*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini
Sukabumi tidak hanya melahirkan banyak musisi, Sukabumi juga memiliki sejarah musik tersendiri. Musik tradisi dan musik modern berdampingan di Soekabomi pada masa lampau. Untungnya, orang-orang Eropa/Belanda di Soekaboemi juga menyukai musik tradisi. Salah satu jenis musik tradisi Soekaboemi adalah gemelan. Para musisi musik tradisi gamelan yang tergabung dalam Gamelan dari Parakan Salak, Soekaboemi sudah manggung di Belanda tahun 1883.
Sukabumi tidak hanya melahirkan banyak musisi, Sukabumi juga memiliki sejarah musik tersendiri. Musik tradisi dan musik modern berdampingan di Soekabomi pada masa lampau. Untungnya, orang-orang Eropa/Belanda di Soekaboemi juga menyukai musik tradisi. Salah satu jenis musik tradisi Soekaboemi adalah gemelan. Para musisi musik tradisi gamelan yang tergabung dalam Gamelan dari Parakan Salak, Soekaboemi sudah manggung di Belanda tahun 1883.
Lagu Senja di Sukabumi (Album 4 Nada, 1980) |
.
Lantas
seperti apa sejarah musik di Sukabumi? Nah, itu dia. Tentu saja soal ini belum
pernah ditulis. Sambil mendengar kembali lagu Senja di Sukabumi ada baiknya
sejarah musik Sukabumi mulai ditulis agar penulis-penulis musik di Sukabumi
dapat melanjutkannya.Mari kita mulai dengan menelusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini
adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Musik Tradisi Gemelan
Musik tradisi gamelan, kali pertama
keberadaannya dicatat pada tahun 1827 (lihat Bataviasche courant, 17-01-1827).
Di dalam berita tersebut disebutkan sebagai berikut: ‘kami
baru saja memasuki gerbang ketika para penari dan pemain ang[k]long, yang telah
menemani kami tepat waktu, mengucapkan selamat datang kepada kami dengan teriakan nyaring, dan kemudian
digantikan oleh penari yang baik, yang memainkan senar dan musik gamelan,
salendro dan pelog, menyanyikan lagu-lagu melodi mereka, sementara di bawah
pondok (panggung) kecil, tampak menari dengan cara biasa, tanpa merasakan indra
mereka, mereka mempersiapkan sosok-sosok yang ramah. Nyanyiannya, kadang-kadang
harmonis, tetapi kebanyakan soundnya keras
dan tidak menyenangkan bagi (telinga) orang Eropa..’.
Bataviasche courant, 17-01-1827 |
Catatan pegelaran
pertunjukan musik dan tarian yang pertama di Indonesia ini saya menduga itu di (kota) Tjiandjoer. Dikatakan sebagai
pencatatan musik tradisi pertama, karena sumber-sumber Belanda tertua seperti catatan harian
Kasteel Batavia (Daghregister, 1659-1807) tidak satu pun ditemukan kata muzijk
(musik) dan fluit (suling), bahkan untuk kata gong, gamelan, angklung, gondang sekali
pun tidak muncul. Tentu saja juga tidak ditemukan dalam buku atau laporan kuno
seperti dokumen Marcopolo, Mendes Pinto, de Baros dan jurnal Cornelis de
Houtman. Dengan demikian, kontak
pertama orang Eropa/Belanda dengan musik tradisi (Indonesia) yang tercatat
terjadi pada tahun 1827 di Tjiandjoer.
Siapa yang disambut dengan musik dan tarian di
Tjiandjoer diduga terkait dengan kunjungan Komisaris Jenderal, Generaal Majoor
Holsman yang berkunjung ke Preanger tanggal 31 Desember 1826 (lihat Bataviasche
courant, 03-01-1827). Dalam berita ini juga disebutkan saat kepulangan
Komisaris Jenderal, Residen Preanger mengantarkan sampai ke perbatasan
Buitenzorg. Saat itu ibu kota Residentie Preanger berada di Tjiandjoer.
Kunjungan wakil pemerintah pusat ini ke Tjiandjoer diduga sehubungan dengan
pembebasan dua land (tanah partikelir) di Residentie Preanger, yakni land
Tjipoetri (kini sekitar Cipanas) dan land Soekaboemi (di district Goenoeng
Parang). Dua land ini diakuisisi (dibeli) oleh pemerintah dari de Wilde tahunn
1823 dan kemudian dua land ini diserhakan kepada Bupati (Regent Tjiandjoer). Saat
itu wilayah Regentschap Tjiandjoer masih termasuk tujuh distrik (yang kemudian
menjadi onderafdeeli Soekaboemi).
Sejarah
pencatatan musik tradisi (gamelan) dapat dikatakan dimulai tahun 1827 dan
pencatatan itu kali pertama di Tjiandjoer. Dalam hubungan ini, dari tempat ini (Tjiandjoer)
pada tahun 1827 menjadi pintu masuk (gate) untuk mempelajari sejarah musik di
Soekaboemi. Namun yang menjadi pertanyaan, grup musik (tradisi) gamelan dari
mana yang manggung di Tjiandjoer saat kedatangan Komisaris? Apakah dari
Tjiandjoer sendiri, Soekaboemi? Atau didatangkan dari Bandoeng atau Sumadang?
Patut diduga kontribusi pemusik dari Soekaboemi hadir apakah dalam seksi
gamelan, angklung, kecapi atau tariannya.
Setelah sekian lama tidak ditemukan catatan musik
tradisi, pada tahun 1846 TJ Willer di dalam laporannya menulis tentang musik
tradisi. Musik tradisi Batak di Mandailing dicatat oleh TJ Willer. Disebutkan
TJ Willer pertama kali melihat musik tradisi Batak dihadirkan ketika ada satu
keluarga mengalami musibah yang mana sesepuh mereka meninggal dunia (tidak
disebutnya dimana apakah di Mandheling, Angkola atau Pertibie). Kehadiran musik
ini disebutnya untuk mengusir begu. Selanjutnya TJ Willer mendeskripsikan musik
tradisi tersebut sebagai berikut: ‘Akhirnya muzijk bergabung di sini (dalam
suatu kemalangan). Para pemain bermain satu melodi yang tidak menyenangkan yang
diiringi oleh (alat perkusi) drum, banyak variasi dalam drum dari segi ukuran
ditambah dengan kekuatan gong, untuk membuat suara mengusir roh jahat dan
instrumen begitu melengking di udara. Ini kita bisa menyebut satu mandolin
Batak yang juga berasal dari instrumen lainnya. (Lebih lanjut Willer
menguraikan) perihal instrument musik tradisi Batak tersebut sebagai berikut:
Musik instrumental berpusat pada pasangan drum dengan ukuran yang berbeda, yang
biasa tergantung di dalam rumah seorang pamoesoek (radja). Juga tampak gong dan
simbal. Sebuah gong besar menjadi bagian dari kekayaan radja. Seroeneh of hobo;
rabab of viool (biola), dari nama menunjukkan asal asing; asopi of mandoline,
yang terbuat dari wadah kayu, dengan sisi lebar bawah dan sisi sempit ke atas, leher seperti gitar, di sentuhan
dibelah dua dan disediakan sekrup, string kawat, hanya dua jumlahnya, yang
dimainkan dengan pena. Dibanding instrumen lain, asopi tampak banyak daya
invention dengan kesempurnaan, bahwa alat ini bisa diragukan atau justru alat
yang mungkin berasal (asli) Batak. Alat lainnya berupa fluite yang disebut
sordam dan oejoep-oejoep; juga gendang boeloe (bamboo), dimana kulit seperti
dipotong menjadi string yang dengan kedua ujung tetap melekat pada ujung bamboo
yang disangga dengan kayu agar string tegang dan alat itu digunakan dengan
tongkat kecil. Musik tersebut mengiringi tarian, dan harus diakui bahwa Batak
dengan semangat sejati seni, dimana ras ini cukup piawai paduan suara baik
laki-laki maupun perempuan. Mereka kerap terlihat menari oleh lima atau enam
gadis-gadis muda yang diantaranya adalah seorang pemuda dengan gerakan pendek.
Pertunjukkan mereka sangat jarang terlihat karena memang tidak pernah diadakan
dalam upacara publik, sehingga orang Eropa jarang memiliki kesempatan untuk
melihatnya. Manortor atau tarian yang bersemangat yang saya tahu paling penuh
perhatian dari banyak orang. Gambaran ini seperti tarian yang lama dari
Skotlandia, gerakan pendek, sangat cepat dan agak kaku tidak seperti dalam
gerakan tarian Jawa maupun Bali. Di dala Batak permainan menghibur dengan pantomim.
Saya beberapa kali hadiri ini sudah cukup efektif untuk kepentingan rakyat
karena begitu sedikit hiburan yang dimiliki. Namun hal itu perlu dilakukan
rehabilitasi agar hiburan di Batak ini cukup tersedia, tapi dengan dominasi
penganut agama Mahomedaansche sudah sangat jauh berkurang kegiatan
pertunjukannya’.
Catatan
musik tradisi dari Tjiandjoer dan Tapanoeli ini telah menambah pemahaman kita
tentang sebaran musik tradisi. Catatan musik tradisi di Mandailing en Angkola
ini merupakan catatan tertua tentang keberadaan musik (tradisi) di daerah Batak
di wilayah Tapanoeli. Seperti halnya catatan musik tradisi tahun 1827 tentang
keberadaan (ensambel) musik gamelan, angklung dan kecapi, diberitakan karena
bagian tak terpisahkan dari berita dimana dilakukan suatu penyambutan pejabat,
hal itu juga yang terdapat dalam laporan Asisten Residen Mandailing en Angkola
TJ Willer ((1840-1845).
Laporan Asisten Residen TJ Willer ini
dipublikasikan pada tahun 1846 dengan judul: 'Verzameling der Battahsche Wetten
en Instellingeb in Mandheling en Pertibie, Gevolgd van een Overzigt van Land en
Volk in die Streken' yang dimuat di dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie,
1846. TJ Willer berakhir masa jabatannnya sebagai asisten residen di Afdeeling
Mandailing en Angkola (Residentie Tapanoeli). Laporan TJ Willer ini semacam
laporan pertanggungjawaban Walikota atau Bupati pada masa ini di hadapan
anggota dewan setiap tahun atau ketika berakhirnya masa kepemimpinannya. TJ
Willer memasukkan perihal musik tradisi di dalam laporan karena musik tradisi
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari penduduk. Sudah barang tentu tidak
setiap Asisten Residen memasukkan perihal musik tradisi di dalam laporannya
karena setiap daerah yang memiliki musik tradisi, intensitasnya berbeda-beda
sehingga musik tradisi tidak dianggap penting di dalam laporan
pertanggungjawaban yang dibuat. Musik tradisi di Afdeeling Mandailing en Angkola
dianggap sangat penting, karena itu TJ Willer memasukkannya di dalam laporan.
Setali tiga uang dengan berita yang disarikan oleh wartawan Bataviasche
courant pada edisi 17-01-1827. Dalam kunjungan komisaris ke Tjiandjoer, unsur musik dan tarian cukup
menonjol dan ditinjolkan dalam berita.
Keberadaan
musik tradisi gamelan di Soekaboemi paling tidak diketahui pada tahun 1871
(lihat De locomotief, 15-06-1871).
Musik Modern di Soekaboemi
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar