*Semua artikel Sejarah Kota Surabaya dalam blog ini Klik Disini.
Pertandingan Indonesia vs Hungaria yang dilangsungkan tanggal 6 Juni dalam ajang Piala Dunia 1938 di Prancis dipimpin oleh dua kapten tim yang berlatar belakang kedokteran. Kapten Tim Indonesia adalah mahasiswa kedokteran Achmad Nawir dan kapten Tim Hungaria adalah Dr. Sarosi. Ini unik. Sangat jarang, dan mungkin satu-satunya kejadian dalam dunia sepakbola.
Pertandingan Indonesia vs Hungaria yang dilangsungkan tanggal 6 Juni dalam ajang Piala Dunia 1938 di Prancis dipimpin oleh dua kapten tim yang berlatar belakang kedokteran. Kapten Tim Indonesia adalah mahasiswa kedokteran Achmad Nawir dan kapten Tim Hungaria adalah Dr. Sarosi. Ini unik. Sangat jarang, dan mungkin satu-satunya kejadian dalam dunia sepakbola.
.
Nawir vs Sarosi (De Indische courant, 07-06-1938) |
Dalam sejarah sepak bola Indonesia di Piala
Dunia, nama Nawir yang paling disorot. Itu bukan karena Nawir pemain hebat dan
kapten tim Indonesia tetapi karena Nawir dipersepsikan sebagai seorang dokter. Achmad
Nawir adalah seorang dokter, demikian selalu ditulis. Namun sejatinya, pada
saat pertandingan tersebut Nawir belumlah menjadi dokter, akan tetapi masih
berstatus mahasiswa di Nederlandsch Indie Arts School (NIAS). Lantas bagaimana
informasi tentang Dr. Achmad Nawir keliru? Mengapa nama Dr. Nawir menjadi Achmad
Nawir? Dan, siapa sesungguhnya Dr. Nawir? Apakah Achmad Nawir
berasal dari Tapanoeli? Untuk itu, mari kita telusuri (kembali) sejarah Achmad
Nawir tersebut.
Pada laman Wikipedia nama Achmad Nawir hanya
dideskripsikan secara singkat saja. Dari deskripsi yang singkat itu, informasi
Achmad Nawir juga dipersingkat. Achmad Nawir disebut lahir tahun 1911 tetapi
tidak disebut tanggal dan tempat lahir. Dinformasikan, Achmad Nawir adalah
pemain klub HBS di Surabaya dan menjadi kapten tim Indonesia (baca: Hindia Belanda)
di Piala Dunia di Prancis tahun 1938. Achmad Nawir juga berprofesi dokter.
Achmad Nawir meninggal pada bulan April 1995 dalam usian 84 tetapi tidak
disebut dimana dimakamkan. Informasi tersebut tampaknya tidak sebanding dengan
kiprahnya di lapangan sepak bola hingga menjadi kapten tim di Piala Dunia dan
tidak setara dengan kiprahnya di bidang kesehatan yang begitu merakyat di
Surabaya.
Nama Mohamad Nawir muncul ke publik kali
pertama ketika diumumkan siswa-siswa yang lulus kelas satu di sekolah Koning
Willem III School (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-05-1925).
Nama Mohamad Nawir baru muncul kembali pada tahun 1930 (De Indische courant, 28-05-1930).
Disebutkan Mohamad Nawir naik dari kelas satu ke kelas dua di Nederlandsch
Indie Arts School (NIAS) di Soerabaja. Mohamad Nawir satu kelas antara lain Abdoel
Soekoer, P. Dalimoenthe, Djapar Siregar. Ph. Napitoeloe. Sementara mahasiswa
yang naik ke kelas tiga antara lain W. Hoetagaloeng. Sedangkan yang naik ke
kelas empat antara lain Amir Hoesin. Yang naik ke kelas lima antara lain
Koempoelan Pane. Sementara yang naik ke kelas enam antara lain M. Sabirin,
Sedangkan yang naik ke kelas tujuh antara lain Zainoel Moechtar. Pada tahun 1933 Mohamad Nawir termasuk salah
satu mahasiswa yang naik kelas dari kelas tiga ke kelas empat di Nederlandsch
Indie Arts School (NIAS) di Soerabaja (De Indische courant, 22-05-1933). Pada
tahun 1934 yang naik ke kelas dua antara lain Abdoel Manap dan Moh. Amin Lubis.
Sementara yang naik ke kelas empat antara lain Aminoedin. Sedangkan yang naik
ke kelas tujuh antara lain Amir Hoesin (De Indische courant, 09-06-1934). Tidak
terdapat nama Mohamad Nawir (mungkin cuti). Pada tahun 1935 Amir Hoesin lulus ujian
bagian pertama Indisch Arts (De Indische courant, 17-01-1935).
Koning Willem III School
(KW III School) adalah sekolah elit di Batavia yang umumnya adalah siswa-siswa
Eropa/Belanda. KW III School menyelenggarakan pendidikan HBS-3 (setara SMP) dan
HBS-5 (setara SMP dan SMA). Sedangkan Nederlandsch Indie Arts School (NIAS)
adalah sekolah kedokteran yang dibuka di Soerabaja tahun 1913 seperti halnya
STOVIA di Batavia. STOVIA ditujukan bagi golongan pribumi sedangkan NIAS untuk semua
golongan (Eropa/Belanda, pribumi dan Asia). Pada tahun 1924 STOVIA ditingkatkan
statusnya menjadi perguruan tingi kedokteran (Geneskundige Hoogere School) yang
saringannya lebih ketat (mahasiswa yang diterima Eropa/Belanda, pribumi dan
Asia). Sementara NIAS hanya dikhususkan utuk pribumi dan Asia. Jika Mohamad Nawir
masuk di KW III School tahun 1925 jika mengikuti HBS-5 (HBS lima tahun) maka
Mohamad Nawir langsung memasuki NIAS pada tahun 1930. Oleh karenanya, Mohamad
Nawir di NIAS sudah berada di tingkat tiga tahun 1933 (naik ke kelas empat).
Nama Mohamad Nawir di KW III School di
Batavia dan di NIAS di Soerabaja adalah orang yang sama. Namun di luar
lingkungan sekolah, Mohamad Nawir lebih dikenal dan ditulis di publik hanya
Nawir (saja). Nawir di Batavia bukan sebagai pemain sepak bola tetapi pemain
basket (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 03-05-1929). Saat ini Nawir berada di
kelas terakhir di KW III School. Klub Nawir bernama SVBB maju di final dalam
kejuaraan Korfbal Batavia Bond melawan PAMS. Di dalam tim SVBB juga ada nama Meeng.
PAMS menang 4-3 mengalahkan SVBB. Pada tahun 1931 (saat mana Nawir di NIAS)
tercatat sebagai pemain sepak bola. Dalam komposisi Tim SVB (Soerabaijasch
Voetbal Bond) Nawir sebagai gelandang kiri (lihat De Indische courant, 20-03-1931).
Sejak itu nama Nawir kerap muncul di media sebagai pemain sepak bola di
Soerabaja dengan nama klub HBS. Nawir mulai bergabung dengan HBS tahun 1931.
Pada ulang tahun THOR, klub Nawir (HBS) melawan tim dari
Australia. Pertandinga hanya berakhir dengan skor 1-1- (De Indische courant, 04-09-1931).
Dalam skuad HBS hanya Nawir dan Saleh yang pribumi (yang lainnya
Eropa/Belanda). Posisi Nawir tetap sebagai gelandang kiri (sebagaimana di tim
perserikatan SVB).
Nama Nawir di Soerabaja terus eksis sebagai
pemain sepak bola. Nawir masih tetap setia dengan klubnya HBS. Malah nama Nawir
sebagai mahasiswa NIAS tidak pernah muncul lagi ke publik kalau tidak bisa
dikatakan sangat jarang. Nama Nawir selalu muncul sebagai pemain sepak bola.
Pertandingan sepak bola dicatat pertama kali
diadakan di Surabaya adalah pertandingan yang terjadi pada tahun 1902 (lihat
Soerabaijasch handelsblad, 15-12-1902). Klub yang berpartisipasi dalam
pertandingan tersebut tiga diantaranya Voorwaarta, THOR dan ECA. Perserikatan
sepak bola didirikan di Soerabaja pada tahun 1907 yang disebut Oost Java
Voetbalbond. Inisiatif pembentukan bond ini adalah SVS dan kemudian didukung sejumlah
klub seperti SVS, THOR, RA, HBS, SSS, ECA dan Excelsior. Pada tahun 1910 di
Soerabaja didirikan perserikatan Soerabaja yang disebut Soerabaijasch Voetbal
Bond (SVB). Klub Nawir, HBS didirikan tahun 1913 oleh sejumlah siswa-siswa
sekolah HBS Soerabaja. Para pemain sebelumnya bermain di klub THOR. HBS bukan
klub sekolah.
Nawir selain anggota klub HBS juga menjadi
pemain klub di kampusnya NIAS. Ini terlihat ketika kesebelasan NIAS bertemu
dalam suatu perandingan melawan KES (Soerabaijasch handelsblad, 15-03-1934).
Nama Nawir dalam tim NIAS disebutkan cukup menonjol. Nawir juga termasuk dalam
tim Java yang akan berangkat ke Manila (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 14-04-1934). Ketika tim nasional Belanda melawat ke Hindia Belanda,
Nawir juga masuk dalam komposisi tim di Soerabaja (Soerabaijasch handelsblad, 02-01-1936).
Tim Nawir mampu mengimbangi tim Belanda dengan skor 2-2. Dalam perkembangannya,
Nawir disebutkan sebagai kapten Tim Soerabaja (De Indische courant, 08-06-1936).
Piala Dunia di Prancis 1938: Kapten Tim Indonesia, Nawir
Catatan: bahan-bahan berikut ini sudah pernah diterbitkan
dalam sejumlah artikel pada bulan Mei dan Juni 2014 di http://akhirmh.blogdetik.com
Pada tanggal 15 Maret 1937, FIFA menunjuk
Jepang dan Indonesia untuk melakukan pertandingan prakualifikasi Piala Dunia
1938 yang pemenangnya akan melawan (play-off) pemenang pertandingan (play-off)
antara Amerika Serikat (juara Amerika Utara) dengan Argentina (juara Amerika
Tengah) untuk memperebutkan satu tempat dalam melengkapi 16 negara yang akan
berlaga dalam final Piala Dunia 1938 di Prancis. Dalam hal ini penunjukan
Indonesia dari Asia karena masa itu Indonesia telah memiliki kompetisi lokal
yang teratur, sedangkan Jepang sebelumnya pernah memiliki tim Olimpiade yang
kuat.
Di dalam negeri, sesungguhnya ada dua asosiasi sepakbola,
yakni: NIVU dan PSSI. Namun yang diakui oleh FIFA adalah NIVU. Persoalan
muncul, sebab tentu saja pemain-pemain terbaik di Indonesia tidak hanya ada di
klub-klub di bawah naungan NIVU tetapi juga klub-klub yang berafilasi dengan
PSSI. Akibatnya, ada kegalauan diantara petinggi NIVU, ini beralasan, karena
tim-tim yang dihadapi di Piala Dunia 1938 terdiri dari tim-tim tangguh yang
berasal dari Eropa. Apalagi, jika Indonesia lolos prakualifikasi dan menang
playoff akan langsung bertemu dengan tim Hungaria yang menjadi tim terkuat di
Eropa Tengah. Situasi dan kondisi jelang Piala Dunia 1938 mirip dengan situasi
yang dihadapi Indonesia pada prakualifikasi Piala Dunia 2014 dimana terdapat
dualisme kepemimpinan organisasi sepakbola Indonesia (antara kubu IPL dengan
kubu ISL). Pemain-pemain Indonesia yang ikut dalam prakualifikasi 2012/2013
hanya yang berasal dari klub-klub di bawah naungan kubu IPL (saat itu FIFA
tidak mengakui kubu ISL).
.
Presiden NIVU, Grouse mencoba mencari jalan
keluar. Dia berinisiatif untuk membicarakan dengan petinggi PSSI dalam suatu
pertemuan di Bandung. Presiden NIVU berharap terjadi unifikasi (NIVU dengan
PSSI). Akan tetapi deadlock. Dengan pengakuan FIFA terhadap NIVU dan tidak
tercapainya unifikasi, otomatis potensi pemain berkualitas hanya dapat
diperoleh dari kompetisi yang dilakukan oleh klub-klub dibawah afiliasi NIVU. Sementara itu, tidak mudah untuk menyeleksi
semua pemain klub-klub NIVU karena homebase klub-klub NIVU tidak hanya di Jawa,
tetapi juga di Sumatra dan Sulawesi–yang tentu saja berjauhan. Dengan
pertimbangan biaya dan jarak yang berjauhan, NIVU hanya membatasi seleksi
pemain untuk Piala Dunia 1938 di wilayah Jawa saja.
.
Untuk proses seleksi ini, NIVU mendatangkan pelatih
berkualitas dari Belanda bernama Mastenbroek dan NIVU juga menyelenggarakan
kompetisi dadakan di tiga subwilayah Jawa untuk memantau pemain potensil,
yakni: Jawa bagian barat di pusatkan di Bandung (perserikatan dari Batavia,
Bandoeng dan Semarang) yang dilangsungkan tanggal 24, 25 dan 26 Desember 1937;
Jawa bagian timur dipusatkan di Malang pada tanggal 29 dan 30 Desember 1937
(perserikatan Soerabaja dan Malang); dan Jawa bagian tengah dipusatkan di Solo
tanggal 30 Desember 1937 (perserikatan Solo dan Djokjakarta). Selanjutnya,
kombinasi pemain yang masing-masing mewakili tiga subwilayah (tiga tim)
dipertemukan pada awal Februari 1938 di Solo. Pertemuan tiga tim subwilayah ini
menjadi fase terakhir dalam memantau dan memilih kandidat pemain ke Piala
Dunia. Catatan: Tim dari masing-masing daerah (bond) dan yang mewakili
subdivisi merupakan pemain-pemain dari klub yang berada di bond masing-masing.
.
Pelatih Mastenbroek, memantau tournament
untuk merekrut pemain yang sesuai dengan kualifikasi yang diinginkannya dalam
membentuk tim Indonesia ke Piala Dunia. Hasilnya, dipanggil sejumlah pemain
untuk mengikuti pelatihan dan uji coba. Pada fase keberangkatan menuju
pemusatan latihan di Medan, akhirnya jumlah pemain diciutkan menjadi hanya 17
pemain yang benar-benar berangkat ke Prancis. Nama-nama pemain tim Indonesia
yang berangkatke Prancis tersebut termasuk Nawir. De Indische courant, 12-04-1938
melaporkan bahwa secara aklamasi Nawir ditunjuk menjadi kapten Tim dan Rohrig
sebagai wakil kapten. Untuk maskot tim adalah Teddybear, sebuah boneka beruang
Teddy yang hampir seukuran bayi (De Indische courant, 19-04-1938).
.
Hasil seleksi dari turnamen tiga subwilayah
di Jawa, menurut para dewan NIVU sesungguhnya tidak begitu optimis dibandingkan
dengan seharusnya untuk kebutuhan level permainan di Eropa. Namun itulah
kenyataannya (dualisme kompetisi, pencarian bakat yang hanya di Jawa dan juga
semakin sempitnya waktu persiapan). Akan tetapi dukungan yang luar biasa dari
Mr. Karel Lotsy (Presiden KNVB, PSSI-nya di negeri Belanda) membuat para
official Tim Indonesia untuk berangkat ke Eropa tetap bersemangat. Karel Lotsy
yang juga menjadi pejabat tinggi di FIFA sangat simpatik talenta yang ada di
Indonesia. Sebelum berangkat ke Eropa, tim Nivu akan memainkan pertandingan
terakhir di Batavia pada hari Minggu siang 24 April di lapangan B. V. C.,
melawan "sisa" Batavia. Tim NIVU: Mo Heng (Malang), Samuels (Surabaya),
Anwar (Batavia), Nawir (Soer.), Taihutu (Batavia), Patiwael (Batavia), Hong
Djien (Soer.), Hukom, F. Meeng, Tan See Han, Summers Cadangan: Van Beuzekom
(Batavia), Harting (Surabaya), Van der Burj (Djocja), Faulhaber (Semarang),
Sudarmadji (Surabaya) dan Telwe (Surabaya). Hasil pertandingan di Batavia
berakhir dengan skor 4-1 (2-0) untuk kemenangan Tim NIVU melawan tim Batavia (Bataviaasch
nieuwsblad, 25-04-1938).
Akhirnya Tim Indonesia berangkat dan memulai
perjalanan panjang ke Eropa, dari Batavia tanggal 27 April 1938. Namun, Tim
Indonesia tidak mengikuti rute dan skedul pelayaran reguler Batavia-Amsterdam
(yang umumnya berada tiga minggu pelayaran), melainkan melakukan perjalanan
dengan rute yang disesuaikan dengan kondisi pemain dan program pelatihan yang
direncanakan (di dalam negeri, selama perjalanan dan di Eropa/Belanda). Oleh karenanya
ada sejumlah persinggahan sebelum menuju Rheims, Prancis. Ini semua dimaksudkan
untuk tetap menjaga stamina pemain tetap kondusif dan berupaya agar terjadi
peningkatan performance hingga hari-H di Rheims pada tanggal 5 Juni 1938.
Persinggahan pertama dilakukan di Medan.
Di Medan, Tim Indonesia melakukan pemusatan
pelatihan terakhir di tanah air sebelum menuju Eropa. Pada tanggal 30 April di
Medan melakukan uji coba melawan sebuah tim bentukan yang terbilang kuat yang
merupakan kombinasi para pemain terbaik di Medan dan sekitarnya. Meski Tim
Indonesia dapat memainkan partai indah dalam pertandingan itu, tetapi hanya
mampu menang 4-2 (De Sumatra post, 02-05-1938). Hasil di Medan ini tidak
terlalu diperhitungkan, tetapi tujuan utama lebih pada mendapatkan gambaran
yang baik dari apa yang dapat selama pemusatan latihan sebelumnya di Soerabaja
dan Batavia serta hasil partai uji coba
di Bandung melawan klub Bandung tanggal 13-3-1938. Tim ini dipimpin Mastenbroek
yang didampingi ofisial van Bommel (Pemimpin Umum) dan Weiss serta Nona Meyer
sebagai sekretaris. Sementara tujuh belas pemain dipilih dari (hanya) tiga
perserikatan di Jawa yang terdiri dari delapan orang Belanda, tiga orang Ambon,
dua orang Sumatra, satu orang Jawa dan tiga orang Tionghoa (Soerabaijasch
handelsblad, 25-05-1938). Jika hanya disebut satu orang Jawa itu berarti adalah
Soedarmadji. Lantas siapa dua orang Sumatra. [Soetan] Anwar telah diklaim
sebagai orang Minangkabau. Satu lagi sudah tentu yang dimaksud adalah Achmad
Nawir Lantas siapa [Achmad] Nawir? Darimana asalnya di Sumatra?
.
Skuad Tim Indonesia yang jumlahnya 17 pemain
tetap bersemangat selama dalam pelayaran. Selain memupuk komunikasi, memperkuat
solidaritas dan kerjasama antar pemain, para pemain dan official juga sangat
akrab dengan para penumpang lain dan awak kapal. Perjalanan yang jauh dan waktu
yang lama di dalam kapal secara teknis para pemain tidak bisa berlatih
sepakbola. Namun untuk menjaga kondisi fisik, mereka masih bisa melakukan
banyak kegiatan olahraga penunjang di dalam kapal.
.
Setiap pagi para pemain berlatih di dek kapal, ketika
para penumpang masih tidur. Jenis olahraga yang dilakukan antara lain senam,
dektermis, tenis meja dan lain-lain sehingga tubuh pemain dapat tetap fit. Para
official juga terus memantau dan mengatur sedemikian rupa pola makan dan jam
tidur malam. Salah satu pemain, Mo Heng selama di kapal masih memiliki masalah
cidera pergelangan tangan dan di kapal pernah melakukan radiografi.
.
Relaksasi dilakukan di Colombo, Port Said,
Genoa dan Marseille. Colombo adalah sebuah kota pelabuhan penting di Asia
Selatan yang selalu menjadi titik strategis persinggahan kapal-kapal Belanda
(Amsterdam-Batavia dan sebaliknya). Biasanya kapal-kapal Belanda singgah cukup
lama di kota ini. Para penumpang di kota ini biasanya mengambil kesempatan ini
untuk relaksasi seperti jalan-jalan, belanja/perbekalan bahkan untuk menginap
di hotel. Hal yang mirip dilakukan penumpang juga terjadi di Port Said, suatu
pelabuhan penting di Mesir yang menghubungkan Eropa dan Asia (West-East). Selanjutnya
dari kota pelabuhan yang berada di jalur Terusan Suez ini, Tim Indonesia justru
menuju Genoa (pelabuhan utama di Italia) dan dari Genoa dilanjutkan ke
Marseille (pelabuhan utama di Prancis).
Rute ini tidak lazim untuk orang-orang Belanda dan
maskapai pelayaran Negeri Belanda. Di Marseille perjalanan moda transportasi
laut diganti dengan moda transportasi darat. Dari Marseille Tim Indonesia
melanjutkan perjalanan ke Den Haag dengan menggunakan kereta api trans Eropa
(Parijschen) milik Prancis. Setiba di Den Haag, para pemain sedikit mengalami
cuaca yang berbeda, 10 dari 17 pemain mengalami kedinginan namun tetap
semangat.
.
Akhirnya, Tim Indonesia tiba di Den Haag
tanggal 18 Mei 1938 setelah melakukan perjalanan panjang dengan kereta api dari
Marseille [biasanya, orang-orang Belanda dari Batavia tiba di Belanda mendarat
di pelabuhan Amsterdam]. Di stasion kereta api Den Haag, tidak dinyana, Tim
Indonesia disambut meriah, baik oleh pejabat KNVB, pengurus klub HBS maupun
para simpatisan dan keluarga para pemain termasuk para mantan-mantan pemain
sepakbola di Indonesia. Tim Indonesia kemudian menaiki bus menuju hotel
Duinoord di Sweelinckplein, tempat para pemain dan official menginap selama di
Belanda. Setiba di hotel dilakukan dilakukan pertemuan khusus antara pemain dan
official Tim Indonesia dengan pejabat KNVB, pimpinan HBS dan lainnya.
.
Semua pembiayaan selama di Belanda ditanggung penuh
melalui KNVB. Sedangkan tempat training centre selama di Belanda ditetapkan di
kompleks sepakbola klub HBS, Den Haag. Tim Indonesia di Den Haag direncanakan
akan tinggal sampai tanggal 31 Mei 1938. Untuk kegiatan uji coba, Tim Indonesia
pertama melawan tim professional HBS pada tanggal 25 Mei 1938 di Houtrust
dengan hasil akhir, 2-2. Mo Heng dalam petandingan ini masih ada kendala dan
mungkin akan memerlukan waktu pemulihan. Uji coba lainnya adalah melawan klub
VV Haarlem di Haarlem pada tanggal 31 Mei 1938 dengan skor 5-3 untuk kemenangan
Tim Indonesia. Kegiatan uji coba ini dimaksudkan untuk memperoleh kesan yang
baik dari tim setiba di Eropa dan melihat sejauh mana hasil yang diperoleh
selama pemusatan latihan yang berbasis di Den Haag. Hasil yang diperolah
melawan HBS dan Haarlem (yang tidak full team), memang performance tim belum
menjanjikan, tetapi para pelatih punya cara sendiri dan menganggap penting
untuk meminta pendapat para wartawan tentang performa tim dan apa saran-saran
mereka. Selama di Den Haag, suasana hati para pemain dan upaya peningkatan
pengetahuan dan pemahaman para pemain terus dibina. Mungkin menonton sepakbola
adalah hal sepele, tapi itu juga menjadi bagian dari program latihan tim
Indonesia. Para pemain diajak untuk menonton pertandingan antara klub Heracles
dengan klub Feyenoord tanggal 26 Mei 1938.
Setelah tim menyelesaikan pemusatan latihan
di Den Haag, Tim Indonesia berangkat tanggal 2 Juni 1938 menuju Rheims,
Prancis. Tim Indonesia berangkat dari Den Haag pada pukul 10.56 ke Prancis.
Setelah tiba di Paris jam 16.54, tim disambut oleh konsul. Pada hari
berikutnya, pukul 10.30 meneruskan perjalanan ke Rheims. Menurut official tim,
sampai tanggal 1 Juni penjualan tiket pertandingan Indonesia-Hongaria telah
habis terjual dengan menghasilkan sebanyak 70.000 franc. Kapasitas stadion
memiliki 19.000 tempat duduk.
Tim Hongaria sendiri sudah lebih dulu tiba di Rheims. Waktu
yang ada dimanfaatkan oleh Tim Indonesia untuk berlatih fisik dan uji coba
lapangan stadion Velodorme, Rheims. Malam sebelum hari-H, Walikota Rheims
mengundang dan menjamu makan malam kedua tim.
Orang Prancis ternyata memiliki cara pandang
tersendiri tentang sepakbola. Ternyata penduduk Kota Rheims datang
berbondong-bondong ke stadion untuk menonton dan menunaikan tiket yang telah
mereka beli jauh sebelum hari pertandingan. Mereka sangat respek terhadap Tim
Indonesia setelah membaca semuanya di dalam koran pagi. Tapi, tak mereka
sangka, sebelum pertandingan dimulai, dari tengah lapangan para pemain
Indonesia memberi salam hormat kepada para penonton yang telah duduk manis baik
ke arah tribun barat maupun tribun timur (hal serupa ini tidak dilakukan Tim
Hungaria). Sontak, para penonton berdiri untuk membalas salam hormat Tim
Indonesia. Rasa hormat di balas dengan rasa hormat.
Pertandingan dimulai. Priiit. Roger Conrie, wasit asal
Prancis meniup pluit, tanda pertandingan dimulai. Mo Heng, yang sudah sembuh
dari cedera pergelangan tangan, berada sigap di depan gawang. Pertahanan Tim
Indonesia yang dikawal oleh dua center back, Hukom dan Samuel agak rapuh,
sehingga Mo Heng harus beberapa kali menyelamatkan gawang Tim Indonesia sebelum
akhirnya gawang Tim Indonesia kebobolan. Tidak ada riuh rendah, melainkan
penonton terdiam saja ketika gol pertama terjadi. Ini menujukkan tanda bahwa
kelihatannya penonton yang hampir seluruhnya orang Prancis dan sebagian besar
penduduk Kota Rheims memihak Tim Indonesia. Tidak ada sorak sorai penonton
setiap gol yang tercipta kepada Tim Hungaria. Akan tetapi, setiap ada adegan
indah dan heroik dari pemain Indonesia, para penonton bergemuruh. Indonesia
dalam pertandingan ini kalah telah 6-0. Boleh jadi, orang Prancis melihat
pertandingan ini sebuah drama: antara tim kuat vs tim lemah. Memang akhirnya,
Tim Hungaria menang telak enam kosong, tetapi para penonton puas melihat
penampilan Tim Indonesia yang sangat heroik. Inilah drama dalam sepakbola dan
orang Prancis yang hadir di stadion memang menikmati betul drama itu. Sisi
humanis penonton Prancis lebih mengemuka dalam pertandingan Tim Indonesia vs
Tim Hungaria
Tim Indonesia dan Tim Belanda yang sama-sama
tampil di Piala Dunia 1938, bernasib serupa. Kedua tim ini sama-sama kalah
dalam pertandingan knock out Perdelapan Final. Bedanya, Tim Belanda langsung
pulang, sedangkan Tim Indonesia tidak. Rupanya, petinggi KNVB (asosiasi
sepakbola Belanda) dan petinggi NIVU (asosiasi sepakbola Indonesia) sama-sama
tidak puas dengan hasil yang dicapai di Piala Dunia 1938 di Prancis. Kedua
organisasi sepakbola anggota resmi FIFA itu sepakat untuk mempertemukan dua tim
yang sama-sama terluka itu di dalam satu pertandingan. Lalu ditetapkan
pertandingan kedua tim nasional tersebut dilangsungkan tanggal 26 Juni 1938 di
stadion Olympisch, Amsterdam. Kemudian masing-masing tim mempersiapkan diri. Tim
Indonesia kembali ke Den Haag, tempat dimana markas Tim Indonesia sebelum
berlaga ke Prancis. Di komplek stadion HBS, Tim Indonesia melakukan pemusatan
latihan kembali. Seebelum melakukan pertandingan dengan Tim Belanda, para
pemain Indonesia diasah kembali kemampuannya dengan melakukan dua uji coba,
yakni: tanggal 15- 6-38 di Rotterdam melawan klub Sparta yang berkesudahan
dengan kekalahan skor 3-4; tanggal 23- 6-38 di Dordrecht melawan klub D.F.C
dengan kemenangan 4-2.
.
Pada tanggal 26- 6-38 pertandingan yang tergolong
friendly match antara timnas Indonesia dengan timnas Belanda dilangsungkan.
Stadion Olympisch, Amsterdam penuh sesak yang dihadiri lebih dari 50.000
penonton (dua kali lebih dari di stadion Rheims). Sayang sekali, Timnas
Indonesia yang menggunakan jersey warna orange itu kalah telak dengan skor 2-9.
Kekalahan itu terbilang telak, karena melawan Hungaria di Rheims hanya kalah
0-6. Dalam pertandingan melawan Belanda yang dikalahkan Cekoslovakia 0-3 di
Piala Dunia di Prancis, para pemain Indonesia sedikit gugup dalam permainan,
penampilan kiper Mo Heng yang cemerlang sudah tampak merosot jika dibandingkan
kala melawan Hungaria. Pencetak gol bagi timnas Indonesia Taihitu menit 40 dan
Pattiwael menit 45. Tidak ada pergantian pemain di kubu Indonesia. Pemain
Indonesia yang tampil melawan Belanda adalah: Bing Mo Heng, Jack Samuel, Frans
Hukom, Anwar Sutan, Frans Meeng, Achmad Nawir, Hans Taihitu, Tjaak Pattiwael,
Herman Zomers, Suvarte Soedarmadji, dan The Hong Djien.
.
Setelah pertandingan internasional tersebut,
Tim Indonesia bersiap-siap pulang ke tanah air. Uniknya, maskapai pelayaran
dengan kapal Chr. Huygens yang sejatinya skedul akan berangkat 22 Juni 1938
dari Amsterdam menuju Batavia terpaksa ditunda. Pihak maskapai menjadwal ulang dan
dengan senang hati pula menyesuaikan jadwal kepulangan Tim Indonesia ke
Batavia. Ini mungkin tidak semata-mata untuk menghormati dua negara, dimana
kapal ini hanya hilir mudik antara Amsterdam-Batavia (dan sebaliknya), tetapi
juga barangkali para awak kapal ingin menonton pertandingan Indonesia vs
Belanda.
.
Pada tanggal 1 Juli 1938 Tim Indonesia pulang bersama
kapal Chr. Huygens dari Amsterdam. Kapal Chr, Huygens merapat di pelabuhan
Tanjung Priok, Batavia tanggal 21 Juli 1938. Sehari sebelum kapal sandar, para
pemain di dalam kapal telah melakukan malam perpisahan. Nawir yang menjadi
kapten Tim Indonesia berpidato atas nama seluruh tim betapa bersyukurnya mereka
atas semua pengalaman ini dan kepada Manajer Tim, Mr van Bommel telah diberi
cindera mata yang indah bertuliskan tinta perak yang dibeli di Kota Rheims.
Nawir Lulus Kuliah 1939: Apakah Anak dari Nawir
Harahap?
Setelah tiba di tanah air, Nawir kembali ke
Soerabaja. Nawir kemudian kembali ke kehidupan normal, kuliah dan bermain sepak
bola. Tentu saja Nawir rindu teman-temannya setelah berangkat ke Piala Dunia di
Prancis dan kembali ke Soerabaja membutuhkan waktu selama tiga bulan sejak
berangkat tanggal 27 April 1938. Ini adalah perjalanan terlama sebuah tim
nasional pada waktu itu, tetapi para pemain Indonesia telah banyak membawa
pengetahuan baru. Para pemain telah melihat apa yang menjadi standar Eropa.
Pengetahuan ini diharapkan merambat ke dalam klub mereka masing-masing.
Pada bulan September 1930 Nawir lulus untuk ujian
pertama untuk memperoleh gelar dokter Hindia di NIAS (lihat De Indische
courant, 04-09-1939). Nawir masih harus tetap
belajar untuk mempersiapkan dalam menghadapi ujian kedua yang akan dilakukan
kemudian. Pada tahun 1939 ketiga dilangsungkan pertandingan antara HBS dengan Gie
Hoo, nama Nawir sudah diberi tambahan gelar dengan nama Dokter Nawir (De
Indische courant, 16-10-1939). Sejak inilah Nawir sebagai pemain sepak bola
dikenal sebagai seorang dokter.
Lantas siapa Nawir? Nawir sejatinya bukan orang
Soerabaja dan juga bukan orang Jawa, tetapi berasal dari Sumatra. Pertanyaannya
dimana kampung asal Nawir di Sumatra? Sejauh ini tidak/belum ditemukan sumber
keterangan dimana Nawir lahir dan bagaimana asal-usul Nawir? Apakah Nawir berasal dari
Tapanoeli?
Nama [Mohamad] Nawir terdeteksi kali pertama
tahun 1925 sebagai siswa yang diterima di sekolah elit Koning Willem III School
di Batavia. Awalnya Nawir sebagai pemain basket di Batavia dan kemudian tahun
1931 Nawir tercatat sebagao pemain sepak bola di Soerabaja. Pada tahun 1933 [Mohamad]
Nawir tercatat sebagai salah satu mahasiswa yang naik dari kelas tiga ke kelas
empat di NIAS Soerabaja. Sejak di Soerabaja Nawir tidak pernah berpindah
tempat. Nawir telah menjadi orang Soerabaja. Dr. Nawir membuka Praktik Dokter
di Jalan Raja Darmo Soerabaja (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche
Dagbladpers te Batavia, 09-01-1946). Klinik yang diusahakan Dr. Nawir ini masih
eksis paling tidak hingga tahun 1953 (De vrije pers : ochtendbulletin, 26-01-1953).
Nieuwe courant, 23-09-1948 |
Dari penelusuran surat kabar sejaman, nama
Nawir tidak ditemukan di Jawa atau pulau-pulau lain. Yang agak mirip adalah nama Nawi yang banyak
ditermukan di Batavia. Di Sumatra orang yang menggunakan nama Nawir hanya
ditemukan di Tapanoeli. Salah satu nama yang ditemukan menggunakan nama Nawir
adalah Nawir Harahap, seorang anggota dewan kota (gemeenteraad) dan seorang Kepala
Kantor Regional (lihat De Indische courant, 07-08-1935). Jabatan-jabatan
tersebut saat itu di era kolonial Belanda adalah jabatan bergengsi. Oleh karena
itu Nawir Harahap (jika memiliki anak) jelas memiliki kemampuan finansial untuk
menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Nama Nawir Harahap terakhir
terdeteksi di Sibolga tahun 1948 (lihat Nieuwe courant, 23-09-1948). Disebutkan
sejumlah orang republiken ditangkap (pada era agresi militer Belanda). Mereka
itu adalah Mr. [Abdoel] Abas [Siregar], Kapitein Siregar, Majoor Siahaan, Luitenant
Kolonel Sitompoel, Majoor [Maraden] Panggabean, Dr. Amir Husein Siagian, Dr.[Ferdinand]
Lumban Tobing, Nawir Harahap, Mr. Humala Silitonga dan lima orang TNI.
Mr. Abdoel Abbas Siregar
adalah anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) 1945, Residen
Lampoeng pertama dan Ketua Republik (Indonesia) di Tapanoeli (pada era RIS);
Majoor Maraden Panggabean kelak dikenal sebagai Panglima ABRI (1973-1978); Dr.
Amir Husein Siagian adalah menantu Dr. Radjamin Nasution (Wali Kota Soerabaja
pertama). Amir Hoesin Siagian (kelahiran Laboehan Bilik) lulus STOVIA dan
mendapat gelar dokter tahun 1929 (Soerabaijasch handelsblad, 29-04-1929). Dr.
Amir Hoesin Siagian dipindahkan dari Tobelo ke pusat bedah di rumah sakit di
Soerabaja (Bataviaasch nieuwsblad, 10-06-1933), dipindahkan lagi ke Blora (Soerabaijasch
handelsblad, 01-05-1934). Amir Hoesin
Siagian dipindahkan kembali ke Soerbaja (Bataviaasch nieuwsblad, 30-01-1935).
Amir Hoesin dipindahhkan lagi ke Sipirok (Bataviaasch nieuwsblad, 09-01-1937).
Amir Hoesin gelar Mangaradja Parlaoengan dipindahkan ke Tembilahan (Bataviaasch
nieuwsblad, 24-05-1939). Amir Hoesin dipindahkan lagi ke Poelaoe Toedjoeh
(Bataviaasch nieuwsblad, 02-04-1940). Dr. Amir Hoesin membuka Praktik Dikter di
Jalan Ambengan Soerbaka (Nieuwe courant, 14-08-1950); Dr. Ferdinand Lumban
Tobing adalah Residen Tapanoeli pertama, Menteri di era Soekarno; dan Nawir
Harahap sebagaimana disebutkan sebelumnya sebagai anggota dewan kota
(gemeenteraad) dan seorang Kepala Kantor Regional (jenis jabatan yang pernah dijabat
oleh Djamin Harahap gelar Baginda Soeripada, ayah dari Perdana Menteri Amir
Sjarifoeddin).
Lantas apakah Mohammad Nawir atau Achmad
Nawir berasal dari Tapanoeli? Mungkin hanya mengada-ada untuk mepertanyakan apakah
Mohamad Nawir atau Achmad Nawir adalah anak dari Nawir Harahap. Ini hanyalah sekadar
bertanya dan tetap menjadi suatu pertanyaan. Saat ini, hanya keluarganya yang
mengetahuinya siapa Achmad Nawir.
Sepak Bola di Kalangan Orang Tapanoeli
Tanpa bermaksud untuk mengklaim Achmad Nawir
adalah seorang yang berasal dari Tapanoeli, tetapi kenyataannya orang-orang
Tapanoeli sejak doeloe sangat menyukai permainan sepak bola. Klub pertama
pribumi didirikan tahun 1903 (De Sumatra post, 10-10-1904). Klub tersebut
adalah Toengkoe Voetbal Club disingkat TVC dan Letterzetters Club (L.Z. Club).
Klub LZ adalah klub sepak bola anak-anak Mandailing dan Angkola, Tapanoeli di
Medan, sedangkan TVC adalah klub para pengeran di Bindjei. TVC berkompetisi di
divisi-1 di Medan dan LZ Club di divisi-2 (De Sumatra post, 02-12-1905).
Het nieuws van den dag voor NI, 18-07-1904 |
Pada tahun 1906 di Medan berdiri klub orang Eropa/Belanda
yang diberi nama Voortwaart dan klub orang-orang Mandailing dan Angkola yang
baru yang diberi nama Tapanoeli Voetbalclub (klub LZ Club masih eksis). Dua
klub baru ini menginisiasi kompetisi yang baru (De Sumatra post, 08-07-1907).
Lalu kemudian dibentuk perserikatan sepak bola seperti di Batavia dan
Soerabaja. Perserikatan di Medan ini disebut Deli Votbal Baond (De Sumatra post,
17-07-1907). Pada tahun 1908 kompetisi bahkan memiliki tiga divisi. Kompetisi
di Medan berbeda dengan kompetisi di Batavia dan Soerabaja. Di Medan, kompetisi
sangat berwarna (Eropa/Belanda, Tionghoa, Melayu, Tapanoeli dam Djawa). Di
Batavia dan Soerabaja hanya Docter Djawa School yang ‘berlabel’ pribumi. Pada
tahun 1909 kapten tim klub DDS-VC adalah Radjamin Nasution.
Ketika kompetisi BVB Batavia libur, klub-klub
BVB biasanya melakukan tour pramusim untuk melakukan pertandingan persabahatan
di Bandoeng, Semarang dan Soerabaja. Pada tahun 1909 Docter Djawa School justru
melawat jauh ke Medan untuk melakukan pertandingan persahabtan dengan Tapanoeli
VC (klub pribumi yang lain). Apakah itu dilakukan karena tidak ada klub pribumi
yang setara di Jawa? Atau lawatan itu dilakukan semata-mata atas nama sepak
bola karena terkait dengan munculnya spirit kebangsaan? (sebagaimana diketahui Sjarikat
Tapanoeli telah didirikan di Medan 1907, yang mana anak-anak para pendiri
sarikat mendirikan klub sepak bola Tapanoeli VC; di Djawa pada tahun 1908 didirikan
sarikat Boedi Oetomo). Kapten Tim Docter Djawa School Voetbal Club yang melawat
ke Medan tersebut adalah Radjamin Nasution, teman sekolah Soetomo di STOVIA
(sejak 1902 Docter Djawa School diubah namanya
menjadi STOVIA). Faktor Radjamin Nasution dalam hal ini sangat menentukan dalam
lawatan ini. Lawatan pramusim juga kemudian dilakukan oleh klub SVB Soerabaja
seperti THOR yang melawat ke Makassar untuk melakukan pertandingan persahabatan.
Setelah lulus STOVIA tahun 1912, Radjamin
Nasution tetap menggeluti sepak bola. Dr. Radjamin Nasution, sebagaimana akan
kita lihat nanti, bahkan Radjamin masih bermain sepak bola hingga umur tua. Dr.
Soetomo setelah lulus STOVIA ditempatkan di rumah sakit/kantor layanan
kesehatan masyarakat (demikian seterusnya) ke berbagai tempat. Sedangkan Dr.
Radjamin Nasution awalnya ditempatkan di Kantor Bea dan Cukai di Batavia untuk
urusan kesehatan. Lalu di bea dan cukai seterusnya. Setelah beberapa kali
pindah tempat, Dr. Radjamin Nasution tahun 1923 ditempatkan di bea dan cukai di
Medan. Pada tahun ini Dr. Radjamin Nasution berinisiatif menyatukan semua klub
pribumi yang tidak tertampung di bond OSVB untuk melakukan kompetisi sendiri
(lihat De Sumatra Post terbitan 13-02-1923).
Pada tahun 1915 di Medan didirikan perserikatan (bond) wilayah
regional yang disebut Oostkust Sumatra Voetbal Bond (OSVB), termasuk cakupannya
Pematang Siantar dan Tandjoeng Balai. Klub-klub yang berkualitas di Medan (yang
umumnya klub-klub Eropa/Belanda) masuk kompetisi OSVB. Perserikatan DVB seakan
mati suri (vakum kompetisi). Saat kevakuman inilah Dr. Radjamin Nasution
menyatukan klub-klub pribumi yang banyak dan sebagian karena alasan tidak
tertampung di kompetisi OSVB dan sekaligus menghidupkan kembali DVB (yang telah
didirikan tahun 1907) untuk melakukan kompetisi sendiri. Bond yang
menyelenggarakan tetap menggunakan nama bond yang lama, DVB. Hal yang
sebaliknya di Soerabaja, bahwa. perserikatan/kompetisi regional OJVB (Oost Java
Voetbal Bond) justru dilikuidasi tahun1909. Likuidasi ini diduga terkait dengan
didirikannya SVB (perserikatan sebatas klub-klub di kota Soerabaja saja).
Klub-klub lain seperti di Malang lalu membentuk bond/kompetisi sendiri.
Orang-orang Tapanoeli tidak hanya membentuk
klub di Medan tetapi juga di Batavia. Pada tahun 1925 didirikan klub Bataksch
Voetbal Vereeniging (BVV) di Batavia. Pendiri klub ini adalah Parada Harahap
(pemimpin surat kabar Bintang Hindia dan kantor berita pribumi Alpena). Boleh
jadi Parada Harahap sudah berpengalaman tentang sepak bola di Medan. Parada
Harahap adalah editor surat kabar Benih Mardeka di Medan 1919. Klub pribumi BVV
ini, baru tahun 1927 berhasil masuk dalam kompetisi VBO (suksesi BVB). Di dalam
kempetisi VBO ini, sudah terlebih dulu ada klub Jong Ambon (JAA). Seperti
halnya di Medan (OSVB) di Batavia juga sangat ketat persyaratan klub untuk bisa
masuk dan berkompetisi di VBO. Pada tahun-tahun ini Docter Djawa Voetbal Club sendiri
sudah lama tidak terdeteksi kabar beritanya. Klub pribumi yang ikut
berkompetisi di OSVB antara lain MVC (campuran), Horas dan Parsadaan. Di
Bandoeng yang ikut berpartisipasi di dalam kometisi BVB yang terbilang pribumi adalah
klub OSVIA (siswa-siswa sekolah pamong praja).
Het nieuws van den dag voor NI, 29-11-1902 |
Setelah lama di Medan, akhirnya Radjamin Nasution
dipindahkan kembali ke Batavia. Lalu kemudian pada bulan September 1929, Dr. Radjamin
Nasution dipindahkan kembali ke Surabaya (sebelum ke Medan Radjamin Nasution
pernah ditempatkan di Soerabaja). Tidak lama setelah kembali berdinas di
Surabaya, awal November, Radjiman Nasution dan kawan-kawan mendirikan Sarikat
Pekerja Bea dan Cukai. Radjamin Nasution duduk sebagai bendahara. Dalam rapat
tahunan Oktober 1930 komposisi pengurus Sarikat Pekerja berubah dimana ketua
dan sekretaris berganti tempat, sedangkan Radjamin Nasution tetap sebagai
bendahara. Nama Dr. Radjamin lambat laun semakin populer di Soerabaja. Pada
tahun 1931 Dr. Radjamin Nasution terpilih sebagai anggota dewan kota
(gemeenteraad) Soerabaja.
Kesuksesan Radjamin Nasution terpilih menjadi anggota
dewan kota, ini bermula pada tahun 1930 ketika Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin
Nasution di Soerabaja berinisiatif mendirikan partai baru yaitu Partai Bangsa
Indonesia (PBI). Di Bandoeng sendiri sejak tahun 1928 sudah didirikan Partai
Nasional Indonesia. Masih pada tahun 1930, di Medan Abdoel Hakim Harahap
terpilih menjadi anggota dewan kota Medan. Lalu pada tahuh 1934 Abdoel Hakim
Harahap dan Dr. Djabangoen Harahap mendirikan klub sepak bola yang diberi nama SAHATA
(Dr. Djabangoen Harahap adalah adik kelas Radjamin Nasution dan Soetomo di
STOVIA). Pada tahun 1935 PBI dan Boedi Oetomo merger dan membentuk partai baru
yang dikenal sebagai Partai Indonesia Raja (Parindra). Pada tahun ini juga di
Soerabaja, Dr. Radjamin Nasution dan kawan-kawan di Soerabaja mendirikan
perserikatan sepak bola perkantoran/perusahaan yang disebut SKVB.
Singkat kata: Pada era pendudukan Jepang, Dr.
Radjamin Nasution diangkat menjadi Wali Kota Soerabaja. Ini mudah dipahami,
karena saat itu Dr. Radajamin Nasution adalah pemilik portofolio tertinggi di
Soerabaja: mantan anggota senior dewan kota (Wethouder), juga pernah menjadi
anggota Volkstaad (dari Parindra). Lalu pada era kemerdekaan RI (1945) kembali
Radjamin Nasution diangkat sebagai Wali Kota Soerabaja. Pada era perang
kemerdakaan Wali Kota RI Radjamin Nasution mengungsi pindah kantor ke
Mojokerto. Sementara di sisi lain, tahun 1948 perserikatan SKVB diintegrasikan
ke perserikatan SVB. Lalu SVB plus SKVB bertransformasi menjadi nama perserikatan
baru yang disebut Persibaja (federasi VUVSI/ISNIS) dan lalu kemudian Persibaja berafiliasi
dengan federasi PSSI (1949). Yang memainkan peran kuat dalam proses
transformasi dari federasi VUVSI/ISNIS ke federasi PSSI ini adalah Dr. Achmad
Nawir. Sebelumnya, Achmad Nawir adalah penasehat SVB dan pernah menjadi Ketua
SVB (era federasi NIVU).
Pemain-pemain sepak bola asal Mandailing/Angkola
(Tapanoeli) banyak diantaranya yang kemudian menjadi tokoh nasional: Dr. Abdoel
Hakim di Padang menjadi Wali Kota Padang; Dr. Radjamin Nasution menjadi Wali
Kota Soerabaja; Parada Harahap menjadi anggota BPUPKI; Abdoel Hakim Harahap
menjadi Residen Tapanoeli (1948-1949), Wakil Perdana Menteri RI (1949-1950),
dan Gubernur Sumatra Utara yang pertama pasca pengakuan kedaulatan RI
(1951-1953). Dr. Djabangoen Harahap, Ketua Front Nasional di Medan pada era
perang kemerdekaan. Di Soerabaja ketua front nasional adalah Doel Arnojo yang
kemudian menjadi Wali Kota Soerabaja. Dan, ketua front nasional di Tapanoeli adalah
Nawir Harahap.
Satu lagi pemain sepak bola asal Mandailing
dan Angkola yang juga ‘gibol’ adalah Kapten Marah Halim Harahap (pangkat
tertinggi: Mayor Jenderal). Marah Halim Harahap adalah Gubernur Sumatra Utara
(1967-1978) adalah penggagas Marah Halim Cup (satu-satunya turnamen di
Indonesia yang diakui FIFA dan masa penyelenggaraan terlama di dunia).
Salah satu anak Dr. Radjamin Nasution adalah Irsan
Radjamin, mahasiswa sekolah kedokteran di Batavia sebagai pemain sepak bola di
klub USI (Bataviaasch nieuwsblad, 01-12-1938). Irsan Radjamin berposisi sebagai
kiper. Pada usia tinggi, umur 34 tahun pada tahun 1952 Irsan Radjamin masih
bermain sepak bola ketika Tim Dokter Soerabaja melawan Tim Wartawan di perserikatan SKVB (De vrije pers:
ochtendbulletin, 08-08-1952). Dalam tim dokter ini juga terdapat Dr. Sjoeib Proehoeman
Lubis, umur 32 tahun (dokter alumni Belanda, lulus 1930). Ketua SKVB tahun 1951
adalah Dr. Irsan Radjamin. Dari namanya terlihat tercatat menggunakan nama
belakang Radjamin. Ini juga ditemukan dalam penulisan nama Mr. Egon Hakim (anak
Dr. Abdoel Hakim Nasution). Mr. Egon Hakim adalah menantu dari MH Thamrin.
Demikian juga penulisan nama dari anak Abdoel Hakim Harahap, alumni ITB Januar
Hakim. Hanya anak Parada Harahap yang tetap menggunakan marga, Mr. Aida Dalkit
Harahap (lulus fakultas hukum UI, 1957). Jadi ada semacam pembentukan marga
baru di perantauan. Lantas bagaimana dengan Achmad Nawir? Apakah idem dito
dengan Nawir Harahap? Sekali lagi: hanya keluarga Achmad Nawir yang mengetahui.
Orang-orang Mandailing dan Angkola
(Tapanoeli) sejak era kolonial Belanda sudah banyak di Soerabaja dan
sekitarnya. Mereka yang berprofesi di bidang kesehatan, yang cukup populer antara
lain adalah keluarga Dr. Radjamin Nasution, keluarga Dr. Sjoeib Proehoeman,
keluarga Dr. Amir Hoesin Siagian (menantu Dr. Radjamin Nasution) dan keluarga
Ismail Harahap. Anak Dr. Radjamin Nasution tidak hanya Letkol Dr. Irsan
Radjamin yang bergelar dokter tetapi juga putri sulungnya juga adalah oerang
dokter (istri Dr. Amir Hoesin Siagian). Ismail Harahap adalah alumni pertama
sekolah apoteker di Batavia, lulus tahun 1940 dan langsung ditempatkan di
Soerabaja. Ismail Harahap adalah ayah dari Datoe Oloan Harahap alias Ucok AKA
(pionir rock Indonesia).
Pada masa kini, jika Radjamin Nasution merupakan salah
satu dari generasi pertama orang Mandheling en Ankola di Surabaya dan Jawa
Timur, maka Radjamin Nasution dapat dikelompokkan sebagai generasi pertama.
Penduduk Jawa Timur asal Mandheling en Ankola (Padang Sidempuan) yang ada sekarang
adalah generasi keempat/kelima. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah
penduduk Jawa Timur yang berasal dari Tapanuli Selatan (subetnik Angkola dan
subetnik Mandailing) tercatat sebanyak 30.904 jiwa. Jumlah ini memang tidak ada
artinya dibandingkan dengan etnik Jawa sebanyak 29.824.950 jiwa dan etnik
Madura sebanyak 6.568.438 jiwa. Akan tetapi jika dibandingkan dengan etnik non
Jawa/Madura (pendatang), maka penduduk asal Tapanuli Selatan di Jawa Timur
adalah nomor tiga terbanyak setelah etnik Tionghoa (236.124 jiwa) dan etnik Sunda (45.262 jiwa).
Penduduk Jawa Timur yang berasal dari etnik Bali sendiri hanya sebamyak 19.316
jiwa,
,
I knew Dr. Achmad Nawir
BalasHapus