Jalan pos adalah jalan yang menghubungkan tempat-tempat utama (hoofdplaat). Di setiap hoofdplaat (ibukota) terdapat pos. Diantara pos dua hoofdplaat terdapat beberapa pos kecil. Jarak antar pos kecil ini disebut satu Etappe, yaitu jarak dimana setiap perjalanan angkutan pos dengan menggunakan kuda harus beristirahat.
Postwagen di Jawa, 1867 |
Apa hubungan antara kota utama (hoofdplaat)
dengan jalan pos (post-weg)? Dimana (kantor) pos di rute jalan pos didirikan?
Apakah (kantor) pos menjadi titik nol dari hoofdplaat? Semua itu tentu menarik
untuk diketahui. Lantas dimana (titik) Kilometer Nol Kota Surabaya pada masa
ini. Mari kita telusuri.
Jalan Pos Trans-Java
Pada masa permulaan pemerintahan Daendels
(1808), pembangunan jalan pos Trans-Java adalah program nasional. Semua Residen
di wilayah rute jalan pos terlibat penuh. Rute jalan pos tersebut (tentu saja)
mengikuti garis potensi ekonomi dan perdagangan yang paling potensial. Residen
bekerjasama dengan para Bupati, dan para bupati (dengan adanya gaji dan janji)
mengerahkan semua penduduk dewasa aktif. Berdasarkan Generaal Reglement 1810
kota-kota penting (hoofdplaat) adalah Bantam, Batavia, Buitenzorg, Sumadang,
Chirebon, Semarang dan Soerabaja.
Bataviasche koloniale courant, 05-01-1810 |
Penetapan rute dan tempat utama dan
tempat-tempat di bawahnya (hingga ukuran jarak terdekat antara dua tempat yang
disebut etappe) berdasarkan peraturan perundang-undang (reglement atau stadblad)
dan diumumkan ke publik. Penetapan rute jalan pos hingga pada jarak terdekat
sudah selesai pada tahun 1818 (terutama di jalur jalan pos Trans-Java). Progam
jalan pos ini mengalami kelambatan sejak diundangkan Daebdles (1810), karena
Inggris tidak merealisasikannya (1811-1816). Setelah Pemerintah Hindia Belanda
berkuasa kembali )1817) program jalan pos dilanjutkan. Program jalan pos adalah
urat nadi perkonomian (untuk memenuhi tujuan utama kolonial Belanda).
Jalan Pos Bandoeng-Soemadang 1850 |
Bataviasche courant, 22-12-1827 |
Angkutan orang (sedan) di Jawa, 1867 |
Konvoi Pedati di Padalarang, Preanger, 1875 |
Kilometer Nol
Kilometer Nol tidak dikenal di era awal
Belanda. Ukuran jarak yang digunakan adalah mil (mijlpaal). Namun demikian,
identifikasi Kilometer Nol sudah dilakukan. Hal ini karena diperlukan pedoman
untuk menarik jarak ke suatu tempat baik di dalam kota maupun jalur
transportasi ke luar kota. Namun kilometer nol ini tidak berada di hoofdstasion
melainkan di suatu tempat tertentu (yang cenderung berada di persimpangan jalan
strategis). Pertanyaannya: Dimana lokasi gps Kilometer Nol di Kota Soerabaja. Angkutan
orang (sedang) 1880
Peta Soerabaja 1818 |
Pada
Peta 1867 jalan pos telah bergeser menjadi jalan Jembatan Merah. Pergeseran
jalan pos ini sehubungan dengan pembangunan jembatan merah di atas Kali Mas.
Jalan baru ini kemudian disebut Greesik weg ke arah utara (kini Jalan
Rajawali). Sedangkan yang ke selatan disebut weg naar Banjowangi. Berdasarkan Peta 1880
kantor pos ini berada di dekat jembatan (sebelah timur Jembatan Bibies), tidak
jauh dari stasion kereta api. Sedangkan berdasarkan foto 1886 lokasi kantor Pos
dan Telegraf berada di dekat jembatan tetapi di sisi yang berseberangan dengan
Jembatan Bibis (kira-kira lokasi Kantor Pos yang sekarang).
Kantor Pos Surabaya, 1885 |
Pergeseran jalan
pos sebelumnya pernah terjadi di kota lain. Di Buitenzorg, jalan pos awalnya
melalui kebon raya (disamping istana Gubernur Jenderal), namun karena ada
perluasan kebon raya (1860an), jalan pos bergeser ke arah selatan (seperti yang
terlihat pada masa ini). Dengan kata lain, jalan pos awalnya garis lurus antara
Jalan Sudirman dan Jalan Suryakencana bergeser menjadi Jalan Sudirman berbelok
ke Jalan Juanda dan kembali ke Jalan Suryakencana yang sekarang. Hal yang sama
juga terjadi pada tahun 1829 ketika jalan pos di ruas Preanger yang sebelumnya
di ketinggian berbelok-belok (sekitar Lembang) bergeser ke area yang lebih
rendah di kantor controleur yang baru melintasi sungai Tjikapoendong yang
terkesan lebih lurus dari arah Tjimahi hingga ke arah Oedjoeng Brung (kini
jalan lurus itu menjadi pusat kota Jalan Asia-Afrika). Tentu saja jalan pos di
Batavia dan Semarag juga bergeser seiring dengan perkembangan kota.
Kantor Pos Surabaya, 1930 |
Jalan
pos telah mengalami perubahan di berbagai kota. Pergeseran-pergeseran jalan pos
tersebut disebabkan alasan-alasan yang berbeda. Namun demikian, jalan pos
tetaplah jalan pos. Hal ini karena jalan pos adalah penanda navigasi utama
selama era transportasi kereta kuda dan pedati kerbau. Jalan pos ini mulai
redup ketika di beberapa wilayah muncul moda transportasi yang baru: kereta
api. Kantor Pos Surabaya juga telah mengalami relokasi dari tempat yang lama
dekat stasion ke lokasi yang baru di dekat (seberang) rumah Bupati. Ini
menandai bahwa pusat pemerintahan telah bergeser dari Jembatan Merah (kota
lama) ke Jembatan Bibis (kota baru). Dengan kata lain dari area benteng (di
masa lampau) ke area regent van Soerabaja (aloon-aloon). Area rumah
bupati/regent van Soerabaja ini kini menjadi lokasi Bank Indonesia.
Lokasi kantor
pos Surabaya telah mengalami relokasi dari seberang Kali Mas di Jembatatn Bibis
ke lokasi yang baru di aloon-aloon (seberang rumah bupati) pada akhir 1880an.
Pada tahun 1920an wajah kantor pos diubah dengan bentuknya yang sekarang
(mengikuti wajah kantor pos di Batavia dan Bandoeng).
Berbeda dengan kantor pos Soerabaja, kantor
pos Bandoeng tidak pernah mengalami relokasi sejak awal (1829). Yang mengalami
relokasi adalah rumah Bupati/Regent Bandoeng dari Dajeuh Kolot ke jalan pos
yang baru pada tahun 1829 bersamaan dengan pembangunan kantor pos Bandoeng.
Kantor Pos Bandoeng dan rumah Bupati berseberangan (sebagaimana kemudian kantor
pos Soerabaja mengambil lokasi di seberang rumah Bupati Soerabaja).
Di Bandoeng, di sekitar pos muncul perkampoengan Tionghoa
(pecinan), sementara di Soerabaja kantor pos menjauh dari perkampoengan
Tionghoa (pecinan). Sedangkan di Buitenzorg kantor pos tetap berada di area
orang-orang Eropa, Rumah Bupati berada di perkampoengan penduduk asli di Empang
dan pecinan berada area terpisah di luar area Eropa/Belanda dan di luar
perkampuengan asli.
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang
digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar