*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini
Nama kampong Toegoe tempo doeloe sama pentingnya dengan land Tjilintjing dan sungai Tjakoeng. Akan tetap tidak hanya itu. Juga cukup populer nama kampong kecil yang disebut kampong Batoe Toemboe (tidak jauh dari kampong Toegoe). Di kampong Batoe Toemboe di pinggir sungai Tjakoeng di land Tjilintjing ini ditemukan sebuah batu bersurat yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Tugu. Nama kampong disebut Batoe Toemboe besar dugaan diadopsi dari batu prasasti tersebut. Sedangkan Tjakoeng artinya katak (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 15-05-1909). Ca, kung!
Nama kampong Toegoe tempo doeloe sama pentingnya dengan land Tjilintjing dan sungai Tjakoeng. Akan tetap tidak hanya itu. Juga cukup populer nama kampong kecil yang disebut kampong Batoe Toemboe (tidak jauh dari kampong Toegoe). Di kampong Batoe Toemboe di pinggir sungai Tjakoeng di land Tjilintjing ini ditemukan sebuah batu bersurat yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Tugu. Nama kampong disebut Batoe Toemboe besar dugaan diadopsi dari batu prasasti tersebut. Sedangkan Tjakoeng artinya katak (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 15-05-1909). Ca, kung!
Kampong Batoe Toemboe di land Tjilintjing (Peta 1902) |
Lantas bagaimana itu semua terhubung? Pertanyaa ini membutuhkan
penjelasan selengkap mungkin. Satu hal yang penting di dalam Prasasti Tugu di
Batoe Toemboe adalah tentang keberadaan sungai Candrabhaga dan kanal Gomati.
Apakah sungai Candrabhaga adalah sungai Tjakoeng dan kanal Gomati adalah kanal
Soenter? Lantas apa hubungannya kampong Toegoe di land Tjilintjing dengan
kampong Toegoe di land Tjimanggis? Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, mari
kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Landhuis di land Tjilintjing (Peta 1902) |
Land Tjilintjing:
Kampong Toegoe, Sungai Tjilintjing dan Sungai Tjakoeng
Land Tjilintjing sudah terbentuk sejak era VOC.
Akses menuju land ini daei laut melalui sungai Tjilinting. Landhuis berada di
sisi selatan sungau Tjilintjing (catatan: sungai Tjilintjing sebelum bermuara
ke laut berada pada posisi sejajar dengan garis pantai). Land terdekat dari
land Tjilintjing ke arah Batavia adalah land Antjol (milik Jeremis van
Riemsdijk). Di dalam land Tjilintjing ini sudah ada nama kampong Toegoe.
Tjilinting, Toegoe dan Batoe Teomboe (Peta 1825) |
Akses menuju perkampongan Toegoe ini melalui
sungai Toegoe dari laut. Namun dalam perkembangannya nama sungai Toegoe ini
disebut sebagai sungai Tjakoeng. Hal ini karena di hulu sungai Toegoe sudah ada
nama kampong Tjakoeng. Orang asing (dari pantai) sungai yang sama menyebut
sungai Toegoe dan orang pedalaman (penduduk asli) menyebutnya sungai Tjakoeng.
Kampong Toegoe, Pasar Rengas dan kampong Batoe Toemboe |
Dalam perkembanganya, akses jalan darat dibangun dari
Batavia ke landhuis Tjilintjing. Jalan darat ini dari Batavia melewati land
Antjol dan land Tandjoeng Priok lalu menuju land Tjilintjing dengan membangun
jembatan di atas sungai Tjilintjing. Jalan darat ini hanya sampai batas
landhuis Tjilintjing. Akses dari landhuis Tjilintjing ke kampong Toegoe melalui
jalan setapak. Sedangkan akses dari kampong Toegoe ke kampoeng Batoe Toemboe selain
melalui jalur sungai juga dengan jalan setapak. Land Tjilintjing secara umum
adalah kawasan rawa-rawa. Karena itu moda transportasi antar kampong di wilayah
land Tjilintjing hinggga ke kampong Soekapoera dilakukan dengan transportasi
air.
Batavia (Peta 1625) |
Land Antjol (Peta 1740) |
Soekapora, Batoe Toemboe dan Sungai Soenter
Prasasti Toegoe membuat kita terus sibuk, karena pesan
di dalam batu bersurat tersebut hingga kini belum terpecahkan. Dimana letak
sungai Candrabhaga dan dimana posisi sungai Gomati masih menjadi teka-teki. Meski
kejadiannya sudah sangat kuno, pesan di dalam batu bersurat itu sangat jelas,
karena pesan dalam bahasa dan aksara cukup jelas telah terukir dalam medium
abadi (batu).
Dalam Prasasti
Tugu, yang dibuat pada paruh abad ke-5, disebutkan bahwa telah ‘dilakukan
penggalian di sungai Candrabhaga setelah sungai itu melampaui ibukota yang
masyhur dan sebelum masuk ke laut’ dan juga disebutkan telah dibuat ‘saluran
baru dengan air jernih bernama sungai Gomati, mengalir sepanjang 6.122 busur
(12 Km)’. Penggalian sungai Candrabhaga dapat diinterpretasi sebagai kebutuhan
navigasi pelayaran; sedangkan pembangunan saluran baru dapat diinterpretasi
sebagai pembangunan kanal untuk
kebutuhan air bersih dan irigasi.
Jika kita berasumsi bahwa sungai Candrabhaga
adalah sungai Tjakoeng, maka Batoe Toemboe (tempat dimana ditemukan batu
bersurat/prasasti) adalah ibukota dan Soekapoera adalah kota suci. Penggalian
dimulai dari kota suci Soekapoera melewati ibukota (Batoe Toemboe) hingga
mendekati laut di (muara) Tjilintjing.
Sungai Tjakoeng berhulu di Tjimanggis. Sungai Tjakoeng berada di antara
sungai Sunter dan sungai Tjikeas. Sungai Tjikeas berhulu di Bogor dan sungai Sunter
berhulu di Tjibinong [Sungai Tjikeas dan sungai Tjilengsi bertemu di Bantar
Gebang yang ke hilir membentuk Kali Bekasi]. Titik persinggungan terdekat
antara sungai Sunter dan sungai Tjakoeng berada di dua area yakni di Pondok
Rangon dan antara dua tempat: Tjakoeng dan Poelo Gadoeng.
Sungai Tjipinang dari sisi barat bertemu sungai Sunter di Tjipinang
(Klender). Sungai Sunter mengalir terus ke hilir melalui Poelo Gadoeng. Sungai
Sunter mengalir ke arah barat laut ke
laut di sekitar Antjol. Sementara itu sungai Boearan dari sisi barat
bertemu sungai Tjakoeng di Tjakoeng. Sungai Tjakoeng mengalir ke arah timur
laut ke laut (di Tjilintjing). Apakah ini asal muasal Noord-West menjadi Barat
laut; Noord-Oost menjadi Timur laut? Setelah pertemuan sungai Boearan dengan
sungai Tjakoeng ke hilir juga disebut sungai Toegoe. Sungai Tjakoeng atau
Soengai Toegoe ini ke hilir melalui Petoekangan, Soekapoera, Batoe Toemboe
(Toegoe) dan Rengas. Hal serupa ini juga terjadi setelah pertemuan sungai
Tjilengsi dan sungai Tjikeas ke arah hilir disebut Kali Bekasi. Sebagaimana
sungai Toegoe dan sungai Tjakoeng, sungai Tjilengsi dan Kali Bekasi juga saling
dipertukarkan.
Kampong
Tjakoeng (landhuis Tjakoeng) berada pada posisi garis lintang yang sama
dengan kampong Poeloe Gadoeng (landhuis Poeloe Gadoeng). Sungai Tjakoeng bertemu
dengan sungai Tjilintjing di (muara) Tjilintjing. Sungai Tjilintjing mengalir
dari arah barat di sekitar Lagowa dan Tandjoeng Priok. Sungai Tjilintjing
adakalanya disebut sungai Lagowa. Sungai Tjilintjing sendiri merupakan anak
sungai dari sungai Sunter.
Dalam pembuatan kanal Gomati yang panjangnya
sekitar 12 Km, itu haruslah diinterpretasi bahwa kanal yang dimaksud berbentuk
(mendekati) garis lurus. Lantas apakah ada peta-peta lama yang mengindikasikan
suatu sungai yang sepintas tekesan bentuk garis lurus? Dalam hal ini sungai
yang berbentuk garis lurus harus diinterpretasi sebagai kanal (sungai buatan).
Kanal kuno inilah yang bisa diduga sebagai kanal Gomati. Apakah kanal kuno itu
adalah kanal Sunter?
Pemerintah
VOC/Hindia Belanda sangat piawai membangun kanal. Mereka berpengalaman di
Eropa/Belanda. Kanal pertama yang dibangun adalah kanal di Soenda Kalapa. Kanal
untuk keperluan navigasi ini dibangun pada era Coen. Kanal ini kemudian disebut
kanal Kali Besar. Sejak itu dibangun kanal-kanal yang lebih kecil di sekitar
benteng (kasteel) Batavia.
Kanal besar berikutnya yang dibangun pada era VOC adalah kanal menyodet
sungai Tjiliwong dengan membangun kanal ke arah barat yang airnya dialirkan masuk
ke sungai Kroekot (jalan Veteran/Juanda yang sekarang). Kanal ini kemudian dibelokkan
ke utara dengan membangun kanal melalun Molenvliet menuju sungai Tjiliwong di
kota (kanal ini pada masa ini adalah kanal di jalan Gajah Madan/Hayam Wuruk
yang sekarang). Kembali sungai Tjiliwong disodet ke arah timur malalui jalan
Pasar Baru dan jalan Gunung Sahari yang sekarang dan kemudian dialirkan kembali
ke sungai Tjiliwong. Lalu setelah itu sungai dimatikan ke arah hilir dari
tempat sodet (kemudian kelak di atas eks sungai Tjiliwong itu dibangun rel
kereta api dari Stasion Juanda ke stasion Mangga Doea.
Pada
era Gubernur van Imhoff (1743-1750) bendungan Katoelampa ditingkatkan dan
membangun kanal baru (slokkan) dari Tjiloear ke hilir sepanjang jalan utama
antara Batavia-Buitenzorg. Bendungan Katoelampa adalah bendungan kuno di era
Kerajaan Pakwan-Padjadjaran) dan kanalnya melalui kampong Tjiloear. Nama
kampong Tjiloear diduga mengadopsi kanal yang airnya keluar dari sungai
Tjiliwong (Tjiloear). Satu kanal lagi yang diduga kanal kuno adalah kanal
diantara sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane melalui kerajaan Pakwan/Padjadjaran.
Kanal ini kemudian disebut sungai Tjipakantjilan. Kanal ini pada era van Imhoff
ditingkatkan dengan membangun kanal terusan ke Kedong Badak melalui Paledang.
Peta sketsa rencana kota Batavia (Peta 1625) |
Kanal Soenter tampak sejajar dengan sungai Tjiliwong (Peta 1740) |
Pada
era Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761) untuk mengurangi banjir di
Batavia pada saat pembangunan istananya di land Paviljoen yang kemudian disebut
Weltevreden (kini Senen) sungai Tjiliwong disodet di sekitar Kwitang dengan
membangun kanal melalui jalan Kwitang dan jalan Suprapto yang sekarang (Cempaka
Putih) terus ke kanal Sunter. Di Muara kanal Kwitang ini di kanal Sunter terbentuk
kampong Sunter (sekitar danau Sunter yang sekarang).
Pemerintah Hindia Belanda, pada era Gubernur
Jenderal Daendels (1809-1811) meningkatkan kembali bendungan Katoelampa dan
slokkan. Untuk mendukung debit air ke hilir sungai Tjikeas disodet dan di
alirkan ke kanal baru (slokkan) hingga mencapai Batavia (masuk kembali ke
sungai Tjililitan di sekitar Tjawang). Dalam perkembangannya kanal slokkan ini
diperkuat dengan menyodet sungai Soenter di Tjimanggis sehingga kanal tidak
hanya sampai Tjawang tetapi hingga menuju kota (Weltevreden/Senen). Kanal dari
Tjawang ini melalui Meester Cornelis (kini Jatinegara), Pal Meriam, Paseban,
Sentiong dan kemudian Senen. Kanal ini di Senen kemudian diintegrasikan dengan
kanal Kwitang (hingga menuju kanal Soenter). Sejak ini kanal Kwitang dari
sungai Tjiliwong di Kwitang ditutup.
Dalam pembangunan kanal Antjol (diintegrasikan dengan kanal Goenoeng
Sahari), kanal Soenter terpotong (kanal antara Poeloe Gadoeng dengan Mangga
Doea). Untuk menekan debit air dari kanal Soenter ke kanal baru
(Antjol/Goenoeng Sahari), kanal Soenter (arah ke barat laut) dialihkan dari
kampong Sonter (danau Soenter) dengan membangun kanal (arah utara) ke pantai Antjol
melalui kampong Doeri. Kanal Sonter antara kampong Soenter dengan kanal Goenoeng
Sahari/Antjol lambat laut mengecil (mati). Dalam hal ini kanal Soenter kuno
dari Poeloe Gadoeng telah mematikan sungai Soenter yang asli, dan kemudian
kanal Soenter Baroe telah dimatikan di hilir dari kampong Soenter (danau
Soenter) ke Mangga Doea. Kanal Antjol/Goenoeng Sahari dan kanal pengganti kanal
Soenter dari kampong Soenter ke kanal Goenoeng Sahari (kanal panti Antjol) ini
diperkirakan telah selesai pada awal tahun 1860an. Kanal Soenter kuno semakin
memendek. Dalam perkembangan berikutnya nanti kanal Sonter kuno ini semakin
pendek lagi dan hanya sampai di Kalapa Gading. Dari Kalapa Gading kanal Soenter
kuno dibelokkan ke utara dengan membangun kanal baru menuju laut di Lagowa
(Kampong Kodja).
Kanal Gomati di dalam Prasasti Tugu diduga kuat adalah Kanal Soenter kuno.
Pada era modern (Pemerintah Hndia Belanda) kanal Soenter ini telah memendek pada
awal tahun 1860an (hanya tersisa antara Poeloe Gadoeng dengan kampoeng/danau Soenter).
Pada akhir era kolonial Belanda Kanal Soenter kuno semakin pendek lagi dan
hanya sampai Kelapa Gading. Kanal Soenter kuno di masa lampau di era Kerajaan
Taroema Negara diduga menjadi jalan tol sungai dari Poelo Gadoeng menuju
(pelabuhan) Soenda Kalapa di muara sungai Tjiliwong. Apakah jalan tol sungai
ini yang disebut dalam Prasasti Tugu sebagai kanal/sungai Gomati? Bukankah
jarak dari Pulo Gadung ke Sunda Kelapa jaraknya sekitar 12 Km?
Pada waktu yang relatif bersamaan dengan pembangunan kanal Tjitaroem/Kali
Bekasi, kanal Tjilintjing/Tjakoeng dan kanal Antjol/Goenoeng Saharie adalah
pembangunan kanal di sebelah barat Batavia. Kanal tersebut adalah kanal Angke.
Namun tidak lama kemudian dibangun kanal Kroekoet. Kanal ini menyodet sungai
Kroekot di sekitar Pendjompongan lalu membangunan kanal melalui Tanah Abang
terus ke barat laut menuju sungai (kanal) Angke. Lalu baru tahun 1918 kembali
membangun kanal yakni Bandjier Kanal Barat. Kanal ini menyodet sungai Tjiliwong
di Manggarai dengan membangun kanal ke arah barat melalui (perumahan) Menteng
menuju kanal Kroekoet di Djatie/Tanah Abang.
Pada era Republik Indonesia juga dilakukan pembangunan kanal. Kanal
pertama adalah Kanal Kalimalang. Pembangunan kanal ini dimulai tahun 1957 dari
bendungan Kali Bekasi menuju Tjawang. Dalam pembangunan kanal ini
diintegrasikan dengan pembangunan jalan di sisi kanal (jalan Kalimalang). Sisa
air kanal Kalimalang ini di area Tjawang dibelokkan ke timur menuju sungai Boearan/sungai
Tjakoeng menuju rawa Malang (kanal Tjakoeng/Tjilinting) ke laut. Karena itulah kanal
ini disebut Kanal Kalimalang (antara Kali Bekasi dan Rawa Malang). Pada tahap
kedua pembangunan kanal ini (kanal Kalimalang Timur) dilakukan pada tahun
1960an untuk kebutuhan sumber pengolahan air bersih di Djakarta yang mana air bersih dari bendungan Tjoeroek di Poerwakarta
disalurkan ke kanal Kalimalang dengan membangun kanal dari Tjoeroek ke Bekasi. Kanal
kedua adalah kanal Tjikarang/Babelan. Kanal ini mengalihkan sungai Tjikarang
dengan membangun kanal yang bermuara ke sungai Bekasi di Babelan. Dari Babelan sungai
Bekasi dialihkan dengan membangun kanal dari Babelan menuju laut. Kanal ketiga
adalah Banjir Kanal Timur (BKT) dengan menyodet sungai Tjiliwong di Tjawang
yang dialirkan melalui kanal yang dihubungkan dengan kanal Kalimalang. BKT ini
tidak melewati kanal Buaran tetapi menuju ke timur dan bermuara ke laut di
Maroenda (sebelah timur Tjilintjing).
Jika benar kanal/sungai Gomati adalah Kanal Soenter
kuno, maka sungai Tjakoeng/sungai Toegoe adalah sungai Candrabhaga. Titik
singgung terdekat antara sungai/kanal Soenter dengan sungai Toegoe/sungai Tjakoeng
adalah jarak antara kampong Tjakoeng dengan kampong Poeloe Gadoeng. Oleh karena
itu, sangat masuk akal nama sungai Candrabhaga dan kanal Gomati diabadikan secara
bersama-sama di dalam batu bersurat (Prasasti Tugu). Dua situs ini begitu
penting saat itu bagi kerajaan Taroema Negara yang dipimpin oleh Poernawarman.
Dua situs ini adalah urat nadi perdagangan.
Batoe Toemboe dan Toegoe
Warga pemukim di kampong Toegoe sudah sejak lama
diketahui beragama Kristen. Mereka ini boleh dikatakan mirip dengan warga
pemukim di Depok. Pemerintah manganggap warga Kristen di kampong Toegoe dan
kampong Depok diwacanakan dimasukkan sebagai golongan Eropa/Belanda (lihat Javasche
courant, 10-10-1829). Dasar pertimbangannya hanya satu, meski mereka termasuk
penduduk pribumi atau campuran, karena bergama Kristen (yang umumnya dianut
oleh orang Belanda).
Gereja Toegoe, 1930 |
Tunggu deskripsi lengkapnya
Toegoe dan Depok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar