Untuk melihat semua artikel Sejarah Semarang dalam blog ini
Klik Disini
Sejarah
terbentuknya kota Semarang cukup lama dan penuh kelok karena kota Semarang
terbilang kota tua dan berkelok-kelok bagaikan aliran air sungai Semarang. Pada
masa lampau ketinggian air sungai Semarang adalah berkah sehingga kapal-kapal
yang masuk dari laut bisa berlayar aman jauh ke hulu. Seiring dengan
pertambahan warga kota dan perluasan areal pemukiman, air berlebih justru sebaliknya
menjadi menakutkan karena dapat menimbulkan banjir. Soal banjir di Kota
Semarang lalu menjadi acuan dalam penataan kota (kembali) dan pembangunan
kanal-kanal baru: kanal barat dan kanal timur.
|
Peta Kota Semarang, 1880 |
Persoalan banjir
sudah lebih dahulu dialami oleh Kota Batavia. Pada era VOC sungai Tjiliwong
disodet dengan membangunan kanal melalui jalan Gajah Mada yang sekarang dan
kemudian disodet lagi dengan membangun kanal melalui jalan Gunung Sahari yang
sekarang. Ternyata itu tidak cukup lalu di era Pemerintah Hindia Belanda dibangun
Banjir Kanal Barat dan di era RI dibangun Banjir Kanal Timur. Setelah
kanalisasi di Kota Semarang, disusul kemudian kanalisasi di Kota Soerabaja dan
Kota Padang. Empat kota ini memiliki riwayat banjir yang mirip dan tipologi
pembangunan kanal yang kurang lebih sama.
Bagaimana
proses pembangunan Banjir Kanal Barat dan pembangunan Banjir Kanal Timur di
Semarang dan hal apa saja yang terkait dengan dua kanal ini tidak pernah
ditulis. Artikel ini menelusuri ke masa lampau. Pada masa ini Banjir Kanal
Barat yang panjangnya sekitar sembilan kilometer dan Banjir Kanal Timur yang
panjangnya sekitar enam kilometer sempat terbaikan tetapi kini telah diurus
dengan baik. Mari kita mulai dengan riwayat Bandjir Kanal Barat (western-bandjirkanaal) dan pembangunan Bendungan Simongan.
.
Banjir Kanal
Barat
|
Bendungan Simongan, 1915 |
Pada
peta-peta sebelumnya belum ada terindikasi kanal, tetapi dalam Peta Kota Semarang
1875 teridentifikasi sebuah kanal di sebelah barat kota dengan menyodet sungai
Semarang di desa Lemah Gempal. Kanal ini tampaknya dibangun untuk dua tujuan:
untuk mengairi pencetakan sawah baru dan untuk mengurangi ketinggian air di
tengah kota bila musim hujan. Kanal ini tampaknya skala kecil. Pada Peta Kota
Semarang 1880 kanal kecil itu telah diperbarui dengan melebarkan sungai dan menambah
kedalaman kanal. Kanal ini kemudian disebut Banjir Kanal. Badjir Kanal (bandjirkanaal)
ini mulai beroperasi pada tanggal 23 Januari 1879 (lihat De locomotief:
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 14-03-1885).
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Banjir Kanal
Timur Semarang Dibangun 1898
Bandjir
Kanal Semarang awalnya dapat mengatasi persoalan banjir di Kota Semarang, namun
dalam perkembangannya muncul sejumlah tekanan sehingga Bandjir Kanal Semarang menjadi
tidak memadai lagi. Tekanan tersebut karena erosi di hulu yang mengakibatkan
debit air sugai Semarang terus meningkat dan perluasan pemukiman untuk
memanfaatkan lahan-lahan marjinal yang basah dan berawa. Disamping itu banjir
di tengah kota Semarang telah kerap menghancurkan jalan dan menghalangi lalu
lintas kereta api. Jika muncul banjir kerugian ekonomi sudah jauh lebih besar
jika dibandingkan dengan pembangunan kanal baru.
|
Bandjirkanaal te Semarang (foto 1895) |
Isu
pembangunan kanal mulai muncul tahun 1896 (lihat De locomotief: Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 22-09-1896).
Ide ini tidak mudah karena di waktu yang bersamaan muncul isu pembangunan
jaringan kereta api hingga mencapai Soerakarta dan Djogjakarta. Dengan
bergulirnya dua isu ini, warga kota Semarang bahkan mewacanakan untuk turut
menanggung pembiayaan pembangunan kanal baru.
Pembangunan
jaringan kereta api Semarang-Vorsteolanden (Tanah Para Pangeran) yang meliputi
Soerakarta dan Djogjakarta juga mendesak untuk menarik volume produksi yang
terus meningkat agar lebih cepat tiba di (pelabuhan) Semarang dengan biaya
pengangkutan yang lebih murah
|
Peta Semarang, 1900 |
Akhirnya
pada awal tahun 1897 isu pembangunan kanal baru di Kota Semarang menjadi
kenyataan. Pembebasan lahan pun mulai dilakukan Nama kanal baru ini disebut
Bandjir Kanal Timur (Ooster-Bandjirkanaal). Nama ini sudah tentu merujuk dengan
kanal sudah ada di barat kota. Dengan munculnya nama Bandjir Kanal Timur, maka
kanal lama dengan sendirinya disebut Bandjir Kanal Barat. Pembangunan kanal
baru yang mencakup lahan yang luas. Pemilik lahan luas sedikit mendapat
perhatian yang mana pembebasan lahan
dilakukan oleh pemerintah dengan ganti rugi meski dengan bervariasi tetapi
tetap dengan harga yang memadai (De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 30-07-1898). Pengeluaran pemerintah sebesar f 38,079 di Boegaigan,
f39,000 di Klajaran dan f49,100 di Torbaja (tiga puluh sen per meter persegi).
|
Bandjir Kanal Barat dan Timur (Peta Semarang, 1909) |
Namun
sebelumnya, bagi penduduk biasa harus menanggung dua hal. Pertama mendapat
ganti rugi yang tergolong harga relatif rendah. Kedua, di bawah komando Loerah,
setiap desa harus mengirim warganya sejumlah warganya untuk berpartisipasi dengan
bayaran rendah atau tanpa dibayar (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 17-04-1897). Siapa yang dikirim akhirnya (sudah pasti)
yang terkena adalah penduduk dari golongan yang tidak mampu. Dalam hal ini
sesungguhnya Loerah menerima anggaran dari pemerintah tetapi tidak sampai
kepada para penduduk yang ditunjuk. Loerah dalam hal ini menarik keuntungan
dengan adanya proyek ini tetapi para koeli. Tidak sedikit warga kampung telah
jatuh ke dalam kemiskinan karena masa-masa ini yang di satu sisi untuk
menghormati perintah Loerah tetapi di sisi lain dengan pendapatan yang sangat
rendah. Ini seakan kerja wajib tanpa upah atau biaya pada pembangunan Bandjir Kanal
Timur.
Pengerjaan pembangunan kanal baru yang disebut
Bandjir Kanal Timur sudah dimulai. Pekerjaan ini di bawah pengawasa FH Wener dan
TE Mobius (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-09-1897). Dampaknya adalah munculnya
pembangunan jembatan kereta api dan jembatan di ruas jalan Semarang Demak. Jembatan
kereta api akan dibuat seperti jembatan kereta api yang berada di belakang stadhuis
atau Balai Kota. Juga akan dibuat jembatan yang lebih kecil agar penduduk tidak
memutar (De locomotief: Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 17-10-1898).
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar