiri HMI,
Adik Sanusi Pane dan Armijn Pane
Lafran
Pane adalah seorang anak mantan guru di Muara Sipongi dan cucu seorang ulama
besar di Sipirok. Lafran Pane lahir di Padang Sidempuan, 5 Februari 1922. Ayah
Lafran Pane adalah Sutan Pangurabaan Pane, seorang guru alumni
kweekschool, yang juga menjadi sastrawan
lokal dengan karya terkenalnya Tolbok Haleon
(Hati yang Kemarau). Roman ini pertama kali terbit di Medan tahun 1933
dan sampai tahun 1980-an roman Tolbok Haleon masih dipakai sebagai bacaan di
sekolah-sekolah di Tapanuli Selatan. Sutan Pangurabaan Pane yang lahir di
kampong Pangurabaan, Sipirok tidak hanya sukses dalam karir guru dan penulis
tetapi juga sukses dalam bisnis seperti percetakan, penerbitan, perdagangan dan
transportasi. Oleh karena itu, Sutan Pangurabaan dianggap sebagai orangtua yang
mampu menyekolahkan anak-anaknya dengan baik.
Lafran Pane,
cucu dari Syekh Badurrahman Pane memulai pendidikan dasar di pesantren di
Sipirok, kemudian dilanjutkan di HIS (swasta) Padang Sidempoean dan kemudian
melanjutkan pendidikan menengah di Batavia di bawah bimbingan dua abangnya
Sanusi Pane dan Armijn Pane yang sudah dikenal sebagai sastrawan terkenal di
Batavia. Lafran Pane melanjutkan pendidikan tinggi tidak ke STOVIA seperti
sebelumnya dua abangnya (awalnya kuliah kedokteran tetapi dalam perjalanan
lebih menekuni sastra sebagaimana ayah mereka). Lafran Pane justru lebih
memilih bidang studi Islam. Boleh jadi, Lafran yang memulai pendidikan di
pesantren ini ingin meneruskan karir kakeknya. Lafran Pane akhirnya kuliah di
Sekolah Tinggi Islam Batavia.
Setelah
Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, Belanda kembali ke Indonesia dan kampus
Lafran Pane di Batavia harus pindah ke Yogyakarta. Selama kuliah di Yogyakarta
banyak berinteraksi dengan berbagai kalangan. Lafran Pane yang tengah menekuni
bidang studi Islam ini merasa terpanggil untuk menyatukan berbagai elemen
mahasiswa dari kalangan Islam untuk merapatkan barisan dalam situasi perjuangan
rakyat Indonesia.
Lafran Pane
menggagas perlunya dibentuk organisasi mahasiswa Islam untuk turut memberi
wadah dalam situasi politik perang. Lafran Pane kemudian bersama teman-temannya
yang lain mendeklarasikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 5
Februari 1947. Lafran Pane kemudian menjadi Presiden pertama Himpunan Mahasiswa
Islam.
Situasi
politik yang berubah menyebabkan Lafran Pane yang sudah lulus sarjana muda
Islam ingin mengkombinasikan pengetahuannya dengan kebutuhan terkini yakni
dengan menambah ilmu baru yakni ilmu politik. Di Yogyakarta Lafran Pane masuk
Akademi Ilmu Politik yang merupakan bagian dari Universitas Gajah Mada pada bulan
April 1948. Universitas swasta ini lalu kemudian diakuisi pemerintah republik
1949 dan menjadi universitas RI dan akademi ini berubah menjadi fakultas.
Lafran Pane yang
masih menjadi Ketua HMI dan juga sebagai mahasiswa di Universitas Gajah Mada
(universitas republik) sangat merasakan dampak perang terhadap kehidupan para
mahasiswa yang berasal dari Sumatra yang pembiayaannya sangat tergantung dari orangtua.
Hampir semua mahasiswa yang berasal dari Sumatra putus kiriman uang dari
kampong halaman karena dirampas oleh Belanda. Lafran Pane dalam hal ini masih
terbantu oleh dua abangnya: Sanusi Pane dan Armijn Pane. Namun tidak demikian
rekan-rekannya yang lain. Lafran Pane coba membicarakan permasalahan itu dengan
pemimpin republik di Yogyakarta. Hasilnya, pemimpin republik memberi respon dan
lalu dibentuk sebuah biro penghubung yang dinamai Biro Kontak untuk Sumatra
yang langsung diketuai oleh Menteri Sosial RI, Ir. H.A. Tambunan dan
sekretaris, Lafran Pane sendiri. Tujuan pembentukan biro ini untuk
menyelamatkan studi mahasiswa yang berasal dari Sumatra. Dalam kepengurusan
biro ini juga termasuk satu wakil dari masing-masing keresidenan yang ada di
Sumatra (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 30-11-1949).Untuk membantu
mahasiswa lainnya agar tetap kuliah adalah salah satu bentuk nyata perjuangan
Lafran Pane selama masa perang.
Masa
kolonial telah berlalu, kemerdekaan yang sempat dirampas oleh Belanda (NICA)
telah diperoleh kembali dengan adanya pengakuan Belanda terhadap kedaulatan
NKRI (Desember, 1949). Babak baru Indonesia mulai dibangun, namun demikian
jasa-jasa para pelaku babak lama juga harus mendapatkan haknya.
Di Jakarta,
Sutan Pangurabaan Pane, ayah Lafran Pane menggagas pula untuk dibentuknya
organisasi para pensiunan. Organisasi ini diberi nama Kumpulan Kaum Pensioenan.
Pimpinan pusat organisasi ini diketuai oleh Sutan Pangurabaan Pane. Organisasi yang berpusat di Jakarta ini
dengan cabang yang baru 50 onderafdeeling di seluruh Indonesia yang anggotanya
sudah mencapai satu juta. Anggota organisasi ini meliputi mantan pejabat,
militer dan usaha negara. Dana simpanan
yang besarnya telah mencapai Rp
10.000.000 dikembangkan dengan membangun sejumlah usaha di berbagai daerah
(lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-10-1951)
Lafran
Pane akhirnya lulus ujian dan menjadi sarjana di Universitas Gadjah Mada pada
tanggal 26 Januari 1953. Lafran Pane sendiri terbilang sebagai sarjana ilmu
politik pertama di Indonesia. Ayah Lafran Pane menjadi tersenyum, tidak hanya
anaknya-anaknya yang berhasil sesuai keinginan mereka, tetapi Sutan Pangurabaan
Pane juga berhasil telah menjamin jutaan pensiunan mendapatkan haknya kembali
yang selama ini ditahan oleh Belanda selama perang.
Ida Nasution Pendiri
PMUI, Esais yang Membuat Gerah Belanda Lalu Diculik dan Dibunih
Sejak kehadiran Belanda kembali (pasaca kemerdekaan RI) pengaruh Belanda
di Djakarta semakin menguat dan para republiken semakin melemah (karena banyak
orang Indonesia memandang nasib RI sangat suram dan berafiliasi dan bekerjasama
dengan Belanda). Hal inilah yang menyebabkan ibukota RI tanggal 4 Januari 1946 dipindahkan
ke Djogjakarta.
Saat situasi mereda (di
Djakarta), Belanda mulai menghidupkan kembali perguruan tinggi yang di era
kolonial Belanda sudah eksis (dan
berantakan selama pendudukan Jepang). Pada tanggal 21 Januari 1946 kampus
Universiteit Indonesie dibuka kembali dengan status Nood Universiteit
(Universitas Darurat). Ida mantan mahasiswa angkatan 40 enggan.
Rombongan republiken yang terakhir berkumpul di bekas rumah Sutan Sjahrir
yang menjadi bagian Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Informasi dan
Kementerian Perhubungan. Dalam rombongan ini termasuk Mr. Arifin Harahap.
Rombongan terakhir ini berangkat dari Stasion Manggarai menuju Jogja yang
dikawal oleh polisi Belanda (Nieuwe courant, 17-10-1946).
Selain Mr. Arifin Harahap dalam
rombongan terakhir ke Djogjakarta ini juga terdapat seorang (yang diduga) mahasiswa
bernama Lafran Pane. Mr. Arifin Harahap dan Lafran Pane sudah barang tentu
berasal dari kampung yang sama di Padang Sidempoean. Mr. Arifin Harahap adalah adik kandung Mr.
Amir Sjarifoeddin. Lafran Pane adalah anak seorang sastrawan di Padang
Sidempoean yang juga adik dari sastrawan terkenal saat itu yakni Sanusi Pane
dan Armijn Pane. Keikutsertaan Lafran Pane dalam rombongan republiken ke
Djogjakarta diduga karena kampus Lafran Pane di Djakarta telah lebih dahulu pindah
ke Djogjakarta.
Ida Nasution |
Selama pendudukan Jepang hingga
sebelum kuliah kembali Ida Nasution aktif sebagai penulis (esasi). Meski ini
dari sudut Belanda semacam politik membujuk, namun demikian, jiwa merdeka Ida
Nasoetion tetap bergelora.
Dalam suasana perang, Lafran Pane di Djogjakarta menggalang mahasiswa
untuk bersatu yang kemudian didirikannya HMI tanggal 5 Februari 1947.
Pada tanggal 21 Juli 1947 militer
Belanda mulai melacarkan aksi polisionil.
Untuk meredakan dua kubu, militer Belanda dan para republiken akhirnya aksi
polisional militer Belanda yang juga dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I
berakhir tanggal 5 Agustus 1947. Aksi ini berakhir karena desakan Dewan
Keamanan PBB yang lalu kemudian dilanjutkan ke meja perundingan yang pada
nantinya dikenal sebagai perjanjian Reville.
'Universitas
Darurat' Universitas Indonesia tetap
eksis yang terdiri dari delapan fakultas (faculteit)dan selusin
lembaga (institute) yang semua di bawah naungan Universitas Indonesia (lihat Het
nieuws: algemeen dagblad, 24-10-1947). 'Universitas
Darurat' Universitas Indonesia terdiri dari delapan fakultas (faculteit)dan
selusin lembaga (institute) yang semua di bawah naungan Universitas Indonesia
(lihat Het nieuws: algemeen dagblad, 24-10-1947). Fakultas yang ada terdiri
dari Fakultas Kedokteran (faculteiten der geneeskunde di Batavia, Fakultas
Kedokteran Hewan (faculteiten der dierengenees kunde) dan Fakultas Pertanian
(faculteit van landbouw wetenschap) di Bogor. Selain itu terdapat Fakultas
Hukum (faculteiten der rechts), Fakultas Ilmu Sosial (faculteiten der sociale
weten), Fakultas Sastra dan Filsafat (faculteit der letteren en wijsbegeerte).
Fakultas lainnya adalah Fakultas Sains dan (faculteit der exacte wetenschap)
dan Fakultas Teknik (faculteit van technische wetenschap) di Bandoeng.
Lembaga/institut yang ada dan yang akan diadakan antara lain: pendidikan
jasmani (instituut voor lichamelijke) di Bandung, dental institute
(tandheelkundig instituut) di Surabaija dan pelatihan meteorologi di Bandoeng
dan pelatihan guru yang akan diadakan. Dalam hubungan ini, mahasiswa-mahasiswa
yang ada di Indonesia hanya yang berada di fakultas dan institut tersebut di
bawah naungan Universiteit Indonesie sehingga organisasi yang diprakarsai Ida
Nasoetion dan G. Harahap sesungguhnya merujuk pada mahasiswa seluruh Indonesia.
Jadi, PMUI dalam interpretasi sekarang adalah perhimpunan mahasiswa seluruh
Indonesia.
Dengan dimulainya otonomi kampus, Ida Nasoetion bersama G. Harahap dari
jurusan jurnalistik melihat celah ini dengan menggagas dan mendirikan
perhimpunan mahasiswa. Dengan kawan-kawan yang lain, Ida Nasoetion meresmikan
organisasi mereka dengan nama Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia yang
disingkat PMUI pada tanggal 20 November 1947.
Pendirian Perhimpunan Mahasiswa
Universitas Indonesia yang disingkat (PMUI) semacam respon dari anak-anak
republik yang berada di dalam kampus 'Universitas
Darurat' Universitas Indonesia.
Organisasi ini menjadi semacam organisasi ‘intrakurikuler’. Sedangkan
organisasi ekstrakuler HMI sudah berdiri sejak tanggal 5 Februari 1947. Ini
mengindikasikan bahwa kekuatan mahasiswa sudah ada di luar kampus dan juga ada
di dalam kampus.
Lalu kemudian diadakan perjanjian antara dua pihak militer Belanda dan RI
diadakan di atas kapal Amerika bernama Renville. Perundingan ini cukup alot dan
membutuhkan waktu. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Delegasi Republiken
ke perundingan dipimpin oleh Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifoedin. Sementara di
pihak militer Belanda diwakili antara lain R. Abdul Kadir Widjojoatmojo, Mr. van
Vredenburgh, Mr. Dr. Ch. R. Soumokil, Tengku Zulkarnaen, Mr. Adjie Pangeran
Kartanegara dan Mr. Masjarie. Perundingan berakhir 17 Januari 1948.
Hasil perjanjian ini adalah (1)
Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai kedaulatan
Indonesia diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat yang segera terbentuk,
(2) Republik Indonesia Serikat mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara
Belanda dalam uni Indonesia-Belanda, (3) Republik Indonesia akan menjadi negara
bagian dari RIS, (4) Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagain
kekuasaannya kepada pemerintahan federal sementara, dan (5.) Akan diadakan
plebisit untuk menentukan kedudukan politik rakyat Indonesia dalam RIS dan
Pemilu untuk membentuk dewan konstituante RIS. Hasil perundingan mencerminkan
kekalahan delegasi RI yang sebaliknya dimenangkan oleh orang-orang Indonesia
yang berkolaborasi dengan Belanda. Lalu hasil ini mendapat reaksi, Masjumi
menganggap Amir Sjarifoedin telah gagal dan kemudia muncul tintutan agar
kabinet Amir Sjarifoedin menyerahkan mandat. Pada tanggal 29 Januari 1948 Amir
Sjarifoedin menyerahkan kembali mandatnya
kepada Presiden.
Pada awal organisasi mahasiswa Perhimpunan Mahasiswa Universitas
Indonesia yang disingkat (PMUI) ini didirikan anggotanya baru sebanyak 30
mahasiswa dan lambat laun sebelum ulang tahun yang pertama anggotanya sudah
menjadi 100 mahasiswa (hanya memperhitungkan yang di Batavia). Ida Nasoetion
adalah presiden pertama perhimpunan mahasiswa Indonesia. Gelagat Ida Nasoetion
dibalik memersatukan mahasiswa ini tercium juga oleh intelijen Belanda.
Belum genap satu semester Ida
Nasoetion menjabat persiden PMUI, kabar buruk telah datang menimpanya. Koran De
locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-04-1948 melaporkan Ida
Nasoetion hilang. Dalam berita itu dinyatakan sebagai berikut: ‘seorang esais
Indonesia berumur 26 tahun, Ida Nasution hilang. Selama delapan hari
penyelidikan tetap sejauh ini tanpa hasil. Mereka (Ida dan kawan-kawannya)
berangkat pada tanggal 23 Maret di pagi hari dengan kereta api ke Buitenzorg,
di mana mereka menghabiskan hari di sekitar Masing, Tjiawi’. Sementara itu,
koran Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia,
05-04-1948 memberitakan sebagai berikut: ‘Sejak 23 Maret, seorang mahasiswa
Indonesia Ida Nasution menghilang. Pada tanggal itu mereka ke Tjigombong untuk
menghabiskan beberapa waktu di danau Tjigombong (kini, danau Lido). Namun, Ida
Nasoetion yang akan kembali pada hari yang sama, tetapi hilang entah dimana.
Apakah diculik?’
Ida Nasution Presiden Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia (PMUI)
hilang untuk selamanya. Ida Nasution telah mempelopori satu dari dua organisasi
mahasiswa Indonesia di era perang kemerdekaan. Dua organisasi mahasiswa ini
kebetulan dipelopori oleh mahasiswa-mahasiswa asal Padang Sidempoean. Jika
mundur ke belakang, organisasi mahasiswa pertama Indisch Vereeninging
(Perhimpunan Pelajar Hindia) didirikan tahun 1908 di Leiden yang dipelopori
oleh Eadjioen Harahap gelar Soetan Casajangan kelahiran Padang Sidempoean.
Indische Vereeniging kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Pelajar
Indonesia (PPI) yang dipimpin Mohammad Hatta. Organisasi mahasiswa
PMUI kelak menjadi cikal bakal Dewan Mahasiswa di masing-masing PTN yang
terbentuk (pecahan UI seperti ITB dan IPB). Salah satu tokoh utama Dewan
Mahasiswa UI adalah Hariman Siregar kelahiran Padang Sidempuan yang terkenal dengan Peristiwa Malari tahun
1974.
Ida Nasoetion lahir tahun 1922 dan mengikuti pendidikan dasar
Eropa (ELS) di Sibolga. Keluarga mereka pindah ke Batavia sehubungan dengan
ayahnya pindah tugas dari Sibolga ke Batavia. Pada tahun 1934 Ida Nasoetion
didaftarkan di Koningin Wilhelmina School. Di sekolah elit Belanda ini Ida
Nasoetion menempuh pendidikan enam tahun (SMP dan SMA). Bataviaasch nieuwsblad,
05-06-1935 melaporkan ujian transisi di K. W. III School yang mana diantaranya
Ida Nasoetion dipromosikan dari kelas pertama ke kelas dua. Bataviaasch
nieuwsblad, 29-05-1937 melaporkan siswa-siswa K.W. III School yang naik ke
kelas empat yang mana terdapat nama I. Nasoetion (m), Pada pertengahan tahun
1940 Ida Nasoetion lulus ujian akhir di K. W. III School dan direkomendasikan
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Negeri Belanda. Ida Nasoetion
tidak tertarik kuliah ke negeri Belanda. Ida Nasoetion yang sudah menulis sejak
sekolah menengah lalu mendaftar dan diterima di Jurusan Sastra Bahasa (letteren
faculty) Universiteit van Indonesie.
Fakultas Seni dan Filsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte) di
Universitas Indonesia (Universiteit van Indonesie) dibuka pada tanggal 1
Oktober 1940.dan memulai perkuliahan awal pada tanggal 4 Desember 1940. Ida
Nasoetion termasuk mahasiswa angkatan pertama di Fakultas Sastra Universitas
Indonesia (awal pendiriannya bernama Fakultas Sastra dan Filsafat, kini bernama
Fakultas Ilmu Budaya). Ida Nasoetion sangat menikmati sekolah tinggi ini karena
bakatnya di bidang sastra sejak masuk di K.W. School. Soerabaijasch handelsblad
28-08-1941 melaporkan Ida Nasoetion lulus ujian preliminary (kelas satu) di
Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte. Ida Nasoetion yang baru kuliah satu tahun, tiba-tiba situasi dan kondisi
di Indonesia berubah. Pada akhir Desember 1941 pasukan Jepang telah melakukan
pemboman di Tarempa, Kepulauan Riau yang membuat Belanda mengalami sok. Satu
per satu kilang minyak di Kalimantan dan Sumatra diduduki tentara Jepang. Di
Batavia semuanya menjadi berhenti termasuk kampus Ida Nasoetion. Pada tanggal 1
Maret 1942 kapal-kapal perang Jepang telah merapat di luar Batavia di teluk
Banten dan Cirebon. Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyerah tanpa syarat
kepada Jepang yang dipimpin Letnan Jenderal Hitoshi Imamura setelah diadakan
perundingan di Kalijati tanggal 8 Maret 1942. Setelah tanggal tersebut maka
berakhir sudah pemerintahan Belanda di Indonesia dan Universiteit van Indonesie
ditutup. Ida Nasoetion berhenti pula kuliah.
Tunggu deskripsi lengkapanya
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar