Kamis, 09 November 2017

Sejarah Kota Surabaya (9): Hari Pahlawan dan Tugu Pahlawan di Kota Surabaya 1951; Hari Pahlawan Pertama di Djogjakarta 1949

*Semua artikel Sejarah Kota Surabaya dalam blog ini Klik Disini. (Artikel 1-8 Klik Disana)


Hari Pahlawan adalah hari memperingati para pahlawan Indonesia. Hari Pahlawan di semua kota-kota di Indonesia dimulai pada tahun 1950. Hari Pahlawan di Kota Surabaya tahun 1951 Presiden Soekarno hadir. Dalam kegiatan memperingati Hari Pahlawan di Kota Surabaya, 10 November 1951 Presiden Soekarno melakukan peletakan batu pertama pembangunan Tugu Pahlawan (Nieuwe courant, 03-11-1951).

Tugu Pahlawan di Surabya (foto 1960)
Kota Surabaya sangat khusus dalam peringatan Hari Pahlawan. Peringatan Hari Pahlawan di Indonesia kali pertama dimulai tahun 1949 di Kota Djogjakarta (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-11-1949). Tanggal Hari Pahlawan ditetapkan berdasarkan peristiwa heroik yang terjadi di Kota Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Peringatan Hari Pahlawan dipelopori Front Pemoeda Indonesia (De vrije pers: ochtendbulletin, 07-11-1949). Di Djakarta Hari Pahlawan yang dilaksanakan oleh para Republiken dipusatkan di depan sebuah rumah di Jalan Pegangsaan-Oost No. 56 (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-11-1949). Di Kota Padang peringatan Hari Pahlawan dipusatkan di Bioskop Rio (Het nieuwsblad voor Sumatra, 14-11-1949). Di Kota Surabaya sendiri peringatan Hari Pahlawan dengan hari libur (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 09-11-1949).

Mengapa Hari Pahlawan Telat di Medan?

Peringatan Hari Pahlawan pada tahun 1949 sudah diadakan di kota-kota besar di Indonesia: Djogjakarta, Djakarta, Soerabaja, dan Padang. Lantas mengapa di Kota Medan belum ada yang memperingatinya? Peringatan Hari Pahlawan di Kota Medan baru diadakan pada tahun 1950 (Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-11-1950).

Pada tahun 1949 Kota Medan belum bisa dikuasai oleh para Republiken. Kota Medan masih dikuasai oleh penduduk Indonesia yang masih terikat dan berafiliasi serta bekerjasama dengan Belanda. Para Republiken pada tahun 1949 masih bertempur melawan militer Belanda di Tapanoeli khususnya di Kota Padang Sidempoean. Area Padang Sidempoean adalah area pertempuran Indonesia terakhir dimana para Republiken melawan militer Belanda.

Mengapa Peringatan Hari Pahlawan Telat Diadakan di Medan?

Peringatan Hari Pahlawan pada tahun 1949 sudah diadakan di kota-kota besar di Indonesia: Djogjakarta, Djakarta, Soerabaja, dan Padang. Lantas mengapa di Kota Medan belum ada yang memperingatinya? Peringatan Hari Pahlawan di Kota Medan baru diadakan pada tahun 1950 (Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-11-1950).

Pada tahun 1949 Kota Medan belum bisa dikuasai oleh para Republiken. Kota Medan masih dikuasai oleh penduduk Indonesia yang masih terikat dan berafiliasi serta bekerjasama dengan Belanda. Para Republiken pada tahun 1949 masih bertempur melawan militer Belanda di Tapanoeli khususnya di Kota Padang Sidempoean. Area Padang Sidempoean adalah area pertempuran Indonesia terakhir dimana para Republiken melawan militer Belanda.

Agresi Militer Belanda II: Kota Padang Sidempuan Dilakukan Bumi Hangus (Padang Sidempuan Lautan Api)

Agresi Militer Belanda II dimulai tanggal 19 Desember 1948 yang bermula di Yogyakarta, ibu kota Indonesia. Pada saat serangan ini sejumlah pemimpin ditangkap termasuk Soekarno, Mohammad Hatta dan Sjahrir. Lalu para pemimpin ini diasingkan ke berbagai tempat. Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Haji Agus Salim ditempatkan di Brastagi dan Parapat. Pemimpin lainnya seperti Mohammad Hatta ditempatkan di Bangka.

Pada hari serangan ini, yang pertama dicari oleh intelijen/militer Belanda adalah Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D. seorang ahli hukum muda yang brillian (lulus Suma Cumlaude), alumni sekolah hukum Universiteit Leiden yang menjadi penasehat hukum (internasional) Soekarno dan Mohammad Hatta di Djogjakarta. Masdoelhak Nasution orang Republiken pertama ditembak mati di ladang jagung di Pakem tanggal 21 Desember 1948. Dewan Keamanan PBB marah besar setelah mengetahui Masdoelhak ditembak mati. Pimpinan organisasi bangsa-bangsa yang berkantor di New York meminta sebuah tim netral di Kerajaan Belanda untuk melakukan penyelidikan segera atas kematian Dr. Mr. Masdoelhak Nasoetion di Yogyakarta 21 Desember 1948. Reaksi cepat badan PBB ini untuk menanggapi berita yang beredar dan dilansir di London sebagaimana diberitakan De Heerenveensche koerier: onafhankelijk dagblad voor Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel, 01-02-1949. Koran ini mengutip pernyataan pers dari kepala kantor Republik Indonesia di London yang pernyataannya sebagai berikut: ‘sejumlah intelektual terkemuka di Indonesia, diantaranya Masdulhak, seorang penasihat pemerintah dibunuh hingga tewas tanpa diadili’. Akhirnya dilakukan penyelidikan segera, hasilnya dari ruang sidang dilaporkan De waarheid, 25-02-1949: ‘Kejadian ini bermula ketika Belanda mulai menyerang Yogya pukul lima pagi, 19 Januari 1948, tentara Belanda bergerak dan intelijen bekerja. Akhirnya pasukan Belanda menemukan dimana Masdoelhak. Lalu tentara menciduk Masdoelhak di rumahnya di Kaliurang dan membawanya ke Pakem di sebuah ladang jagung. Masdoelhak di rantai dengan penjagaan ketat dengan todongan senjata. Selama menunggu, Masdoelhak hanya bisa berdoa dan makan apa adanya dari jagung mentah.Akhirnya setelah beberapa waktu, beberapa tahanan berhasil dikumpulkan, total berjumlah enam orang. Lalu keenam orang ini dilepas di tengah ladang lalu diburu, dor..dor..dor. Masdoelhak tewas ditempat. Seorang diantara mereka (Mr. Santoso, Sekjen Kemendagri) terluka sempat berhasil melarikan diri, tetapi ketika di dalam mobil dalam perjalanan ke Yogya dapat dicegat tentara lalu disuruh berjongkok di tepi jalan lalu ditembak dan tewas ditempat.Jaksa penuntut umum menganggap pembunuhan ini sebagai ‘pembunuhan pengecut’.  

Setelah militer Belanda menguasai Djogjakarta maka yang terjadi: Pertama, ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Bukittinggi dengan dibentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada tanggal 22 Desember 1948 (dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara). Kedua, Kolonel Abdul Haris Nasution, sebagai Panglima Teritorium Jawa mulai bekerja dan menyusun rencana pertahanan rakyat semesta serta membentuk kantong-kantong gerilya di seluruh Pulau Jawa. Kolonel Abdul Haris Nasution memerintahkan eks pasukannya Komando Siliwangi kembali ke Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi. Namun di Jawa Barat Pasukan Siliwangi dihadang oleh gerombolan DI/TII.

Dengan sepengetahuan Kepala Staf Angkatan Perang, Sudirman dan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang,  dengan rencana serangan strategis, Kolonel Abdul Haris Nasution memerintahkan Komando Panglima Divisi III untuk melakukan serangan ke Djojakarta. Penyeranagan yang dilakukan pada tangga l Maret 1949 di bawah komando lapangan Soeharto. Serangan ini dikenal sebagai Serangan Umum ke Djogjakarta. Militer Indonesia sempat menduduki Djogjakarta selama enam jam. Namun setelah itu Djogjakarta kembali dikendalikan oleh militer Belanda.

Sebagaimana di Djogjakarta, di sejumlah tempat di Indonesia terjadi pertempuran yang serupa. Di Tapanuli militer Belanda mengawali serangan di Sibolga baik dari laut, darat dan maupun udara. Kota Sibolga jatuh ke tangan pasukan Belanda pada tanggal 20 Desember 1948. Oleh karena Belanda mengetahui ibukota RI telah pindah ke Bukittinggi dengan PDRI, militer Belanda mulai merangsek menuju Bukittinggi melalui utara via Padang Sidempuan.

Pada saat Medan masih kampung, Padang Sidempoean sudah kota
Pada tanggal 28 Desember 1948, pasukan Belanda telah tiba di jembatan Batangtoru. Jembatan sepanjang hampir 100 meter sebelah timur kota Batangtoru itu telah terlebih dahulu dirusak pasukan MBK agar tidak dapat dimanfaatkan pasukan Belanda. Sementara itu Brigade-B yang posnya berada di Padang Sidempuan menyongsong menuju Batangtoru. Penghadangan terhadap pasukan Belanda dilakukan di jembatan Batangtoru. Dalam pertempuran yang tidak sebanding itu pasukan Belanda yang dibantu dengan pesawat tempur dari bandara Pinangsori akhirnya dapat memukul mundur pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli. Kedua pasukan ini akhirnya mundur ke Padang Sidempuan. Setelah Batangtoru berhasil direbut, selanjutnya pasukan Belanda mengebom kota Padang Sidempuan dengan dua pesawat tempur. Pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli menyingkir dan mundur ke Penyabungan (Kampung halaman Kolonel Abdul Haris Nasution).  Untuk menahan masuknya pasukan Belanda dari arah Sibolga, pasukan dan para laskar diperintahkan  melakukan taktik rintangan dan bumi hangus. Semua bangunan dan gedung yang masih berdiri yang kemungkinan akan digunakan Belanda untuk markasnya dibakar atau diruntuhkan. Inilah yang dikenal sebagai Padang Sidempoean Lautan Api (lautan api yang pertama di Bandoeng). Pasukan Belanda akhirnya memasuki Padang Sidempuan pada tanggal 1 Januari 1949. Pasukan Belanda mendapati ibukota Angkola itu sudah habis di bumi hangus yang ditinggalkan warganya. Ini kontras dengan di Djogjakarta justru yang terjadi ratusan perwira TNI membelot ke pihak Belanda.

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-01-1949 (Pemurnian Sumatera): ‘Dari sumber-sumber resmi bertanggal 1 ini dikomunikasikan..pasukan Belanda telah menduduki tempat di Sumatera,  Padang Sidempoean (tenggara dari Sibolga) TNI telah dimurnikan (didesak keluar kota). Di Yogya sebanyak 169 mantan perwira TNI telah melaporkan diri (penghianat republik)’.

Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 07-01-1949: ‘..Di Padang Sidempoean kantor-kantor pemerintah dan juga markas dari TNI dibakar. Kondisi penduduk di bagian selatan Tapanoeli tampaknya kurang menguntungkan daripada di bagian utara.’

Het nieuwsblad voor Sumatra, 11-01-1949: ‘Di Tapanoeli TNI dan laskar republik telah mundur ke gunung..di sini tidak ada kebijakan bumi hangus yang diterapkan kecuali di Padang Sidempoean, Selatan Tapanoeli. Penduduk diminta meninggalkan kota, diancam dengan pembalasan jika mereka bekerja sama dengan Belanda’

Pemerintah RI Kabupaten Tapanuli Selatan pimpinan Bupati, Sutan Doli Siregar, Patih, Ayub Sulaiman Lubis, dan Wedana Maraganti Siregar dan kepala persediaan makanan rakyat Kalisati Siregar juga telah meninggalkan Padang Sidempuan menuju Sipirok. Lantas mereka ini meneruskan perjalanan ke Panyabungan.

Kalisati Siregar adalah alumni sekolah ekonomi di Batavia.yang kemudian berdinas di Kantor Statistik di Batavi, Pada masa pendudukan Jepang, Kalisati pulang kampung di Padang Sidempuan. Atas kemampuannya, pemerintah pendudukan Jepang di Padang Sidempuan mengangkat Kalisati menjadi Kepala Kantor Perdagangan. Kalisati Siregar kelak dikenal sebagai ayah dari Hariman Siregar (Ketua Dewan Mahasiswa UI dan tokoh penting peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974/Malari).

Di Sipirok, perlawanan terhadap serangan pasukan Belanda dilakukan oleh AGS (Angkatan Gerilya Sipirok) pimpinan Sahala Muda Pakpahan yang bertugas sebagai komandan dengan wakilnya Maskud Siregar. AGS ini baru dilantik oleh Wedana sekaligus PPK (Pimpinan Pertahanan Kewedanaan) Sipirok pada tanggal 3 Januari 1949 dibawah komando Brigade-B pimpinan Mayor Bejo.

Maskud Siregar kelak dikenal sebagai ayah dari Dr. Arifin Siregar, seorang ekonomi lulusan negeri Belanda. Setelah berkecimpung di lembaga-lembaga internasional diluar negeri Arifin Siregar diminta pulang ke tanah air untuk membantu tugas-tugas negear. Arifin M. Siregar (Arifin Maskud Siregar) pernah menjadi Gubernur Bank Indonesia, Menteri Perdagangan dan Dubes Indonesia untuk negara Belanda.

Pada tanggal 5 Januari 1949 pasukan republik melancarkan serangan terhadap Belanda yang menduduki Padang Sidempuan dari Sipirok, dan berhasil masuk ke dalam kota. Akan tetapi balasan mortir yang bertubi-tubi dihamburkan pasukan Belanda bukan imbangan pasukan republik. Pasukan republik ini harus mundur dan kembali ke Sipirok dengan membawa serta anggota yang gugur dan terluka.

Pada tanggal 21 Januari 1949 kota Sipirok diserang oleh pasukan Belanda dan Pemerintahan RI di kota itu terpaksa mengungsi ke Arse dan markas AGS terpaksa dipindahkan ke Bukit Maondang (tiga kilometer dari Sipirok). Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar selaku Wakil Residen Tapanuli mengunjungi Bukit Maondang dan Arse di Tapanuli Selatan untuk menyaksikan dari dekat pertahanan republik di garis depan (Residen adalah Abdul Hakim Harahap). Pada tanggal 1 Februari 1949 Ayub Sulaiman Lubis dan Kalisati Siregar berangkat ke Angkola Jae untuk melanjutkan perjalanan ke Mandailing. Keesokan harinya jalan yang sama dilalui pula oleh Binanga Siregar, Sutan Doli Siregar, Sutan Hakim Harahap, dan Maraganti Siregar. Mengetahui pemerintah Tapanuli Selatan telah meninggalkan Sipirok, maka pada tanggal 17 Februari 1949 pasukan Belanda melanjutkan serangannya ke Bunga Bondar. Pada tanggal 8 Mei 1949, serdadu-serdadu Belanda berikut kendaraan lapis baja mereka meneruskan penyerangan ke Arse. Meski dalam setiap langkah agresi yang dilakukan pasukan Belanda, pasukan Republik menunjukkan perlawanan. Akhirnya pemerintah Tapanuli Selatan terpaksa mengungsi meninggalkan Arse menuju Simangambat.

Dengan jatuhnya kota Padang Sidempuan ke tangan pasukan Belanda dan kekalahan yang dialami pasukan dan laskar rakyat, maka di wilayah pertahanan RI ini di Huta Goti diadakan perundingan yang melibatkan berbagai komponen pertahanan yang berada ada di luar kota Padang Sidempuan. Tujuan diadakan perundingan ini untuk menyusun strategi dalam merebut kota Padang Sidempuan dari tangan pasukan Belanda. Kekuatan perlawanan terhadap pasukan Belanda tersebut meliputi pasukan yang terdiri dari MMB-I Sumatera pimpinan Iptu Ibnu, pasukan MBK Tapanuli dan Kompi Brigade-B yang dipimpin Kapten Robinson Hutapea serta laskar rakyat yang dipimpin Letnan Sahala Muda Pakpahan dengan dukungan masyarakat. Dalam pertempuran yang direncanakan secara matang dan terkoordinasi dengan baik terjadi cukup alot. Pertempuran yang berlangsung selama tiga hari akhirnya dapat merebut kembali kota Padang Sidempuan.

Setelah kota Padang Sidempuan direbut, pasukan Belanda mundur ke Batangtoru. Namun baru berselang enam jam kota Padang Sidempuan ke pangkuan ibu pertiwi, tiba-tiba secara mendadak muncul dua pesawat tempur di langit Padang Sidempuan dan menembaki kota yang disusul dengan pasukan Belanda yang melakukan putar balik di Batangtoru. Suasana panik dan serangan darat dari pasukan Belanda dari arah Batangtoru tidak mampu ditahan oleh gabungan pasukan dan terpaksa harus mundur secara bertahap ke Huta Goti, Huta Pijorkoling, Huta Pintu Padang dan akhirnya konsolidasi untuk bertahan di Huta Huraba.

Pasukan Belanda yang sudah menguasai wilayah Padang Sidempuan tampaknya belum puas dan khawatir terjadi lagi perlawanan balik. Pasukan Belanda menyusun rencana strategis baru untuk melumpuhkan lawan dan memukul mundur sejauh-jauhnya dari Padang Sidempuan. Karena itu, pada tanggal 5 Mei 1949 sekitar pukul 04.00.WIB pasukan Belanda mulai melakukan penyerangan terhadap lawan yang dilaporkan membuat pertahanan berupa benteng di Huta Huraba. Rencana penyerangan dimulai dari Pijorkoling dengan taktik serangan ‘holistik’ dengan cara mengepung dari empat jurusan. Pasukan Belanda dalam hal ini dibantu oleh dua orang penunjuk jalan (scout) yang desersi dari anggota MBK Tapanuli yang bernama Makaleo dan Syamsil Bahri. Dalam serangan Belanda yang tidak diduga pasukan RI ini berhasil merebut Benteng Huraba. Pasukan MBK Tapanuli dan Brigade-B mundur ke Huta Tolang.

Posisi Benteng Huraba yang diduduki pasukan Belanda ini sangat strategis dan menjadikannya garis front utama untuk mempertahankan wilayah Padang Sidempuan. Karena itu pasukan Belanda waktunya untuk melakukan pertahanan di Benteng Huraba. Sementara itu, di Huta Tolang, Komandan MBK yang datang dari Panyabungan mengumpulkan seluruh pasukan yang ada dan melakukan konsolidasi untuk penyerangan balasan terhadap pasukan Belanda yang sudah bertahan di Benteng Huraba. Dalam pertempuran di Benteng Huraba ini pasukan gabungan memulai penyerangan pada saat fajar dengan menggunakan mortir. Pertempuran ini terjadi sangat heroik dan membuthkan waktu. Baru pukul 16.30.WIB pasukan gabungan berhasil memenangkan pertempuran dan Benteng Huraba dapat direbut kembali. Pasukan Belanda yang dikalahkan mundur ke Padang Sidempuan. Dalam pertempuran ini ditaksir cukup besar kerugian yang dialami oleh pihak pasukan gabungan baik jiwa maupun materi. Dari anggota pasukan MBK Tapanuli sendiri yang gugur terdapat sebanyak 11 orang dan dari pasukan Brigade–B sebanyak 16 orang. Sementara dari barisan laskar dan rakyat yang tergabung dalam pertempuran itu tidak pernah tercatat berapa orang yang sudah gugur dalam pertempuran yang heroik itu.

Meski Padang Sidempuan telah dikuasai pasukan Belanda, paling tidak Benteng Huraba masih bisa dipertahankan. Area Benteng Huraba adalah area yang sangat sempit diantara dua lajur pegunungan Bukit Barisan yang merupakan jalan akses menuju Panyabungan (ibukota Tapanuli Selatan yang baru) dan jalan menuju ibukota RI di Bukit Tinggi.

Agresi Militer Belanda II diumumkan berakhir tanggal 13 Juli 1949 setelah lebih dahulu dilakukan Perjanjian Roem-Royen tanggal 7 Mei 1949 yang mana disepakati antara lain tentang penghentian tembak menembak dan pengembalian Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta.

Gencatan senjata antara militer Belanda dan pasukan RI di area pertempuran Padang Sidempuan baru terlaksana pada tanggal 3 Agustus 1949. Sejak itu proses perundingan lebih lanjut yang dikenal sebagai Konferensi Meja Bundar (KMB), sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Hasil perundingan itu antara lain dan yang terpenting bahwa kedaulatan NKRI akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949.

Mengapa baru tanggal 3 Agustus 1949 terjadi gencatan senjata di area pertempuran Padang Sidempoean? Sementara di daerah lain sudah melakukan gencatan senjata. Ini semua karena proses pembukaan kembali ibukota RI di Yogyakarta dan penutupan ibukota RI di Bukittinggi. Setelah benar-benar ibukota RI di Bukittinggi tidak perlu dijaga, maka baru benteng Huraba benar-benar melakukan gencatan senjata. Oleh karenanya, area pertempuran Padang Sidempoean adalah area pertempuran terakhir RI dalam Agresi Militer II. Sejak gencatan senjata tanggal 3 Agustus 1949, Residen Tapanoeli Abdul Hakim Harahap baru merasa lega. Tidak ada lagi ketegangan di area pertempuran Padang Sidempoean. Abdul Hakim Harahap lalu kemudian menjadi salah satu wakil RI ke KMB di Den Haag. Keutamaan Abdul Hakim Harahap dalam KMB karena tiga hal: (1) Residen Tapanoeli yang masih aktif, (2) Ahli ekonomi di era kolonial Belanda, dan (3) menguasai tiga bahasa asing, Belanda, Inggris dan Perancis. Pimpinan RI ke KMB adalah Mohammad Hatta (Wakil Presiden). Abdul Hakim Harahap adalah gubernur pertama setelah Provinsi Sumatra Utara terbentuk tahun 1951.

Peringatan Hari Pahlawan di Medan Kali Pertama Dilakukan Tahun 1950

Pertempuran di Padang Sidempoean selama Agresi Militer Belanda II begitu alot. Benteng Huraba adalah batas antara area yang dapat dikuasai oleh militer Belanda dengan area yang tidak dapat ditembus oleh militer Belanda. Wilayah di belakang Benteng Huraba ini adalah kampung halaman Kolonel Abdul Haris Nasution, jalan menuju Bukittinggi yang menjadi ibukota RI dipengungsian. Pertempuran di area Padang Sidempoean yang berpusat di Benteng Huraba adalah pertempuran terakhir di Indonesia yang mana gencatan senjata baru terjadi pada tanggal 3 Agustus 1949.

Para pejuang di Padang Sidempoean, laskar dan TNI baru sedikit lega dan menarik napas. Sementara di berbagai tempat di Indonesia sudah dipersiapkan peringatan Hari Pahlawan. Para pejuang di Padang Sidempoean tidak tahu bahwa Hari Pahlawan di tempat lain telah diperingati. Hal ini karena tidak ada akses informasi. Mereka sudah gencatan senjata, para pejuang di Benteng Huraba seakan terkurung di antara markas-markas Belanda di Padang Sidempoean dan di Bukittinggi.  

Pasca pengakuan kedaulatan RI (hasil KMB di Den Haag), dan serah terima di berbagai kota (antara Belanda dan Republiken) para pejuang di Padang Sidempoean baru benar-benar bebas. Serah terima di Medan dari pihak republik dilakukan oleh Dr. Djabangoen Harahap (Wakil Ketua Front Medan). Ketua Front Medan GB Josua Batubara  (tidak hadir). Dalam perkembangannya para pejuang di Tapanoeli, khususnya di Padang Sidempoean yang kemudian mengisi jabatan-jabatan strategis di Kota Medan. Sebagaimana diketahui selama ini di Medan telah dibentuk negar boneka Negara Sumatra Timur (yang bekerjasama dengan Belanda) para pentolannya telah menyingkir atau disingkirkan.

Oleh karena itu peringatan Hari Kemerekaan RI (17 Agustus) dan Hari Pahlawan (10 November) baru tahun 1950 dilaksanakan di Kota Medan, Khusus untuk peringatan Hari Pahlawan ditandai dengan bunyi Sirine pada pukul enam pagi yang yang mana selama sepuluh menit semua kendaraan berhenti dan setiap orang melakukan hening cipta. Hari Pahlawan dipusatkan di Lapangan Esplanade (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-11-1950).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

1 komentar: