*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini
Pada artikel sebelum ini telah dideskripsikan riwayat Prof. Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D, seorang dokter kelahiran Pajakoemboeh asal Pakantan, Tapanoeli yang meraih gelar doktor (Ph.D) pada bidang kedokteran di Universitas Amsterdam tahun 1930. Pada artikel ini mendeskripsikan riwayat Prof. Dr. Achmad Mochtar, Ph.D, yang juga seorang dokter kelahiran Bondjol asal Mandailing, Tapanoeli dan telah meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam tahun 1927. Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D adalah anak seorang dokter hewan; Dr. Achmad Mochtar, Ph.D adalah anak seorang guru. Like father, like son. Keluarga Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D dan keluarga Dr. Achmad Mochtar, Ph.D memiliki hubungan kekerabatan.
Pada artikel sebelum ini telah dideskripsikan riwayat Prof. Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D, seorang dokter kelahiran Pajakoemboeh asal Pakantan, Tapanoeli yang meraih gelar doktor (Ph.D) pada bidang kedokteran di Universitas Amsterdam tahun 1930. Pada artikel ini mendeskripsikan riwayat Prof. Dr. Achmad Mochtar, Ph.D, yang juga seorang dokter kelahiran Bondjol asal Mandailing, Tapanoeli dan telah meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam tahun 1927. Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D adalah anak seorang dokter hewan; Dr. Achmad Mochtar, Ph.D adalah anak seorang guru. Like father, like son. Keluarga Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D dan keluarga Dr. Achmad Mochtar, Ph.D memiliki hubungan kekerabatan.
Dr. Achmad Mochtar, Ph.D |
.
Riwayat Dr. Achmad
Mochtar, Ph.D sudah kerap ditulis, tetapi itu tidak cukup. Riwayat Dr. Achmad
Mochtar, Ph.D lebih dari yang ditulis selama ini. Perjalanan Dr. Achmad Mochtar,
Ph.D di bidang kedokteran sesungguhnya terbilang yang paling komprehensif dan
paling lengkap. Dr. Achmad Mochtar memulai melakukan penelitian penyakit endemik
malaria di Mandailing dan Angkola dalam
rangka membantu Dr. W. Schuffner yang kemudian membuka jalan bagi Dr. Achmad
Mochtar untuk meraih gelar Ph.D di
bidang kedokteran. Di ujung karirnya sebagai Direktur Laboratorium Eijkman di Batavia.Djakarta
pada era pendudukan Jepang dibunuh militer Jepang sebagai upaya mencari kambing
hitam atas kesalahan tim kedokteran militer Jepang sendiri yang gagal memberi
vaksin yang mengakibatkan ratusan orang romusha mengalami kematian. Untuk itu,
ada baiknya sejarah Dr. Achmad Mochtar, Ph.D ditulis kembali. Mari kita telusuri.
Orang Mandailing dan Angkola (kini Padang Sidempoean) sejak awal tidak hanya satu, dua orang yang meraih gelar doktor (Ph.D) tetapi lebih dari tiga, diantaranya: Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D meraih gelar doktor (Ph.D) dalam bidang kedokteran di
Unversiteit Amstedam tahun 1930 dengan desertasi berjudul ‘Studies over de
epidemiologie van de ziekte van Weil, over haren verwekker en de daaraan
verwante organismen’. Sebelumnya, Alinoedin
Siregar gelar Radja Enda Boemi lahir di Batang Toroe meraih gelar doktor di
bidang hukum di Universiteit Leiden tahun 1925 dengan desertasi berjudul ‘Het
grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengon en het Karoland’. Setelah
itu menyusul Ida Loemongga Nasution
lahir di Padang meraih gelar doktor di bidang kedokteran di Universiteit
Amsterdam 1931 dengan desertasi berjudul ‘Diagnose en prognose van aangeboren
hartgebreken’. Setahun kemudian menyusul Aminoedin
Pohan lahir di Sipirok meraih gelar doktor di bidang kedokteran di
Universiteit Utrecht 1932 dengan desertasi berjudul ‘Abortus: voorkomen en
behandeling’, Tahun berikutnya Todoeng
Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia lahir di Padang Sidempoean meraih
gelar doktor di bidang filsafat di Universiteit Leiden 1933 engan desertasi
berjudul ‘Het primitieve denken in de moderne wetenschap'. Dalam daftar ini
dapat ditambahkan yang paling populer Masdoelhak
Nasution lahir di Sibolga meraih gelar doktor di bidang hukum di
Universiteit Leiden 1943 dengan desertasi berjudul ‘De plaats van de vrouw in
de Bataksche Maatschappij’.
Achmad Mochtar masuk
STOVIA tahun 1907. Jika usia masuk sekolah tujuh tahun ditambah studi di ELS
selama tujuh tahun, umur Achmad Mochtar saat masuk STOVIA adalah 14 tahun atau
dengan kata lain Achmad Mochtar lahir tahun 1893, Tidak ditemukan keterangan
dimana Achmad Mochtar menyelesaikan pendidikan ELS (Europesch Lager School).
Pada tahun 1908, Achmad Mochtar lulus
ujian kelas satu tingkat persiapan (Bataviaasch nieuwsblad, 19-09-1908). Teman satu kelas antara lain Raden Seno. Satu
tahun di atas mereka antara lain Raden Sardjito. Siswa yang tiga tahun diatas
mereka antara lain Raden Soeselo dan Mohamad Sjaaf. Pada kelas-kelas senior antara
lain: JA Latumeten dan AB Andu. Siswa yang lulus dan mendapat gelar dokter
antara lain Raden Antariksa.
Pada tahun 1890 siswa yang diterima
harus lulusan ELS. Beberapa lulusan yang terkenal adalah Dr. Haroen Al Rasjid
(lulus 1902), Dr. Mohamad Hamzah (1902), Dr. Abdoel Hakim (1905), Dr. Abdoel
Karim (1905) dan Dr. Tjipto
Mangoengkoesoemo (1905). Pada tahun 1902
lama studi dari tujuh tahun menjadi sembilan tahun yang mana Docter Djawa
School namanya berubah menjadi STOVIA. Lulusan pertama STOVIA antara lain Dr.
Soetomo (1911) dan Dr. Radjamin Nasution (1912). Sejak tahun 1913 (STOVIA dan
sekolah kedokteran yang baru di Soerabaja, NIAS) lama studi menjadi 10 tahun.
Achmad Mochtar lulus tepat
waktu di STOVIA tahun 1916. Dr. Achmad Mochtar langsung ditempatkan di Medan
untuk ikut membantu Kepala Inspektur Dinas Kesehatan di Sumatra, Dr. W.
Schüffnerm (De Preanger-bode, 05-07-1916).
Teman-teman Achmad Mochtar di STOVIA boleh jadi menganggap ditempatkan dibawah Dr.
W. Schüffner adalah neraka. Sudah sejak tahun 1913 Dr. W. Schüffner didengar
mahasiswa sebagai Schüffner sebagai dokter gila yang mengabdi 100 persen
hidupnya untuk dunia nyata melakukan penelitian penyakit-penyakit tropis. Boleh
jadi Achmad Mochtar berpikir lain, bahwa inilah saatnya memulai hidup di
lingkungan yang baru di komunitas orang-orang Tapanuli di Medan.
Sejak tahun 1905 Residentie
Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumara’s Westkust dan kemudian Residentie
Tapanoeli di satukan ke dalam satu regional bersama Residentie Oostkust
Sumatra. Sejak itu para migran asal Tapanoeli telah bergeser yang awalnya ke West
Sumatra yang berpusat di Padang (ibukota Province Sumatra’s Westkust) beralih
ke Oost Sumatra yang berpusat di Medan, ibukota Residentie Oostkust Sumatra (Residentie
Oostkust Sumatra ditingkatkan menjadi provinsi tahun 1915). Dengan semakin
banyaknya migran orang-orang Tapanoeli (khususnya dari Afdeeling Angkola dan
Mandailing) di Medan dan Deli, pada tahun 1907 di Medan didirikan Sarikat
Tapanoeli untuk mengimbangi dominasi ekonomi Tionghoa. Sarikat Tapanoeli
kemudian mendirikan perusahaan NV Sarikat Tapanoeli tahun 1909 dan pada tahun
yang sama perusahaan mendirikan surat kabar Pewarta Deli. Sejak 1915 sudah
terhubung jalan daeat antara Sibolga (ibukota Residentie Tapanoeli) dan Medan
(coast to coast). Arus mogran orang-orang Afdeeling Angkola dan Mandailing
makin deras ke Medan. Pada situasi inilah Dr. Achmad Mochtar ditempatkan di
Medan penempatan kali pertama setelah lulus kuliah. Bagi Achmad Mochtar justru
yang muncul adalah banyak tantangan baru dalam dunia nyata, bukan banyak ancaman
dalam menjalani karir.
Dr. Achmad Mochtar
sebelum ke Medan dikabarkan menikah dengan Siti Hasnah di Makassar pada tanggal
30 Juni 1916 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-07-1916).
Dengan kapal Melcior Treub Achmad Mochtar berangkat dari Batavia ke Medan
tanggal 25 Juli (De Sumatra post, 26-07-1916). Dalam manifest kapal tercatat Achmad
Mochtar dengan istri. Kepastian Dr. Achmad Mochtar ditempatkan ke Medan
terhitung tanggal 1 Juli 1916 berdasarkan berlit No.5460 oleh Hoofdinspecteur,
Chef van den Burgerlöken Geneeskundigen Dienst, Dr. W. Schuffner yang
berkedudukan di Medan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-10-1916).
Dr. Achmad Mochtar kemudian ditempatkan di Tapanoeli di Taroetoeng dan Padang
Sidempoean.
De Preanger-bode, 23-12-1918: ‘Dengan
keputusan terbuat dari Inspektur di Taroetoeng dan di Padang Sidempoean
(Tapanoeli) yang berkedudukan di Padang Sidempoean untuk membantu Kepala
Inspektur Dinas Kesehatan di Sumatra, Dr. W. Schüffner, dokter pribumi
pemerintah, Achmad Mochtar’.
Tentu saja penempatan
ini tidak sulit bagi Dr. Achmad Mochtar karena ini kesempatan untuk melakukan
kebajikan penelitian penyakit malaria di kampung ayahnya di Afdeeling
Mandailing dan Angkola (yang beribukota di Padang Sidempoean). Sejumlah daerah
yang rawan penyakit malaria adalah wilayah Angkola di Batangtoroe dan wilayah
Mandailing di Panjaboengan.
Bataviaasch nieuwsblad, 13-03-1919: ‘Dari
Padang Sidempoean (Tapanoeli) ke Sibclga, dokter pribumi pemerintah, Achmad
Mochtar, sekarang (masih tetap) untuk membantu Kepala Inspektur Dinas Kesehatan
di Sumatra, Dr. W. Schüffnerm, dengan ketentuan bahwa selama tidak adanya
dokter dia juga akan merangkap pejabat layanan kesehatan di Sibolga’.
Dr. W. Schuffner secara
periodik datang ke Sibolga untuk mendiskusikan hasil-hasil penelitian dengan Dr.
Achmad Mochtar. Dalam fase ini Dr. Achmad Mochtar di Sibolga juga merangkap
sebagai kepala dinas kesehatan setempat. Setelah cukup lama di Tapanoeli
membantu Dr. W. Schuffner dalam riset malaria, Dr. Achmad Mochtar kemudian
dipindahkan ke ke Kajoeagerg (Palembang) untuk melakukan kegiatan sejenis (De
Preanger-bode, 28-09-1921). Lalu kemudian kembali ke Batavia di BGD. Selesai
sudah penelitian malaria Dr. W. Schüffner. Pada fase dimana Dr. Achmad Mochtar bertugas
di Belawan/Medan, Padang Sidempoean, Sibolga dan Palembang, selama itu pula Dr.
Achmad Mochtar banyak belajar dari Dr. W. Schuffner.
Dr. W. Schüffner setelah melakukan
penelitian yang melelahkan tentang malaria, Dr. W. Schüffner akan cuti selama enam bulan
ke Eropa (Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant, 01-02-1922). Laporan Dr.
W. Schüffner telah dimuat di dalam Mededeelingen van den Burgerlijken
Geneeskundigen Dienst tentang ‘De Malaria te Belawan tijdens den aanleg van de
Occaanliaven van 1918’ (Bataviaasch nieuwsblad, 25-04-1922). Dr. W. Schüffner
telah memberi kontribusi yang signifikan selama 15 tahun di Deli. Dr. W. Schüffner ingin kembali ke
Eropa karena kondisi kesehatan istrinya, tetapi itu harus ditunda hingga enam
bulan lagi (De Indische courant, 12-02-1923).
Setelah tahun 1923 ini Dr. W. Schüffner kembali ke Eropa tidak pernah kembali
lagi ke Hindia Belanda.
Dr. W. Schuffner lahir
tanggal 2 Januari 1867 di Gernheim (Jerman). Terhadap upayanya dalam penelitian
kesehatan di Senembah Mij selama 15 tahun Dr. W. Schuffner adalah direktur
medis di rumah sakit Senembah Mij di Tandjong Morawa, Deli. Dr. W. Schuffner menerima
doctor honoris causa (De Sumatra post, 17-02-1913). Dr. W. Schuffner mengawali
karir di Leipzig yang secara berturut-turut menjadi asisten ahli bedah terkenal
Profesor Tirsch dan Trendelenberg, Setelah lulus 1897, universitasnya meminta
untuk diangkat dosen, tetapi Dr. W. Schuffner justru tertarik tawaran Senembah
Mij untuk memimpin rumah sakit di Tandjong Morawa. Dengan pengalaman praktis
sebagai asisten itu Dr. W. Schuffner mulai mempraktekkannya di Deli. Kasus
penyakit malaria menjadi awal perhatiannya karena banyak mengakibatkan korban
bagi karyawan kemudian juga memperhatikan tifus, beri-beri, disentri, sifilis,
cacing tambang dan berbagai penyakit tropis epidemi. Hasilnya terasa terjadi
kondisi kesehatan yang normal di antara para pekerja di Deli, dalam lima belas
tahun terakhir dari sekitar 100 per 1.000 menjadi menurun sekitar 10 per 1.000
kematian akibat penyakit-penyakit tropis tersebut. Karena itulan Universiteit
Amsterdam memberikan doktor honoris causa kepadanya (Het nieuws van den dag: kleine courant, 12-12-1913).
Dr. W. Schuffner menyampaikan makalahnya di deapn senat universitas yang
mengundangnya (Algemeen Handelsblad, 22-01-1913). Di perusahaan tempat Dr. W.
Schuffner bekerja terdapat 7.000 karyawan Senembah Mij. Dari tahun 1890 hingga 1896 angka
kematian di perusahan adalah 74 per 1.000 yang idealnya adalah 8 per 1000.
Jika saja wabah itu tidak
diekndalikan akan dapat membahayakan atau menghancurkan perusahaan-perusahaan jika
pengendaliannya tidak memadai. Itulah kontribusi Dr. W. Schuffner. Pada tahun
1916 pemerintah mengangkat Dr. W. Schuffner sebagai Kepala Inspektur Kesehatan
Masyarakat BVG. Pada tahun ini pula Dr. Achmad Mochtar diangkat untuk membantu Dr.
W. Schuffner di Deli (Medan/Belawan), Tapanoeli (Taroetoeng, Padang Sidempoean
dan Sibolga) serta Palembang (Kajoeangoeng).
Dr. Achmad Mochtar Studi ke Belanda: Meraih Gelar Ph.D
Setelah selesai membantu
Dr. W. Schuffner dalam penelitian dan pemberantasan penyakit malaria dan
penyakit tropis epidemik lainnya di Sumatra, Dr. Achmad Mochtar kembali ke
Batavia di BVG (tempat dimana Dr. W. Schuffner berkantor). Dr. Achmad Mochtar kemudian
mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke Belanda. Tentu saja dalam hal
ini peran Dr. W. Schuffner sangat besar dalam hal studi lebih lanjut Dr. Achmad
Mochtar. Ketekunan Dr. Achmad Mochtar membantu Dr. W. Schuffner di Tapanoeli
khususnya di Mandailing (kampung asal ayahnya) telah menjadi berkah bagi Dr. Achmad
Mochtar untuk melanjutkan studi. Dr. W. Schuffner juga bersiap-siap untuk
kembali ke Eropa.
Berangkat studi ke
Belanda dengan menumpang kapal Jan Pieterszoon Coon tujuan Amsterdam pada
tanggal 1 September 1923 (Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1923). Dalam manifest
tercatat atas nama Dr. Achmad Mochtar, istri dan dua anak. Pelayaran tiba di Genoa
tanggal 25 September (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 28-09-1923). Tiba di Rotterdam
tanggal 3 Oktober (Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 01-10-1923).
Sementara itu di rumah kediaman Dr. W. Schuffner dilakukan lelang (De Sumatra
post, 11-12-1923). Kegiatan lelang ini seakan penanda bahwa Dr. W. Schuffner tidak
lama lagi akan berangkat ke Eropa.
Di Belanda, Dr. Achmad
Mochtar selain kuliah juga aktif di Perhimpoenan Indonesia (PI). Dr. Achmad
Mochtar lulus ujian pertama untuk akte dokter (De Maasbode, 05-11-1924). Orang-orang
Indonesia terus diharapkan agar makin banyak yang melanjutkan studi di Belanda.
PI kemudian membentuk panitia yang bertanggung jawab untuk memberikan dukungan
bagi orang Indonesia yang tiba di Belanda. Panitia ini termasuk Achmad Mochtar
(De Indische courant, 03-04-1926).
Kerjasama antara Dr. W. Schuffner dan
Dr. Achmad Mochtar masih diteruskan di Belanda. Dalam pertemuan ilmiah Koninklijke
Akademie van Wetenschappen, Prof. Schüffner, juga atas nama Achmad Mochtar, menyajikan
hasil pencobaan mereka untuk membuktikan ‘splitsing van Leptospirenstammen’ (De
Maasbode, 31-10-1926).
De Telegraaf, 11-02-1927 |
Dr. Achmad Mochtar akhirnya
berhasil mencapai gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran pada tahun 1927 (De
Telegraaf, 11-02-1927). Disebutkan bahwa Achmad Mochtar lahir di Bondjol dengan
desertasi berjudul ‘Onderzoekingen omtrent eenige leptosplrenstummen’. Tema desertasi
Achmad Mochtar ini tampak satu rumpun dengan topik penelitian yang dilakukan
oleh Dr. Achmad Mochtar dan Dr. W. Schuffner yang menjadi bidang perhatian
mereka selama ini.
Dr. Achmad Mochtar, Ph.D
kembali ke tanah air dengan kapal Johan de Witt dari Amsterdam pada tanggal 25
Oktober 1927 (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 25-10-1927). Kapal akan tiba pada
tanggal 23 November di Belawan (De Sumatra post, 21-11-1927) dan tanggal 27
November di Tandjong Priok (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
23-11-1927). Dalam manifes kapal tercatat keluarga Dr. A. Mochtar dan dua anak.
Pada saat Achmad Mochtar berangkat ke Belanda tahun 1923 dalam manifes tercatat
istri dan dua anak.
Dr. Achmad Mochtar, Ph.D
ditempatkan di rumah sakit CBZ di Weltevreden, Batavia (kiini RSPAD). Pada
bulan Maret 1928 Dr. Achmad Mochtar, Ph.D diberitakan akan dipindahkan ke
Bengkoelen sebagai dokter pemerintah (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 26-03-1928). Dr. Achmad Mochtar, Ph.D mendapat kenaikan
pangkat menjadi dokter pemerintah kelas satu (Soerabaijasch handelsblad, 01-08-1929).
Dr. Achmad Mochtar, Ph.D dipindahkan ke Jawa. Pada bulan Februari dipindahkan
dari Ambarawa ke rumah sakit CBZ di Semarang (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 06-02-1932). Dr. Achmad Mochtar, Ph.D selain menjadi kepala
laboratorium di Semarang ditunjuk sebagai pejabat kepala dinas kesehatan DVG Midden
Java dan di Semarang jika Dr, Sardjito tidak berada di tempat ketika melakukan
dinas pemberantas penyakit lepra (Bataviaasch nieuwsblad, 18-06-1935).
Dr. Sardjito, Ph.D
meraih gelar doktor di Universiteit Amsterdam pada tahun 1923. Dr. Sebagaimana telah disebut di awal, Dr. Sjoeib
Proehoeman, Ph.D meraih gelar doktor di Universiteit Amsterdam tahun 1930. Pada
tahun 1931 Ida Loemongga meraih gelar doktor juga di Universiteit Amsterdam. Sedangkan
Aminoedin Pohan meraih gelar doktor di Universiteit Utrecht tahun 1932. Pada
tahun 1935 ini, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D masih menjabat sebagai kepala dinas
kesehatan DVG di Sibolga. Sementara Aminoedin Pohan sebagai kepala rumah sakit
di Padang Sidempoean. Sedangkan Ida Loemongga membuka Dokter Praktik untuk ibu
dan anak di Amsterdam. Catatan: Pada saat ini (1935) terdapat nama yang sama
Dr. Achmad Mochtar yang berdinas di Pontianak (dokter pribumi lulus STOVIA
tahun 1932) dan Dr. Achmad Mochtar alumni Docter Djawa School tahun 1905. Harus
dibedakan Dr. Achmad Mochtar, Ph.D dengan dua dokter lainnya pengguna nama yang
sama.
‘
Setelah cukup lama di
Semarang, Dr. Achmad Mochtar, Ph.D dipindahkan ke Geneeskundig Laboratorium te
Batavia pada bulan Mei 1937 yang juga diperbantukan di DVG dalam penanganan
penyakit kusta (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-05-1937).
Geneeskundig Laboratorium te Batavia,
kelak lebih dikenal sebagai Lembaga Eijkman, suatu lembaga penelitian yang melakukan
akitivitas di bidang penelitian biologi molekuler dan bioteknologi kedokteran. Nama
lembaga ini diambil dari nama direktur pertama Geneeskundig Laboratorium te
Batavia, Christiaan Eijkman.
Pada masa pendudukan
Jepang, lembaga penelitian ini dipimpin oleh Dr. Achmad Mochtar, Ph.D. Dalam
kasus kematian romusha di Klender, akibat efek suntikan vaksin, militer Jepang
menuduh Dr. Achmad Mochtar, Ph.D bertanggungjawab. Kejadian kasus vaksin ini
terjadi pada Juli-Agustus 1944. Tuduhan yang diduga tidak berdasar ini, Dr.
Achmad Mochtar, Ph.D.semakin tertekan. Hal ini karena belum lama anak sulungnya
Baharsjah Mochtar dikabarkan meninggal dunia di Belanda. Ini terlihat dalam
iklan/berita keluarga Algemeen Handelsblad, 23-02-1944 yang menyatakan Baharsjah
Mochtar kandidat dokter (Med. Cand.) di Rijksuniversiteit di Leiden pada usia
hampir 26 tahun meninggal dunia. Yang berduka: Dr. A. Mochtar dan Siti Hasnah.
Bataviaasch nieuwsblad, 25-04-1931:
Baharsjah Mochtar lulus kelas satu di KW III School. Algemeen Handelsblad,
27-03-1941 Baharsjah Mochtar tercatat sebagai bendahara Clubhuis Indonesia di
Leiden.
Dalam daftar orang-orang
yang dieksekusi selama pendudukan Jepang termasuk Dr. Achmad Mochtar, Ph.D. Kabar
eksekusi ini dilaporkan pada bulan November 1945. Disebutkan Prof. Achmad
Mochtar, dieksekusi pada umur 54 tahun pada tanggal 3 Juli 1945.
Het dagblad: uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 03-11-1945: ‘Pengadilan Militer Batavia
dilaksanakan di Batavia. Dalam daftar orang yang telah dieksekusi (diantaranya)
Prof. Achmad Mochtar, dieksekusi pada umur 54 tahun pada tanggal 3 Juli 1945’.
Dr. Achmad Mochtar, Ph.D
telah tiada. Dokter yang patriot ini meninggalkan seorang istri, Siti Hasnah
dan satu orang anak, Imramsjah Ade Mochtar. Dr. Achmad Mochtar menikah dengan
Siti Hasnah di Makassar pada tanggal 30 Juni 1916. Imramsjah Ade Mochtar lahir
di Padang Sidempoean 4 Maret 1919, sementara abangnya Baharsjah Mochtar juga lahir
di Padang Sidempoean tahun 1918. Dr. Achmad Mochtar setelah lulus kuliah di
STOVIA bertugas untuk membantu Dr. W. Schuffner dalam pemberantasan penyakit
malaria di Tapanoeli (1916-1921) yang berkedudukan di Padang Sidempoean.
Besar kemungkinan Imramsjah Ade
Mochtar berangkat studi ke Belanda atas bantuan beasiswa Belanda, karena Prof.
Achmad Mochtar telah menjadi salah satu korban dari keganasan militer Jepang. Belanda
kembali setelah berakhir pendudukan Jepang. Jasa Dr. Achmad Mochtar, Ph.D
selama era kolonial Belanda telah banyak membantu pemberantasan penyakit tropis
epidemik termasuk di Tapanoeli. Boleh jadi atas dasar itu, Imramsjah Ade
Mochtar diberikan beasiswa pendidikan.
De nieuwsgier,
02-03-1951: ‘Karena ada keluhan oleh Presiden, diperintahkan oleh Jaksa Agung,
ex officio, Mochtar Lubis redaktur Indonesia Raya, Senin dipanggil oleh kepala
jaksa A. Karim sehubungan dengan tulisan dimana presiden adalah yang
bertanggung jawab atas kematian banyak orang Indonesia selama pendudukan’
Sejak Mochtar Lubis
mengapungkan kasus romusha dimana Soekarno dan Mohamad Hatta adalah ketua dan
wakil ketua dewan bentukan pemerintah militer Jepang yang membawahi romusha,
pers semakin ditekan pemerintah. Mochtar Lubis lalu memimpin demonstrasi kebebesan
pers. Dalam fase inilah Imramsjah Ade Mochtar masih mampu meraih gelar doktor
(Ph.D) di Universiteit Amsterdam pada tahun 1954, gelar yang pernah diraih oleh
sang ayah pada tahun 1927 di kampus yang sama. Like father, like son.
De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 19-06-1954 |
Setelah meraih gelar
doktor, Dr. Imramsjah Ade Mochtar, Ph.D tidak kembali ke tanah air. Boleh jadi Dr.
Imramsjah Ade Mochtar, Ph.D sangat tertekan karena meninggalnya sang ayah
secara tragis. Boleh jadi untuk meminimalkan trauma tersebut, Dr. Imramsjah Ade
Mochtar, Ph.D dengan sadar memilih menjadi warga negara Belanda.
De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 01-07-1954 |
Dr. Imramsjah Ade Mochtar,
Ph.D telah memilih dimana dia tingga sebagai warga negara. Persoalan menjadi
kembali kompleks. Untuk menyederhanakan berbagai macam pikiran dan perasaan
yang muncul dan terus mempengaruhi, Dr. Imramsjah Ade Mochtar, Ph.D harus
memilih satu kewarganegaraan: sedikit menyingkirkan kesedihan di tanah
kelahiran untuk mendapatkan sedikit kegembiraan di negara yang baru di Belanda.
Silsilah Keluarga Dr. Achmad
Mochtar, Ph.D
Dr. Achmad Mochtar, Ph.D
adalah orang hebat di dalam keluarga yang hebat di lingkungan kekerabatan yang
hebat pula. Secara sosial, bakat yang ada di dalam diri Dr. Achmad Mochtar,
Ph.D tersemai, tumbuh dan berkembangan di dalam lingkungan kekerabatam yang egaliter
yang lebih menomorsatukan arti ilmu pengetahuan dari daripada adat istiadat
yang bertumpu pada haradjaon. Dr. Achmad Mochtar, Ph.D telah menjadi
pucuk-pucuk peradaban baru tersebut. Oleh karena itu Dr. Achmad Mochtar, Ph.D
menjadi pusat perhatian yang kemudian memunculkan pertanyaan baru: Bagaimana
asal usul (keluarga) Dr. Achmad Mochtar, Ph.D.
Riwayat Dr. Achmad Mochtar, Ph.D
telah banyak ditulis (diberitakan dan dibukukan). Tenpo.co telah menyajikan
sejumlah artikel yang mendeskripsikan hasil investigasi tentang Dr. Achmad
Mochtar, Ph.D. Di dalam artikel itu terungkap beberapa nama anggota keluarga Achmad
Mochtar.. Ayah Achmad Mochtar bernama Omar dan ibunya Roekajah. Saudara
perempuan Achmad Mochtar.adalah Siti Chairani. Beberapa cucu yang dari garis
kekerabatan keluarga Achmad Mochtar dan Siti Chairani adalah Siti Chairani Proehoeman
dan Siti Roebaijat Proehoeman. Yang kini tinggal di rumah (orang tua) Achmad
Mochtar di Bonjol adalah Februman Proehoeman, ayah dari Siti Chairani Proehoeman.
Dari sumber Cakrawala.co Siti Chairani Prohoeman menyebut opa Omar (ayah Achmad
Mochtar) adalah seorang guru yang berasal dari Mandailing di Tapanuli. Sementara
itu Februman Proehoeman adalah anak dari Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D. Sedangkan
ayah dari Sjoeib Proehoeman adalah seorang dokter hewan, Si Badorang gelar
Radja Proehoeman yang berasal dari Pakantan, Tapanuli.
Dr. Achmad Mochtar, Ph.D
lahir di Bonjol tahun 1892 sementara Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D lahir di
Pajakoemboeh tahun 1894. Dua dokter bergelar doktor ini kemudian menjadikan
nama ayah mereka sebagai penulisan nama belakang (lastname) mereka. Cara itu
menjadi tradisi baru di lingkungan elit (pejabat dan orang-orang terpelajar),
seperti Egon Hakim (dari nama ayah Abdoel Hakim), Gele Haroen (Haroen Al
Rasjid), Chaeroel Saleh (Achmad Saleh), Irsan Radjamin (Radjamin). Tentu saja
Agoes Salim (Soetan Salim), Meutia Hatta (Mohamad Hatta), Sangkot Marzoeki
(Marzoeki).
Omar (ayah Achmad Mochtar) adalah
seorang guru yang berpindah-pindah dari Mandailing ke West Sumatra dan Zuid
Sumatra. Nama Omar tidak ditemukan dalam surat kabar sejaman, yang ada adalah
nama Mochtar. Guru Mochtar adalah guru pribumi yang sangat memperhatikan
pendidikan penduduk pribumi (cf. De Indische courant,17-02-1926). Dalam usia
tinggi guru Mochtar masih aktif di dunia pendidikan sebagai kepala sekolah HIS
di Moearaenim (Bataviaasch Nieuusblad, 13-07-1937). Disebutkan, Mochtar gelar
Soetan Negeri sebelum menjadi guru HIS mengikuti kursus guru utama di Bandoeng.
Seperti halnya, dokter Si Badorang gelar Radja Proehoeman (ayah Dr. Sjoeib
Proehoeman, Ph.D), guru Mochtar (ayah Dr. Achmad Mochtar, Ph.D) besar
kemungkinan adalah alumni sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean
(1879-1892). Nama-nama Proehoeman dan Mochtar telah menjadi nama generik di
dalam keluarga masing-masing untuk penanda generasi berikutnya (saat itu
penggunaan nama marga sebagai family name, surname atau last name. Oleh
karenanya, Soetan Sjahboedin Proehoeman (alumni Landboew School, adik Dr. Achmad Mochtar, Ph.D) mematenkan nama Proehoeman
sebagai nama keluarga, untuk mengikuti tradisi orang-orang Eropa/Belanda (Bataviaasch
nieuwsblad, 16-12-1927). Pematetan nama keluarga ini dilakukan Soetan
Sjahboedin Proehoeman untuk digunakan oleh keturunan dari Proehoeman. Saat itu
penggunaan nama clan (seperti Nasution, Harahap, Lubis dan Siregar) nyaris
tidak ada kecuali beberapa nama orang di lingkungan misionaris. Dua orang
pertama yang menggunakan nama marga (clan) sebagai lastname baru dua orang
yakni Abdoel Azis Nasoetion gelar Soetan Kenaikan di Lambouw School di Buitenzorg
(1914) dan Parada Harahap, editor surat kabar Benih Mardeka di Medan (1918).
Hubungan Keluarga Mochtar dengan Keluarga Proehoeman |
Keluarga Proehoeman di
Soerabaja tidak sendiri, Keluarga-keluarga dokter yang berasal dari Mandailing
dan Angkola di Kota Soerabaja lainnya adalah keluarga Dr. Radjamin Nasution
(yang menjadi wali kota pribumi pertama di Soerabaja). Dr. Radjamin Nasution
juga memiliki putra dan putri yang bestatus dokter. Putri Dr. Radjamin Nasution
menikah dengan Dr. Amir Hoesin Siagian yang juga tinggal di Soerabaja. Tentu
saja keluarga Dr. Achmad Nawir dan apoteker Ismail Harahap tinggal di Soerabaja.
Dr. Achmad Nawir adalah kapten tim sepak bola Indonesia di Piala Dunia Prancis
tahun 1938. Sedangkan Ismail Harahap adalah ayah dari Datoe Oloan Harahap alias
Ucok AKA (pionir musik rock Indonesia). Keluarga-keluarga dokter yang berasal
dari Mandailing dan Angkola di Kota Padang antara lain adalah keluarga Dr.
Abdoel Hakim (wali kota pribumi pertama di Kota Padang). Juga terdapat keluarga
dokter asal Mandailing dan Angkola di Kota Telok Betong/Tandjong Karang antara
lain keluarga Dr. Haroen Al Rasjid (ayah dari Ida Loemongga, perempuan
Indonesia pertama bergelar doktor (Ph.D) dan ayah dari Mr. Gele Haroen (residen
pertama Lampoeng). Sudah barang tentu di Batavia/Djakarta terdapat banyak keluraga
dokter asal Mandailing dan Angkola. Selain tentunya keluarga Dr, Achmad Mochtar,
PhD sendiri, juga keluarga Dr. Sorip Tagor dan keluarga Dr. Sangkot Marzoeki,
Ph.D. Pada masa ini, Dr. Sorip Tagor Harahap pendiri Sumatra Sepakat
(Sumatranen Bond) di Belanda tahun 1917, lebih dikenal sebagai ompung dari
mereka ini: Inez Tagor, Risty Tagor dan Deisti Astriani Tagor (istri Ketua DPR
Setya Novanto).
Dr. Achmad Mochtar, Ph.D
menikah dengan Siti Hasnah (dari Makassar) pada tahun 1916. Mereka memiliki dua
anak Baharsjah Mochtar dan Imramsjah Ade Mochtar. Baharsjah Mochtar, kandidat
dokter telah meninggal tahun 1944 di Belanda. Dr. Imramsjah Ade Mochtar, Ph.D
yang meraih gelar doktor di Belanda tahun 1954, pada tahun 1960 telah beralih
kewarganegaraan menjadi warga negara Belanda (meninggal tahun 1980). Setelah
meninggalnya kandidat dokter Baharsjah Mochtar dan bergantinya kewarganegaraan
Dr. Imramsjah Mochtar, Ph.D, dengan sendirinya keturunan Dr. Achmad Mochtar,
Ph.D diduga tidak ada lagi di Batavia/Djakarta.
Sebagaimana telah
dideskripsikan di atas, Dr. Achmad Mochtar, Ph.D dari laboratorium di Semarang
ke Geneeskundig Laboratorium di Batavia pada bulan Mei 1937 yang juga
diperbantukan di DVG dalam penanganan penyakit kusta. Laboratorium Batavia ini
juga dikenal sebagai Laboratorium Eijkman, sedangkan DVG adalah Kantor Dinas
Kesehatan Batavia yang berlokasi di Tjikinie.
Geneeskundig Laboratorium di Batavia
didirikan tahun 1888 yang mana Christiaan Eijkman diangkat sebagai direktur
pertama (sejak 15 Januari 1888 hingga 4 Maret 1896). Pada tahun 1897, Dr. W.
Schuffner, lulusan dokter Jerman direkrut oleh perusahaan perkebunan besar Senembah
Mij di Deli untuk mengepalai rumah sakit Senembah Mij di Tandjong Morawa. Dr.
W. Schuffner juga mulai membangun laboratorium di rumah sakit Senembah. Sudah
barang tentu ketika Dr. W. Schuffner kerap datang ke Geneeskundig Laboratorium di
Batavia untuk mendiskusikan temuannya di Deli dengan para kolega di Batavia, Dr.
Christiaan Eijkman sudah kembali ke Eropa/Belanda. Pada tahun 1916 Dr. W.
Schuffner yang sudah diangkat menjadi Inspektur DVG memerlukan dokter muda
untuk membantunya dalam menangani endemik malaria di Tapanoeli. Dokter muda
yang dicari mengarah kepada Dr. Achmad Mochtar yang baru lulus dan ditempatkan
di rumah sakit CBZ di Weltevreden (kini RSPAD). Oleh karena pusat endemik
malaria itu berada di Afdeeling Mandailing dan Angkola, maka biodata Dr. Achmad
Mochtar sangat sesuai. Dr. Achmad Mochtar memiliki keterikatan dekat dengan Mandaling
dan Angkola karena selain ayahnya berasal dari Afdeeling Mandailing en Angkola
juga bisa berbahasa Batak dan mengenal adat dan kebiasaan di Tapanoeli.
Dr. Achmad Mochtar, Ph.D
ketika di Semarang berposisi sebagai kepala Laboratorium Semarang, Ketika
dipindahkan ke Laboratorium Batavia posisinya sebagai wakil kepala untuk
membantu direktur, Dr. WK Mertens, Ph.D. Dalam hal ini Dr. Achmad Mochtar, Ph.D sendiri
adalah mantan ‘murid’ terbaik Prof. Dr. W. Schuffner baik selama melakukan
penelitian di Mandailing dan Angkola maupun selama di Belanda (saat mana Dr. Achmad
Mochtar tengah mengikuti program doktoral di Universiteit Amsterdam). Dengan
bergabungnya Dr. Achmad Mochtar, Ph.D, Laboratorium Batavia (Laboratorium
Eijkman) menjadi sebuah laboratorium berprestasi di bidang penelitian kedokteran.
Pada pendudukan Jepang, sejumlah pribumi yang memiiki portofolio tinggi direkrut
militer Jepang untuk diangkat pada berbgai posisi.
Di Soerabaja, Dr. Radjamin Nasution
diangkat menjadi Wali Kota Soerabaja dan Dahlan Abdoellah diangkat menjadi Wali
Kota Batavia. Sebelumnya Ir. Soekarno sudah diangkat menjadi Ketua Dewan Pusat
di Batavia dan ketua dewan di sejumlah daerah. Di Residentie Tapanoeli ketua
dewan diangkat Abdoel Hakim Harahap (kelahiran Saroelangoen Djambi 1905); di
Deli yang berkedudukan di Medan diangkat Mr. Loeat Siregar dan di Midden
Sumatra yang berkedudukan di Fort de Kock/Bukittinggi diangkat Adinegoro. Untuk
kepala laboratorium di Batavia diangkat Dr. Achmad Mochtar, Ph.D.
Beberapa waktu kemdian
setelah Dr. Achmad Mochtar, Ph.D menjabat sebagai Direktur Laboratorium Batavia
muncullah kasus dimana romusha banyak yang meninggal di Kelender akibat
suntikan serum tertentu. Atas kejadian ini pemerintah militer Jepang menjadikan Dr. Achmad
Mochtar, Ph.D sebagai kambing hitam. Lalu sejumah dokter ditangkap, ditahan dan
beberapa diantaranya harus dibunuh. Diantaranya yang dilenyapkan alias dibunuh adalah
Dr. Achmad Mochtar, Ph.D dan dokter muda Dr, Soeleiman Siregar (lulus dokter di
Belanda tahun 1935). Sejumlah dokter yang dilepas antara lain Dr. Joehana, Dr. Hanafiah
dan Dr. Marzoeki.
Sejak tiadanya Dr. Achmad Mochtar,
Ph.D, kinerja Laboratorium Batavia (Laboratorium Eijkman) kinerjanya mulai
kendor. Dengan berakhirnya era orde lama di bawah rezim Ir. Soekarno,
Laboratorium Batavia dilikuidasi dan diintegrasikan dengan rumah sakit pusat
yang baru (kini rumah sakit Tjipto Mangoenkoesoemo), Catatan: Dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo adalah teman sekelas Dr. Abdoel Hakim Nasution (mantan wali
kota Padang) ketika kuliah dan juga sama-sama lulus tahun 1905 di Docter Djawa
School (rumah sakit pusat yang lama, kini RSPAD).
Pada era orde baru
(rezim Soeharto) Laboratorium Batavia (Laboratorium Eijkman) dihidupkan
kembali. Ini terkait dengan perekrutan BJ Habibie dari Jerman (menjadi Menteri
Ristek). Dalam arsitektur ristek ala Habibie kala itu termasuk di dalamnya
Laboratorium Batavia/Djakarta alias Laboratorium Eijkman. BJ Habibie kemudian
merekrut seorang dokter bereputasi internasional, peneliti utama di Australia
untuk diposisikan sebagai pemimpin Laboratorium Eijkman yakni Dr. Sangkot
Marzoeki, Ph.D.
Saat itu Dr. Sangkot Marzoeki, Ph.D adalah orang
Indonesia yang memiliki portofolio tertinggi di bidang penelitian kedokteran. Dr.
Sangkot Marzoeki, Ph.D lahir di Medan. Keluarga
Marzoeki memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Wakil Presiden Adam Malik (sama-sama
satu marga Batubara) dan keluarga Soetan Pangoerabaan Pane. Nenek Dr. Sangkot
Marzoeki, Ph.D adalah adik dari Soetan Pangoerabaan Pane (mantan guru dan sastrawan
lokal terkenal di Mandailing dan Angkola). Soetan Pangoerabaan Pane, lahir di
Sipirok kelak lebih dikenal sebagai ayah dari Sanoesi Pane dan Armijn Pane
(sastrawan terkenal) serta ayah dari Lafran Pane (pendiri HMI di Djogjakarta
tahun 1947). Sanoesi Pane dan Armijn Pane sendiri sejatinya pernah kuliah di
STOVIA, karena lebih menyukai sastra seperti ayahnya, dua bersaudara ini meninggalkan
bidang kedokteran dan mulai menggeluti bidang bahasa dan sastra. Selain Dr.
Sangkot Marzoeki, Ph.D, juga BJ Habibie membutuhkan peneliti-peneliti di bidang
lain, antara lain: peneliti di bidang tanaman pangan, Dr. Zainoeddin Harahap
(peneliti padi); peneliti di bidang tanaman keras Ir, Hasjroel Harahap
(kemudian menjadi Menteri Kehutanan); dan peneliti di bidang keuangan, alumni
Belanda Dr. Arifin Siregar (kemudian menjadi Gubernur BI dan Menteri
Perdagangan).
Di sela-sela tugasnya
sebagai Direktur Laboratorium Eijkman, Dr. Sangkot Marzoeki, Ph.D melakukan
penyelidikan terhadap kasus romusha di Klender pada era pendudukan Jepang yang
menimpa dan dijadikan korban Dr. Achmad Mochtar, Ph.D dan kawan-kawan.
Penyelidikan itu dilakukan oleh Dr. Sangkot Marzoeki, Ph.D dengan Dr. Kevin
Baird, Ph.D dari Inggris. Hasil penyelidikan tersebut telah dibukukan dan
diterbitkan dengan judul War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case of
Murder by Medicine yang dilaunching pada tanggal 3 Juli 2015 (tepat tujuh puluh
tahun lalu, Dr. Achmad Mochtar, Ph.D tewas dieksekusi dengan sadis oleh militer
Jepang. Pada intinya, buku ini menggarisbawahi bahwa Dr. Achmad Mochtar, Ph.D dikorbankan
Jepang yang tengah bereksprimen membuat vaksin tetanus dengan ‘kelinci
percobaan’ para romusha. Inilah kisah dua keluarga dokter dua generasi: Dari Dr.
Achmad Mochtar, Ph.D kepada Dr. Sangkot Marzoeki, Ph.D.
Last but not least: Salah satu
peneliti terbaik di Eijkman Istitute (dulu Laboratorium Eijkman) adalah Dr. Alida Roswita Harahap, Ph.D. Selain sebagai peneliti, Dr. Alida Roswita Harahap,
Ph.D juga sebagai pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sementara itu, di Fakultas Farmasi Universitas Indonesia juga terdapat srikandi
peneliti di bidang farmasi, Prof. Dr. Yahdiana Harahap, MS, Apt. Mereka ini adalah
generasi lebih lanjut dari peneliti-peneliti bidang kedokteran sebelumnya: Dr.
Achmad Mochtar, Ph.D dan Dr. Sangkot Marzoeki, Ph.D.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar