Sabtu, 16 Juni 2018

Sejarah Kota Surabaya (22): Achmad Nawir, Mahasiswa Kedokteran, Kapten Tim Sepak Bola Indonesia di Piala Dunia Prancis, 1938


*Semua artikel Sejarah Kota Surabaya dalam blog ini Klik Disini.
 

Pertandingan Indonesia vs Hungaria yang dilangsungkan tanggal 6 Juni dalam ajang Piala Dunia 1938 di Prancis dipimpin oleh dua kapten tim yang berlatar belakang kedokteran. Kapten Tim Indonesia adalah mahasiswa kedokteran Achmad Nawir dan kapten Tim Hungaria adalah Dr. Sarosi. Ini unik. Sangat jarang, dan mungkin satu-satunya kejadian dalam dunia sepakbola.
.
Nawir vs Sarosi (De Indische courant, 07-06-1938)
Sebelum pertandingan dimulai, prosedurnya kapten dua tim dipertemukan di hadapan wasit dan hakim garis. Ketika antara Nawir dan Sarosi berjabat tangan, Nawir mengucapkan Selamat Datang dengan ramah kepada Dr. Sarosi. Rupanya, Sarosi juga tahu bahwa kapten Indonesia adalah seorang mahasiswa kedokteran. Lantas Dr. Sarosi membalas ucapan Nawir dengan salam yang sama, Selamat Datang. Sebagai rekan dalam bidang yang sama di dalam dunia kedokteran, Sarosi juga membalas salam Nawir itu dengan ramah. Lantas, dalam permainan bola apakah kedua orang berlabel kedokteran itu saling beramah tamah?

Dalam sejarah sepak bola Indonesia di Piala Dunia, nama Nawir yang paling disorot. Itu bukan karena Nawir pemain hebat dan kapten tim Indonesia tetapi karena Nawir dipersepsikan sebagai seorang dokter. Achmad Nawir adalah seorang dokter, demikian selalu ditulis. Namun sejatinya, pada saat pertandingan tersebut Nawir belumlah menjadi dokter, akan tetapi masih berstatus mahasiswa di Nederlandsch Indie Arts School (NIAS). Lantas bagaimana informasi tentang Dr. Achmad Nawir keliru? Mengapa nama Dr. Nawir menjadi Achmad Nawir? Dan, siapa sesungguhnya Dr. Nawir? Apakah Achmad Nawir berasal dari Tapanoeli? Untuk itu, mari kita telusuri (kembali) sejarah Achmad Nawir tersebut.

Pada laman Wikipedia nama Achmad Nawir hanya dideskripsikan secara singkat saja. Dari deskripsi yang singkat itu, informasi Achmad Nawir juga dipersingkat. Achmad Nawir disebut lahir tahun 1911 tetapi tidak disebut tanggal dan tempat lahir. Dinformasikan, Achmad Nawir adalah pemain klub HBS di Surabaya dan menjadi kapten tim Indonesia (baca: Hindia Belanda) di Piala Dunia di Prancis tahun 1938. Achmad Nawir juga berprofesi dokter. Achmad Nawir meninggal pada bulan April 1995 dalam usian 84 tetapi tidak disebut dimana dimakamkan. Informasi tersebut tampaknya tidak sebanding dengan kiprahnya di lapangan sepak bola hingga menjadi kapten tim di Piala Dunia dan tidak setara dengan kiprahnya di bidang kesehatan yang begitu merakyat di Surabaya.

Nederlandsch Indie Arts School (NIAS): Mohamad Nawir

Nama Mohamad Nawir muncul ke publik kali pertama ketika diumumkan siswa-siswa yang lulus kelas satu di sekolah Koning Willem III School (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-05-1925). Nama Mohamad Nawir baru muncul kembali pada tahun 1930 (De Indische courant, 28-05-1930). Disebutkan Mohamad Nawir naik dari kelas satu ke kelas dua di Nederlandsch Indie Arts School (NIAS) di Soerabaja. Mohamad Nawir satu kelas antara lain Abdoel Soekoer, P. Dalimoenthe, Djapar Siregar. Ph. Napitoeloe. Sementara mahasiswa yang naik ke kelas tiga antara lain W. Hoetagaloeng. Sedangkan yang naik ke kelas empat antara lain Amir Hoesin. Yang naik ke kelas lima antara lain Koempoelan Pane. Sementara yang naik ke kelas enam antara lain M. Sabirin, Sedangkan yang naik ke kelas tujuh antara lain Zainoel Moechtar.  Pada tahun 1933 Mohamad Nawir termasuk salah satu mahasiswa yang naik kelas dari kelas tiga ke kelas empat di Nederlandsch Indie Arts School (NIAS) di Soerabaja (De Indische courant, 22-05-1933). Pada tahun 1934 yang naik ke kelas dua antara lain Abdoel Manap dan Moh. Amin Lubis. Sementara yang naik ke kelas empat antara lain Aminoedin. Sedangkan yang naik ke kelas tujuh antara lain Amir Hoesin (De Indische courant, 09-06-1934). Tidak terdapat nama Mohamad Nawir (mungkin cuti). Pada tahun 1935 Amir Hoesin lulus ujian bagian pertama Indisch Arts (De Indische courant, 17-01-1935).

Koning Willem III School (KW III School) adalah sekolah elit di Batavia yang umumnya adalah siswa-siswa Eropa/Belanda. KW III School menyelenggarakan pendidikan HBS-3 (setara SMP) dan HBS-5 (setara SMP dan SMA). Sedangkan Nederlandsch Indie Arts School (NIAS) adalah sekolah kedokteran yang dibuka di Soerabaja tahun 1913 seperti halnya STOVIA di Batavia. STOVIA ditujukan bagi golongan pribumi sedangkan NIAS untuk semua golongan (Eropa/Belanda, pribumi dan Asia). Pada tahun 1924 STOVIA ditingkatkan statusnya menjadi perguruan tingi kedokteran (Geneskundige Hoogere School) yang saringannya lebih ketat (mahasiswa yang diterima Eropa/Belanda, pribumi dan Asia). Sementara NIAS hanya dikhususkan utuk pribumi dan Asia. Jika Mohamad Nawir masuk di KW III School tahun 1925 jika mengikuti HBS-5 (HBS lima tahun) maka Mohamad Nawir langsung memasuki NIAS pada tahun 1930. Oleh karenanya, Mohamad Nawir di NIAS sudah berada di tingkat tiga tahun 1933 (naik ke kelas empat).

Nama Mohamad Nawir di KW III School di Batavia dan di NIAS di Soerabaja adalah orang yang sama. Namun di luar lingkungan sekolah, Mohamad Nawir lebih dikenal dan ditulis di publik hanya Nawir (saja). Nawir di Batavia bukan sebagai pemain sepak bola tetapi pemain basket (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 03-05-1929). Saat ini Nawir berada di kelas terakhir di KW III School. Klub Nawir bernama SVBB maju di final dalam kejuaraan Korfbal Batavia Bond melawan PAMS. Di dalam tim SVBB juga ada nama Meeng. PAMS menang 4-3 mengalahkan SVBB. Pada tahun 1931 (saat mana Nawir di NIAS) tercatat sebagai pemain sepak bola. Dalam komposisi Tim SVB (Soerabaijasch Voetbal Bond) Nawir sebagai gelandang kiri (lihat De Indische courant, 20-03-1931). Sejak itu nama Nawir kerap muncul di media sebagai pemain sepak bola di Soerabaja dengan nama klub HBS. Nawir mulai bergabung dengan HBS tahun 1931.

Pada ulang tahun THOR, klub Nawir (HBS) melawan tim dari Australia. Pertandinga hanya berakhir dengan skor 1-1- (De Indische courant, 04-09-1931). Dalam skuad HBS hanya Nawir dan Saleh yang pribumi (yang lainnya Eropa/Belanda). Posisi Nawir tetap sebagai gelandang kiri (sebagaimana di tim perserikatan SVB).  

Nama Nawir di Soerabaja terus eksis sebagai pemain sepak bola. Nawir masih tetap setia dengan klubnya HBS. Malah nama Nawir sebagai mahasiswa NIAS tidak pernah muncul lagi ke publik kalau tidak bisa dikatakan sangat jarang. Nama Nawir selalu muncul sebagai pemain sepak bola.

Pertandingan sepak bola dicatat pertama kali diadakan di Surabaya adalah pertandingan yang terjadi pada tahun 1902 (lihat Soerabaijasch handelsblad, 15-12-1902). Klub yang berpartisipasi dalam pertandingan tersebut tiga diantaranya Voorwaarta, THOR dan ECA. Perserikatan sepak bola didirikan di Soerabaja pada tahun 1907 yang disebut Oost Java Voetbalbond. Inisiatif pembentukan bond ini adalah SVS dan kemudian didukung sejumlah klub seperti SVS, THOR, RA, HBS, SSS, ECA dan Excelsior. Pada tahun 1910 di Soerabaja didirikan perserikatan Soerabaja yang disebut Soerabaijasch Voetbal Bond (SVB). Klub Nawir, HBS didirikan tahun 1913 oleh sejumlah siswa-siswa sekolah HBS Soerabaja. Para pemain sebelumnya bermain di klub THOR. HBS bukan klub sekolah.

Nawir selain anggota klub HBS juga menjadi pemain klub di kampusnya NIAS. Ini terlihat ketika kesebelasan NIAS bertemu dalam suatu perandingan melawan KES (Soerabaijasch handelsblad, 15-03-1934). Nama Nawir dalam tim NIAS disebutkan cukup menonjol. Nawir juga termasuk dalam tim Java yang akan berangkat ke Manila (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-04-1934). Ketika tim nasional Belanda melawat ke Hindia Belanda, Nawir juga masuk dalam komposisi tim di Soerabaja (Soerabaijasch handelsblad, 02-01-1936). Tim Nawir mampu mengimbangi tim Belanda dengan skor 2-2. Dalam perkembangannya, Nawir disebutkan sebagai kapten Tim Soerabaja (De Indische courant, 08-06-1936).

Piala Dunia di Prancis 1938: Kapten Tim Indonesia, Nawir
Catatan: bahan-bahan berikut ini sudah pernah diterbitkan dalam sejumlah artikel pada bulan Mei dan Juni 2014 di http://akhirmh.blogdetik.com

Pada tanggal 15 Maret 1937, FIFA menunjuk Jepang dan Indonesia untuk melakukan pertandingan prakualifikasi Piala Dunia 1938 yang pemenangnya akan melawan (play-off) pemenang pertandingan (play-off) antara Amerika Serikat (juara Amerika Utara) dengan Argentina (juara Amerika Tengah) untuk memperebutkan satu tempat dalam melengkapi 16 negara yang akan berlaga dalam final Piala Dunia 1938 di Prancis. Dalam hal ini penunjukan Indonesia dari Asia karena masa itu Indonesia telah memiliki kompetisi lokal yang teratur, sedangkan Jepang sebelumnya pernah memiliki tim Olimpiade yang kuat.

Di dalam negeri, sesungguhnya ada dua asosiasi sepakbola, yakni: NIVU dan PSSI. Namun yang diakui oleh FIFA adalah NIVU. Persoalan muncul, sebab tentu saja pemain-pemain terbaik di Indonesia tidak hanya ada di klub-klub di bawah naungan NIVU tetapi juga klub-klub yang berafilasi dengan PSSI. Akibatnya, ada kegalauan diantara petinggi NIVU, ini beralasan, karena tim-tim yang dihadapi di Piala Dunia 1938 terdiri dari tim-tim tangguh yang berasal dari Eropa. Apalagi, jika Indonesia lolos prakualifikasi dan menang playoff akan langsung bertemu dengan tim Hungaria yang menjadi tim terkuat di Eropa Tengah. Situasi dan kondisi jelang Piala Dunia 1938 mirip dengan situasi yang dihadapi Indonesia pada prakualifikasi Piala Dunia 2014 dimana terdapat dualisme kepemimpinan organisasi sepakbola Indonesia (antara kubu IPL dengan kubu ISL). Pemain-pemain Indonesia yang ikut dalam prakualifikasi 2012/2013 hanya yang berasal dari klub-klub di bawah naungan kubu IPL (saat itu FIFA tidak mengakui kubu ISL).
.
Presiden NIVU, Grouse mencoba mencari jalan keluar. Dia berinisiatif untuk membicarakan dengan petinggi PSSI dalam suatu pertemuan di Bandung. Presiden NIVU berharap terjadi unifikasi (NIVU dengan PSSI). Akan tetapi deadlock. Dengan pengakuan FIFA terhadap NIVU dan tidak tercapainya unifikasi, otomatis potensi pemain berkualitas hanya dapat diperoleh dari kompetisi yang dilakukan oleh klub-klub dibawah afiliasi NIVU. Sementara itu, tidak mudah untuk menyeleksi semua pemain klub-klub NIVU karena homebase klub-klub NIVU tidak hanya di Jawa, tetapi juga di Sumatra dan Sulawesi–yang tentu saja berjauhan. Dengan pertimbangan biaya dan jarak yang berjauhan, NIVU hanya membatasi seleksi pemain untuk Piala Dunia 1938 di wilayah Jawa saja.
.
Untuk proses seleksi ini, NIVU mendatangkan pelatih berkualitas dari Belanda bernama Mastenbroek dan NIVU juga menyelenggarakan kompetisi dadakan di tiga subwilayah Jawa untuk memantau pemain potensil, yakni: Jawa bagian barat di pusatkan di Bandung (perserikatan dari Batavia, Bandoeng dan Semarang) yang dilangsungkan tanggal 24, 25 dan 26 Desember 1937; Jawa bagian timur dipusatkan di Malang pada tanggal 29 dan 30 Desember 1937 (perserikatan Soerabaja dan Malang); dan Jawa bagian tengah dipusatkan di Solo tanggal 30 Desember 1937 (perserikatan Solo dan Djokjakarta). Selanjutnya, kombinasi pemain yang masing-masing mewakili tiga subwilayah (tiga tim) dipertemukan pada awal Februari 1938 di Solo. Pertemuan tiga tim subwilayah ini menjadi fase terakhir dalam memantau dan memilih kandidat pemain ke Piala Dunia. Catatan: Tim dari masing-masing daerah (bond) dan yang mewakili subdivisi merupakan pemain-pemain dari klub yang berada di bond masing-masing.
.
Pelatih Mastenbroek, memantau tournament untuk merekrut pemain yang sesuai dengan kualifikasi yang diinginkannya dalam membentuk tim Indonesia ke Piala Dunia. Hasilnya, dipanggil sejumlah pemain untuk mengikuti pelatihan dan uji coba. Pada fase keberangkatan menuju pemusatan latihan di Medan, akhirnya jumlah pemain diciutkan menjadi hanya 17 pemain yang benar-benar berangkat ke Prancis. Nama-nama pemain tim Indonesia yang berangkatke Prancis tersebut termasuk Nawir. De Indische courant, 12-04-1938 melaporkan bahwa secara aklamasi Nawir ditunjuk menjadi kapten Tim dan Rohrig sebagai wakil kapten. Untuk maskot tim adalah Teddybear, sebuah boneka beruang Teddy yang hampir seukuran bayi (De Indische courant, 19-04-1938).
.
Hasil seleksi dari turnamen tiga subwilayah di Jawa, menurut para dewan NIVU sesungguhnya tidak begitu optimis dibandingkan dengan seharusnya untuk kebutuhan level permainan di Eropa. Namun itulah kenyataannya (dualisme kompetisi, pencarian bakat yang hanya di Jawa dan juga semakin sempitnya waktu persiapan). Akan tetapi dukungan yang luar biasa dari Mr. Karel Lotsy (Presiden KNVB, PSSI-nya di negeri Belanda) membuat para official Tim Indonesia untuk berangkat ke Eropa tetap bersemangat. Karel Lotsy yang juga menjadi pejabat tinggi di FIFA sangat simpatik talenta yang ada di Indonesia. Sebelum berangkat ke Eropa, tim Nivu akan memainkan pertandingan terakhir di Batavia pada hari Minggu siang 24 April di lapangan B. V. C., melawan "sisa" Batavia. Tim NIVU: Mo Heng (Malang), Samuels (Surabaya), Anwar (Batavia), Nawir (Soer.), Taihutu (Batavia), Patiwael (Batavia), Hong Djien (Soer.), Hukom, F. Meeng, Tan See Han, Summers Cadangan: Van Beuzekom (Batavia), Harting (Surabaya), Van der Burj (Djocja), Faulhaber (Semarang), Sudarmadji (Surabaya) dan Telwe (Surabaya). Hasil pertandingan di Batavia berakhir dengan skor 4-1 (2-0) untuk kemenangan Tim NIVU melawan tim Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 25-04-1938).

Akhirnya Tim Indonesia berangkat dan memulai perjalanan panjang ke Eropa, dari Batavia tanggal 27 April 1938. Namun, Tim Indonesia tidak mengikuti rute dan skedul pelayaran reguler Batavia-Amsterdam (yang umumnya berada tiga minggu pelayaran), melainkan melakukan perjalanan dengan rute yang disesuaikan dengan kondisi pemain dan program pelatihan yang direncanakan (di dalam negeri, selama perjalanan dan di Eropa/Belanda). Oleh karenanya ada sejumlah persinggahan sebelum menuju Rheims, Prancis. Ini semua dimaksudkan untuk tetap menjaga stamina pemain tetap kondusif dan berupaya agar terjadi peningkatan performance hingga hari-H di Rheims pada tanggal 5 Juni 1938. Persinggahan pertama dilakukan di Medan.

Di Medan, Tim Indonesia melakukan pemusatan pelatihan terakhir di tanah air sebelum menuju Eropa. Pada tanggal 30 April di Medan melakukan uji coba melawan sebuah tim bentukan yang terbilang kuat yang merupakan kombinasi para pemain terbaik di Medan dan sekitarnya. Meski Tim Indonesia dapat memainkan partai indah dalam pertandingan itu, tetapi hanya mampu menang 4-2 (De Sumatra post, 02-05-1938). Hasil di Medan ini tidak terlalu diperhitungkan, tetapi tujuan utama lebih pada mendapatkan gambaran yang baik dari apa yang dapat selama pemusatan latihan sebelumnya di Soerabaja dan  Batavia serta hasil partai uji coba di Bandung melawan klub Bandung tanggal 13-3-1938. Tim ini dipimpin Mastenbroek yang didampingi ofisial van Bommel  (Pemimpin Umum) dan Weiss serta Nona Meyer sebagai sekretaris. Sementara tujuh belas pemain dipilih dari (hanya) tiga perserikatan di Jawa yang terdiri dari delapan orang Belanda, tiga orang Ambon, dua orang Sumatra, satu orang Jawa dan tiga orang Tionghoa (Soerabaijasch handelsblad, 25-05-1938). Jika hanya disebut satu orang Jawa itu berarti adalah Soedarmadji. Lantas siapa dua orang Sumatra. [Soetan] Anwar telah diklaim sebagai orang Minangkabau. Satu lagi sudah tentu yang dimaksud adalah Achmad Nawir Lantas siapa [Achmad] Nawir? Darimana asalnya di Sumatra?
.
Skuad Tim Indonesia yang jumlahnya 17 pemain tetap bersemangat selama dalam pelayaran. Selain memupuk komunikasi, memperkuat solidaritas dan kerjasama antar pemain, para pemain dan official juga sangat akrab dengan para penumpang lain dan awak kapal. Perjalanan yang jauh dan waktu yang lama di dalam kapal secara teknis para pemain tidak bisa berlatih sepakbola. Namun untuk menjaga kondisi fisik, mereka masih bisa melakukan banyak kegiatan olahraga penunjang di dalam kapal.
.
Setiap pagi para pemain berlatih di dek kapal, ketika para penumpang masih tidur. Jenis olahraga yang dilakukan antara lain senam, dektermis, tenis meja dan lain-lain sehingga tubuh pemain dapat tetap fit. Para official juga terus memantau dan mengatur sedemikian rupa pola makan dan jam tidur malam. Salah satu pemain, Mo Heng selama di kapal masih memiliki masalah cidera pergelangan tangan dan di kapal pernah melakukan radiografi.
.
Relaksasi dilakukan di Colombo, Port Said, Genoa dan Marseille. Colombo adalah sebuah kota pelabuhan penting di Asia Selatan yang selalu menjadi titik strategis persinggahan kapal-kapal Belanda (Amsterdam-Batavia dan sebaliknya). Biasanya kapal-kapal Belanda singgah cukup lama di kota ini. Para penumpang di kota ini biasanya mengambil kesempatan ini untuk relaksasi seperti jalan-jalan, belanja/perbekalan bahkan untuk menginap di hotel. Hal yang mirip dilakukan penumpang juga terjadi di Port Said, suatu pelabuhan penting di Mesir yang menghubungkan Eropa dan Asia (West-East). Selanjutnya dari kota pelabuhan yang berada di jalur Terusan Suez ini, Tim Indonesia justru menuju Genoa (pelabuhan utama di Italia) dan dari Genoa dilanjutkan ke Marseille (pelabuhan utama di Prancis).

Rute ini tidak lazim untuk orang-orang Belanda dan maskapai pelayaran Negeri Belanda. Di Marseille perjalanan moda transportasi laut diganti dengan moda transportasi darat. Dari Marseille Tim Indonesia melanjutkan perjalanan ke Den Haag dengan menggunakan kereta api trans Eropa (Parijschen) milik Prancis. Setiba di Den Haag, para pemain sedikit mengalami cuaca yang berbeda, 10 dari 17 pemain mengalami kedinginan namun tetap semangat.
.
Akhirnya, Tim Indonesia tiba di Den Haag tanggal 18 Mei 1938 setelah melakukan perjalanan panjang dengan kereta api dari Marseille [biasanya, orang-orang Belanda dari Batavia tiba di Belanda mendarat di pelabuhan Amsterdam]. Di stasion kereta api Den Haag, tidak dinyana, Tim Indonesia disambut meriah, baik oleh pejabat KNVB, pengurus klub HBS maupun para simpatisan dan keluarga para pemain termasuk para mantan-mantan pemain sepakbola di Indonesia. Tim Indonesia kemudian menaiki bus menuju hotel Duinoord di Sweelinckplein, tempat para pemain dan official menginap selama di Belanda. Setiba di hotel dilakukan dilakukan pertemuan khusus antara pemain dan official Tim Indonesia dengan pejabat KNVB, pimpinan HBS dan lainnya.
.
Semua pembiayaan selama di Belanda ditanggung penuh melalui KNVB. Sedangkan tempat training centre selama di Belanda ditetapkan di kompleks sepakbola klub HBS, Den Haag. Tim Indonesia di Den Haag direncanakan akan tinggal sampai tanggal 31 Mei 1938. Untuk kegiatan uji coba, Tim Indonesia pertama melawan tim professional HBS pada tanggal 25 Mei 1938 di Houtrust dengan hasil akhir, 2-2. Mo Heng dalam petandingan ini masih ada kendala dan mungkin akan memerlukan waktu pemulihan. Uji coba lainnya adalah melawan klub VV Haarlem di Haarlem pada tanggal 31 Mei 1938 dengan skor 5-3 untuk kemenangan Tim Indonesia. Kegiatan uji coba ini dimaksudkan untuk memperoleh kesan yang baik dari tim setiba di Eropa dan melihat sejauh mana hasil yang diperoleh selama pemusatan latihan yang berbasis di Den Haag. Hasil yang diperolah melawan HBS dan Haarlem (yang tidak full team), memang performance tim belum menjanjikan, tetapi para pelatih punya cara sendiri dan menganggap penting untuk meminta pendapat para wartawan tentang performa tim dan apa saran-saran mereka. Selama di Den Haag, suasana hati para pemain dan upaya peningkatan pengetahuan dan pemahaman para pemain terus dibina. Mungkin menonton sepakbola adalah hal sepele, tapi itu juga menjadi bagian dari program latihan tim Indonesia. Para pemain diajak untuk menonton pertandingan antara klub Heracles dengan klub Feyenoord tanggal 26 Mei 1938.

Setelah tim menyelesaikan pemusatan latihan di Den Haag, Tim Indonesia berangkat tanggal 2 Juni 1938 menuju Rheims, Prancis. Tim Indonesia berangkat dari Den Haag pada pukul 10.56 ke Prancis. Setelah tiba di Paris jam 16.54, tim disambut oleh konsul. Pada hari berikutnya, pukul 10.30 meneruskan perjalanan ke Rheims. Menurut official tim, sampai tanggal 1 Juni penjualan tiket pertandingan Indonesia-Hongaria telah habis terjual dengan menghasilkan sebanyak 70.000 franc. Kapasitas stadion memiliki 19.000 tempat duduk.

Tim Hongaria sendiri sudah lebih dulu tiba di Rheims. Waktu yang ada dimanfaatkan oleh Tim Indonesia untuk berlatih fisik dan uji coba lapangan stadion Velodorme, Rheims. Malam sebelum hari-H, Walikota Rheims mengundang dan menjamu makan malam kedua tim.

Orang Prancis ternyata memiliki cara pandang tersendiri tentang sepakbola. Ternyata penduduk Kota Rheims datang berbondong-bondong ke stadion untuk menonton dan menunaikan tiket yang telah mereka beli jauh sebelum hari pertandingan. Mereka sangat respek terhadap Tim Indonesia setelah membaca semuanya di dalam koran pagi. Tapi, tak mereka sangka, sebelum pertandingan dimulai, dari tengah lapangan para pemain Indonesia memberi salam hormat kepada para penonton yang telah duduk manis baik ke arah tribun barat maupun tribun timur (hal serupa ini tidak dilakukan Tim Hungaria). Sontak, para penonton berdiri untuk membalas salam hormat Tim Indonesia. Rasa hormat di balas dengan rasa hormat.

Pertandingan dimulai. Priiit. Roger Conrie, wasit asal Prancis meniup pluit, tanda pertandingan dimulai. Mo Heng, yang sudah sembuh dari cedera pergelangan tangan, berada sigap di depan gawang. Pertahanan Tim Indonesia yang dikawal oleh dua center back, Hukom dan Samuel agak rapuh, sehingga Mo Heng harus beberapa kali menyelamatkan gawang Tim Indonesia sebelum akhirnya gawang Tim Indonesia kebobolan. Tidak ada riuh rendah, melainkan penonton terdiam saja ketika gol pertama terjadi. Ini menujukkan tanda bahwa kelihatannya penonton yang hampir seluruhnya orang Prancis dan sebagian besar penduduk Kota Rheims memihak Tim Indonesia. Tidak ada sorak sorai penonton setiap gol yang tercipta kepada Tim Hungaria. Akan tetapi, setiap ada adegan indah dan heroik dari pemain Indonesia, para penonton bergemuruh. Indonesia dalam pertandingan ini kalah telah 6-0. Boleh jadi, orang Prancis melihat pertandingan ini sebuah drama: antara tim kuat vs tim lemah. Memang akhirnya, Tim Hungaria menang telak enam kosong, tetapi para penonton puas melihat penampilan Tim Indonesia yang sangat heroik. Inilah drama dalam sepakbola dan orang Prancis yang hadir di stadion memang menikmati betul drama itu. Sisi humanis penonton Prancis lebih mengemuka dalam pertandingan Tim Indonesia vs Tim Hungaria

Tim Indonesia dan Tim Belanda yang sama-sama tampil di Piala Dunia 1938, bernasib serupa. Kedua tim ini sama-sama kalah dalam pertandingan knock out Perdelapan Final. Bedanya, Tim Belanda langsung pulang, sedangkan Tim Indonesia tidak. Rupanya, petinggi KNVB (asosiasi sepakbola Belanda) dan petinggi NIVU (asosiasi sepakbola Indonesia) sama-sama tidak puas dengan hasil yang dicapai di Piala Dunia 1938 di Prancis. Kedua organisasi sepakbola anggota resmi FIFA itu sepakat untuk mempertemukan dua tim yang sama-sama terluka itu di dalam satu pertandingan. Lalu ditetapkan pertandingan kedua tim nasional tersebut dilangsungkan tanggal 26 Juni 1938 di stadion Olympisch, Amsterdam. Kemudian masing-masing tim mempersiapkan diri. Tim Indonesia kembali ke Den Haag, tempat dimana markas Tim Indonesia sebelum berlaga ke Prancis. Di komplek stadion HBS, Tim Indonesia melakukan pemusatan latihan kembali. Seebelum melakukan pertandingan dengan Tim Belanda, para pemain Indonesia diasah kembali kemampuannya dengan melakukan dua uji coba, yakni: tanggal 15- 6-38 di Rotterdam melawan klub Sparta yang berkesudahan dengan kekalahan skor 3-4; tanggal 23- 6-38 di Dordrecht melawan klub D.F.C dengan kemenangan 4-2.
.
Pada tanggal 26- 6-38 pertandingan yang tergolong friendly match antara timnas Indonesia dengan timnas Belanda dilangsungkan. Stadion Olympisch, Amsterdam penuh sesak yang dihadiri lebih dari 50.000 penonton (dua kali lebih dari di stadion Rheims). Sayang sekali, Timnas Indonesia yang menggunakan jersey warna orange itu kalah telak dengan skor 2-9. Kekalahan itu terbilang telak, karena melawan Hungaria di Rheims hanya kalah 0-6. Dalam pertandingan melawan Belanda yang dikalahkan Cekoslovakia 0-3 di Piala Dunia di Prancis, para pemain Indonesia sedikit gugup dalam permainan, penampilan kiper Mo Heng yang cemerlang sudah tampak merosot jika dibandingkan kala melawan Hungaria. Pencetak gol bagi timnas Indonesia Taihitu menit 40 dan Pattiwael menit 45. Tidak ada pergantian pemain di kubu Indonesia. Pemain Indonesia yang tampil melawan Belanda adalah: Bing Mo Heng, Jack Samuel, Frans Hukom, Anwar Sutan, Frans Meeng, Achmad Nawir, Hans Taihitu, Tjaak Pattiwael, Herman Zomers, Suvarte Soedarmadji, dan The Hong Djien.
.
Setelah pertandingan internasional tersebut, Tim Indonesia bersiap-siap pulang ke tanah air. Uniknya, maskapai pelayaran dengan kapal Chr. Huygens yang sejatinya skedul akan berangkat 22 Juni 1938 dari Amsterdam menuju Batavia terpaksa ditunda. Pihak maskapai menjadwal ulang dan dengan senang hati pula menyesuaikan jadwal kepulangan Tim Indonesia ke Batavia. Ini mungkin tidak semata-mata untuk menghormati dua negara, dimana kapal ini hanya hilir mudik antara Amsterdam-Batavia (dan sebaliknya), tetapi juga barangkali para awak kapal ingin menonton pertandingan Indonesia vs Belanda.
.
Pada tanggal 1 Juli 1938 Tim Indonesia pulang bersama kapal Chr. Huygens dari Amsterdam. Kapal Chr, Huygens merapat di pelabuhan Tanjung Priok, Batavia tanggal 21 Juli 1938. Sehari sebelum kapal sandar, para pemain di dalam kapal telah melakukan malam perpisahan. Nawir yang menjadi kapten Tim Indonesia berpidato atas nama seluruh tim betapa bersyukurnya mereka atas semua pengalaman ini dan kepada Manajer Tim, Mr van Bommel telah diberi cindera mata yang indah bertuliskan tinta perak yang dibeli di Kota Rheims.

Nawir Lulus Kuliah 1939: Apakah Anak dari Nawir Harahap?

Setelah tiba di tanah air, Nawir kembali ke Soerabaja. Nawir kemudian kembali ke kehidupan normal, kuliah dan bermain sepak bola. Tentu saja Nawir rindu teman-temannya setelah berangkat ke Piala Dunia di Prancis dan kembali ke Soerabaja membutuhkan waktu selama tiga bulan sejak berangkat tanggal 27 April 1938. Ini adalah perjalanan terlama sebuah tim nasional pada waktu itu, tetapi para pemain Indonesia telah banyak membawa pengetahuan baru. Para pemain telah melihat apa yang menjadi standar Eropa. Pengetahuan ini diharapkan merambat ke dalam klub mereka masing-masing.

Pada bulan September 1930 Nawir lulus untuk ujian pertama untuk memperoleh gelar dokter Hindia di NIAS (lihat De Indische courant,   04-09-1939). Nawir masih harus tetap belajar untuk mempersiapkan dalam menghadapi ujian kedua yang akan dilakukan kemudian. Pada tahun 1939 ketiga dilangsungkan pertandingan antara HBS dengan Gie Hoo, nama Nawir sudah diberi tambahan gelar dengan nama Dokter Nawir (De Indische courant, 16-10-1939). Sejak inilah Nawir sebagai pemain sepak bola dikenal sebagai seorang dokter.

Lantas siapa Nawir? Nawir sejatinya bukan orang Soerabaja dan juga bukan orang Jawa, tetapi berasal dari Sumatra. Pertanyaannya dimana kampung asal Nawir di Sumatra? Sejauh ini tidak/belum ditemukan sumber keterangan dimana Nawir lahir dan bagaimana asal-usul Nawir? Apakah Nawir berasal dari Tapanoeli?

Nama [Mohamad] Nawir terdeteksi kali pertama tahun 1925 sebagai siswa yang diterima di sekolah elit Koning Willem III School di Batavia. Awalnya Nawir sebagai pemain basket di Batavia dan kemudian tahun 1931 Nawir tercatat sebagao pemain sepak bola di Soerabaja. Pada tahun 1933 [Mohamad] Nawir tercatat sebagai salah satu mahasiswa yang naik dari kelas tiga ke kelas empat di NIAS Soerabaja. Sejak di Soerabaja Nawir tidak pernah berpindah tempat. Nawir telah menjadi orang Soerabaja. Dr. Nawir membuka Praktik Dokter di Jalan Raja Darmo Soerabaja (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 09-01-1946). Klinik yang diusahakan Dr. Nawir ini masih eksis paling tidak hingga tahun 1953 (De vrije pers : ochtendbulletin, 26-01-1953).

Nieuwe courant, 23-09-1948
Dari penelusuran surat kabar sejaman, nama Nawir tidak ditemukan di Jawa atau pulau-pulau lain.  Yang agak mirip adalah nama Nawi yang banyak ditermukan di Batavia. Di Sumatra orang yang menggunakan nama Nawir hanya ditemukan di Tapanoeli. Salah satu nama yang ditemukan menggunakan nama Nawir adalah Nawir Harahap, seorang anggota dewan kota (gemeenteraad) dan seorang Kepala Kantor Regional (lihat De Indische courant, 07-08-1935). Jabatan-jabatan tersebut saat itu di era kolonial Belanda adalah jabatan bergengsi. Oleh karena itu Nawir Harahap (jika memiliki anak) jelas memiliki kemampuan finansial untuk menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Nama Nawir Harahap terakhir terdeteksi di Sibolga tahun 1948 (lihat Nieuwe courant, 23-09-1948). Disebutkan sejumlah orang republiken ditangkap (pada era agresi militer Belanda). Mereka itu adalah Mr. [Abdoel] Abas [Siregar], Kapitein Siregar, Majoor Siahaan, Luitenant Kolonel Sitompoel, Majoor [Maraden] Panggabean, Dr. Amir Husein Siagian, Dr.[Ferdinand] Lumban Tobing, Nawir Harahap, Mr. Humala Silitonga dan lima orang TNI.

Mr. Abdoel Abbas Siregar adalah anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) 1945, Residen Lampoeng pertama dan Ketua Republik (Indonesia) di Tapanoeli (pada era RIS); Majoor Maraden Panggabean kelak dikenal sebagai Panglima ABRI (1973-1978); Dr. Amir Husein Siagian adalah menantu Dr. Radjamin Nasution (Wali Kota Soerabaja pertama). Amir Hoesin Siagian (kelahiran Laboehan Bilik) lulus STOVIA dan mendapat gelar dokter tahun 1929 (Soerabaijasch handelsblad, 29-04-1929). Dr. Amir Hoesin Siagian dipindahkan dari Tobelo ke pusat bedah di rumah sakit di Soerabaja (Bataviaasch nieuwsblad, 10-06-1933), dipindahkan lagi ke Blora (Soerabaijasch handelsblad,  01-05-1934). Amir Hoesin Siagian dipindahkan kembali ke Soerbaja (Bataviaasch nieuwsblad, 30-01-1935). Amir Hoesin dipindahhkan lagi ke Sipirok (Bataviaasch nieuwsblad, 09-01-1937). Amir Hoesin gelar Mangaradja Parlaoengan dipindahkan ke Tembilahan (Bataviaasch nieuwsblad, 24-05-1939). Amir Hoesin dipindahkan lagi ke Poelaoe Toedjoeh (Bataviaasch nieuwsblad, 02-04-1940). Dr. Amir Hoesin membuka Praktik Dikter di Jalan Ambengan Soerbaka (Nieuwe courant, 14-08-1950); Dr. Ferdinand Lumban Tobing adalah Residen Tapanoeli pertama, Menteri di era Soekarno; dan Nawir Harahap sebagaimana disebutkan sebelumnya sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad) dan seorang Kepala Kantor Regional (jenis jabatan yang pernah dijabat oleh Djamin Harahap gelar Baginda Soeripada, ayah dari Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin).

Lantas apakah Mohammad Nawir atau Achmad Nawir berasal dari Tapanoeli? Mungkin hanya mengada-ada untuk mepertanyakan apakah Mohamad Nawir atau Achmad Nawir adalah anak dari Nawir Harahap. Ini hanyalah sekadar bertanya dan tetap menjadi suatu pertanyaan. Saat ini, hanya keluarganya yang mengetahuinya siapa Achmad Nawir.

Sepak Bola di Kalangan Orang Tapanoeli

Tanpa bermaksud untuk mengklaim Achmad Nawir adalah seorang yang berasal dari Tapanoeli, tetapi kenyataannya orang-orang Tapanoeli sejak doeloe sangat menyukai permainan sepak bola. Klub pertama pribumi didirikan tahun 1903 (De Sumatra post, 10-10-1904). Klub tersebut adalah Toengkoe Voetbal Club disingkat TVC dan Letterzetters Club (L.Z. Club). Klub LZ adalah klub sepak bola anak-anak Mandailing dan Angkola, Tapanoeli di Medan, sedangkan TVC adalah klub para pengeran di Bindjei. TVC berkompetisi di divisi-1 di Medan dan LZ Club di divisi-2 (De Sumatra post, 02-12-1905).

Het nieuws van den dag voor NI, 18-07-1904
Di Batavia, kompetisi sepak bola pertama dimulai tahun 1904 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 18-07-1904). Kompetisi ini diselenggarakan Bataviasch Voetbal Bond (BVB). Klub yang berkompetisi ada enam klub. Hanya satu divisi. Salah satu klub itu adalah Docter Djawa School Voetbal Club (DDS-VC). Klub DDS ini adalah terbilang klub pribumi dari mahasiswa-mahasiswa sekolah kedoktran Docter Djawa School. Di Soerabaja kompetisi kali pertama diadakan pada tahun 1907 (Soerabaijasch handelsblad, 22-02-1907). Penyelenggara kompetisi ini Oost Java Voetbalbond. Semua klub yang berkompetisi adalah klub-klub Eropa/Belanda. Soerabaija Voetbal Bond (SVB) baru didirikan tahun 1909 yang juga diikuti oleh semua klub Eropa/Belanda.

Pada tahun 1906 di Medan berdiri klub orang Eropa/Belanda yang diberi nama Voortwaart dan klub orang-orang Mandailing dan Angkola yang baru yang diberi nama Tapanoeli Voetbalclub (klub LZ Club masih eksis). Dua klub baru ini menginisiasi kompetisi yang baru (De Sumatra post, 08-07-1907). Lalu kemudian dibentuk perserikatan sepak bola seperti di Batavia dan Soerabaja. Perserikatan di Medan ini disebut Deli Votbal Baond (De Sumatra post, 17-07-1907). Pada tahun 1908 kompetisi bahkan memiliki tiga divisi. Kompetisi di Medan berbeda dengan kompetisi di Batavia dan Soerabaja. Di Medan, kompetisi sangat berwarna (Eropa/Belanda, Tionghoa, Melayu, Tapanoeli dam Djawa). Di Batavia dan Soerabaja hanya Docter Djawa School yang ‘berlabel’ pribumi. Pada tahun 1909 kapten tim klub DDS-VC adalah Radjamin Nasution.

Ketika kompetisi BVB Batavia libur, klub-klub BVB biasanya melakukan tour pramusim untuk melakukan pertandingan persabahatan di Bandoeng, Semarang dan Soerabaja. Pada tahun 1909 Docter Djawa School justru melawat jauh ke Medan untuk melakukan pertandingan persahabtan dengan Tapanoeli VC (klub pribumi yang lain). Apakah itu dilakukan karena tidak ada klub pribumi yang setara di Jawa? Atau lawatan itu dilakukan semata-mata atas nama sepak bola karena terkait dengan munculnya spirit kebangsaan? (sebagaimana diketahui Sjarikat Tapanoeli telah didirikan di Medan 1907, yang mana anak-anak para pendiri sarikat mendirikan klub sepak bola Tapanoeli VC; di Djawa pada tahun 1908 didirikan sarikat Boedi Oetomo). Kapten Tim Docter Djawa School Voetbal Club yang melawat ke Medan tersebut adalah Radjamin Nasution, teman sekolah Soetomo di STOVIA (sejak 1902  Docter Djawa School diubah namanya menjadi STOVIA). Faktor Radjamin Nasution dalam hal ini sangat menentukan dalam lawatan ini. Lawatan pramusim juga kemudian dilakukan oleh klub SVB Soerabaja seperti THOR yang melawat ke Makassar untuk melakukan pertandingan persahabatan.

Setelah lulus STOVIA tahun 1912, Radjamin Nasution tetap menggeluti sepak bola. Dr. Radjamin Nasution, sebagaimana akan kita lihat nanti, bahkan Radjamin masih bermain sepak bola hingga umur tua. Dr. Soetomo setelah lulus STOVIA ditempatkan di rumah sakit/kantor layanan kesehatan masyarakat (demikian seterusnya) ke berbagai tempat. Sedangkan Dr. Radjamin Nasution awalnya ditempatkan di Kantor Bea dan Cukai di Batavia untuk urusan kesehatan. Lalu di bea dan cukai seterusnya. Setelah beberapa kali pindah tempat, Dr. Radjamin Nasution tahun 1923 ditempatkan di bea dan cukai di Medan. Pada tahun ini Dr. Radjamin Nasution berinisiatif menyatukan semua klub pribumi yang tidak tertampung di bond OSVB untuk melakukan kompetisi sendiri (lihat De Sumatra Post terbitan 13-02-1923).

Pada tahun 1915 di Medan didirikan perserikatan (bond) wilayah regional yang disebut Oostkust Sumatra Voetbal Bond (OSVB), termasuk cakupannya Pematang Siantar dan Tandjoeng Balai. Klub-klub yang berkualitas di Medan (yang umumnya klub-klub Eropa/Belanda) masuk kompetisi OSVB. Perserikatan DVB seakan mati suri (vakum kompetisi). Saat kevakuman inilah Dr. Radjamin Nasution menyatukan klub-klub pribumi yang banyak dan sebagian karena alasan tidak tertampung di kompetisi OSVB dan sekaligus menghidupkan kembali DVB (yang telah didirikan tahun 1907) untuk melakukan kompetisi sendiri. Bond yang menyelenggarakan tetap menggunakan nama bond yang lama, DVB. Hal yang sebaliknya di Soerabaja, bahwa. perserikatan/kompetisi regional OJVB (Oost Java Voetbal Bond) justru dilikuidasi tahun1909. Likuidasi ini diduga terkait dengan didirikannya SVB (perserikatan sebatas klub-klub di kota Soerabaja saja). Klub-klub lain seperti di Malang lalu membentuk bond/kompetisi sendiri. 

Orang-orang Tapanoeli tidak hanya membentuk klub di Medan tetapi juga di Batavia. Pada tahun 1925 didirikan klub Bataksch Voetbal Vereeniging (BVV) di Batavia. Pendiri klub ini adalah Parada Harahap (pemimpin surat kabar Bintang Hindia dan kantor berita pribumi Alpena). Boleh jadi Parada Harahap sudah berpengalaman tentang sepak bola di Medan. Parada Harahap adalah editor surat kabar Benih Mardeka di Medan 1919. Klub pribumi BVV ini, baru tahun 1927 berhasil masuk dalam kompetisi VBO (suksesi BVB). Di dalam kempetisi VBO ini, sudah terlebih dulu ada klub Jong Ambon (JAA). Seperti halnya di Medan (OSVB) di Batavia juga sangat ketat persyaratan klub untuk bisa masuk dan berkompetisi di VBO. Pada tahun-tahun ini Docter Djawa Voetbal Club sendiri sudah lama tidak terdeteksi kabar beritanya. Klub pribumi yang ikut berkompetisi di OSVB antara lain MVC (campuran), Horas dan Parsadaan. Di Bandoeng yang ikut berpartisipasi di dalam kometisi BVB yang terbilang pribumi adalah klub OSVIA (siswa-siswa sekolah pamong praja).

Het nieuws van den dag voor NI, 29-11-1902
Di Padang, pada tahun 1928 Dr, Abdoel Hakim Nasution, anggota dewan kota (gemeenteraad) Padang mendirikan perserikatan sepakbola. Dr, Abdoel Hakim (Nasution) yang sekelas dengan Dr. Tjipto Mangoekoesoemo di Docter Djawa School adalah Presiden sarikat sepakbola Minangkabaoe. Dr. Abdoel Hakim juga membentuk Tim Sepak Bola Pribumi Kota Padang atau Inlandsch Padang Elftal (lihat De Sumatra post, 08-12-1928). Pada tahun 1931, Dr. Abdoel Hakim Nasution menjadi wakil wali kota (loco burgemeester) Padang, yang kedua di Hindia Belanda . Orang pribumi pertama yang menjadi loco burgemeester adalah MH Thamrin di Batavia (1929). Dr, Abdoel Hakim (Nasution), Dr. Abdoel Karim dan Dr. Tjipto Mangoekoesoemo di Docter Djawa School sejak 1902 sama-sama satu kelas dan sama-sama lulus tahun 1905. Nama-nama mahasiswa yang naik kelas tiga pada tahun 1902 antara lain Si Mohamad dan Si Isa (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 29-11-1902).

Setelah lama di Medan, akhirnya Radjamin Nasution dipindahkan kembali ke Batavia. Lalu kemudian pada bulan September 1929, Dr. Radjamin Nasution dipindahkan kembali ke Surabaya (sebelum ke Medan Radjamin Nasution pernah ditempatkan di Soerabaja). Tidak lama setelah kembali berdinas di Surabaya, awal November, Radjiman Nasution dan kawan-kawan mendirikan Sarikat Pekerja Bea dan Cukai. Radjamin Nasution duduk sebagai bendahara. Dalam rapat tahunan Oktober 1930 komposisi pengurus Sarikat Pekerja berubah dimana ketua dan sekretaris berganti tempat, sedangkan Radjamin Nasution tetap sebagai bendahara. Nama Dr. Radjamin lambat laun semakin populer di Soerabaja. Pada tahun 1931 Dr. Radjamin Nasution terpilih sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad) Soerabaja.

Kesuksesan Radjamin Nasution terpilih menjadi anggota dewan kota, ini bermula pada tahun 1930 ketika Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution di Soerabaja berinisiatif mendirikan partai baru yaitu Partai Bangsa Indonesia (PBI). Di Bandoeng sendiri sejak tahun 1928 sudah didirikan Partai Nasional Indonesia. Masih pada tahun 1930, di Medan Abdoel Hakim Harahap terpilih menjadi anggota dewan kota Medan. Lalu pada tahuh 1934 Abdoel Hakim Harahap dan Dr. Djabangoen Harahap mendirikan klub sepak bola yang diberi nama SAHATA (Dr. Djabangoen Harahap adalah adik kelas Radjamin Nasution dan Soetomo di STOVIA). Pada tahun 1935 PBI dan Boedi Oetomo merger dan membentuk partai baru yang dikenal sebagai Partai Indonesia Raja (Parindra). Pada tahun ini juga di Soerabaja, Dr. Radjamin Nasution dan kawan-kawan di Soerabaja mendirikan perserikatan sepak bola perkantoran/perusahaan yang disebut SKVB.

Singkat kata: Pada era pendudukan Jepang, Dr. Radjamin Nasution diangkat menjadi Wali Kota Soerabaja. Ini mudah dipahami, karena saat itu Dr. Radajamin Nasution adalah pemilik portofolio tertinggi di Soerabaja: mantan anggota senior dewan kota (Wethouder), juga pernah menjadi anggota Volkstaad (dari Parindra). Lalu pada era kemerdekaan RI (1945) kembali Radjamin Nasution diangkat sebagai Wali Kota Soerabaja. Pada era perang kemerdakaan Wali Kota RI Radjamin Nasution mengungsi pindah kantor ke Mojokerto. Sementara di sisi lain, tahun 1948 perserikatan SKVB diintegrasikan ke perserikatan SVB. Lalu SVB plus SKVB bertransformasi menjadi nama perserikatan baru yang disebut Persibaja (federasi VUVSI/ISNIS) dan lalu kemudian Persibaja berafiliasi dengan federasi PSSI (1949). Yang memainkan peran kuat dalam proses transformasi dari federasi VUVSI/ISNIS ke federasi PSSI ini adalah Dr. Achmad Nawir. Sebelumnya, Achmad Nawir adalah penasehat SVB dan pernah menjadi Ketua SVB (era federasi NIVU).

Pemain-pemain sepak bola asal Mandailing/Angkola (Tapanoeli) banyak diantaranya yang kemudian menjadi tokoh nasional: Dr. Abdoel Hakim di Padang menjadi Wali Kota Padang; Dr. Radjamin Nasution menjadi Wali Kota Soerabaja; Parada Harahap menjadi anggota BPUPKI; Abdoel Hakim Harahap menjadi Residen Tapanoeli (1948-1949), Wakil Perdana Menteri RI (1949-1950), dan Gubernur Sumatra Utara yang pertama pasca pengakuan kedaulatan RI (1951-1953). Dr. Djabangoen Harahap, Ketua Front Nasional di Medan pada era perang kemerdekaan. Di Soerabaja ketua front nasional adalah Doel Arnojo yang kemudian menjadi Wali Kota Soerabaja. Dan, ketua front nasional di Tapanoeli adalah Nawir Harahap.

Satu lagi pemain sepak bola asal Mandailing dan Angkola yang juga ‘gibol’ adalah Kapten Marah Halim Harahap (pangkat tertinggi: Mayor Jenderal). Marah Halim Harahap adalah Gubernur Sumatra Utara (1967-1978) adalah penggagas Marah Halim Cup (satu-satunya turnamen di Indonesia yang diakui FIFA dan masa penyelenggaraan terlama di dunia).

Salah satu anak Dr. Radjamin Nasution adalah Irsan Radjamin, mahasiswa sekolah kedokteran di Batavia sebagai pemain sepak bola di klub USI (Bataviaasch nieuwsblad, 01-12-1938). Irsan Radjamin berposisi sebagai kiper. Pada usia tinggi, umur 34 tahun pada tahun 1952 Irsan Radjamin masih bermain sepak bola ketika Tim Dokter Soerabaja melawan Tim Wartawan  di perserikatan SKVB (De vrije pers: ochtendbulletin, 08-08-1952). Dalam tim dokter ini juga terdapat Dr. Sjoeib Proehoeman Lubis, umur 32 tahun (dokter alumni Belanda, lulus 1930). Ketua SKVB tahun 1951 adalah Dr. Irsan Radjamin. Dari namanya terlihat tercatat menggunakan nama belakang Radjamin. Ini juga ditemukan dalam penulisan nama Mr. Egon Hakim (anak Dr. Abdoel Hakim Nasution). Mr. Egon Hakim adalah menantu dari MH Thamrin. Demikian juga penulisan nama dari anak Abdoel Hakim Harahap, alumni ITB Januar Hakim. Hanya anak Parada Harahap yang tetap menggunakan marga, Mr. Aida Dalkit Harahap (lulus fakultas hukum UI, 1957). Jadi ada semacam pembentukan marga baru di perantauan. Lantas bagaimana dengan Achmad Nawir? Apakah idem dito dengan Nawir Harahap? Sekali lagi: hanya keluarga Achmad Nawir yang mengetahui.

Orang-orang Mandailing dan Angkola (Tapanoeli) sejak era kolonial Belanda sudah banyak di Soerabaja dan sekitarnya. Mereka yang berprofesi di bidang kesehatan, yang cukup populer antara lain adalah keluarga Dr. Radjamin Nasution, keluarga Dr. Sjoeib Proehoeman, keluarga Dr. Amir Hoesin Siagian (menantu Dr. Radjamin Nasution) dan keluarga Ismail Harahap. Anak Dr. Radjamin Nasution tidak hanya Letkol Dr. Irsan Radjamin yang bergelar dokter tetapi juga putri sulungnya juga adalah oerang dokter (istri Dr. Amir Hoesin Siagian). Ismail Harahap adalah alumni pertama sekolah apoteker di Batavia, lulus tahun 1940 dan langsung ditempatkan di Soerabaja. Ismail Harahap adalah ayah dari Datoe Oloan Harahap alias Ucok AKA (pionir rock Indonesia).

Pada masa kini, jika Radjamin Nasution merupakan salah satu dari generasi pertama orang Mandheling en Ankola di Surabaya dan Jawa Timur, maka Radjamin Nasution dapat dikelompokkan sebagai generasi pertama. Penduduk Jawa Timur asal Mandheling en Ankola (Padang Sidempuan) yang ada sekarang adalah generasi keempat/kelima. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Jawa Timur yang berasal dari Tapanuli Selatan (subetnik Angkola dan subetnik Mandailing) tercatat sebanyak 30.904 jiwa. Jumlah ini memang tidak ada artinya dibandingkan dengan etnik Jawa sebanyak 29.824.950 jiwa dan etnik Madura sebanyak 6.568.438 jiwa. Akan tetapi jika dibandingkan dengan etnik non Jawa/Madura (pendatang), maka penduduk asal Tapanuli Selatan di Jawa Timur adalah nomor tiga terbanyak setelah etnik Tionghoa  (236.124 jiwa) dan etnik Sunda (45.262 jiwa). Penduduk Jawa Timur yang berasal dari etnik Bali sendiri hanya sebamyak 19.316 jiwa,

Pada awal tahun 1950an, dalam pembentukan Tim Nasional Indonesia terdapat dua pemain sepak bola asal Mandailing dan Angkola. Kedua pemain itu adalah Jusuf Siregar (PSMS Medan) dan Chaeroedin Siregar (Persidja Djakarta). Salah satu rekor Jusuf Siregar yang belum pernah terpecahkan hingga ini hari adalah pencetak gol terbanyak dalam satu pertandingan sebanyak tujuh gol. Saat itu, Tim Sumatra Utara mengalahkan salah satu tim dengan skor 9-1 dalam PON III tahun 1953 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-09-1953).
,

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber ang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

1 komentar: