Selasa, 19 Juni 2018

Sejarah Kota Padang (54): Sjoeib Proehoeman Kelahiran Payakumbuh Dokter Bergelar Ph.D (1930); Anak Dokter Hewan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini


Dr. Sjoeib Proehoeman tidak asing dengan Residentie West Sumatra. Dr. Sjoeib Proehoeman lahir di Paijakoemboeh. Dr. Sjoeib Proehoeman meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam tahun 1930 dengan judul desertasi: ‘Studies over de epidemiologie van de ziekte van Weil, over haren verwekker en de daaraan verwante organismen’. Dr. Sjoeib Proehoeman sangat menguasai tiga penyakit epidemik yang paling menakutkan: malaria, TBC dan kepra.

Nieuwsblad van het Noorden, 20-11-1930
Tidak banyak siswa pribumi yang bisa melanjutkan studi ke sekolah kedokteran. Hanya sedikit orang pribumi yang melanjutkan studi kedokteran ke Belanda. Diantara dokter-dokter hanya beberapa orang yang mampu meraih gelar doktor (Ph.D). Salah satu yang berhasil meraih jenjang pendidikan tinggi tersebut adalah Dr. Sjoeib Proehoeman. Ayah Sjoeib Proehoeman adalah lulusan sekolah kedokteran hewan (inlandsen veeartsen school) di Buitenzorg. Adiknya Soetan Sjahboedin adalah lulusan sekolah pertanian (inlandsen landbouw school) di Buitenzorg. Ini menunjukkan bahwa keluarga Dr. Sjoeib Proehoeman terbilang keluarga terpelajar.

Sejarah keluarga Sjoeib Proehoeman belum pernah ditulis, Demikian juga kisah sukses Dr. Sjoeib Proehoeman juga belum pernah ditulis. Padahal sumbangan keluarga ini cukup signifikan dalam pembangunan pertanian dan kesehatan masyarakat. Untuk menabalkan dedikasi keluarga terpelajar ini ada baiknya sejarah mereka ditulis. Mari kita mulai.

De Nederlander: nieuwe Utrechtsche courant, 19-01-1855
Sekolah kedokteran dimulai tahun 1851. Sekolah kedokteran tersebut disebut Docter Djawa School. Pada tahun 1854 mulai diterima siswa asal luar Jawa. Yang pertama adalah Si Asta dan Si Angan dari Afdeeling Mandailing dan Angkola. Dua siswa ini kemudian lulus tahun 1856 dan mendapat gelar Dokter Djawa (Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad : algemeen advertentie-blad, 02-04-1857).  Dua tahun berikutnya diterima dua siswa asal Mandailing dan Angkola yakni Si Toga gelar Dja Dorie dan Si Napang gelar Dja Bodie (lihat Bataviaasch handelsblad, 17-12-1859). Lama studi sekolah ini awalnya dua tahun dan kemudian tahun 1865 menjadi tiga tahun. Sejak tahun 1875 lama studi menjadi tujuh tahun. Dua dokter terkenal saat itu adalah Dr. Madjilis (asal Mandailing dan Angkola) dan Dr. Abdoel Rivai (asal Bengcoelen). Pada tahun 1890 siswa yang diterima harus lulusan ELS. Beberapa lulusan yang terkenal adalah Dr. Haroen Al Rasjid (lulus 1902), Dr. Mohamad Hamzah (1902), Dr. Abdoel Hakim (1905), Dr. Abdoel Karim (1905)  dan Dr. Tjipto Mangoengkoesoemo (1905).  Pada tahun 1902 lama studi menjadi sembilan tahun yang mana namanya berubah menjadi STOVIA. Lulusan pertama STOVIA antara lain Dr. Soetomo (1911) dan Dr. Radjamin Nasution (1912). Sejak tahun 1913 (STOVIA dan sekolah kedokteran yang baru di Soerabaja, NIAS) lama studi menjadi 10 tahun.

Sjoeib Proehoeman anak Radja Proehoeman

Sjoeib Proehoeman diterima di STOVIA tahun 1909. Pada tahun 1910 Sjoeib Proehoeman naik kelas dari kelas satu ke kelas dua tingkat persiapan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 08-08-1910). Yang naik dari kelas tiga ke kelas satu tingkat medik antara lain Achmad Mochtar. Dari kelas tiga ke kelas empat tingkat medik antara lain Sardjito. Dari kelas dua ke lelas tiga antara lain Mamoer Al Rasjid, Dari kelas tiga ke kelas empat antara lain Moh. Sjaaf. Pada kelas-kelas terakhir terdapat antara lain Soetomo, Radjamin Nasution, Goenawan Maugoenkoesoemo, JA Latumeten dan Soeleiman, Pada tahun 1912 Sjoeib Proehoeman pulang kampung (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-07-1912). Sjoeib Proehoeman bersama Mamoer Al Rasjid satu kapal  Camphuys berangkat dari Batavia. Sjoeib turun di Padang dan Mamoer Al Rasjid turun di Sibolga.

Mengapa Sjoeib Proehoeman turun di Padang sementara ayahnya sudah sejak lama pindah ke Sibolga. Boleh jadi Sjoeib Proehoeman ingin pulang ke kampungnya di Pakantan (Onder Afdeeling Oeloe en Pakantan, Afdeeling Padang Sidempoean, Residentie Tapanoeli). Untuk menuju ke Pakantan lebih singkat dari Padang jika dibandingkan dari Sibolga.

Sjoeib Proehoeman diberitakan lulus STOVIA tahun 1917 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-12-1917). Yang lulus bersamaan dengan Sjoeib Proehoeman antara lain Aulia dan Johan Nainggolan. Pada tahun 1918 Sjoeib Proehoeman diangkat sebagai dokter pemerintah ditempatkan di kantor pusat di Batavia (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie. 03-06-1918). Pada tahun 1919 Sjoeib Proehoeman dipindahkan ke Padang Sidempoean (De Sumatra post, 26-06-1919). Tidak lama kemudian Sjoeib Proehoeman dipindahkan ke Panjaboengan (Bataviaasch nieuwsblad, 29-10-1919). Jarak antara Panjaboengan dan Pakantan cukup dekat. Sjoeib Proehoeman dipindakan lagi ke Solok (De Preanger-bode, 21-06-1920) dan yang menggantikan adalah Dr. Abdoel Rasjid (De Preanger-bode, 21-06-1920). Tidak lama kemudian dipindahkan lagi kembali ke Batavia sebagai direktur institut-koepok darat dan Institut Pasteur di Weltevreden. Pada tahun 1921 Sjoeib Proehoeman dicalonkan untuk anggota dewan kota (gemeenteraad) Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 02-04-1921). Sjoeib Proehoeman dipindahkan ke Tahoena, Manado (De Preanger-bode, 26-08-1921). Setelah cukup lama di Taroena kembali dipindahkan ke Midden Java (De Preanger-bode, 22-07-1924).

Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 22-06-1886
Pada saat Sjoeib Proehoeman sudah mendapat gelar dokter, ayah, Si Badorang gelar Radja Proehoeman masih aktif sebagai pejabat bidang perternakan di kantor Residen Tapanoeli di Sibolga.  Radja Proehoeman setelah lulus Veeartsen School di Buitenzorg ditempatkan di Kinari (Afdeeling XIII en IX Kota). Pada tahun 1886 Radja Proehoeman mendapat cuti dan pulang ke Pakantan (Onderfadeeling Klein Mandheling, Oeloe en Pakantan (Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 22-06-1886). Radja Proehoeman juga pada tahun 1897 mendapat cuti satu bulan ke Pakantan di Onderafdeeling Klein Maadheling, Oeloe en Pakantau (Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-08-1897). Pada tahun 1900 mengajukan permintaan untuk dipindahkan dari layanan di Pajakoemboeh ke layanan lainnya. Untuk itu Radja Proehoeman telah diberitahu bahwa Gubernur Jenderal tidak berkeberatan untuk melakukan transisi ke cabang layanan lain (Bataviaasch nieuwsblad, 18-09-1900). Radja Proehoeman dipindahkan ke Padang Sidempoean. Pada tahun 1906 pemerintah meminta dokter hewan pribumi Si Badorang gelar Radja Proehoeman sebagai dokter hewan pemerintah tetap di Padang Sidempcean (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28-09-1906). Si Badorang gelar Radja Proehoeman dipindahkan dari Padang Sidempoean ke Sibolga yang juga merangkap sebagai dokter hewan pemerintah di Padang Sidempoean (Bataviaasch nieuwsblad, 07-03-1907). Jabatan ini ternyata cukup lama dipegang oleh Radja Proehoeman. Boleh jadi saat itu dokter hewan masih langka. Baru pada tahun 1907 Veeartsen School Buitenzorg dibuka kembali. Alumni pertama lulus tahun 1910 antara lain Dr. Sorip Tagor. Sorip Tagor diangkat menjadi asisten dosen. Pada tahun 1913 Sorip Tagor melanjutkan studi kedokteran hewan ke Utrecht. Pada tahun 1914 adik kelas Sorip Tagor di Veeartsen yang baru lulus Dr. Alimoesa Harahap ditempatkan di Padang Sidimpoean (sebagai pengganti Radja Proehoeman di Padang Sidempoean). Tampaknya Radja Proehoeman akan memasuki masa pensiun (para generasi muda sudah muncul). Pada tahun 1917 Radja Proehoeman sumringah. Sjoeib Proehoeman sudah lulus di STOVIA dan menjadi sokter. Juga pada tahun yang sama anaknya Soetan Sjahboedin Proehoeman lulus sekolah pertanian (Inlandsen Landbouw School) di Buitenzorg (De Preanger-bode, 27-07-1917). Ini adalah tahun keluarga dengan tiga bidang yang berbeda: ahli kesehatan ternak, ahli pertanian dan ahli kesehatan masyarakat. Catatan: Dr. Sorip Tagor adalah dokter hewan pribumi pertama bergelar dokter lulusan Belanda. Dr. Ali Moesa Harahap kelak menjadi anggota Volksraad pertama dari dapil Tapanoeli.

Sjoeib Proehoeman diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke Belanda (Bataviaasch nieuwsblad, 31-05-1926). Beberapa teman-temannya yang sudah pulang ke tanah air adalah Soewarno (lulus 1919), Sardjito dan Mohamad Sjaaf (1923), JA Latumeten (1924); R Soesilo dan HJD Apituley (1925). Teman-teman lain yang masih berada di Belanda adalah Achmad Mochtar, AB Andoe, T. Mansoer, RM Saleh, MH Soelaiman, M. Antariksa dan Seno Sastroamidjojo.

Sjoeib Proehoeman berangkat dengan kapal Tambora dari Batavia tanggal 23 Juni 1926 menuju Rotterdam (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 22-06-1926). Sjoeib Proehoeman bersama istri dan satu anak. Tanggal 17 Juli tiba di Rotterdam (Algemeen Handelsblad, 20-07-1926).

Sjoeib Proehoeman dan Aulia dinyatakan lulus ujian pertama dokter di Amsterdam (Algemeen Handelsblad, 12-12-1928). Sjoeib Proehoeman dinyatakan lulus dokter (Algemeen Handelsblad, 13-11-1929). Disebutkan Sjoeib Proehoeman lahir di Pajakoemboeh.

Bataviaasch nieuwsblad, 10-07-1908
Dokter-dokter pribumi pada awalnya adalah lulusan Docter Djawa School atau STOVIA yang setelah beberapa waktu berdinas kemudian melanjutkan studi kedokteran ke Belanda. Lulusan Docter Djawa School antara lain Dr. Abdoel Rivai kelahiran Benkoelen (lulus 1908); WK Tehupelory (lulus 1908) dan Dr. Ph. Laoh (lulus 1909). Ketiganya sama-sama mengikuti pendidikan dokter di Universiteit Amsterdam. Alumni STOVIA cukup banyak. Yang langsung menempuh pendidikan dokter di Belanda (setelah lulus HBS) sangat jarang. Beberapa yang pernah tercatat adalah Ida Loemongga (berangkat tahun 1922), Mohamad Ildrem Siregar (berangkat tahun 1931) dan Parlindoengan Lubis (berangkat tahun 1932). Catatan: Kelak, Ida Loemangga Nasution menjadi perempuan Indonesia pertama bergelar doktor (Ph.D); Parlindungan Lubis dan Mohamad Ildrem Siregar menjadi ketua dan bendahara Perhimpoenan Indonesia (1936-1940).

Sjoeib Proehoeman tidak langsung pulang ke tanah air, tetapi berupaya mengajukan proposal untuk tingkat doktoral. Upaya Sjoeib Proehoeman tidak sia-sia lalu kemudian dinyatakan berhak mendapatkan gelar doktor (Ph.D) dengan desertasi berjudul ‘Studies over de epidemiologie van de ziekte van Weil, over haren verwekker en de daaraan verwante organismen’ (Nieuwsblad van het Noorden, 20-11-1930). Disebutkan bevorderd tot doctor.in de geneeskunde, de heer S. Proehoeman, geboren te Pajakoemboeh (Sumatra).

De Sumatra post, 26-11-1930: ‘Dr. Sjoeib Proehoeman. Disini, di kota kami (Medan) menerima berita bahwa kandidat Ph.D di Universitas Amsterdam telah dipromosikan menjadi Ph.D dalam bidang kedokteran, Sjoeib Proehoeman. Dokter baru itu adalah seorang dokter pribumi dan berangkat ke Belanda beberapa tahun yang lalu untuk melanjutkan studinya. Dia adalah seseorang dari Tapanoeli, dimana dia juga bekerja sebagai dokter pribumi dalam perang melawan malaria di Penjaboengan, wilayah yang sebelumnya dikenal sebagai wabah malaria. Promotor pada promosi tersebut adalah Prof. dr. Dr. Sehuffner’.

Nama Pajakoemboeh menjadi harum namanya di Belanda maupun di Hindia Belanda. Seorang ‘anak Tapanoeli’ kembali telah menorehkan nama dengan tinta emas di Eropa sebagai pribumi yang mampu meraih gelar pendidikan tertinggi (Ph.D). Tidak mudah meraihnya, tetapi ‘anak Tapanoeli; kelahiran Pajakoemboeh berhasil mewujudkannya.

Pada tahun 1924 siswa yang diterima di STOVIA harus MULO dan lama studi menjadi delapan tahun. Jumlah dokter pribumi dengan latar belakang ELS di Hindia Belanda hingga tahun 1924 sebanyak 181 orang dimana 15 orang melanjutkan studi ke Belanda (12 orang telah kembali/pulang). Dr. Sjoeib Proehoeman yang sudah menyelesaikan pendidikan dokter di Belanda telah menambah daftar prbumi yang meraih gelar dokter lisensi Eropa/Belanda.Tidak hanya itu, Sjoeib Proehoeman juga telah menambah daftar orang pribumi yang meraih gelar doktor (Ph.D).

Sjoeib Proehoeman pulang kembali ke tanah air tanggal 3 Desember dari Amstedam naar Batavia(De Telegraaf, 02-12-1930). Kapal yang membawa mereka akan tiba di Belawan tanggal 30 Desember 1930 (De Sumatra post, 29-12-1930). Dalam manifes kapal tercatat atas nama Sjoeib Proehoeman dan istri dengan dua anak. Ini berbeda jumlah anggota keluarga Sjoeib Proehoeman ketika berangkat ke Belanda pada tahun 1926. Dengan kata lain selama di Belanda telah lahir anak kedua Sjoeib Proehoeman. Sebuah laporan pada tahun 1918, jumlah mahasiswa pribumi yang kuliah di bidang kedokteran di Belanda sebanyak 22 orang (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 01-02-1919).

Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D telah menambah daftar orang terpelajar asal Afdeeling Padang Sidempoean (Mandailing er Angkola) yang meraih gelar Ph.D. Sebelumnya, Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi lahir di Batang Toroe meraih gelar doktor di bidang hukum di Universiteit Leiden tahun 1925 dengan desertasi berjudul ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengon en het Karoland’. Setelah itu Achmad Mochtar lahir di Bondjol meraih gelar doktor di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam tahun 1927 dengan desertasi berjudul ‘Onderzoekingen omtrent eenige leptosptrenstammen’. Lalu kemudian menyusul Ida Loemongga lahir di Padang meraih gelar doktor di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam 1931 dengan desertasi berjudul ‘Diagnose en prognose van aangeboren hartgebreken’. Setahun kemudian menyusul Aminoedin Pohan lahir di Sipirok meraih gelar doktor di bidang kedokteran di Universiteit Utrecht 1932 dengan desertasi berjudul ‘Abortus: voorkomen en behandeling’, Tahun berikutnya Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia lahir di Padang Sidempoean meraih gelar doktor di bidang filsafat di Universiteit Leiden 1933 engan desertasi berjudul ‘Het primitieve denken in de moderne wetenschap'. Dalam daftar ini dapat ditambahkan yang paling populer Masdoelhak Nasution lahir di Sibolga meraih gelar doktor di bidang hukum di Universiteit Leiden 1943 dengan desertasi berjudul ‘De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij’.

Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D dan Dr. Aminoeddin Pohan, Ph.D: Gerakan Dr. Abdoel Rasjid

Setelah meraih Ph.D, Sjoeib Proehoeman kembali ke kantor pusat di Batavia (Departemen Kesehatan) dan ditempatkan di rumah sakit pusat di Batavia. Namun tidak lama kemudian, Dr. Sjoeib Proehoeman dipromosikan sebagai dokter pemerintah ke kantor regional di Sibolga (De Indische courant, 05-02-1931). Ini bagi Sjoeib Proehoeman seakan kembali ke rumah orangtuanya di Sibolga (tidak diketahui apakah ayah dan ibunya masih hidup)..

Dr. Sjoeib Proehoeman adalah pejabat pribumi tertinggi di Sibolga, ibukota Residentie Tapanoeli. Dalam perkembangannya istri Sjoeib Proehoeman menginisiasi dibentuknya organisasi kaum perempuan (De Sumatra post, 19-11-1931). Boleh jadi ingin meniru organisasi perempuan yang sudah didirikan di Medan, Setia Istri (semacam organisasi PKK pada masa ini). Organisasi yang dibentuk di Sibolga bertujuan untuk mewakili peran wanita. Dewan adalah sebagai berikut: Ny. Dr. S. Proehoeman sebagai ketua; Ny. Maharadja Hamonangan (wakil ketua), Ny. Patoean Harahap (sekretaris); Nn. J. Habsah dan Nn. Tambat (bendahara), dan beberapa ketua bidang.

Dr. Sjoeib Proehoeman tidak hanya sebagai kepala dinas kesehatan tetapi juga difungsikan sebagai dokter medis di Sibolga (Bataviaasch nieuwsblad, 14-01-1932). Pada situasi ini boleh jadi Dr. Sjoeib Proehoeman dan Dr. Abdoel Rasjid telah berdiskusi sehubungan dengan kabar bahwa Dr. Aminoeddin Pohan akan segera meraih gelar doktor (Ph.D) di Belanda. Ini adalah momen terbaik bagi Dr. Abdoel Rasjid untuk membuat suatu proposal ke pusat (di Batavia) agar Zuid Tapanoeli (Afdeeling Padang Sidempoean) memiliki sistem kesehatan secara mandiri (pengelolan secara otonomi). Proposal ini sudah disampaikan Dr. Abdoel Rasjid di sidang Volksraad. Ini sangat jarang terjadi dan mungkin satu-satunya di Hindia Belanda.

Dr. Abdoel Rasjid alumni STOVIA tahun 1914 (Bataviaasch nieuwsblad, 10-07-1914) adalah anggota Volksraad di Batavia dari dapil Tapanoeli yang belum lama terpilih tahun 1931 (De Indische courant, 19-01-1931). Dr. Sjoeib Proehoeman yang meraih Ph.D tahun 1930 dan Dr. Aminoeddin Pohan yang meraih Ph.D tahun 1932 adalah adik kelasnya. Dr. Sjoeib Proehoeman lulus STOVIA tahun 1917 dan Dr. Aminoeddin Pohan lulus tahun 1925 (Bataviaasch nieuwsblad, 17-08-1925). Anggota Volksraad dari dapil Oostkuest Sumatra adalah Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon. Dr. Abdoel Rasjid adalah adik kandung Mangaradja Soeangkoepon.   

Proposal Dr. Abdoel Rasjid adalah untuk membentuk sistem kesehatan sendiri yang terpisah dengan sistem kesehatan di Residentie Tapanoeli. Saat ini (dan biasanya) kepala kesehatan berada di ibukota residentie. Di Residentie Tapanoeli dikepalai oleh kepala dinas kesehatan yang dijabat oleh Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D. Di setiap ibukota residentie terdapat rumah sakit umum. Meski Zuid Tapanoeli (Afdeeling Padang Sidempoean) adalah bagian dari Residentie Tapanoeli, tetapi ada keinginan (proposal Dr. Abdoel Rasjid) agar di Padang Sidempoean (ibukota Afdeeling Padang Sidempoean) juga terdapat rumah sakit. Dr. Abdoel Rasjid mengharapkan Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D sebagai kepala dinas kesehatan residentie di Sibolga (ibukota Residentie Tapanoeli) yang juga merangkap kepala rumah sakit di Sibolga dan Dr. Aminoeddin Pohan, Ph.D untuk mengepalai rumah sakit yang (akan) dibangun di Padang Sidempoean.  

Pada bulan November 1932 diadakan konferensi di Padang Sidempoean untuk membahas proposal Dr. Abdoel Rasjid (De Sumatra post, 03-11-1932). Dalam konferensi ini juga turut dihadiri oleh Dr. Offringa, hoofd van den Dienst der Volksgezondheid (DVG) yang langsung datang dari Batavia. Hasil konferensi semua sepakat untuk meningkatkan layanan kesehatan dan menaikkan status kesehatan penduduk di Zuid Tapanoeli yang memiliki populasi sekitar 300.000 jiwa. Dr. Offringa setuju dengan proposal tersebut. Lalu kemudian Dr. Offringa mengajak Dr. Abdoel Rasjid untuk studi banding ke Rumah Sakit Petronella di Djogjakarta. Dr. Offringa meminta proposal pembangunan rumah sakit ini dibiayai oleh Departemen Kesehatan dan proses persiapan dan pembangunan dipercayakan kepada Dr. Abdoel Rasjid. Dalam perkembangannya, Dr. Abdoel Rasjid membuat skema yang memungkinkan (lihat De Sumatra post, 09-06-1933). Dr. Abdoel Rasjid Zuid Tapanouli akan disediakan oleh pemerintah seorang dokter pemerintah di Penjaboengan dan juga dokter sipil di Padang Sidempoean. Menurut Dr. Abdoel Rasjid, ini akan mendorong inisiatif swasta untuk mengurus perawatan pasien sendiri. Dr. Abdoel Rasjid menekankan bahwa para dokter yang bekerja di Zuid Tapanoeli dan Sibolga, salah satu dokternya berasal dari wilayah Zuid Tapaneoli sendiri. Dokter Sipil yang ditempatkan di Padang Sidempoeam adalah Dr. Aminoedin Pohan, Ph.D dan dokter pemerintah di Sibolga adalah Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D. Sementara untuk praktik pribadi di Padang Sidempoean lebih lanjut diselenggarakan oleh Dr. Mohamad Sen, sedangkan di Penjaboengan akan ditempatkan dokter pemerintahh, Moh. Arif.

Sementara itu di Batavia diumumkan bahwa Dr. Sjoeib Proehoeman termasuk dari enam dokter yang dipromisikan sebagai dokter kelas satu di Hindia Belanda (De Sumatra post, 03-11-1933). Dalam pengumuman berikutnya sebagaimana diberitakan De Sumatra post, 06-11-1933 bahwa Dr. Sjoeib Proehoeman ditempatkan sebagai dokter pemerintah kelas satu di Sibolga, Tapanoeli.

Proposal Dr. Abdoel Rasjid sebelum ini tampaknya berjalan lancar dan direspon pemerintah pusat dengan baik. Ini sehubungan dengan penempatan Dr. Aminoedidin Pohan di Padang Sidempoean. Bataviaasch nieuwsblad, 18-05-1933 melaporkan bahwa telah ditetapkan dokter yang menjalankan DVG di onderafdeeling Angkola dan Sipirok dengan tempat di Padang Sidempoean, sebagai institusi medis pemerintah yang akan dijabat oleh dokter sipil dengan ruang lingkup layanan di onderfadeeling Angkola dan Sipirok, Residentie Tapanoeli Dr. Aminoeddin Pohan, Ph.D, dokter sipil di Padang. Sidempoean. Terminologi dokter sipil (swasta) dibedakan dengan dokter pemerintah yang hanya bertugas di tingkat provinsi/residentie.

Kota Padang Sidempoean adalah kota yang unik di Hindia Belanda. Kota Padang Sidempoean adalah ibukota Afdeeling Mandailing en Angkola (kini Afdeeling Padang Sidempoean). Kota Padang Sidempoean juga menjadi ibukota Onderafdeeling Angkola en Sipirok. Kota satelit Kota Padang Sidempoean adalah Sipirok dan Batangtoroe (masing-masing jarak 30 km dari Kota Padang Sidempoean). Pada tahun 1921 jumlah dewan di Hindia Belanda hanya sebanyak 53 dewan (lihat De Preanger-bode, 01-02-1921). Uniknya untuk tingkat onderafdeeling (kecamatan) hanya Onderfadeeling  Angkola en Siprok yang memiliki dewan. Jumlah anggota dewan di Onderafdeeling Angkola en Sipirok sebanyak 23 orang (Eropa/Belanda, pribumi dan Tionghoa). Dewan umumnya hanya terdapat di kota (gemeente) dan beberapa gewest (kabupaten). Dewan kota (gementeraad) di Residentie West Sumatra terdapat di Fort de Kock, Padang, Padang Pandjang dan Sawahloento; di Province Oostkust Sumatra gemeenteraad terdapat di Bindjei, Medan. Pematang Siantar, Tandjong Balai dan Tebing Tinggi. Di Residentie Tapanoeli tidak ada gemeente dan satu-satunya yang memiliki dewan di Residentie Tapanoeli adalah di Onderafdeeling Angkola en Sipirok. 

Het nieuws van den dag voor NI, 27-11-1902
Kota Padang Sidempoean adalah kota besar di masa lampau (1870an) yang kurang lebih sama dengan Kota Padang. Saat itu Kota Padang adalah kota terbesar di Soematra dan Kota Padang Sidempoean  sebagai kota terbesar kedua di Soematra. Pada masa ini (1930an) Kota Padang Sidempoean hanyalah sebuah kota kecil. Kota Padang Sidempoean tidak hanya unik, juga kota tempat kelahiran banyak tokoh besar berskala nasional: Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda (pendiri Medan Perdamaian, 1900), Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (pendiri Indisch Vereeniging), Parada Harahap (pendiri PPPKI), Sorip Tagor (pendiri Sumatra Sepakat), duo Volksraad bersaudara (Dr. Abdoel Rasjid dan Abdoel Firman gelar Mangaradja Soeangkoepon) dan anggota Volksraad Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (Menteri Pendidikan RI yang kedua). Kota Padang Sidempoean dan dua kota satelitnya (Sipirok dan Batangtoroe) telah menjadi tempat lahir puluhan dokter alumni Docter Djawa School, STOVIA dan NIAS, Geneeskundige Hooheschool dan Universiteit Indonesia seperti Dr. Mohamad Hamzah (sepupu Soetan Casajangan), Dr. Haroen Al Rasjid (ayah Dr. Ida Leomongga, Ph.D), Dr. Abdoel Hakim (wali Kota Padang); Dr. Abdoel Rasjid (Volksraad), Dr.Parlindoengan Lubis (ketua PI Belanda 1936-1940), Dr. Sorip Tagor (pendiri Sumatra Sepakat di Belanda), Dr. Diapari Siregar (tokoh Sumatranen Bond), Dr. Gindo Siregar (Gubernur Militer Sumatra Utara), Dr. Aminoeddin Pohan, Ph.D, dan tentu saja Dr. Hariman Siregar.

Karir Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D: Riaouw, Soerabaja dan Malang

Setelah sukses pengendalian penyakit malaria di Afdeeling Mandailing en Ankola beberapa tahun yang lalu, kini Dr. Sjoeib Proehoeman mulai memikirkan pengendalian penyakit tuberkulosis. Pada waktu pengendalian penyakit malaria dulu di Mandailing yang dipimpin oleh Prof. dr. Dr. Sehuffner, Dr. Sjoeib Proehoeman sejatinya pada tahap pembelajaran. Gurunya, Prof. dr. Dr. Sehuffner yang membimbingnya dalam proses pengendalian penyakit malaria tersebut. Dr. Sjoeib Proehoeman sungguh sangat serius karena sarang malaria di Residentie Tapanoeli justru berada di kampung halamannnya sendiri di Mandailing. Prof. dr. Dr. Sehuffner adalah orang yang mengarahkan Dr. Sjoeib Proehoeman hingga mampu mencapai gelar doktor (Ph.D). Kini, Dr. Sjoeib Proehoeman memimpin sendiri pemberantasan penyakit tuberkulosis.

Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D sebagai kepala dinas kesehatan regional di Residentie Tapanoeli merancang desain baru dalam pengendalian penyakit tuberkulosis di Residentie Tapanoeli. Dalam struktur komite pemberantasan penyakit tuberkulosis ini, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D tidak sendiri tetapi dibantu rekan sejawatnya, Dr. Aminoeddin, Ph.D (De Sumatra post, 28-01-1935). Dua doktor ini sangat powerfull, selain keduanya memiliki ilmu yang tinggi, kebetulan pekerjaan ini dilakukan di kampung mereka sendiri di Tapanoeli. Pengendalian tuberkulosis ini, komite akan membentuk cabang di seluruh wilayah Tapanoeli. Komite ini memiliki tim besar yang langsung dibawah koordinasi oleh Resident Tapanoeli di Sibolga, Mr J. Thomas dan Asisten Residen J. Bouwes-Bavink di Padang Sidempoean dan Asisten Residen J Ruychaver di Taroetoeng. Pusat kendali dibuat di dua tempat. Pusat kendali di Sibolga dipimpin oleh Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D. dan pusat kendali di Padang Sidempoean dipimpin oleh Dr. Aminoedin Pohan, Ph.D.

Selesai sudah mendesain sistem pengendalian penyakit malaria dan penyakit tuberkulosis di Residentie Tapanoeli. Sukses ini kemudian menjadi perhatian pemerintah pusat dan menugaskan Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D untuk melakukan yang sama di Riouw. Dibawah program pemerintah pusat untuk pemberantasan penyakit epidemik di Hindia Belanda, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D kemudian dipindahkan dari Sibolga (ibukota Residentie Tapanoeli) ke Tandjong Pinang (ibukota Residentie Riouw). Bataviaasch nieuwsblad, 13-06-1936 melaporkan bahwa Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D dipindahkan ke Riouw sebagai Kepala Dinas Kesehatan Regional (di Residentie Riouw). Oleh karena wilayah Riouw yang luas dan terdiri dari pulau-pulau yang banyak dan wilayah pantai timur Sumatra, maka untuk tugas pengendalian tersebut melibatkan militer dan memberikan Pelatihan Pelayanan Medis Militer di Tandjong Pinang. Dr. Sjoeib Proehoeman menggantikan Dr. Gremmee, Ph.D (De Sumatra post, 01-07-1936). ia akan bertindak sebagai dokter regional di tempat Dr. Gremmee.

Dalam pemberantasan penyakit malaria ini di Residentie Riouw, inspektur DVG wilayah Sumatra bagian utara ikut terjun langsung (De Sumatra post, 23-09-1937). Wilayah Riouw yang begitu luas selama ini terdapat wilayah-wilayah yang jarang dikunjungi oleh petugas kesehatan dari DVG. Dalam inspeksi yang dilakukan, inspektur wilayah yang ikut terjun langsung didampingi oleh kepala dinas regional Riouw, Dr. Sjoeib Proejhoeman. Mereka bahkan melakukan perjalanan inspeksi jauh ke Indragiri, dimana daerah-daerah yang dekat dengan perbatasn (Djmabi/West Sumatra) juga dikunjungi. Daerah-daerah tersebut bahkan akses pelayaran sungai sulit dilakukan harus dilakukan perjalanan dengan berjalan kaki. Keseluruhan inspeksi yang disertai kepala wilayah DVG ini berlangsung tiga minggu.

Setelah sukses di Residentie Riaou, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D dipindahkan ke wilayah baru di Oost Java (Bataviaasch nieuwsblad, 26-10-1938). Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D dari Tandjong Pinang dipindahkan ke Kota Soerabaja. Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D  akan mengepalai laboratorium besar di Soerabaja. Untuk mengefektifkkan kapasitas Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D selain berfungsi di laboratorium di Soerabaja, juga akan menjadi kepala dinas kesehatan kota di Kota Soerabaja (De Indische courant, 20-12-1938). Selama ini yang menjadi kepala dinas kesehatan kota adalah Dr/ JF Gerungan. Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D juga akan merangkap jabatan untuk wilayah kesehatan dibawah wilayah Guberneur Oost Java. Di Soerabaja, salah satu anak Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D adalah Februman Soeleiman seorang yang tercatat jago dalam permainan tennis lapangan (Soerabaijasch handelsblad, 10-11-1939).

Selama ini di wilayah Malang termasuk wilayah endemik tuberkulosis. Komite yang sudah dibentuk beberapa waktu sebelumnya kemudian diambil alih oleh Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D  (De Indische courant, 22-05-1939). Komite yang dipimpin oleh Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D kemudian menda[at dukungan luas dari pihak swasta yang berkomitmen untuk memberikan bantuan dan dukungan sumbangan finansial. Untuk mengefektifkan tugas ini, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D diangkat menjadi kepala dinas kesehatan kota di Kota Malang (Soerabaijasch handelsblad, 09-12-1939). Menurut laporan awal yang diterima dari komite sebelumnya malaria dan TBC telah banyak mengakibatkan korban kematian (Soerabaijasch handelsblad, 04-04-1940). Kasus kematian tidak hanya pribumi tetapi juga Eropa, Tionghoa dan Arab. Oleh karena itulah dukungan swasta (perusahaan-perusahaan perdagangan dan perkebunan) sangat mendukung kehadiran. Kini tanggungjawab besar kembali berada di pundak Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D (yang memang memiliki pengalaman untuk dua jenis penyakit ini).

Tanggungjawab Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D di wilayah Malang (kota dan kabupaten) kemudian ternyata tidak hanya malaria dan tuberkulosis tetapi kasus-kasu penyakit kusta juga banyak ditemukan (De Indische courant, 11-06-1941). Dalam inspeksi yang dilakukan di beberapa daerah di wilayah Malang oleh Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D ternyata juga terdapat kasus lepra di kalangan orang Eropa dan Tionghoa. Untuk mengatasi permasalahan kusta ini, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D mulai merancang metode pemberantasan lepra dengan cara pembiayaan gratis.

Dr. Sjoeib Proehoeman. Ph.D Menjadi Arek Soerabaja dan Arek Malang

Pengalaman Dr. Sjoeib Proehoeman di Malang dalam pengendalian tiga penyakit endemik yang menakutkan membuat penduduk Malang sangat dekat dengan Dr. Sjoeib Proehoeman. Untuk mendorong tumbuhnya persatuan bagi semua kalangan di Malang, Dr. Sjoeib Proehoeman juga menggagas pembentukan organisasi sosial yang bersifat keberagamaan. Dr. Sjoeib Proehoeman adalah seorang pendatang, seorang Tapanoeli kelahiran Pajakoemboeh. Misi menggalang kebhinnekaan di pedalaman Jawa di wilayah Malang juga menjadi perhatian Dr. Sjoeib Proehoeman diluar tugas-tugas profesinya sebagai dokter yang ahli menangani tiga penyakit yang menakutkan (malarian, tuberkulosis dan kusta).

Organisasi sosial kemasyarakatan di Malang ini disebut Medan Pertemoean (De Indische courant, 30-09-1941). Mengapa namanya menggunakan kata ‘medan’ padahal Dr. Sjoeib Proehoeman belum pernah ke Kota Medan (alias BTL). Boleh jadi kata ‘medan’ bukan merujuk pada nama kota tetapi kata ‘medan’ merujuk pada suatu pusat gaya yang bersifat sentifugal (menyatu ke pusat pusaran). Organisasi kemasyarakatan Kota Malang yang disebut Medan Pertemoean dipimpin oleh Dr. Sjoeib Proehoeman sendiri sebagai ketua. Untuk wakil ketua dari kalangan Eropa/Belanda (Dr J Drad) untuk sekretaris Mr. Latuharhary dan untuk bendahara Mr. Tttlitr. Untuk komisaris adalah seorang Tapanoeli Latif Pane dan dan seorang Jawa, Raden Danoesastro. Sebagai pembina Residen Malang, Mr Schwenke. Organisasi juga terdiri dari ketua-ketua bidang.

Tahun-tahun ini adalah tahun yang sangat mencekam. Perang dunia tengah berlangsung dan hawanya sudah terasa di Hindia Belanda khususnya di Jawa. Untuk mengantisipasi situasi yang tidak menentu, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D mulai mempersiapkan tindakan pencegahan atau mitigasi (Soerabaijasch handelsblad, 27-01-1942). Dr. Sjoeib Proehoeman, sebagai dokter kota, mulai mengambil inisiatif dengan melakukan penggalangan dana masyarakat untuk pembentukan rumah sakit-rumah sakit darurat yang disebar diberbagai titik di seluruh kota. Sejumlah gudang yang tidak terpakai disulap menjadi rumah sakit darurat.

Dr. Sjoeib Proehoeman. Ph.D: Pemain Sepak Bola Menjadi Dosen Fakultas Kedokteran

Laki-laki asal Mandailing dan Angkola (Afdeeling Padang Sidempoean) sangat menyukai sepak bola tidak hanya para pemuda tetapi juga pada usia tinggi masih banyak yang menyukai permainan laki-laki ini. Di Soerabaja, perantau asal Mandailing dan Angkola tidak hanya tetap bermain sepak bola sampai umur tinggi tetapi juga aktif membina perkembangan sepak bola.

Dr. Radjamin Nasution sejak mahasiswa di STOVIA aktif bermain sepak bola. Klub sepak bola sekolah kedokteran STOVIA, Docter Djawa Voetbal Club pada tahun 1909 kapten timnya adalah Radjamin Nasution. Pada tahun 1923 Dr. Radjamin Nasution mendirikan perserikatan sepak bola pribumi di Medan yang disebut Deli Voetbal Bond.  Pada tahun 1929 di Padang Dr. Abdoel Hakim Nasution mendirikan perserikatan sepak bola Minangkabaoe Bond. Pada tahun 1935, Dr. Radjamin Nasution mendirikan perserikatan sepak bola perkantoran/perusahaan yang dikenal sebagai SKVB. Pada tahun 1938 Kapten Tim sepak bola Indonesia (baca: Hindia Belanda) ke Piala Dunia di Prancis adalah mahasiswa kedokteran sekolah kedokteran NIAS di Soerabaja yang pada masa ini lebih dikenal sebagai nama Achmad Nawir. Di dalam kampus nama Achmad Nawir ditulis sebagai Mohamad Nawir. Namun di bidang lain seperti sepak bola nama Achmad Nawir hanya ditulis Nawir saja. Mohamad Nawir alias Achmad Nawir atau Nawir diduga kuat berasal dari Padang Sidempoean. Ketua SKVB di Soerabaja di era perang dan pasca pengakuan kedaulatan RI adalah Dr. Irsan Radjamin (anak dari Dr. Radjamin Nasution). Dr. Abdoel Hakim Nasution adalah wali kota pertama Kota Padang dan Dr. Radjamin Nasution adalah wali kota pertama Kota Soerabaja.

Dr. Sjoeib Proehoeman. Ph.D juga pemain sepak bola. Sjoeib Proehoeman sudah aktif bermain sepak bola ketika kuliah di STOVIA. Bahkan pada usia tinggi Dr. Sjoeib Proehoeman. Ph.D juga masih aktif bermain sepak bola di Soerabaja. Permainan sepak bola adalah permaianan laki-laki, permainan keras dan sangat ketat dengan aturab pelanggaran keras. Permainan sepak bola adalan permain yang mampu menghibur banyak warga dan secara pribadi sangat menyehatkan tubuh. Sepak bola juga adalah bagian yang tidak terpuisahkan dari perjuangan bangsa. Sepak bola meski masih bisa dilakukan pada umur tinggi tetaplah sepak bola demikian juga dokter, meski dokter telah memiliki pendikikan yang tinggi tetaplah dokter. Dokter bermain sepak bola adalah hal yang biasa. Akan tetapi jika dokter yang ilmunya tinggi dan bahkan dokter sudah menjabat wali kota tetapi masih bermain sepak bola tentulah luar biasa. Pemain sepak bola juga ada yang diangkat sebagai dosen.

De vrije pers: ochtendbulletin, 06-04-1951: ‘Fakultas kedokteran. Dengan keputusan Menteri Pendidikan, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D, dokter di klinik dokter praktik di Soerabaja, ditunjuk sebagai dokter kelas satu, di Departemen Bedah, Fakultas Kedokteran di Soerabaja’. Catatan: Fakultas Kedokteran ini kelak bernama Universitas Airlangga.

Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D meski sudah menjadi dosen pada usia tinggi masih kuat untuk bermain sepak bola. De vrije pers : ochtendbulletin, 08-08-1952 melaporkan pertandingan sepak bola antara Tim Dokter melawan Tim Penerangan di Kota Soerabaja. Tim sepak bola dari dokter-dokter Soerabaja akan berupaya untuk memenangkan pertandingan. Kompetisi ini akan menjadi pertandingan pertama Final dari kompetisi SKVB Soerabaja pada tanggal 12; Agustus di stadion Tambaksari. Tim Dokter adalah sebagai berikut nama-namnya: Lasmono (31 tahun), Samsoenarjo (36 tahun), Han Hian Yong (36 tahun), Shahat (38 tahun), Irsan Radjamin (34 tahun),  Slamet (40 tahun). Dickmann (47 ahun); Sjoeib Proehoeman (58 tahun), Paris (48 tahun) Rehatta (50 tahun) dan Sie Swi Don (41 tahun)’.

De vrije pers: ochtendbulletin, 19-02-1953: ‘Pertandingan sepak bola. Besok, seperti yang kita tahu, permainan sepak bola akan dimainkan antara Tim SKVB dan tim Tiong Hoa. Hasil ini dimaksudkan untuk membantu korban 'banjir di Belanda dan Atjeh. Sekitar pukul 18.00 pertandingan akan diadakan di lapangan Tiong Hoa yang dimulai antara Korps Konsuler (konsulat negara asing) dan Tim Dokter. Tim konsuler terdiri dari  Schindler (konsulat negara AS), Naardjng (Belanda), Tenn '(AS), Ibrahim (India), Pereira (Ceylón), Kemp (Inggris); Bernardo (Philipina, Boden (Denmark, Vd Broek (Belanda, Inama (Jepang) dan Bar (Prancis). Tim Dokter adalah Lasmono, Ibrahim, Han, Hay Yong, Samsoenarjo, Irsan Radjamin, Effendi, Dickman, Lie Tjing Tik, Parijt, Sjoeib Proehoeman dan Ali’. Tim Dokter masih aktif pada tahun 1953 (De vrije pers: ochtendbulletin, 23-07-1953).

Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D tetap tinggal di Soerabaja. Anak-cucu Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D tetap tinggal di Soerabaja. Salah satu dari keturunan Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D adalah satu profesi dan teman baik saya. Artikel ini juga didedikasikan buat teman saya, cucu Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar