*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini
Dr. Sjoeib Proehoeman tidak asing dengan Residentie West Sumatra. Dr. Sjoeib Proehoeman lahir di Paijakoemboeh. Dr. Sjoeib Proehoeman meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam tahun 1930 dengan judul desertasi: ‘Studies over de epidemiologie van de ziekte van Weil, over haren verwekker en de daaraan verwante organismen’. Dr. Sjoeib Proehoeman sangat menguasai tiga penyakit epidemik yang paling menakutkan: malaria, TBC dan kepra.
Dr. Sjoeib Proehoeman tidak asing dengan Residentie West Sumatra. Dr. Sjoeib Proehoeman lahir di Paijakoemboeh. Dr. Sjoeib Proehoeman meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam tahun 1930 dengan judul desertasi: ‘Studies over de epidemiologie van de ziekte van Weil, over haren verwekker en de daaraan verwante organismen’. Dr. Sjoeib Proehoeman sangat menguasai tiga penyakit epidemik yang paling menakutkan: malaria, TBC dan kepra.
Nieuwsblad van het Noorden, 20-11-1930 |
Sejarah keluarga Sjoeib
Proehoeman belum pernah ditulis, Demikian juga kisah sukses Dr. Sjoeib
Proehoeman juga belum pernah ditulis. Padahal sumbangan keluarga ini cukup
signifikan dalam pembangunan pertanian dan kesehatan masyarakat. Untuk
menabalkan dedikasi keluarga terpelajar ini ada baiknya sejarah mereka ditulis.
Mari kita mulai.
De Nederlander: nieuwe Utrechtsche courant, 19-01-1855 |
Sjoeib Proehoeman diterima
di STOVIA tahun 1909. Pada tahun 1910 Sjoeib Proehoeman naik kelas dari kelas
satu ke kelas dua tingkat persiapan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 08-08-1910).
Yang naik dari kelas tiga ke kelas satu tingkat medik antara lain Achmad
Mochtar. Dari kelas tiga ke kelas empat tingkat medik antara lain Sardjito. Dari
kelas dua ke lelas tiga antara lain Mamoer Al Rasjid, Dari kelas tiga ke kelas
empat antara lain Moh. Sjaaf. Pada kelas-kelas terakhir terdapat antara lain Soetomo,
Radjamin Nasution, Goenawan Maugoenkoesoemo, JA Latumeten dan Soeleiman, Pada
tahun 1912 Sjoeib Proehoeman pulang kampung (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 27-07-1912). Sjoeib Proehoeman bersama Mamoer Al Rasjid satu
kapal Camphuys berangkat dari Batavia.
Sjoeib turun di Padang dan Mamoer Al Rasjid turun di Sibolga.
Mengapa Sjoeib Proehoeman turun di
Padang sementara ayahnya sudah sejak lama pindah ke Sibolga. Boleh jadi Sjoeib
Proehoeman ingin pulang ke kampungnya di Pakantan (Onder Afdeeling Oeloe en
Pakantan, Afdeeling Padang Sidempoean, Residentie Tapanoeli). Untuk menuju ke
Pakantan lebih singkat dari Padang jika dibandingkan dari Sibolga.
Sjoeib Proehoeman
diberitakan lulus STOVIA tahun 1917 (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 13-12-1917). Yang lulus bersamaan dengan Sjoeib Proehoeman
antara lain Aulia dan Johan Nainggolan. Pada tahun 1918 Sjoeib Proehoeman diangkat
sebagai dokter pemerintah ditempatkan di kantor pusat di Batavia (Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie. 03-06-1918). Pada tahun 1919 Sjoeib
Proehoeman dipindahkan ke Padang Sidempoean (De Sumatra post, 26-06-1919).
Tidak lama kemudian Sjoeib Proehoeman dipindahkan ke Panjaboengan (Bataviaasch
nieuwsblad, 29-10-1919). Jarak antara Panjaboengan dan Pakantan cukup dekat. Sjoeib
Proehoeman dipindakan lagi ke Solok (De Preanger-bode, 21-06-1920) dan yang
menggantikan adalah Dr. Abdoel Rasjid (De Preanger-bode, 21-06-1920). Tidak
lama kemudian dipindahkan lagi kembali ke Batavia sebagai direktur
institut-koepok darat dan Institut Pasteur di Weltevreden. Pada tahun 1921 Sjoeib
Proehoeman dicalonkan untuk anggota dewan kota (gemeenteraad) Batavia (Bataviaasch
nieuwsblad, 02-04-1921). Sjoeib Proehoeman dipindahkan ke Tahoena, Manado (De
Preanger-bode, 26-08-1921). Setelah cukup lama di Taroena kembali dipindahkan
ke Midden Java (De Preanger-bode, 22-07-1924).
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 22-06-1886 |
Sjoeib Proehoeman diberi
kesempatan untuk melanjutkan studi ke Belanda (Bataviaasch nieuwsblad,
31-05-1926). Beberapa teman-temannya yang sudah pulang ke tanah air adalah
Soewarno (lulus 1919), Sardjito dan Mohamad Sjaaf (1923), JA Latumeten (1924);
R Soesilo dan HJD Apituley (1925). Teman-teman lain yang masih berada di
Belanda adalah Achmad Mochtar, AB Andoe, T. Mansoer, RM Saleh, MH Soelaiman, M.
Antariksa dan Seno Sastroamidjojo.
Sjoeib Proehoeman berangkat dengan
kapal Tambora dari Batavia tanggal 23 Juni 1926 menuju Rotterdam (Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 22-06-1926).
Sjoeib Proehoeman bersama istri dan satu anak. Tanggal 17 Juli tiba di
Rotterdam (Algemeen Handelsblad, 20-07-1926).
Sjoeib Proehoeman dan
Aulia dinyatakan lulus ujian pertama dokter di Amsterdam (Algemeen Handelsblad,
12-12-1928). Sjoeib Proehoeman dinyatakan lulus dokter (Algemeen Handelsblad,
13-11-1929). Disebutkan Sjoeib Proehoeman lahir di Pajakoemboeh.
Bataviaasch nieuwsblad, 10-07-1908 |
De Sumatra post, 26-11-1930: ‘Dr. Sjoeib
Proehoeman. Disini, di kota kami (Medan) menerima berita bahwa kandidat Ph.D di
Universitas Amsterdam telah dipromosikan menjadi Ph.D dalam bidang kedokteran,
Sjoeib Proehoeman. Dokter baru itu adalah seorang dokter pribumi dan berangkat ke
Belanda beberapa tahun yang lalu untuk melanjutkan studinya. Dia adalah
seseorang dari Tapanoeli, dimana dia juga bekerja sebagai dokter pribumi dalam
perang melawan malaria di Penjaboengan, wilayah yang sebelumnya dikenal sebagai
wabah malaria. Promotor pada promosi tersebut adalah Prof. dr. Dr. Sehuffner’.
Pada tahun 1924 siswa yang diterima di
STOVIA harus MULO dan lama studi menjadi delapan tahun. Jumlah dokter pribumi dengan
latar belakang ELS di Hindia Belanda hingga tahun 1924 sebanyak 181 orang
dimana 15 orang melanjutkan studi ke Belanda (12 orang telah kembali/pulang). Dr.
Sjoeib Proehoeman yang sudah menyelesaikan pendidikan dokter di Belanda telah
menambah daftar prbumi yang meraih gelar dokter lisensi Eropa/Belanda.Tidak
hanya itu, Sjoeib Proehoeman juga telah menambah daftar orang pribumi yang
meraih gelar doktor (Ph.D).
Sjoeib Proehoeman pulang
kembali ke tanah air tanggal 3 Desember dari Amstedam naar Batavia(De
Telegraaf, 02-12-1930). Kapal yang membawa mereka akan tiba di Belawan tanggal
30 Desember 1930 (De Sumatra post, 29-12-1930). Dalam manifes kapal tercatat
atas nama Sjoeib Proehoeman dan istri dengan dua anak. Ini berbeda jumlah
anggota keluarga Sjoeib Proehoeman ketika berangkat ke Belanda pada tahun 1926.
Dengan kata lain selama di Belanda telah lahir anak kedua Sjoeib Proehoeman. Sebuah
laporan pada tahun 1918, jumlah mahasiswa pribumi yang kuliah di bidang
kedokteran di Belanda sebanyak 22 orang (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig
dagblad, 01-02-1919).
Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D telah menambah daftar orang terpelajar asal Afdeeling
Padang Sidempoean (Mandailing er Angkola) yang meraih gelar Ph.D. Sebelumnya, Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi
lahir di Batang Toroe meraih gelar doktor di bidang hukum di Universiteit
Leiden tahun 1925 dengan desertasi berjudul ‘Het grondenrecht in de
Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengon en het Karoland’. Setelah itu Achmad Mochtar lahir di Bondjol meraih
gelar doktor di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam tahun 1927 dengan
desertasi berjudul ‘Onderzoekingen omtrent eenige leptosptrenstammen’. Lalu
kemudian menyusul Ida Loemongga
lahir di Padang meraih gelar doktor di bidang kedokteran di Universiteit
Amsterdam 1931 dengan desertasi berjudul ‘Diagnose en prognose van aangeboren
hartgebreken’. Setahun kemudian menyusul Aminoedin
Pohan lahir di Sipirok meraih gelar doktor di bidang kedokteran di
Universiteit Utrecht 1932 dengan desertasi berjudul ‘Abortus: voorkomen en
behandeling’, Tahun berikutnya Todoeng
Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia lahir di Padang Sidempoean meraih
gelar doktor di bidang filsafat di Universiteit Leiden 1933 engan desertasi
berjudul ‘Het primitieve denken in de moderne wetenschap'. Dalam daftar ini
dapat ditambahkan yang paling populer Masdoelhak
Nasution lahir di Sibolga meraih gelar doktor di bidang hukum di
Universiteit Leiden 1943 dengan desertasi berjudul ‘De plaats van de vrouw in
de Bataksche Maatschappij’.
Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D dan Dr.
Aminoeddin Pohan, Ph.D: Gerakan Dr. Abdoel Rasjid
Setelah meraih Ph.D, Sjoeib
Proehoeman kembali ke kantor pusat di Batavia (Departemen Kesehatan) dan
ditempatkan di rumah sakit pusat di Batavia. Namun tidak lama kemudian, Dr. Sjoeib
Proehoeman dipromosikan sebagai dokter pemerintah ke kantor regional di Sibolga
(De Indische courant, 05-02-1931). Ini bagi Sjoeib Proehoeman seakan kembali ke
rumah orangtuanya di Sibolga (tidak diketahui apakah ayah dan ibunya masih
hidup)..
Dr. Sjoeib Proehoeman adalah pejabat
pribumi tertinggi di Sibolga, ibukota Residentie Tapanoeli. Dalam
perkembangannya istri Sjoeib Proehoeman menginisiasi dibentuknya organisasi
kaum perempuan (De Sumatra post, 19-11-1931). Boleh jadi ingin meniru
organisasi perempuan yang sudah didirikan di Medan, Setia Istri (semacam
organisasi PKK pada masa ini). Organisasi yang dibentuk di Sibolga bertujuan untuk
mewakili peran wanita. Dewan adalah sebagai berikut: Ny. Dr. S. Proehoeman sebagai
ketua; Ny. Maharadja Hamonangan (wakil ketua), Ny. Patoean Harahap (sekretaris);
Nn. J. Habsah dan Nn. Tambat (bendahara), dan beberapa ketua bidang.
Dr. Sjoeib Proehoeman
tidak hanya sebagai kepala dinas kesehatan tetapi juga difungsikan sebagai
dokter medis di Sibolga (Bataviaasch nieuwsblad, 14-01-1932). Pada situasi ini boleh jadi Dr. Sjoeib Proehoeman dan
Dr. Abdoel Rasjid telah berdiskusi sehubungan dengan kabar bahwa Dr. Aminoeddin
Pohan akan segera meraih gelar doktor (Ph.D) di Belanda. Ini adalah momen
terbaik bagi Dr. Abdoel Rasjid untuk membuat suatu proposal ke pusat (di Batavia)
agar Zuid Tapanoeli (Afdeeling Padang Sidempoean) memiliki sistem kesehatan
secara mandiri (pengelolan secara otonomi). Proposal ini sudah disampaikan Dr.
Abdoel Rasjid di sidang Volksraad. Ini sangat jarang terjadi dan mungkin
satu-satunya di Hindia Belanda.
Dr. Abdoel Rasjid alumni STOVIA
tahun 1914 (Bataviaasch nieuwsblad, 10-07-1914) adalah anggota Volksraad di
Batavia dari dapil Tapanoeli yang belum lama terpilih tahun 1931 (De Indische
courant, 19-01-1931). Dr. Sjoeib Proehoeman yang meraih Ph.D tahun 1930 dan Dr.
Aminoeddin Pohan yang meraih Ph.D tahun 1932 adalah adik kelasnya. Dr. Sjoeib
Proehoeman lulus STOVIA tahun 1917 dan Dr. Aminoeddin Pohan lulus tahun 1925 (Bataviaasch
nieuwsblad, 17-08-1925). Anggota Volksraad dari dapil Oostkuest Sumatra adalah
Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon. Dr. Abdoel Rasjid adalah
adik kandung Mangaradja Soeangkoepon.
Proposal Dr. Abdoel
Rasjid adalah untuk membentuk sistem kesehatan sendiri yang terpisah dengan
sistem kesehatan di Residentie Tapanoeli. Saat ini (dan biasanya) kepala
kesehatan berada di ibukota residentie. Di Residentie Tapanoeli dikepalai oleh
kepala dinas kesehatan yang dijabat oleh Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D. Di setiap
ibukota residentie terdapat rumah sakit umum. Meski Zuid Tapanoeli (Afdeeling Padang
Sidempoean) adalah bagian dari Residentie Tapanoeli, tetapi ada keinginan
(proposal Dr. Abdoel Rasjid) agar di Padang Sidempoean (ibukota Afdeeling
Padang Sidempoean) juga terdapat rumah sakit. Dr. Abdoel Rasjid mengharapkan Dr.
Sjoeib Proehoeman, Ph.D sebagai kepala dinas kesehatan residentie di Sibolga
(ibukota Residentie Tapanoeli) yang juga merangkap kepala rumah sakit di
Sibolga dan Dr. Aminoeddin Pohan, Ph.D untuk mengepalai rumah sakit yang (akan)
dibangun di Padang Sidempoean.
Pada bulan November 1932 diadakan
konferensi di Padang Sidempoean untuk membahas proposal Dr. Abdoel Rasjid (De
Sumatra post, 03-11-1932). Dalam konferensi ini juga turut dihadiri oleh Dr.
Offringa, hoofd van den Dienst der Volksgezondheid (DVG) yang langsung datang
dari Batavia. Hasil konferensi semua sepakat untuk meningkatkan layanan
kesehatan dan menaikkan status kesehatan penduduk di Zuid Tapanoeli yang
memiliki populasi sekitar 300.000 jiwa. Dr. Offringa setuju
dengan proposal tersebut. Lalu kemudian Dr. Offringa mengajak Dr. Abdoel Rasjid
untuk studi banding ke Rumah Sakit Petronella di Djogjakarta. Dr. Offringa meminta proposal pembangunan rumah sakit ini
dibiayai oleh Departemen Kesehatan dan proses persiapan dan pembangunan dipercayakan
kepada Dr. Abdoel Rasjid. Dalam perkembangannya, Dr. Abdoel Rasjid membuat skema
yang memungkinkan (lihat De Sumatra post, 09-06-1933). Dr. Abdoel Rasjid Zuid Tapanouli
akan disediakan oleh pemerintah seorang dokter pemerintah di Penjaboengan dan juga
dokter sipil di Padang Sidempoean. Menurut Dr. Abdoel Rasjid, ini akan
mendorong inisiatif swasta untuk mengurus perawatan pasien sendiri. Dr. Abdoel
Rasjid menekankan bahwa para dokter yang bekerja di Zuid Tapanoeli dan Sibolga,
salah satu dokternya berasal dari wilayah Zuid Tapaneoli sendiri. Dokter Sipil
yang ditempatkan di Padang Sidempoeam adalah Dr. Aminoedin Pohan, Ph.D dan
dokter pemerintah di Sibolga adalah Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D. Sementara untuk
praktik pribadi di Padang Sidempoean lebih lanjut diselenggarakan oleh Dr.
Mohamad Sen, sedangkan di Penjaboengan akan ditempatkan dokter pemerintahh, Moh.
Arif.
Sementara itu di Batavia
diumumkan bahwa Dr. Sjoeib Proehoeman termasuk dari enam dokter yang
dipromisikan sebagai dokter kelas satu di Hindia Belanda (De Sumatra post, 03-11-1933).
Dalam pengumuman berikutnya sebagaimana diberitakan De Sumatra post, 06-11-1933
bahwa Dr. Sjoeib Proehoeman ditempatkan sebagai dokter pemerintah kelas satu di
Sibolga, Tapanoeli.
Proposal Dr. Abdoel Rasjid sebelum
ini tampaknya berjalan lancar dan direspon pemerintah pusat dengan baik. Ini sehubungan
dengan penempatan Dr. Aminoedidin Pohan di Padang Sidempoean. Bataviaasch
nieuwsblad, 18-05-1933 melaporkan bahwa telah ditetapkan dokter yang
menjalankan DVG di onderafdeeling Angkola dan Sipirok dengan tempat di Padang
Sidempoean, sebagai institusi medis pemerintah yang akan dijabat oleh dokter
sipil dengan ruang lingkup layanan di onderfadeeling Angkola dan Sipirok,
Residentie Tapanoeli Dr. Aminoeddin Pohan, Ph.D, dokter sipil di Padang.
Sidempoean. Terminologi dokter sipil (swasta) dibedakan dengan dokter
pemerintah yang hanya bertugas di tingkat provinsi/residentie.
Kota Padang Sidempoean
adalah kota yang unik di Hindia Belanda. Kota Padang Sidempoean adalah ibukota
Afdeeling Mandailing en Angkola (kini Afdeeling Padang Sidempoean). Kota Padang
Sidempoean juga menjadi ibukota Onderafdeeling Angkola en Sipirok. Kota satelit
Kota Padang Sidempoean adalah Sipirok dan Batangtoroe (masing-masing jarak 30
km dari Kota Padang Sidempoean). Pada tahun 1921 jumlah dewan di Hindia Belanda
hanya sebanyak 53 dewan (lihat De Preanger-bode, 01-02-1921). Uniknya untuk
tingkat onderafdeeling (kecamatan) hanya Onderfadeeling Angkola en Siprok yang memiliki dewan. Jumlah
anggota dewan di Onderafdeeling Angkola en Sipirok sebanyak 23 orang
(Eropa/Belanda, pribumi dan Tionghoa). Dewan umumnya hanya terdapat di kota
(gemeente) dan beberapa gewest (kabupaten). Dewan kota (gementeraad) di
Residentie West Sumatra terdapat di Fort de Kock, Padang, Padang Pandjang dan
Sawahloento; di Province Oostkust Sumatra gemeenteraad terdapat di Bindjei,
Medan. Pematang Siantar, Tandjong Balai dan Tebing Tinggi. Di Residentie
Tapanoeli tidak ada gemeente dan satu-satunya yang memiliki dewan di Residentie
Tapanoeli adalah di Onderafdeeling Angkola en Sipirok.
Het nieuws van den dag voor NI, 27-11-1902 |
Karir Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D:
Riaouw, Soerabaja dan Malang
Setelah sukses
pengendalian penyakit malaria di Afdeeling Mandailing en Ankola beberapa tahun
yang lalu, kini Dr. Sjoeib Proehoeman mulai memikirkan pengendalian penyakit
tuberkulosis. Pada waktu pengendalian penyakit malaria dulu di Mandailing yang
dipimpin oleh Prof. dr. Dr. Sehuffner, Dr.
Sjoeib Proehoeman sejatinya pada tahap pembelajaran. Gurunya, Prof. dr. Dr.
Sehuffner yang membimbingnya dalam proses pengendalian penyakit malaria
tersebut. Dr. Sjoeib Proehoeman sungguh sangat serius karena sarang malaria di
Residentie Tapanoeli justru berada di kampung halamannnya sendiri di
Mandailing. Prof. dr. Dr. Sehuffner adalah orang yang mengarahkan Dr. Sjoeib
Proehoeman hingga mampu mencapai gelar doktor (Ph.D). Kini, Dr. Sjoeib
Proehoeman memimpin sendiri pemberantasan penyakit tuberkulosis.
Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D sebagai
kepala dinas kesehatan regional di Residentie Tapanoeli merancang desain baru
dalam pengendalian penyakit tuberkulosis di Residentie Tapanoeli. Dalam
struktur komite pemberantasan penyakit tuberkulosis ini, Dr. Sjoeib Proehoeman,
Ph.D tidak sendiri tetapi dibantu rekan sejawatnya, Dr. Aminoeddin, Ph.D (De
Sumatra post, 28-01-1935). Dua doktor ini sangat powerfull, selain keduanya memiliki
ilmu yang tinggi, kebetulan pekerjaan ini dilakukan di kampung mereka sendiri
di Tapanoeli. Pengendalian tuberkulosis ini, komite akan membentuk cabang di
seluruh wilayah Tapanoeli. Komite ini memiliki tim besar yang langsung dibawah
koordinasi oleh Resident Tapanoeli di Sibolga, Mr J. Thomas dan Asisten Residen
J. Bouwes-Bavink di Padang Sidempoean dan Asisten Residen J Ruychaver di
Taroetoeng. Pusat kendali dibuat di dua tempat. Pusat kendali di Sibolga
dipimpin oleh Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D. dan pusat kendali di Padang Sidempoean
dipimpin oleh Dr. Aminoedin Pohan, Ph.D.
Selesai sudah mendesain
sistem pengendalian penyakit malaria dan penyakit tuberkulosis di Residentie
Tapanoeli. Sukses ini kemudian menjadi perhatian pemerintah pusat dan
menugaskan Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D untuk melakukan yang sama di Riouw. Dibawah
program pemerintah pusat untuk pemberantasan penyakit epidemik di Hindia
Belanda, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D kemudian dipindahkan dari Sibolga (ibukota
Residentie Tapanoeli) ke Tandjong Pinang (ibukota Residentie Riouw). Bataviaasch
nieuwsblad, 13-06-1936 melaporkan bahwa Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D dipindahkan
ke Riouw sebagai Kepala Dinas Kesehatan Regional (di Residentie Riouw). Oleh
karena wilayah Riouw yang luas dan terdiri dari pulau-pulau yang banyak dan
wilayah pantai timur Sumatra, maka untuk tugas pengendalian tersebut melibatkan
militer dan memberikan Pelatihan Pelayanan Medis Militer di Tandjong Pinang. Dr.
Sjoeib Proehoeman menggantikan Dr. Gremmee, Ph.D (De Sumatra post, 01-07-1936).
ia akan bertindak sebagai dokter regional di tempat Dr. Gremmee.
Dalam pemberantasan penyakit malaria
ini di Residentie Riouw, inspektur DVG wilayah Sumatra bagian utara ikut terjun
langsung (De Sumatra post, 23-09-1937). Wilayah Riouw yang begitu luas selama
ini terdapat wilayah-wilayah yang jarang dikunjungi oleh petugas kesehatan dari
DVG. Dalam inspeksi yang dilakukan, inspektur wilayah yang ikut terjun langsung
didampingi oleh kepala dinas regional Riouw, Dr. Sjoeib Proejhoeman. Mereka
bahkan melakukan perjalanan inspeksi jauh ke Indragiri, dimana daerah-daerah
yang dekat dengan perbatasn (Djmabi/West Sumatra) juga dikunjungi. Daerah-daerah
tersebut bahkan akses pelayaran sungai sulit dilakukan harus dilakukan perjalanan
dengan berjalan kaki. Keseluruhan inspeksi yang disertai kepala wilayah DVG ini
berlangsung tiga minggu.
Setelah sukses di
Residentie Riaou, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D dipindahkan ke wilayah baru di
Oost Java (Bataviaasch nieuwsblad, 26-10-1938). Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D
dari Tandjong Pinang dipindahkan ke Kota Soerabaja. Dr. Sjoeib Proehoeman,
Ph.D akan mengepalai laboratorium besar
di Soerabaja. Untuk mengefektifkkan kapasitas Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D
selain berfungsi di laboratorium di Soerabaja, juga akan menjadi kepala dinas
kesehatan kota di Kota Soerabaja (De Indische courant, 20-12-1938). Selama ini
yang menjadi kepala dinas kesehatan kota adalah Dr/ JF Gerungan. Dr. Sjoeib
Proehoeman, Ph.D juga akan merangkap jabatan untuk wilayah kesehatan dibawah
wilayah Guberneur Oost Java. Di Soerabaja, salah satu anak Dr. Sjoeib
Proehoeman, Ph.D adalah Februman Soeleiman seorang yang tercatat jago dalam
permainan tennis lapangan (Soerabaijasch handelsblad, 10-11-1939).
Selama ini di wilayah Malang
termasuk wilayah endemik tuberkulosis. Komite yang sudah dibentuk beberapa
waktu sebelumnya kemudian diambil alih oleh Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D (De Indische courant, 22-05-1939). Komite yang dipimpin oleh Dr. Sjoeib Proehoeman,
Ph.D kemudian menda[at dukungan luas dari pihak swasta yang berkomitmen untuk memberikan
bantuan dan dukungan sumbangan finansial. Untuk mengefektifkan tugas ini, Dr. Sjoeib
Proehoeman, Ph.D diangkat menjadi kepala dinas kesehatan kota di Kota Malang (Soerabaijasch
handelsblad, 09-12-1939). Menurut laporan awal yang diterima dari komite sebelumnya
malaria dan TBC telah banyak mengakibatkan korban kematian (Soerabaijasch
handelsblad, 04-04-1940). Kasus kematian tidak hanya pribumi tetapi juga Eropa,
Tionghoa dan Arab. Oleh karena itulah dukungan swasta (perusahaan-perusahaan
perdagangan dan perkebunan) sangat mendukung kehadiran. Kini tanggungjawab
besar kembali berada di pundak Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D (yang memang memiliki
pengalaman untuk dua jenis penyakit ini).
Tanggungjawab Dr. Sjoeib
Proehoeman, Ph.D di wilayah Malang (kota dan kabupaten) kemudian ternyata tidak
hanya malaria dan tuberkulosis tetapi kasus-kasu penyakit kusta juga banyak
ditemukan (De Indische courant, 11-06-1941). Dalam inspeksi yang dilakukan di
beberapa daerah di wilayah Malang oleh Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D ternyata
juga terdapat kasus lepra di kalangan orang Eropa dan Tionghoa. Untuk mengatasi
permasalahan kusta ini, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D mulai merancang metode
pemberantasan lepra dengan cara pembiayaan gratis.
Dr. Sjoeib Proehoeman. Ph.D Menjadi
Arek Soerabaja dan Arek Malang
Pengalaman Dr. Sjoeib
Proehoeman di Malang dalam pengendalian tiga penyakit endemik yang menakutkan
membuat penduduk Malang sangat dekat dengan Dr. Sjoeib Proehoeman. Untuk
mendorong tumbuhnya persatuan bagi semua kalangan di Malang, Dr. Sjoeib
Proehoeman juga menggagas pembentukan organisasi sosial yang bersifat
keberagamaan. Dr. Sjoeib Proehoeman adalah seorang pendatang, seorang Tapanoeli
kelahiran Pajakoemboeh. Misi menggalang kebhinnekaan di pedalaman Jawa di
wilayah Malang juga menjadi perhatian Dr. Sjoeib Proehoeman diluar tugas-tugas
profesinya sebagai dokter yang ahli menangani tiga penyakit yang menakutkan
(malarian, tuberkulosis dan kusta).
Organisasi sosial kemasyarakatan di
Malang ini disebut Medan Pertemoean (De Indische courant, 30-09-1941). Mengapa
namanya menggunakan kata ‘medan’ padahal Dr. Sjoeib Proehoeman belum pernah ke
Kota Medan (alias BTL). Boleh jadi kata ‘medan’ bukan merujuk pada nama kota
tetapi kata ‘medan’ merujuk pada suatu pusat gaya yang bersifat sentifugal (menyatu
ke pusat pusaran). Organisasi kemasyarakatan Kota Malang yang disebut Medan
Pertemoean dipimpin oleh Dr. Sjoeib Proehoeman sendiri sebagai ketua. Untuk
wakil ketua dari kalangan Eropa/Belanda (Dr J Drad) untuk sekretaris Mr.
Latuharhary dan untuk bendahara Mr. Tttlitr. Untuk komisaris adalah seorang
Tapanoeli Latif Pane dan dan seorang Jawa, Raden Danoesastro. Sebagai pembina
Residen Malang, Mr Schwenke. Organisasi juga terdiri dari ketua-ketua bidang.
Tahun-tahun ini adalah
tahun yang sangat mencekam. Perang dunia tengah berlangsung dan hawanya sudah
terasa di Hindia Belanda khususnya di Jawa. Untuk mengantisipasi situasi yang
tidak menentu, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D mulai mempersiapkan tindakan
pencegahan atau mitigasi (Soerabaijasch handelsblad, 27-01-1942). Dr. Sjoeib Proehoeman,
sebagai dokter kota, mulai mengambil inisiatif dengan melakukan penggalangan
dana masyarakat untuk pembentukan rumah sakit-rumah sakit darurat yang disebar
diberbagai titik di seluruh kota. Sejumlah gudang yang tidak terpakai disulap
menjadi rumah sakit darurat.
Dr. Sjoeib Proehoeman. Ph.D: Pemain
Sepak Bola Menjadi Dosen Fakultas Kedokteran
Laki-laki asal
Mandailing dan Angkola (Afdeeling Padang Sidempoean) sangat menyukai sepak bola
tidak hanya para pemuda tetapi juga pada usia tinggi masih banyak yang menyukai
permainan laki-laki ini. Di Soerabaja, perantau asal Mandailing dan Angkola
tidak hanya tetap bermain sepak bola sampai umur tinggi tetapi juga aktif
membina perkembangan sepak bola.
Dr. Radjamin Nasution sejak
mahasiswa di STOVIA aktif bermain sepak bola. Klub sepak bola sekolah
kedokteran STOVIA, Docter Djawa Voetbal Club pada tahun 1909 kapten timnya
adalah Radjamin Nasution. Pada tahun 1923 Dr. Radjamin Nasution mendirikan
perserikatan sepak bola pribumi di Medan yang disebut Deli Voetbal Bond. Pada tahun 1929 di Padang Dr. Abdoel Hakim
Nasution mendirikan perserikatan sepak bola Minangkabaoe Bond. Pada tahun 1935,
Dr. Radjamin Nasution mendirikan perserikatan sepak bola perkantoran/perusahaan
yang dikenal sebagai SKVB. Pada tahun 1938 Kapten Tim sepak bola Indonesia
(baca: Hindia Belanda) ke Piala Dunia di Prancis adalah mahasiswa kedokteran
sekolah kedokteran NIAS di Soerabaja yang pada masa ini lebih dikenal sebagai
nama Achmad Nawir. Di dalam kampus nama Achmad Nawir ditulis sebagai Mohamad
Nawir. Namun di bidang lain seperti sepak bola nama Achmad Nawir hanya ditulis
Nawir saja. Mohamad Nawir alias Achmad Nawir atau Nawir diduga kuat berasal
dari Padang Sidempoean. Ketua SKVB di Soerabaja di era perang dan pasca
pengakuan kedaulatan RI adalah Dr. Irsan Radjamin (anak dari Dr. Radjamin Nasution).
Dr. Abdoel Hakim Nasution adalah wali kota pertama Kota Padang dan Dr. Radjamin
Nasution adalah wali kota pertama Kota Soerabaja.
Dr. Sjoeib Proehoeman.
Ph.D juga pemain sepak bola. Sjoeib Proehoeman sudah aktif bermain sepak bola
ketika kuliah di STOVIA. Bahkan pada usia tinggi Dr. Sjoeib Proehoeman. Ph.D
juga masih aktif bermain sepak bola di Soerabaja. Permainan sepak bola adalah
permaianan laki-laki, permainan keras dan sangat ketat dengan aturab
pelanggaran keras. Permainan sepak bola adalan permain yang mampu menghibur
banyak warga dan secara pribadi sangat menyehatkan tubuh. Sepak bola juga
adalah bagian yang tidak terpuisahkan dari perjuangan bangsa. Sepak bola meski
masih bisa dilakukan pada umur tinggi tetaplah sepak bola demikian juga dokter,
meski dokter telah memiliki pendikikan yang tinggi tetaplah dokter. Dokter
bermain sepak bola adalah hal yang biasa. Akan tetapi jika dokter yang ilmunya
tinggi dan bahkan dokter sudah menjabat wali kota tetapi masih bermain sepak
bola tentulah luar biasa. Pemain sepak bola juga ada yang diangkat sebagai
dosen.
De vrije pers: ochtendbulletin, 06-04-1951:
‘Fakultas kedokteran. Dengan keputusan Menteri Pendidikan, Dr. Sjoeib Proehoeman,
Ph.D, dokter di klinik dokter praktik di Soerabaja, ditunjuk sebagai dokter
kelas satu, di Departemen Bedah, Fakultas Kedokteran di Soerabaja’. Catatan:
Fakultas Kedokteran ini kelak bernama Universitas Airlangga.
Dr. Sjoeib Proehoeman,
Ph.D meski sudah menjadi dosen pada usia tinggi masih kuat untuk bermain sepak
bola. De vrije pers : ochtendbulletin, 08-08-1952 melaporkan pertandingan sepak
bola antara Tim Dokter melawan Tim Penerangan di Kota Soerabaja. Tim sepak bola
dari dokter-dokter Soerabaja akan berupaya untuk memenangkan pertandingan.
Kompetisi ini akan menjadi pertandingan pertama Final dari kompetisi SKVB
Soerabaja pada tanggal 12; Agustus di stadion Tambaksari. Tim Dokter adalah
sebagai berikut nama-namnya: Lasmono (31 tahun), Samsoenarjo (36 tahun), Han
Hian Yong (36 tahun), Shahat (38 tahun), Irsan Radjamin (34 tahun), Slamet (40 tahun). Dickmann (47 ahun); Sjoeib Proehoeman
(58 tahun), Paris (48 tahun) Rehatta (50 tahun) dan Sie Swi Don (41 tahun)’.
De vrije pers: ochtendbulletin, 19-02-1953:
‘Pertandingan sepak bola. Besok, seperti yang kita tahu, permainan sepak bola akan
dimainkan antara Tim SKVB dan tim Tiong Hoa. Hasil ini dimaksudkan untuk membantu
korban 'banjir di Belanda dan Atjeh. Sekitar pukul 18.00 pertandingan akan
diadakan di lapangan Tiong Hoa yang dimulai antara Korps Konsuler (konsulat
negara asing) dan Tim Dokter. Tim konsuler terdiri dari Schindler (konsulat negara AS), Naardjng
(Belanda), Tenn '(AS), Ibrahim (India), Pereira (Ceylón), Kemp (Inggris);
Bernardo (Philipina, Boden (Denmark, Vd Broek (Belanda, Inama (Jepang) dan Bar
(Prancis). Tim Dokter adalah Lasmono, Ibrahim, Han, Hay Yong, Samsoenarjo, Irsan
Radjamin, Effendi, Dickman, Lie Tjing Tik, Parijt, Sjoeib Proehoeman dan Ali’.
Tim Dokter masih aktif pada tahun 1953 (De vrije pers: ochtendbulletin, 23-07-1953).
Dr. Sjoeib Proehoeman,
Ph.D tetap tinggal di Soerabaja. Anak-cucu Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D tetap
tinggal di Soerabaja. Salah satu dari keturunan Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D adalah
satu profesi dan teman baik saya. Artikel ini juga didedikasikan buat teman saya, cucu Dr. Sjoeib Proehoeman,
Ph.D.
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar