Jumat, 31 Januari 2020

Sejarah Jakarta (81): Sejarah Area MONAS; Bukan Lapangan Kerbau, Kebun Gambir di Buffelsveld (Lahan Milik Keluarga Buffels)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Ribut-ribut lapangan Monas. Itu satu hal. Satu hal yang lain ternyata tidak ada yang mempermasalahkan asal-usul Lapangan Monas (Monumen Nasional). Di dalam berbagai tulisan (yang dapat dibaca di internet) disebut lapangan Monas dulunya adalah lapangan kerbau (Buffelsveld). Entah darimana sumbernya. Memang tempo doeloe sebelum namanya disebut Koningsplein (Lapangan Radja) adalah eks Buffelsveld. Tetapi sejatinya bukan artinya lapangan kerbau (buffelsveld, huruf kecil) tetapi lahan (veld) dari (keluarga) Buffels [Buffelsveld] yang mana di lahan tersebut pernah diusahakan tanaman gambir. Nama Gambir juga nama marga orang Eropa. Nah, lho!

Perkebuinan baru (Peta 1682)
Nama Batavia sudah lama ada. Paling tidak sejak era Jan Pieterszoon Coen (1619). Itu berarti sudah berabad-abad. Tentu  saja tidak semua orang ingat apa yang telah berlalu. Pada tahun 1926 seseorang menulis di surat kabar Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant, 17-04-1926 dengan judul ‘De Indische „Oudgast" van de „Ancien RĂ©gime". Di dalam tulisannya terdapat satu kalimat sebagai berikut:  ‘Er was grond genoeg om een huis neer te zetten en de meest frissche plaats om te bouwen was wel langs het oude „Buffeltje" of het „Buffelsveld", dat nu het Koningsplein genoemd werd’. Penulis tersebut seakan mengartikan „Buffelsveld" (lahan milik Buffels) sama dengan „Buffeltje" (lapangan kerbau). Buffels adalah salah satu marga orang Eropa/Belanda. Anehnya penulis-penulis selanjutnya ada yang mengutip salah kaprah tersebut seakan kebenaran (fact). Runyamnya para penulis-penulis Indonesia masa kini menerjemahkan „Buffelsveld" secara letterlek sebagai Lapangan Kerbau. Kacau, bukan?  
    
Lantas bagaimana sejarah Lapangan Monas? Nah, itu dia yang ingin kita luruskan dan sempurnakan. Moga-moga artikel Sejarah Lapangan Monas ini, ribut-ribut yang terjadi tentang Lapangan Monas saat ini segera mereda. Dalam hubungan ini, kita harus mafhum orang Belanda tempo doeloe juga bisa salah (kaprah) tentang sejarah karena para penulis malas buka data primer seperti surat kabar dan peta-peta. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.  

Lapangan Monas tempo doeloe (Foto udara, 1943)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Buffelsveld Bukan Lapangan Kerbau

Pasca serangan Mataram terhadap Batavia (1628), Pemerintah VOC mulai membangun empat benteng (fort) untuk mengawal kota (stad) Batavia. Benteng-benteng tersebut adalah benteng Jacatra (sekitar Manggadua sekarang), benteng Angke, benteng Noordwijk (sekitar masjid Istiqlal) dan benteng Riswijk (sekitar Harmoni). Lalu untuk mengurangi dampak banjir di Batavia dibangun kanal dengan menyodet sugai Tjiliwong di dekat benteng Noordwijk dan airnya dialirkan menuju sungai Krokoet dekat benteng Riswijk. Kanal ini pada saat ini adalah kali yang berada diantara jalan Juanda dan jalan Veteran. Lalu kemudian disodet lagi sungai Tjiliwong dan airnya dialirkan melalui kanal ke arah timur (kanal ini pada saat ini adalah kali yang berada di Pasar Baru).

Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant, 17-04-1926
Setelah van Hoorn menguasai lahan di sisi timur sungai Tjiliwong dekat benteng Jacatra (sekitar Sawah Besar sekarang) menyusul de Lange dan van der Briel menguasai lahan di dekat benteng Noordwijk. Lahan de Lange berada di selatan kanal sebelah barat benteng Noordwijk (area Istana yang sekarang) dan lahan van der Briel di berada di sebelah timur benteng Noordwijk di selatan kanal (sekitar kantor pos sekarang). Dalam perkembangannya Majoor Saint Martin membeli lahan di sisi tenggara lahan van Hoorn (kini Kemayoran), kemudian menyusul Antonij Pavillion membeli lahan di selatan lahan milik van der Briel. Lahan yang terakhir adalah lahan di selatan milik de Lange dan di barat milik Antonij Pavillion dibeli oleh Buffels. Antara lahan Antonij Pavillion dan lahan Buffels dibatasi oleh sungai Tjiliwong. Lahan-lahan ini semua beradda di luar kota (stad) Batavia. Lahan-lahan ini kemudian diberi status tanah partikelir (land). Sementara lahan-lahan di sisi luar Batavia hingga ke sungai Bekasi di timur dan sungai Tangerang di barat diberikan kepada pasukan pribumi asal Jawa, Bali, Makassar, Boegis dan Melajoe pendukung militer Belanda. Mereka itu ditempatkan menjadi semacam garis terdepan untuk mendeteksi ancaman dari Mataran dan Banten.

Sepulang dari Banten tahun 1886, Major Saint Martin, terhadap prestasinya dalam menangani situasi di Banten, Pemerintah VOC memberikan hadiah kepada Major Saint Martin dua lahan tersubur di hulu sungai Tjiliwong yakni di Tjinere dan Tjitajam. Pemberian hadiah ini tidak hanya karena alasan prestasinya di Banten, tetapi karena Major Saint Martin sangat berminat dalam botani. Untuk itu Pemerintah VOC mengangkat Saint Martin untuk membantu ahli Botani di Ambon, Georg Eberhard Rumphius dalam menyusun buku botani.

Pada tahun 1687 Majoor Saint Matin menugaskan Sersan Scipio untuk melakukan ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong dengan mengambil rute dari selatan Jawa (kini Pelabuhan Ratoe). Ekspedisi ini menyusuri sungai Tjimandiri hingga ke lereng gunung Salak sebelah utara. Ekspedisi ini kemudian mendirikan benteng di titik singgung terdekt antara sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane. Benteng tersebut disebut benteng Fort Padjadjaran (lokasinya kini tepat dimana berada Istana Bogor).

Dalam perkembannya diketahui Cornelis Chastelein telah membeli lahan Antonij Pavillion di tenggara benteng Noordwijk. Cornelis Chastelein tidak hanya mengusahakan perkebunan tebu tetapi juga membangun pabrik gula. Pada tahun 1695 Cornelis Chastelein membeli lahan di hulu sungai Tjiliwong di Seringsing (kini Serengseng Sawah) yang lokasinya tidak jauh dari lahan Majoor Saint Martin di Tjinere dan Tjitajam.

Pada tahun 1701 Pemerintah VOC mengirim ekspedisi kembali ke hulu sungai Tjiliwong yang dipimpin oleh Abraham van Riebeeck. Ekspedisi ini juga meninjau hingga ke Priangan di Tjiandjoer. Sepulang ekspedisi ini, Abraham van Riebeeck diberi izin untuk mengusahakan lahan di Bodjong Manggis (kini Bodjong Gede).

Pada tahun 1703 Cornelis Chastelein membeli lahan lagi di Depok. Tidak lama kemudian Cornelis Chastelein telah menjual lahannya yang berada di tenggara benteng Noordwijk (eks lahan eks Antonij Pavillion). Sukses Cornelis Chastelein di Seringsing membuat pedagang-pedagang VOC lainnya mengikuti jejak Cornelis Chastelein. Yang membeli lahan Cornelis Chastelein di eks lahan Antonij Pavillion adalah Justinus Vinck. Justinus Vinck juga membeli lahan baru di barat lahan Buffels (wilayah Tanah Abang yang sekarang). Lahan Tanah Abang ini kelak dikuasai oleh Daalxigt.

Setelah Rumphius meninggal di Ambon, tugas penyusunan buku botani tujuh volume tersebut dilanjutkan oleh Saint Martin di Batavia. Namun Saint Martin tidak berumur panjang meninggal pada tahun 1698 pada usia 36 tahun. Buku botani peninggalan Saint Martin tersebut dilanjutkan oleh Cornelis Chastelein (hingga selesai). Rumphius, Saint Martin dan Cornelis Chastelein adalah tiga orang Prancis yang sama-sama sangat berminat dalam bidang botani. Lahan Kemajoran telah diwariskan Saint Martin kepada pekerja setianya (keturunan Portugis) de Buda. Cara ini juga kemudian dilakukan oleh Cornelis Chastelein mewarikan lahan Depok kepada para pekerjanya tahun 1714.

Lahan yang telah dimiliki oleh Justinus Vinck tetap disebut lahan Pavillion (Pavillionveld). Pada tahun 1735 Justinus Vinck membangun dua pasar yakni di Pavillionveld dan di Tanah Abang. Dua pasar ini kemudian disebut Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang. Lahan yang berada di antara dua milik Justinus Vinck ini yang dulu dimiliki oleh Buffels tidak diketahui siapa yang mengakuisisinya. Namun demikian namanya tetap disebut lahan Buffelsveld. Di dalam lahan Buffelsveld diusahakan tanaman gambir.

Justinus Vink telah menjadi konglomerat. Sebelum Justinus Vink memiliki lahan Pavillionveld dan lahan Tanah Abang, sebelumnya hanya memiliki lahan di Antjol yang berdekatan dengan lahan Johannes Pels dan lahan Symon van der Briel (lihat Peta 1727). Dalam pekembangannya Justinus Vinck diduga telah membeli lahan antara lahan Antjol dengan lahan Tjilintjing (kini Tandjoeng Priok). Dugaan ini berdasarkan kanal antara dua lahan ini disebut Vinckvaart (kanal Vinck). Kanal ini pada masa ini disebut Kali Lagoa (sebelumnya disebut sungai Tjilintjing).

Seperti halnya tebu, tanaman gambir juga sangat sesuai untuk lahan yang sedikit basah. Produksi gambir termasuk salah satu komoditi yang diekspor ke Eropa. Lahan Buffelsveld terbilang lahan basah sebagaimana lahan Pavillionveld. Hal ini karena sungai Tjiliwong di selatan benteng Noordwijk kerap terjadi banjir di musim hujan yang menyebabkan sebagian lahan Pavillionveld dan lahan Buffelsveld terendam. Lahan Buffelsveld satu-satunya lahan yang mengusahakan tanaman gambir di seputar Batavia sejauh yang diketahui.

Lahan Pavillionveld kemudian dibeli oleh Jacob Moseel yang menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1750-1761). Jacob Mossel di lahan Pavillionveld ini membangun mansion yang mewah. Mansion di Pavillionveld milik Jacob Mossel ini kemudian dibeli oleh Petrus Albertus van der Parra yang menjadi Gubenur Jenderal (1761-1775). Posisi dimana mansion mewah ini pada masa ini tepat berada di RSPAD. Sementara itu, semua lahan Justinus Vinck, Pels dan van der Briel di Antjol kemudian dibeli oleh Gubernur Jenderal Valckenier (Gubernur Jenderal pada saat terjadi pembantaian migran Cina tahun 1740). Lahan Antjol ini selanjutnya dibeli oleh Jeremias van Riemsdijk yang menjadi Gubernur Jenderal (1775-1777).

Itulah sejarah awal lahan-lahan tempo doeloe di sekitar Lapangan Monas yang sekarang. Namun satu hal, yang perlu dicatat bahwa Buffelsveld bukanlah ‘Lapangan Kerbau’, tetapi suatu lahan pertanian yang awalnya dimiliki oleh seorang Eropa bermarga Buffels. Mengacu pada salah kaprah ini, idem dito, Pavillionveld juga tidak bisa otomatis diartikan sebagai ‘Lapangan Paviliun Rumah’ melainkan lahan yang awalnya dimiliki oleh Antonij Pavillion dan Cornelis Chastelein. Tentu saja, idem dito, Langeveld juga tidak bisa otomatis diartikan sebagai ‘Lapangan Panjang’. Percayalah. Meski saya bukan sejarawan, tetapi saya adalah seorang peneliti.

Champ de Mars Menjadi Koningsplein

Sudah lebih dari satu abad keberadaan lahan Buffelsveld ketika terjadi pendudukan militer Inggris di Batavia tahun 1911 Pemerintah Hindia Belanda angkat tangan. Saat itu lahan Antonij Pavillion telah diformalkan sebagai Weltevreden, dimana sudah terdapat sejumlah bangunan baru (selain mansion peninggalan Gubenur Jenderal Petrus Albertus van der Parra) yang dijadikan sebagai rumah sakit militer oleh Gubernur Jenderal Daendels  (lihat Peta 1811). Bangunan baru tersebut terdiri dari gedung Gubernur Jenderal, gedung Raad Justitie dan garnisun militer. Gedung Gubernur Jenderal sendiri belum sepenuhnya selesai saat terjadinya pendudukan militer Inggris.

Peta pendudukan militer Inggris (1911)
Lahan Antonij Pavillion dan ,lahan Buffelsveld telah dibeli oleh Guvernur Jenderal Daendels. Juga lahan Bloeboer di Buitenzorg juga telah dibeli Daendels untuk membangun ibukota baru (untuk menggantikan Batavia) dan kota peristirahatan Gubernuer Jenderal di Buitenzorg. Sejak akuisisi lahan dan pembangunan inilah kemudian nama lahan Antonij Pavillion disebut menjadi Weltevreden, lahan Buffelsveeld disebut Champ de Mars dan lahan Bloeboer diformalkan dengan nama Buitenzorg. Champ de Mars adalah semacam lapangan luas yang terdapat di pusat kota Paris (kelak tahun 1889 selesai Menara Eiffel di dekat lapangan ini). Pada saat Inggris melakukan perayaan yang ke 74 hari kelahiran Raja Inggris dipusatkan di tiga tempat: di Goenoeg Sahari dilakukan upacara oleh Mr. Muntinghe; paradde militer dilakukan di Weltevreden (Waterlooplein, kini Lapangan Banteng) dan pada sore haru semua warga yang berada di Weiltevreden dan Riswijk menuju Champ de Mars untuk melakukan kegiatan berbagai perlombaan (lihat Java government gazette, 06-06-1812). Memperhatikan suasana ini, Champ de Mars telah menjadi aloon-aloon kota (tempat keramaian warga). 

Pemerintah Hindia Belanda kembali berkuasa pada tahun 1816. Pembangunan tidak banyak mengalami perubahan di sekitar Champ de Mars. Kawasan Noordwijk dan Weltevreden perkembanganya sedikit melambat pada era pendudukan militer Inggris (1811-1816). Hal ini karena Letnan Gubernur Jenderal Inggris, Raffles lebih memilih ibu kota di Buitenzorg dan Semarang. Hal in boleh jadi istana di Weltevreden belum selesai dibangun, sementara istana/villa di Buitenzorg sudah sejak lama eksis. Setelah kembalinya Pemerintah Hindia Belanda berkuasa, area Riswijk dan Noordwijk kembali semarak. Hal ini karena Gubernur Jenderal van der Capellen (1816-1826) yang awalnya tinggal di Weltevreden (suatu kota yang dirintis oleh Gubernur Jenderal Daendels), namun dalam perkembangannya Capellen lebih memilih menyewa tempat tinggal di Rijswijk.

Champ de Mars dilihat dari Menara Eiffel (1889)
Memilih tinggal di Rijswijk memungkinkan terhubung dengan baik dengan hotel-hotel yang sudah ada di Molenvliet dan keberadaan Societeit Harmonie di Rijswijk. Rumah Gubernur Jenderal ini disebut Hotel van Zijne Excellentie den Heere Gouverneur Generaal.

Dalam perkembangannya, rumah yang dimiliki oleh JA van Braam di Rijswijk yang disewa untuk tempat tinggal Gubernur Jenderal Capellen kemudian dibeli oleh Pemerintah (seakan mengikuti langkah Daendels). Lahan milik JA van Braam (yang dulu disebut lahan Langeveld) yang berada di belakang Hotel Gubernur Jenderal juga dibeli oleh Pemerintah. Hotel dan lahan yang menghadap ke Champ de Mars itu kelak menjadi menarik bagi pemerintah untuk pengembangan lebih luas dengan membangun istana yang baru menghadap ke selatan. Meski demikian, acara-acara kenegaraan seperti peringatan yang terkait dengan raja tetap dipusatkan di Weltevreden.

Java government gazette, 06-06-1812
Pada masa ini kediaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda menghadap ke utara yang dikenal sebagai Istana Negara. Sementara gedung yang dibangun baru arahnya menghadap ke selatan (ke Champ de Mars) pada masa ini dikenal sebagai Istana Merdeka. Gambaran ini seakan-akan Pemerintah Hindia Belanda ketika ingin melangkah lebih maju tetapi tidak pernah menoleh ke belakang. Java government gazette, 06-06-1812

Area Riswijk dan Noordwijk cepat berkembang. Lebih-lebih di persimpangan Riswijk telah didirikan gedung yang megah yaitu gedung klub sosial Societeit Harmonie. Area dua sisi kanal tersebut (area selatan Riswijk dan area utara Noordwijk) rumah-rumah Eropa/Belanda  semakin banyak, jumlahnya semakin banyak hingga bermunculan gang-gang baru.

Bataviasche courant, 22-02-1817
Bersamaan dengan Gubernur Jenderal Capellen memilih tinggal di Riswijk (Istana Negara yang sekarang), Pemerintah telah memfungsikan eks Fort Rijswijk dijadikan sebagai markas kaveleri (tidak jauh dari Hotel/Istana Rijswijk yang berada tepat di seberang jalan gedung Societeit Harmonie). Namun benteng (fort) Noordwijk masih tetap berfungsi sebagai benteng.

Pada tahun 1818 Pemerintah Hindia Belanda mulai menata Koningsplein sebagai aloon-aloon yang nyaman, Untuk menatanya Pemerintah meminta swasta untuk mengerjakannya. Dalam rangka penataan ini aktivitas dalam  Koningsplein dilarang agara para pekerja tidak terganggung (lihat Bataviasche courant, 11-07-1818).


Bataviasche courant, 11-07-1818
Dalam penataan ini, jalan kuno (sejak era Pakwan-Padjadjaran) di sisi timur lapangan digeser mengikuti tata ruang baru. Kereta dan pedati yang datang dari Buitenzorg akan mengikuti jalur yang akan dibangun.

Besar dugaan seiring dengan penataan Champ de Mars ini namanya juga diubah menjadi Koningsplein. Sejak itu warga telah mengindentifikasi lokasi sebagai Koningsplein. Sejak era Koningsplein inilah secara perlahan-lahan mulai bermunculan bangunan-bangunan di sisi luar jalan-jalan yang mengitari persegi Koningsplein.

Peta 1924
Dengan semakin intensnya pembangunan di sekitar area Koningsplein dan di area Weltevreden, secara spasial telah terintegrasi dan membentuk kawasan ibu kota (stad) yang baru yang sangat luas (Rijswijk, Noordwijk, Weltevreden dan Koningsplein). Pusat ibu kota tidak di Weltevreden, melainkan di Koningsplein. Stad (ibukota) Batavia yang jauh berada di dekat pantai yang dibangun sejak awal VOC dengan sendirinya telah menjadi kota tua (oud Batavia). Tampknya ini ingin meniru nama aloon-aloon kota Amsterdam yang sudah sejak lama disebut Koningsplein.

Koningsplein Menjadi Lapangan Monas (Monumen Nasional)

Satu hal yang terpenting dari penataan Champ de Mars (menjadi Koningsplein) adalah hilangnya sungai Tjideng di eks lahan Bufflesveld. Perubahan aliran geografis sungai ini belum lama jika membandingkan Peta 1811 dan Peta 1824. Perubahan geografis ini, jauh sebelumnya juga terjadi pada sungai Tjiliwong dimana sungai Tjiliwong dari benteng Noordwijk hingga Mangga Besar telah ditutup. 

Kali Tjideng dikorbankan dalam penataan Koningsplein
Pada Peta 1811 sungai Tjideng masih mengalir deras di tengah kebun gambir lahan Buffelsveld. Sungai Tjideng ini bersumber dari Depok melalui land Tandjong Oost dan land Menteng. Sungai Tjideng yang melalui lahan Buffelsveld ke hilir bermuara ke sungai Kroekoet di dekat benteng (fort) Riswijk (Harmoni yang sekarang). Sementara penutupan ruas sungai Tjiliwong antara benteng Noordwijk dengan Mangga Besar pada masa kini di atas sungai yang ditutup tersebut di atasnya dibangun rel kereta api dari stasion Juanda hingga stasion Mangga Dua.

Meski sudah terbentuk Koningsoplein (hasil penataan Champ de Mars) tetapi area Weltevreden dan area Koningsplein belumlah terhubung. Akses dari Weltevreden ke Koningsplein melalui dua jembatan yang telah dibangun tempo doeloe yakni jembatan Sluisbrug (kini Pintu Air) dan jembatan Senen-Tanah Abang (kelak disebut jembatan Kwitang).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar