*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
Sejarah masa lalu adakalanya tidak lagi menggambarkan kondisi masa kini. Misalnya ketika ditanyakan mana yang lebih duluan ada (terbentuk) Cililitan atau Kramat Jati. Warga Cililitan akan menjawab Cililitan; sebaliknya warga Kramat Jati menjawab Kramat Jati. Demikian juga jika ditanyakan mana lebih tua Cililitan atau Cawang? Warga Cawang akan menjawab Cawang. Hal ini boleh jadi karena warga masa kini merujuk pada pembagian wilayah administratif yang sekarang.
Sejarah masa lalu adakalanya tidak lagi menggambarkan kondisi masa kini. Misalnya ketika ditanyakan mana yang lebih duluan ada (terbentuk) Cililitan atau Kramat Jati. Warga Cililitan akan menjawab Cililitan; sebaliknya warga Kramat Jati menjawab Kramat Jati. Demikian juga jika ditanyakan mana lebih tua Cililitan atau Cawang? Warga Cawang akan menjawab Cawang. Hal ini boleh jadi karena warga masa kini merujuk pada pembagian wilayah administratif yang sekarang.
Cililitan (Peta 1695 dan Peta 1775) |
Namun sejatinya, di masa lampau nama Cililitan
adalah nama yang pertama muncul dari tujuh nama yang menjadi nama-nama
kelurahan di kecamatan Kramat Jati. Sebelum nama yang lain lahir, nama Cililitan
sudah eksis sejak lama. Cililitan adalah area tertua di kecamatan Kramat Jati.
Cililitan awalnya adalah pelabuhan dan nama Cililitan kelak digunakan sebagai nama bandara.
Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Kecamatan Kramar Jati |
Cililitan:
Pelabuhan dan Cawang
.
Pada Peta 1695 nama Tjililitang (Tjililitan) sudah
diidentifikasi. Tjililitan beradi di arah hulu (perkampongan Malajoe), suatu
perkampongan yang awalnya adalah penempatan pasukan pribumi pendukung militer
VOC/Belanda yang berasal dari Malajoe. Sementara pasukan pribumi pendukung
militer VOC yang berasal dari Jawa diduga kuat ditempatkan di muara sungai
Tjililitan, dimana sungai Tjililitan bermuara ke sungai Tjiliwong.
Kebijakan pemerintah VOC
yang sebelumnya melakukan perdagangan yang longgar dengan penduduk di kota-kota
pelabuhan, pada tahun 1665 diubah dengan kebijakan pemerintah VOC yang baru untuk
menjadikan penduduk sebagai subjek (para pedagang VOC mulai membangun dan
mengembangkan pertanian). Pedagang-pedagang VOC mulai mengolah lahan pertanian
di sekitar Batavia dan pasukan pribumi pendukung VOC ditempatkan di bagian sisi
luar (para pasukan pribumi ini menjadi semacam barier untuk mengurangi kekuatan
ancaman dari Mataram dan Banten.
Pasca perang Banten (1684).
Majoor Saint Martin diberi hadiah lahan subur oleh pemerintah. Lahan subur itu
berada di Tjinere dan di Pondok Terong (kini Tjitajam). Majoor Saint Martin
mengirim ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong yang dipimpin oleh Sersan Scipio.
Ekspedisi ini dimulai dari muara sungai Tjimandiri (kini Pelabuhan Ratoe)
hingga lereng gunung Salak. Pasukan Scipio pada tahun 1687 membangun benteng di
titik singgung terdekat sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane (kini lokasinya
berada tepat di istana Bogor). Ekspedisi yang dipimpin Sersan Scipio telah
memetakan jalan poros dari gunung Salak hingga ke Batavia di sisi timur sungai
Tjiliwong (peta jalan ini adalah jalan raya Bogor yang sekarang).
Beberapa tahun kemudian
Hendrik Lucasz Cardeel membuka lahan di sisi timur land Tjinere milik Saint
Martin. Lahan tersebut kini dikenal sebagai Ragoenan. Pada tahun 1695 Cornelis
Chastelein yang telah memiliki lahan di land Anthonij (Weltevreden, kini area
Senen) membukan lahan baru di Serengseng (dihulu sungai sisi barat sungai Tjiliwong,
kini Lenteng Agoeng). Lahan ini berada diantara lahan Cardeel dan lahan Saint
Martin. Untuk mendukung pengembangan pertanian di pedalaman lalu dibangun
sejumlah benteng baru yakni di Meester Cornelis (kini Berlan), di Tandjoeng
(kini Pasar Rebo), di Sampoera (kini Serpong); di muara sungai Bekasi dan di
Tandjoeng peora (hulu sungai Tjitaroem, dekat Karawang). Satu benteng lagi di
sekitar Tjilengsi/Bantar Gebang.
Kampong Malajoe dan kampong Tjililitan menjadi
pelabuhan sungai di daerah aliran sungai Tjiliwong dari Batavia ke arah hulu
sungai Tjiliwong. Cornelis Chastelein menggunakan jalur sungai dari (pelabuhan)
Tjililitan ke lahan miliknya di Serengeng. Pada tahun 1701 suatu ekspedisi
dilakukan lagi ke hulu sungai Tjiliwong dipimpin oleh Abraham van Riebeeck melalui
sisi barat sungai Tjiliwong. Rute ekspedisi ini dimulai dari (pelabuhan)
Tjililitan ke benteng Tandjoeng (Pasar Rebo), Serengseng, Pondok Tjina, Depok,
Ratoe Djaja, Pondok Terong, Bodjong Manggis (kini Bojong Gede) dan Paroeng
Angsana (sekitar Bogor yang sekarang). Pada tahun 1704 Cornelis Chastelein
membuka lahan bari di Depok dan Abraham van Riebeeck membuka lahan di Bodjong
Manggis (di hulu lahan muilik Saint Martin di Pondok Terong).
Area muara sungai
Tjililitan di sungai Tjiliwong ini kemudian dikenal sebagai Tjawang (diduga
dari asal kata cabang sungai dari bahasa Jawa). Adanya hujan jati di dekat
Tjililitan diduga kuat adalah tanaman jati
yang telah ditanam oleh pasukan pribumi pendukung militer VOC yang berasal dari
Jawa. Hutan jati yang luas ini kelak habis ditebang dan eks lahannya
dikapitalisasi menjadi land yang baru yang diduga menjadi nama land Kramat
Djatie. Satu pemimpin pasukan pribumi asal Jawa yang terkenal di seputar
Tjililitan ini adalah Pangeran Poerbaja (lihat Daghregister).
Pasukan pribumi pendukung
militer VOC yang pernah ditempatkan di benteng (fort) Tandjoeng adalah pasukan
yang berasal dari Makassar. Umumnya para pasukan yang ditempatkan ini setelah
usai berdinas tidak kembali ke kampong masing-masing tetapi melanjutkan usaha
pertanian di tempat dimana mereka telah merintisnya. Pasukan asal Makassar
inilah diduga yang membuka perkampongan Makassar yang lokasinya tidak jauh dari
Fort Tandjoeng. Orang-orang Makassar juga membuka kampong di dekat benteng
Tangerang dan juga membuka perkampongan di dekat Rawamangoen.
.
Landhuis Tjililitan: Land Tandjong Oost dan Bandara
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog
ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi
warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan
utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat
tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton
sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan
sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam
memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini
hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish).
Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar