Jumat, 31 Januari 2020

Sejarah Padang Sidempuan (4): Mangaradja Soangkoepon, Macan Pejambon-Volksraad; Bela Pemuda Madura di Belanda, 1911


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini
 

Mangaradja Soangkoepon adalah seorang anggota dewan pusat (Volksraad) yang tidak ada takutnya. Mangaradja Soangkoepon membela siapa pun dimana saja. Mangaradja Soangkoepon juga penuh humor, pernah berseloroh di Volkraad dengan menyatakan bahwa (pulau) Sumatra itu bukan Pintu Belakang Luar Djawa, tetapi Pintu Depan Indonesia (baca: Hindia Belanda). Semua tertawa, tetapi dia sendiri tetap serius dalam mengemukakan pendapatnya.

Mangaradja Soangkoepon (Matjan Pedjambon)
Mangaradja Soangkoepon, kelahiran Padang Sidempuan tetapi tidak pernah memperjuangkan kepentingan wilayah (residentie) Tapanoeli di Volksraad. Sikapnya demikian, karena Mangaradja Soangkoepon terpilih ke Volksraad mewakili dapil (residentie/province) Oost Sumatra (Sumatra Timur). Mangaradja Soangkoepon terpilih kali pertama tahun 1927. Selama empat periode hingga berakhirnya era kolonial Belanda, Mangaradja Soangkoepon selalu memenangkan kursi ke Volksraad. Kepercayaan warga Sumatra Timur sangat tinggi kepadanya karena terbukti tidak pernah membela wilayah kampong halamannya, Tapanoeli. Namun jangan salah sangka. Karena anggota Volksraad dari dapil Tapanoeli adalah Dr. Abdul Rasjid Siregar kelahiran Padang Sidempoean (adik kandungnya sendiri). Catatan: Sumatra hanya terdiri dari empat dapil, masing-masing satu kursi: Oost Sumatra, West Sumatra, Zuid Sumatra dan Noord Sumatra (Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh).   

Mangaradja Soangkoepon, bukanlah macan ompong, dan juga bukan Macan Kemajoran, tetapi Macan Pedjambon. Gedung dewan pusat (Volksrad) tempo doeloe di Pedjamboen (kini di Senayan). Mangaradja Soangkoepon bertarung di DPR benar-benar membela atas nama rakyat, seluruh rakyat Indonesia. Kisahnya dimulai di Belanda pada tahumn 1911 ketika membela pemuda Madura di pengadilan. Bagaimana kisah selanjutnya, mari kita ikuti berdasarkan hasil penelusuran sumber-suimber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Izajah Sekolah Rakyat Ditolak Jadi Pegawai Pemerintah Memicu Lanjut Sekolah ke Negeri Belanda

Kisah Abdoel Firman sangatlah menarik. Selesai sekolah rakyat di Padang Sidempoean lalu merantau ke Medan. Di Medan, 1903  Abdul Firman melamar dan sembilan orang mengikuti ujian untuk klein ambtenaar (pegawai pemerintah) hanya dia sendiri yang pribumi. Hasilnya tidak diterima.

Abdul Firman ternyata tidak patah arang. Modal sekolah rakyat tidak cukup. Tahun itu juga ia mengikuti ujian masuk ELS (Europeesche Lagere School) sehubungan dengan diperbolehkannya warga pribumi utama. Sekolah ini lamanya tujuh tahun. Setelah lulus di Medan (1910) ia tidak ke Batavia sebagaimana teman-teman pribuminya umumnya melamar ke STOVIA. Abdul Firman justru menuju Belanda. Dari Belawan ia berangkat dengan kapal Prinses Juliana dan berlabuh di Rotterdam. Di pelabuhan besar ini, Abdul Firman dijemput Soetan Casajangan dan diantar ke Leiden untuk mencari sekolah yang lebih tinggi (semacam sekolah menengah). Setahun kemudian pada tahun 1911, alumni ELS Sibolga, Todoeng Harahap tiba di Belanda. Abdul Firman dan Todoeng Harahap yang masih belai ini langsung di bawah pengawasan/bimbingan Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan. Catatan: Soetana Casajangan tiba di Belanda tahun 1905 dan pada tahun 1911 lulus fakultas pendidikan (sarjana pendidikan.    

Abdul Firman tiba-tiba menjadi terkenal di Negeri Belanda karena namanya diberitakan di koran-koran yang terbit sekitar Maret 1912. Apa pasal? Dua imigran dari Madura terlibat perkelahian dengan sesama imigran dari Jawa (Oost Java), korban akhirnya meninggal dunia akibat tusukan. Di pengadilan Amsterdam terdakwa disidangkan dan menghadirkan saksi-saksi. Aparat pengadilan bingung, karena para imigran (terdakwa dan saksi-saksi) tidak bisa berbahasa Belanda. Untuk mencari penerjemah sekaligus untuk pemandu sumpah (secara Islam) ternyata tidak mudah. Dari sejumlah mahasiswa yang ada hanya Abdul Firman yang bersedia dan sukarela (tanpa paksaan).

Dari namanya memang pantas tetapi ternyata juga Abdul Firman adalah orang yang alim. Karenanya masyarakat Belanda menganggap Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon adalah pemimpin (imam) Islam dari para imigran dari Hindia Belanda. Abdul Firman tidak keberatan. Di dalam pengadian tersebut Abdul Firman membela terdakwa untuk dikurangi tuntutan djaksa.

Selesai studi Abdul Firman coba membuka usaha firma di Amsterdam di awal 1914 (iklan di koran). Akan tetapi tidak berhasil. Ini kegagalan kedua Abdul Firman. Dia tidak patah arang. Lalu Abdul Firman pulang ke tanah air pada tanggal 27 Oktober 2014 dengan kapal ss Loudon langsung ke Jawa. Di Batavia, Soangkoepon melamar menjadi ambtenaar dan berhasil serta diterima. Abdul Firman lantas ditempatkan di kantor Asisten Residen Asahan di Tandjong Balai, Oost Sumatra (Sumatra Timur). Tidak lama, lantas kemudian, Soangkoepon dipindahkan ke kantor Asisten Residen Simaloengioen di Pematang Siantar (Oost Sumatra) pada tahun 1915. Dalam perkembangannya Mangaradja Soangkoepon terpilih menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Pematang Siantar.  

Pada tahun 1917, Abdul Firman yang menjadi pegawai di kantor Asisten Residen Simaloengoen dan Karolanden di Pematangsiantar mencalonkan diri untuk kandidat Volksraad dari wilayah pemilihan Pematang Siantar (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 07-12-1917). Di koran ini juga mentornya dulu di Negeri Belanda, Soetan Casajangan mencalonkan diri dari wilayah pemilihan Batavia. Keduanya sama-sama gagal. Abdul Firman tidak patah arang, lantas mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Kota Pematang Siantar. Abdul Firman berhasil.

Setelah selesai satu periode sebagai anggota dewan kota, Abdul Firman kembali bertugas sebagai pegawai negeri. Pada tahun 1920, Abdul Firman ditunjuk untuk menjadi commies opziener di kantor Residen di Sibolga. Tidak lama, lalu dipindahkan ke Kotanopan (Zuid Tapanoeli) dan kemudian 1922 dipindahkan lagi ke kantor Asisten Residen Asahan di Tandjong Balai. Dari kota pertama ini menjadi pegawai negeri, Mangaradja Soangkoepoen menatap kembali ke Pedjambon untuk bertarung menuju Pedjambon (gedung Volksraad).

Setelah cukup lama di Tandjoeng Balai, pada tahun 1926, Abdul Firman gelar Managaradja Soeangkoepn terpilih menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Tandjong Balai. Setahun kemudian Mangaradja Soangkoepon mencalonkan diri kembali untuk menjadi anggota dewan pusat (Volksraad) di Batavia mewakili wilayah pemilihan Oost Sumatra. Alhamdulilah, berhasil melenggang ke Pedjambon (kira-kira kini melenggang ke Senayan).

Mangaradja Soangkoepon Menjadi 'Macan Pedjambon'

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar