*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
Ribut-ribut lapangan Monas. Itu satu hal. Satu hal yang lain ternyata tidak ada yang mempermasalahkan asal-usul Lapangan Monas (Monumen Nasional). Di dalam berbagai tulisan (yang dapat dibaca di internet) disebut lapangan Monas dulunya adalah lapangan kerbau (Buffelsveld). Entah darimana sumbernya. Memang tempo doeloe sebelum namanya disebut Koningsplein (Lapangan Radja) adalah eks Buffelsveld. Tetapi sejatinya bukan artinya lapangan kerbau (buffelsveld, huruf kecil) tetapi lahan (veld) dari (keluarga) Buffels [Buffelsveld] yang mana di lahan tersebut pernah diusahakan tanaman gambir. Nama Gambir juga nama marga orang Eropa. Nah, lho!
Ribut-ribut lapangan Monas. Itu satu hal. Satu hal yang lain ternyata tidak ada yang mempermasalahkan asal-usul Lapangan Monas (Monumen Nasional). Di dalam berbagai tulisan (yang dapat dibaca di internet) disebut lapangan Monas dulunya adalah lapangan kerbau (Buffelsveld). Entah darimana sumbernya. Memang tempo doeloe sebelum namanya disebut Koningsplein (Lapangan Radja) adalah eks Buffelsveld. Tetapi sejatinya bukan artinya lapangan kerbau (buffelsveld, huruf kecil) tetapi lahan (veld) dari (keluarga) Buffels [Buffelsveld] yang mana di lahan tersebut pernah diusahakan tanaman gambir. Nama Gambir juga nama marga orang Eropa. Nah, lho!
Perkebuinan baru (Peta 1682) |
Lantas bagaimana sejarah Lapangan Monas? Nah, itu
dia yang ingin kita luruskan dan sempurnakan. Moga-moga artikel Sejarah
Lapangan Monas ini, ribut-ribut yang terjadi tentang Lapangan Monas saat ini
segera mereda. Dalam hubungan ini, kita harus mafhum orang Belanda tempo doeloe
juga bisa salah (kaprah) tentang sejarah karena para penulis malas buka data
primer seperti surat kabar dan peta-peta. Mari kita telusuri sumber-sumber
tempo doeloe.
Lapangan Monas tempo doeloe (Foto udara, 1943) |
Buffelsveld Bukan Lapangan Kerbau
Pasca serangan Mataram terhadap Batavia (1628), Pemerintah VOC mulai
membangun empat benteng (fort) untuk mengawal kota (stad) Batavia.
Benteng-benteng tersebut adalah benteng Jacatra (sekitar Manggadua sekarang),
benteng Angke, benteng Noordwijk (sekitar masjid Istiqlal) dan benteng Riswijk
(sekitar Harmoni). Lalu untuk mengurangi dampak banjir di Batavia dibangun
kanal dengan menyodet sugai Tjiliwong di dekat benteng Noordwijk dan airnya
dialirkan menuju sungai Krokoet dekat benteng Riswijk. Kanal ini pada saat ini
adalah kali yang berada diantara jalan Juanda dan jalan Veteran. Lalu kemudian
disodet lagi sungai Tjiliwong dan airnya dialirkan melalui kanal ke arah timur
(kanal ini pada saat ini adalah kali yang berada di Pasar Baru).
Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant, 17-04-1926 |
Sepulang dari Banten tahun 1886, Major Saint
Martin, terhadap prestasinya dalam menangani situasi di Banten, Pemerintah VOC
memberikan hadiah kepada Major Saint Martin dua lahan tersubur di hulu sungai
Tjiliwong yakni di Tjinere dan Tjitajam. Pemberian hadiah ini tidak hanya
karena alasan prestasinya di Banten, tetapi karena Major Saint Martin sangat
berminat dalam botani. Untuk itu Pemerintah VOC mengangkat Saint Martin untuk
membantu ahli Botani di Ambon, Georg Eberhard Rumphius dalam menyusun buku
botani.
Pada
tahun 1687 Majoor Saint Matin menugaskan Sersan Scipio untuk melakukan
ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong dengan mengambil rute dari selatan Jawa
(kini Pelabuhan Ratoe). Ekspedisi ini menyusuri sungai Tjimandiri hingga ke
lereng gunung Salak sebelah utara. Ekspedisi ini kemudian mendirikan benteng di
titik singgung terdekt antara sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane. Benteng
tersebut disebut benteng Fort Padjadjaran (lokasinya kini tepat dimana berada
Istana Bogor).
Dalam perkembannya diketahui Cornelis Chastelein
telah membeli lahan Antonij Pavillion di tenggara benteng Noordwijk. Cornelis
Chastelein tidak hanya mengusahakan perkebunan tebu tetapi juga membangun
pabrik gula. Pada tahun 1695 Cornelis Chastelein membeli lahan di hulu sungai
Tjiliwong di Seringsing (kini Serengseng Sawah) yang lokasinya tidak jauh dari
lahan Majoor Saint Martin di Tjinere dan Tjitajam.
Pada
tahun 1701 Pemerintah VOC mengirim ekspedisi kembali ke hulu sungai Tjiliwong
yang dipimpin oleh Abraham van Riebeeck. Ekspedisi ini juga meninjau hingga ke
Priangan di Tjiandjoer. Sepulang ekspedisi ini, Abraham van Riebeeck diberi
izin untuk mengusahakan lahan di Bodjong Manggis (kini Bodjong Gede).
Pada tahun 1703 Cornelis Chastelein membeli lahan lagi di Depok. Tidak
lama kemudian Cornelis Chastelein telah menjual lahannya yang berada di
tenggara benteng Noordwijk (eks lahan eks Antonij Pavillion). Sukses Cornelis
Chastelein di Seringsing membuat pedagang-pedagang VOC lainnya mengikuti jejak
Cornelis Chastelein. Yang membeli lahan Cornelis Chastelein di eks lahan Antonij
Pavillion adalah Justinus Vinck. Justinus Vinck juga membeli lahan baru di
barat lahan Buffels (wilayah Tanah Abang yang sekarang). Lahan Tanah Abang ini
kelak dikuasai oleh Daalxigt.
Setelah Rumphius meninggal di Ambon, tugas penyusunan buku botani tujuh
volume tersebut dilanjutkan oleh Saint Martin di Batavia. Namun Saint Martin
tidak berumur panjang meninggal pada tahun 1698 pada usia 36 tahun. Buku botani
peninggalan Saint Martin tersebut dilanjutkan oleh Cornelis Chastelein (hingga
selesai). Rumphius, Saint Martin dan Cornelis Chastelein adalah tiga orang
Prancis yang sama-sama sangat berminat dalam bidang botani. Lahan Kemajoran
telah diwariskan Saint Martin kepada pekerja setianya (keturunan Portugis) de
Buda. Cara ini juga kemudian dilakukan oleh Cornelis Chastelein mewarikan lahan
Depok kepada para pekerjanya tahun 1714.
Lahan yang telah dimiliki oleh Justinus Vinck tetap disebut lahan Pavillion
(Pavillionveld). Pada tahun 1735 Justinus Vinck membangun dua pasar yakni di Pavillionveld
dan di Tanah Abang. Dua pasar ini kemudian disebut Pasar Senen dan Pasar Tanah
Abang. Lahan yang berada di antara dua milik Justinus Vinck ini yang dulu
dimiliki oleh Buffels tidak diketahui siapa yang mengakuisisinya. Namun
demikian namanya tetap disebut lahan Buffelsveld. Di dalam lahan Buffelsveld
diusahakan tanaman gambir.
Justinus Vink telah menjadi konglomerat. Sebelum Justinus Vink memiliki
lahan Pavillionveld dan lahan Tanah Abang, sebelumnya hanya memiliki lahan di
Antjol yang berdekatan dengan lahan Johannes Pels dan lahan Symon van der Briel
(lihat Peta 1727). Dalam pekembangannya Justinus Vinck diduga telah membeli
lahan antara lahan Antjol dengan lahan Tjilintjing (kini Tandjoeng Priok). Dugaan
ini berdasarkan kanal antara dua lahan ini disebut Vinckvaart (kanal Vinck).
Kanal ini pada masa ini disebut Kali Lagoa (sebelumnya disebut sungai Tjilintjing).
Seperti halnya tebu, tanaman gambir juga sangat sesuai untuk lahan yang
sedikit basah. Produksi gambir termasuk salah satu komoditi yang diekspor ke
Eropa. Lahan Buffelsveld terbilang lahan basah sebagaimana lahan Pavillionveld.
Hal ini karena sungai Tjiliwong di selatan benteng Noordwijk kerap terjadi
banjir di musim hujan yang menyebabkan sebagian lahan Pavillionveld dan lahan Buffelsveld
terendam. Lahan Buffelsveld satu-satunya lahan yang mengusahakan tanaman gambir
di seputar Batavia sejauh yang diketahui.
Lahan Pavillionveld kemudian dibeli oleh Jacob Moseel yang menjabat Gubernur
Jenderal Hindia Belanda (1750-1761). Jacob Mossel di lahan Pavillionveld ini
membangun mansion yang mewah. Mansion di Pavillionveld milik Jacob Mossel ini kemudian
dibeli oleh Petrus Albertus van der Parra yang menjadi Gubenur Jenderal (1761-1775).
Posisi dimana mansion mewah ini pada masa ini tepat berada di RSPAD. Sementara
itu, semua lahan Justinus Vinck, Pels dan van der Briel di Antjol kemudian dibeli
oleh Gubernur Jenderal Valckenier (Gubernur Jenderal pada saat terjadi
pembantaian migran Cina tahun 1740). Lahan Antjol ini selanjutnya dibeli oleh Jeremias
van Riemsdijk yang menjadi Gubernur Jenderal (1775-1777).
Itulah sejarah awal lahan-lahan tempo doeloe di
sekitar Lapangan Monas yang sekarang. Namun satu hal, yang perlu dicatat bahwa Buffelsveld
bukanlah ‘Lapangan Kerbau’, tetapi suatu lahan pertanian yang awalnya dimiliki
oleh seorang Eropa bermarga Buffels. Mengacu pada salah kaprah ini, idem dito, Pavillionveld
juga tidak bisa otomatis diartikan sebagai ‘Lapangan Paviliun Rumah’ melainkan
lahan yang awalnya dimiliki oleh Antonij Pavillion dan Cornelis Chastelein.
Tentu saja, idem dito, Langeveld juga tidak bisa otomatis diartikan sebagai ‘Lapangan
Panjang’. Percayalah. Meski saya bukan sejarawan, tetapi saya adalah seorang
peneliti.
Champ de Mars Menjadi Koningsplein
Sudah lebih dari satu abad keberadaan lahan
Buffelsveld ketika terjadi pendudukan militer Inggris di Batavia tahun 1911
Pemerintah Hindia Belanda angkat tangan. Saat itu lahan Antonij Pavillion telah
diformalkan sebagai Weltevreden, dimana sudah terdapat sejumlah bangunan baru
(selain mansion peninggalan Gubenur Jenderal Petrus Albertus van der Parra)
yang dijadikan sebagai rumah sakit militer oleh Gubernur Jenderal Daendels (lihat Peta 1811). Bangunan baru tersebut
terdiri dari gedung Gubernur Jenderal, gedung Raad Justitie dan garnisun
militer. Gedung Gubernur Jenderal sendiri belum sepenuhnya selesai saat
terjadinya pendudukan militer Inggris.
Peta pendudukan militer Inggris (1911) |
Pemerintah Hindia Belanda kembali berkuasa pada
tahun 1816. Pembangunan tidak banyak mengalami perubahan di sekitar Champ de
Mars. Kawasan Noordwijk dan Weltevreden perkembanganya sedikit melambat pada
era pendudukan militer Inggris (1811-1816). Hal ini karena Letnan Gubernur
Jenderal Inggris, Raffles lebih memilih ibu kota di Buitenzorg dan Semarang. Hal
in boleh jadi istana di Weltevreden belum selesai dibangun, sementara
istana/villa di Buitenzorg sudah sejak lama eksis. Setelah kembalinya
Pemerintah Hindia Belanda berkuasa, area Riswijk dan Noordwijk kembali semarak.
Hal ini karena Gubernur Jenderal van der Capellen (1816-1826) yang awalnya
tinggal di Weltevreden (suatu kota yang dirintis oleh Gubernur Jenderal
Daendels), namun dalam perkembangannya Capellen lebih memilih menyewa tempat
tinggal di Rijswijk.
Champ de Mars dilihat dari Menara Eiffel (1889) |
Dalam perkembangannya, rumah yang dimiliki oleh
JA van Braam di Rijswijk yang disewa untuk tempat tinggal Gubernur Jenderal
Capellen kemudian dibeli oleh Pemerintah (seakan mengikuti langkah Daendels).
Lahan milik JA van Braam (yang dulu disebut lahan Langeveld) yang berada di belakang
Hotel Gubernur Jenderal juga dibeli oleh Pemerintah. Hotel dan lahan yang
menghadap ke Champ de Mars itu kelak menjadi menarik bagi pemerintah untuk
pengembangan lebih luas dengan membangun istana yang baru menghadap ke selatan.
Meski demikian, acara-acara kenegaraan seperti peringatan yang terkait dengan
raja tetap dipusatkan di Weltevreden.
Java government gazette, 06-06-1812 |
Area Riswijk dan Noordwijk cepat berkembang.
Lebih-lebih di persimpangan Riswijk telah didirikan gedung yang megah yaitu
gedung klub sosial Societeit Harmonie. Area dua sisi kanal tersebut (area
selatan Riswijk dan area utara Noordwijk) rumah-rumah Eropa/Belanda semakin banyak, jumlahnya semakin banyak hingga
bermunculan gang-gang baru.
Bataviasche courant, 22-02-1817 |
Pada tahun 1818 Pemerintah Hindia Belanda mulai
menata Koningsplein sebagai aloon-aloon yang nyaman, Untuk menatanya Pemerintah
meminta swasta untuk mengerjakannya. Dalam rangka penataan ini aktivitas dalam Koningsplein dilarang agara para pekerja tidak
terganggung (lihat Bataviasche courant, 11-07-1818).
Bataviasche courant, 11-07-1818 |
Dalam penataan
ini, jalan kuno (sejak era Pakwan-Padjadjaran) di sisi timur lapangan digeser
mengikuti tata ruang baru. Kereta dan pedati yang datang dari Buitenzorg akan
mengikuti jalur yang akan dibangun.
Peta 1924 |
Koningsplein Menjadi Lapangan Monas (Monumen Nasional)
Satu hal yang terpenting dari penataan Champ de
Mars (menjadi Koningsplein) adalah hilangnya sungai Tjideng di eks lahan
Bufflesveld. Perubahan aliran geografis sungai ini belum lama jika
membandingkan Peta 1811 dan Peta 1824. Perubahan geografis ini, jauh sebelumnya
juga terjadi pada sungai Tjiliwong dimana sungai Tjiliwong dari benteng
Noordwijk hingga Mangga Besar telah ditutup.
Kali Tjideng dikorbankan dalam penataan Koningsplein |
Meski sudah terbentuk Koningsoplein (hasil
penataan Champ de Mars) tetapi area Weltevreden dan area Koningsplein belumlah
terhubung. Akses dari Weltevreden ke Koningsplein melalui dua jembatan yang
telah dibangun tempo doeloe yakni jembatan Sluisbrug (kini Pintu Air) dan
jembatan Senen-Tanah Abang (kelak disebut jembatan Kwitang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar