*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini
Sejauh mana dan sebanyak berapa sejarah Pariaman? Sejauh sebanyak namanya. Lantas mengapa sejarah Pariaman tidak ditulis dengan baik, padahal Pariaman adalah kota besar di pantai barat Sumatra sejak era VOC hingga era Pemerintah Hindia Belanda. Okelah, itu satu hal. Hal yang lain adalah banyak nama menuju Pariaman: Priaman, Prjaman, Preaman, Periaman, Piaman dan Bariaman.
Sejauh mana dan sebanyak berapa sejarah Pariaman? Sejauh sebanyak namanya. Lantas mengapa sejarah Pariaman tidak ditulis dengan baik, padahal Pariaman adalah kota besar di pantai barat Sumatra sejak era VOC hingga era Pemerintah Hindia Belanda. Okelah, itu satu hal. Hal yang lain adalah banyak nama menuju Pariaman: Priaman, Prjaman, Preaman, Periaman, Piaman dan Bariaman.
Nama tempat dan nama
geografis lainnya adalah penanda navigasi yang penting untuk menelusuri sejarah
kota hingga jauh ke masa lampau. Mengabaikan nama-nama yang banyak untuk satu titik
geografis hanya akan membatasi diri untuk sampai ke tujuan akhir. Nama-nama
tempat di Indonesia pada masa ini, adakalanya berbeda cara yang ditulis pada
masa lampau. Seperti (kota) Yogyakarta ditulis dalam belasan cara, kota
Pariaman juga ditulis dengan sejumlah cara. Berbeda cara boleh jadi berbeda
era. Semua itu terjadi karena belum terbentuk sistem baku, beda orang, beda
bahasa beda pula cara mengkoding lisan ke tulisan. Dalam hal ini, sistem baku
dalam penulisan sejarah adalah mengikuti apa adanya (apa yang tertulis dan
tergambarkan) di eranya.
Pariaman sebagai bagian pantai barat Sumatra,
sejarah Pariaman tidak berdiri sendiri. Sejarah Pariaman adalah sejarah yang
terkait dengan sejarah di tempat lain, paling tidak di sekitar wilayah pantai
barat Sumatra. Semakin jauh di masa lampau, metode sejarah konvensional semakin
tidak memadai. Oleh karena itu pendekatan kontekstual (holistic) pada ruang
spasial akan lebih mampu menjelaskan bagaimana sejarah suatu tempat
berlangsung. Untuk lebih memahami sejarah Pariaman dalam ruang spasial, mari
kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan
lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru
yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja* Peta 1903
Nama Pariaman
Sejarah pantai barat Sumatra dimulai sejak era
VOC. Pada era Portugis sangat minim informasi tentang pantai barat Sumatra.
Informasi tentang pantai barat Sumatra baru muncul secara intens sejak VOC
menjalin hubungan dengan kerajaan Indrapoera (yang mana Inggris sudah berada di
Bengkoelen). Dalam dasawarsa ini, Gubernur Jenderal VOC di Batavia memerintahkan
Laksamana Spelman untuk menyerang kerajaan Gowa, sementara seorang Majoor
dengan pasukannya (yang juga dibantu pasukan Palaka) melakukan ekspedisi ke
pantai barat Sumatra Hasilnya para hulubalang Atjeh berhasil diusir dari Padang
(1663).
Pada
era Portugis kerajaan Aroe (di daerah aliran sungai Baroemoen) masih eksis. Tetangganya
adalah kerajaan Minangkabau (Pagaroejoeng). Kerajaan-kerajaan lainnya di
seputar utara Sumatra adalah Atjeh dan Malaka. Saat kedatangan Belanda (VOC)
dibawah komandan Conelis de Houtman (1595) kerajaan Atjeh dalam puncaknya yang
bersaing dengan Malaka (Portugis). Kerajaan Minangkabau sudah redup dan
kerajaan Aroe sudah mati suri. Kerjaan Djohor mulai berkembang. Dua kapal VOC
pada tahun 1600 dari Bantam berangkat menuju pantai barat Sumatra di Priaman.
Kapal-kapal ini juga singgah di Tikoe dan Passaman sebelum tiba di Atjeh.
Kapal-kapal ini dalam perjalan pulang ke Belanda. Inilah kali pertama orang
Belanda ke Priaman (tentu saja Padang belum ada). Pada tahun 1618 kembali VOC
ke Tikoe en Priaman yang dipimpin oleh van den Broek.
Setelah
VOC mulai menguat di Ambon, lalu relokasi ke muara sungai Tjiliwong (Soenda
Calapa) pada tahu 1619. Meski ada satu dua pedagang VOC ke pantai barat
Sumatra, karena VOC sudah lebih fokus di Djawa khususnya seputar Batavia,
situasi dan kondisi di pantai barat Sumatra tidak begitu banyak terinformasikan.
Surat dari Panglima Padang yang dicatat di Kasteel Batavia (Daghregister) pada
awal tahun 1661 boleh dikatakan satu-satunya informasi penting di pantai barat
Sumatra. Surat ini diduga menjadi faktor penting dimulainya keterlibatan VOC di
pantai barat Sumatra. Sebelum surat dari Padang ini sudah lebih dahulu di
Batavia diterima surat dari Priaman. Surat-surat dari pantai barat ini diduga
setelah dasawarsa-dasawarsa sebelumnya kapal VOC Gerad Kalf tahun 1642 di bawah
Generaal van Dieman ke pantai barat Sumatra.
Seiring dengan perang Gowa, Pemerintah VOC
mengubah kebijakannnya yang sebelumnya hanya melakukan perdagangan yang longgar
di kota-kota pantai dengan kebijakan baru yang mana penduduk dijadikan subjek.
Dalam hubungan ini, di utara Bengkolen, pantai barat Sumatra mulai
dikapitalisasi oleh VOC. Semuanya bermula di sekitar Indrapoera (sekitar pulau
Chinco). Fase inilah saat dimana kerajaan-kerajaan di pantai barat Sumatra
mulai membelakangi kerajaan Pagaroejoeng (Minangcabao) dan kerajaan Atjeh.
Kerajaan-kerajaan pantai di pantai barat Sumatra mulai menemukan partner baru
(selain Minangkabau dan Atjeh). Perjanjian pertama di mulai di Sapoeloh Boha
Bondar (Bandar Sepuluh) pada tahun 1667 dengan empat penghulu di Panai Kampei,
Tiga Laras (Songe Pagoe) dan Malajoe (lihat Francois Valentjn, 1726). Empat
penghulu tersebut adalah Radja Canpa, Radja Poetra Dalam, Radja Lilo Wangsa dan
Radja Macoca. Kerajaan-kerajaan yang beralisasi dengan VOC ini mulai dari yang
paling selatan (Salibar) hingga paling utara (Singkel) termasuk Priaman.
District Bandar Sepuluh mengindikasikan penduduk
melting pot. Keragaman mereka diduga mencerminkan bangsa-bangsa Minangkabau,
Melayu, Batak dan Jawa. Nama Panai Kampei mengindikasikan nama kota di kerajaan
Aroe (Baroemen) dan Pertibie. Dalam hal ini kerajaan Indrapoera sebelumnya
terhubung dengan sejumlah kerajaan seperti Minangkabau, Aroe, Malaka-Djohor dan
Palembang.
Kerjasama VOC dengan Bandar Sepuluh ini juga
termasuk dengan kepala Kota Tonga (Kota Tengah di dekat Padang) yang membawahi
sejumlah kampong, antara lain Anackan, Liamau Manis; Pulo Tello (delapan
penghulu); Karanti dan Sungai Pagu, Piamanpura (Raja berasal dari Sungai Pagu)
dan Air Adji. Peta 1835
Priaman berada tujuh mil di utara Kotatengah, VOC
menempatkan seorang pedagang. Priaman adalah suatu lanskap yang terdiri dari
empat kampong: Kampong di Hoeloe, Kampong
di Hilir, Kampong Dalam dan Kampong Atjeh. Wilayah Priaman ini dipimpin dua
Orangkajo dan sepuluh penghulu. Pada tahun 1670 raja-raja di lanskap Priaman
ini bergabung dengan VOC. Para raja-raja ini berada di bawah Panglima Radja di
Padang. Pada tahun 1674 terjadi perang yang dipimpin oleh Tujuh Kota. Panglima
Radja dan VOC berhasil membuat situasi kondusif yang mendatangkan pasukan Aroe
Palaka (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indi, 1902).
Kerajaan-kerajaan
dari Tikoe hingga Air Bangis berasal dari orang-orang Silebar. Pada tahun 1667
kerajaan-kerajaan ini bergabung dengan VOC. Sementara Taboejoeng termasuk
wilayah Baros yang juga ikut bergabung dengan VOC.
Pada tahun 1684 seorang utusan Inggris dari
Madras ke Atjeh untuk membangun pos perdagangan di pantai barat Sumatra. Permintaan
itu ditolak, karena Atjeh belum lama terusir dari pantai barat dan tentu akan
melakukan perhitungan dengan Belanda. Pedagang-pedagang Inggris mulai
berinisiatif mendatangi radja-radja di pantai barat Sumatra (dalam perdagangan
lada). Kemudian pedagang-pedagang Inggris berdatangan menjalin kerjasama dengan
radja-radja di pantai barat Sumatra. Namun mendapat perlawanan dari Belanda di
Priaman.
Pihak
Inggris pada tahap awal berhasrat untuk mendirikan pos perdagangan di Priaman,
tetapi di Priaman orang-orang Inggris dicegah oleh Belanda. Inilah awal
perseteruan antara Belanda dan Inggris sejak tahun 1685 yang akan berlangsung
secara terus menerus. Sejak 1686 Inggris lebih ke selatan di Benkoelen yang
segera mulai berkembang dan pada akhirnya tahun 1714 Fort Marlborough didirikan.
Sempat terjadi pemberontakan penduduk 1719 dan nyaris Inggris
meninggalkannya. Bencoelen semakin
meningkat oleh perdagangan lada.
Sementara itu jumlah pedagang VOC di pantai barat
Sumatra terus meningkat. Pada tahun 1740, pada saat perang Cina di Batavia,
jumlah pedagang VOC di pantai barat Sumatra sebanyak 600 pedagang. Jumlah ini
sempat menurun pada dua dasawarsa berikutnya yang mana pegawai VOC hanya
terdiri 250 Eropa dan 80 orang pribumi. Pada tahun 1760 jumlah orang Eropa di
Priaman sebanyak lima orang. Jumlah terbanyak di Padang sebanyak 150 orang lalu
disusul di Air Hadji, Baros dan Poeloe Chinko masing-masing 20 orang. Sementara
di Natal, Tapanoeli, Tikoe dan Air Bangis masing-masing sebanyak lima orang
Eropa.
Pada tahun 1781, satu skuadron Inggris berangkat
dari Madras dialihkan ke pantai barat Sumatra. Langkah Inggris ternyata membuat
Belanda ciut dan mulai meninggalkan Padang dan semua pos perdagangan lainnya di
pantai barat Sumatra. Inggris sudah menyapu habis semua kekuatan Belanda bahkan
di pulau-pulai kecil. Setelah itu Sir Stamford Raffles ditempatkan sebagai
Gubernur di Benkoelen. Inggris menjadi Radja di Sumatra. Inggris pada tahun 1795 membuka cabang pemerintah (setingkat Residen) di
Padang.
Residen Inggris di Padang (1795-1819) |
Cinta pertama Belanda di Sumatra (sejak di Padang
1666 yang membuka pos pertama di Priaman) tidak pernah dilupakan Belanda meski
Inggris telah merampasnya dari pelukan Belanda. Di antara kota-kota pelabuhan
di pantai barat Sumatra, Priaman selalu menjadi pokok perseteruan antara
Inggris dan Belanda. Mengapa demikian? Priaman adalah pos perdagangan yang cukup dekat dengan
TKP (sumber produksi di pedalaman di Minangkabau). Atas dasar itu, Belanda
kembali melakukan penjajakan di pantai barat Sumatra di Priaman (Inggris sudah
bercokol di Padang).
Oprechte Haerlemsche courant, 11-04-1686 |
Inggris
cepat mengendus perceraian Belanda dan Baros tersebut. Inggris segera menjalin
cinta dengan Baros. Inggris memanfaat situasi dan menyimpulkan kontrak Belanda dengan
para radja-radja Baros telah terputus sepihak oleh Belanda (independen). Ketika
Belanda mengetahui terjadi main mata antara Inggris dan Baros, Belanda tidak
bisa berbuat banyak lagu, karena Belanda sendiri telah mengakui kemerdekaan radja-radja
Baros. Pengaruh Belanda lambat-laun berkurang di Baros. Namun pada akhirnya Air
Bangis juga dilepaskan karena Belanda lebih tertarik untuk membesarkan Padang.
Kekuatan Inggris di Natal juga menjadi faktor lain Air Bangis lepas. Di pantai
barat Sumatra, Belanda hanya terbatas di Padang (yang dibawah supremasi
kerajaan Indrapoera) dan daerah Indrapoera di utara Bengkoelen. Meski demikian,
Belanda kembali telah mendapatkan haknya wilayah Palembang dan Banka serta
Biliton. Sebelumnya Inggris ingin bertahan di Padang, yang awalnya ditolak
Raffles untuk dikembalikan, karena Raffless ingin menyatukan Padang dengan Benkoelen
(agar lebih dekat dengan pos-pos perdagangan Inggris di Utara (utara Priaman).
Nama Pariaman di Awal Era Pemerintah Hindia Belanda
Keutamaan Pariaman di pantai barat Sumatra karena
mendapat kehormatan dikunjungi oleh kapal-kapal VOC pada tahun 1601. Meski
kerap terjadi ketegangan dalam perebutan Priaman diantara Belanda dan Inggris, Priaman
selalu di pihak Belanda. Kota-kota di pantai barat Sumatra dapat dikatakan
Priaman adalah wilayah yang tidak pernah jatuh ke tangan Inggris. Pada
permulaan Pemerintah Hindia Belanda di pantai barat Sumatra tahun 1819, Priaman
termasuk yang mendapat perhatian pertama.
Pemerintah
Hindia Belanda menempatkan ibu kota pantai barat Sumatra di Tapanoeli tempat
dimana Asisten Residen WJ Waterloo berkedudukan yang dibantu sejumlah pejabat
sipil. Aktivitas Inggris di Padang masih intens. Sebagaimana juga diketahui
belum lama, pada tahun 1818 Raffles melakukan ekspedisi ke pedalman di
Minangkabau (Pagaroejoeng). Dalam struktur Pemerintah Hindia Belanda di pantai
barat Sumatra ini, komandan militer berpangkat Major ditempatkan di Natal yang
membawahi komandan berpangkat letna di Priaman dan Padang. Sementara itu komandan
berpangkat Kapitein tempatkan di Padangsche Bovenlanden yang membawahi komandan
berpangkat letnan di Samawang dan Agam. Sedangkan petugas sipil sebagai
havenmeester dan pakhuismeester di tempatkan di Natal dan Padang.
Penempatan pejabat (militer) di Priaman, sudah
barang tentu tidak hanya karena semata-mata terdapat properti Belanda di
Priaman sejak era VOC, tetapi juga karena alasan strategis yang mana
(pelabuhan) Priaman dijadikan sebagai hub perdagangan di kota-kota pantai dan
aliran produksi dari pedalaman (dimana pejabat sudah ditempatkan di Agam).
Priaman juga menjadi satu dari empat kota terpenting di pantai barat Sumatra
(Padang, Tapanoeli, Natal dan Priaman). Sementara dua tempat penting yang
diplot di pedalaman adalah Samawang (Tanah Datar) dan Agam.
Belanda
pada tahun 1819 telah menerima otoritas pantai barat Sumatra dari Inggris.
Tentu saja pengembalian hanya terbatas pada kota-kota di sepanjang pantai barat
Sumatra. Untuk wilayah-wilayah di pedalaman Minangkabau (Pagaroejoeng) telah
melakukan negosisiasi dengan Belanda di Padang (sehubungan dengan keluhan
mereka terhadap tindakan Padri). Perjanjian dengan para pengeran Pagaroejoeng
ini yang kemudian Pemerintah Hindia Belanda menempatkan tiga pejabat militer di
Minangkabau yang dipimpin oleh seorang Kapitein dan dibantu dua letnan di
Samawang dan Agam. Penempatan tiga pejabat militer Belanda ini mendapat
resistensi dari Padri. Ketegangan mulai muncul. Pemerintah Hindia Belanda yang
dalam hal ini pejabat militer telah mendapat legitimasi dari pangeran
Pagaroejoeng. Untuk mengusir Padri dari Minangkabau kemudian Pemerintah Hindia
Belanda di Batavia mengirim satu ekspedisi militer di bawah komando Luitenan
Kolonel Raaf yang tiba di Padang pada bulan Desember 1921.
Pada tahun 1924 dilakukan perjanjian tukar guling
antara Belanda dan Inggris yang mana Malaka diserahkan kepada Inggris dan
Bengkoelen diserahkan kepada Belanda (dengan demikian seluruh Sumatra menjadi
wilayah Belanda dan seluruh Semenanjung (termasuk pulau-pulau seperti Penang
dan Singapura) masuk wilayah Inggris. Pasca perjanjian tersebut (Traktat London
1824) Pemerintah Hindia Belanda menata kembali dan membentuk cabang-cabang
pemerintah baru di seluruh pantai barat Sumatra (lihat Bataviasche courant, 29-11-1826).
Dalam
struktur pemerintahan yang baru ini. Yang pertama adalah ibu kota pantai barat
Sumatra dipindahkan dari Tapanoeli ke Padang. Hal ini mengingat posisi
strategis Padang yang berada diantara ujung selatan (Bengkoelen) dan ujung
utara (Baros). Disamping itu, properti Belanda dan peninggalan Inggris di
Padang cukup banyak yang dapat digunakan dalam permulaan suatu ibu kota
pemerintahan. Selain itu di Padang sudah ada pemimpin lokal tertinggi (Panglima
Radja) sejak era VOC.
D Priaman diangkat seorang posthouder dengan gaji
sebesar f600 per tahun yang dibantu dua opas yang masing-masing bergaji f120
per tahun. Di Priaman juga diangkat seorang bupati dengan gaji f560 per tahun
(setara dengan posthouder orang Belanda). Ini mengindikasikan di Priaman bupati
dan posthouder adalah dua pejabat tertinggi di Priaman. Bupati lainnya di Tanah
Datar, Agam dan Indrapoera. Bupati Tanah Datar bergaji f2400 per tahun dan
bupati Agam sebesar f1200 per tahun.
Untuk
di Padang pemimpin lokal tertinggi adalah Panglima Radja dengan gaji f5600 per
tahun yang membawahi empat bandahara yang masing-masing dengan gaji f624 dan 12
penghulu yang masing-masing dengan gaji f480 per tahun. Pemimpin lokal lainnya
diangkat di sejumlah tempat di Bengkoelen (di bawah pimpinan seorang Asisten
Resident), Natal, Linggabajo, Air Bangis, Tapanoeli, Sibolga. Besarnya gaji
pemimpin lokal mencerminkan besar kecilnya tanggungjawab. Gaji tertinggi Eropa
sebagai Residen di Padang adalah f15.000 per tahun dan di bawahnya sekretaris
sebesar f4200 per tahun, seorang komisi di Tapanoeli sebesar f5000 dan pejabat pemerintahan
Padang sebesar f6000 per tahun (setara dengan Panglima Radja).
Pada tahun 1835 di Afdeeling Noordelijke diangkat
Asisten Residen yang berkedudukan di Natal. Ini sehubungan dengan masuknya
Mandailing dan Rao ke dalam sturuktur Pemerintah Hindia Belanda. Noordelijke
Afdeeling hingga ke Tikoe di selatan dan Baros di utara. Pada tahun 1840 wilayah
Noordelijke Afdeeling dibentuk menjadi satu residentie dengan nama Residentie
Air Bangis dimana Residen berkedudukan di Air Bangis dan seorang Asisten
Residen di Mandailing en Angkola. Sehubungan dengan pembetukan residentie baru
ini, wilayah Bengkulu dipisahkan sebagai satu residentie tersendiri. Dalam hal
ini Priaman masuk Residentie Padangsche Benelanden yang beribukota di Padang. Residentie
Padangsche Bovenlanden ditetapkan di Fort de Kock.
Pada tahun
1845 dibentuk Residentie Tapanoeli dengan ibu kota di Sibolga. Pada tahun 1846
Afdeeling Natal dimasukkan ke Residentie Tapanoeli. Sehubungan dengan itu
Residentie Air Bangis dilikuidasi. Afdeeling Air Bangis dan Afdeeling Rao dan
Afdeelung Ophisr Districten dimasukkan ke Residentie Padangsche Benelanden.
Perkembangan Lebih Lanjut Pariaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar