*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini
Kota Cubadak dan kota Simpang Tonang bukanlah nama baru, tetapi nama-nama lampau. Nama Cubadak dan Simpang Tonang tidak seterkenal Rao, tetapi Simpang Tonang menjadi penting karena tempo doeloe merupakan persimpangan dari Rao ke Cubadak dan dari Rao ke Air Balam. Jalur Panti-Cubadak tentu saja belum ada, jalur kuno adalah Rao-Simpang Tonang lalu dari Simpang Tonak ke Cubadak dan ke Air Balam. Namun dalam perkembangannya nama Cubadak menjadi lebih penting ketika dibuka jalur Cubadak ke Loender (Panti) pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda. Simpang Tonang lambat laun meredup lalu kalem diketenangan.
Kota Cubadak dan kota Simpang Tonang bukanlah nama baru, tetapi nama-nama lampau. Nama Cubadak dan Simpang Tonang tidak seterkenal Rao, tetapi Simpang Tonang menjadi penting karena tempo doeloe merupakan persimpangan dari Rao ke Cubadak dan dari Rao ke Air Balam. Jalur Panti-Cubadak tentu saja belum ada, jalur kuno adalah Rao-Simpang Tonang lalu dari Simpang Tonak ke Cubadak dan ke Air Balam. Namun dalam perkembangannya nama Cubadak menjadi lebih penting ketika dibuka jalur Cubadak ke Loender (Panti) pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda. Simpang Tonang lambat laun meredup lalu kalem diketenangan.
Tjoebadak, Simpang Tonang, Rao (Peta 1835) |
Nama demikian, Cubadak dan Simpang Tonang tidak
terpisakan satu sama lain. Karena itu ikatan abadi mereka masih terlihat pada
masa kini sebagai nama kecematan: Kecamatan Duo Kota. Mengapa demikian. Karena dua
kota ini penduduk awalnya sama-sama asli Mandailing ( di sekitar lerang gunung
Kulabu). Pergeseran batas wilayah di era Hindia Belanda menyebabkan ada kesan
Mandailing ada di Pasaman (dan Natal ada di Mandailing). Untuk menambah
pengetahuan dan wawasan Sejarah Air Bangis, mari kita telusuri sumber-sumber
tempo doeloe. Sejarah Air Bangis adalah bagian dari Sejarah Menjadi Indonesia.
Sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan
lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru
yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*
Nama Simpang
Tonang dan Nama Cubadak
Penduduk Simpang Tonang dan penduduk Cubadak
sejatinya bukan pendatang. Mereka adalah penduduk asli. Mereka yang secara
turun temurun (genealogis) berdiam di wilayah tersebut sejak jaman lampau.
Pemerintah Hindia Belanda, karena alasan untuk memudahkan pengadministrasian
wilayah karena hambatan gunung Kulabu akhirnya District Tjoebadak (Simpang
Tonaang dan Cubadak) dimasukkan ke wilayah Residentie Padangsche Benelanden
(yang berpusat di Padang). Sementara wilayah Residentie Padangsche Bovenlanden
berada di Fort de Kock. District Bondjol adalah batas wilayah Residentie
Padangsche Bovenlanden dengan Residentie Padangsche Benelanden. Hal yang sama
wilayah District Natal yang lebih menyatu dengan District Air Bangis, juga
karena halangan geografis dimasukkan ke Mandailing (Residentie Tapanoeli).
Jadi, penduduk Natal bukanlah penduduk pendatang dari Air Bangis (Sumatra
Barat), tetapi penduduk Natal adalah asli penduduk Natal (Sumatra Utara).
Distrik Pakantan dan Distrik Cubadak di gunung Kulabu (Peta 1843) |
Sejarah masa lampau adakalanya beberapa penulis
pada masa ini menginterpreasinya secara keliru dan bahkan terkesan kekanak-kanakan.
Itu terdapat dimana-mana, tidak hanya sejarah di lereng gunung Kulabu tetapi
juga di wilayah lain di Indonesia. Akibat dari penulisan sejarah yang dangkal
tersebut pembaca dapat mejadi bingung. Itu bukan dari tujuan penulisan sejarah.
Sejarah
adalah narasi fakta dan data. Data otentik semakin jauh ke masa lampau adalah
data yang dapat diverifikasi (bersifat empiris, dapat dibuktikan fakta dan
waktu). Bagaimana kita pada masa ini mengatakan District Tjoebadak adalah
Sumatra Barat dan Natal adalah Sumatra Utara padahal sebelum ada pembagian
wilayah, kedua district ini sudah eksis. Bagi generasi muda, dalam hal ini haruslah
dibedakan penafsiran antara wilayah administrasi (politik-pemerintahan) dan
wilayah teritorial (sosial-budaya). Analisis sejarah adalah analisi cover both
side. Bukan dengan hanya kaca mata kuda (yang tidak melihat kiri dan kanan
apalagi belakang).
Orang Cubadak-Simpang Tonang adalah raja di
wilayahnya. Raja yang membuka huta sebagai cara perluasan wilayah teritorial di
jaman kuno. Orang Natal Air Bangis-Natal juga adalah raja di wilayahnya. Para
pangeran yang membuka kota sebagai cara menemukan wilayah teritorial baru di
jaman kuno. Belum ada perebutan wilayah karena tanah-tanah kosong masih jauh
lebih banyak dari populasi yang ada. Baru pada perkembangan berikutnyalah,
terutama di wilayah yang populasi lebih padat terjadi pertikaian perbatasan
seperti yang pernah terjadi antara radja Pasaman dengan radja Kinali (1850an).
Hal serupa juga ditemukan di wilayah Tapanoeli yang mana pernah terjadi perang
antara satu kampung dengan kampung yang lain yang berbatasan soal batas hak
ulayat.
Pada
era Pemerintah Hindia Belanda, penentuan wilayah administrasi tidaklah
dilakukan secara gegabah. Pemerintah telah lebih dahulu mengirim tim ekspedisi
(yang terdiri dari ahli bahasa, ahli geografi sosial, landmeter dan ahli
lainnya) sebelum dibuat draf. Draf ini kemudian dikonfirmasi kepada para ahli
waris wilayah (ulayat). Metode ini berlaku sama di seluruh Hindia apakah di
Maluku, di Jawa atau di Kalimantan. Upaya ini dilakukan oleh pemerintah agar
tidak bertentangan dengan hukum formal. Yang lebih penting dari itu pengukuran
dan penentuan yang tepat tentang batas-batas wilayah sesuai batas wilayah
tradisonal (teritorial) untuk menghindari pertikaian atau peperangan.
Kejadian peperangan di tengah populasi bagi
pemerintah adalah biaya yang terbuang sia-sia. Pemerintah melihat populasi
(penduduk) sekecil apa pun wilayah teritorinya adalah partner untuk menghasilkan
produksi yang secara langsung mendukung tujuan mereka (keuntungan pemerintah). Dengan
demikian pembagian wilayah administrasi selalu berdasarkan pertimbangan
sosial-budaya (asal-usul) dan dalam hal tertentu (pada fase berikutnya) baru
atas dasar pertimbangan ekonomis (regionalisasi pembangunan). Kolonisasi adalah
wujud lain dari tanah-tanah teritorial.
Kolonisasi
adalah hal yang berbeda dengan tanah ulayat (tanah teritorial). Kolonisasi
adalah dapat dikatakan sebagai pendatang. Ketika Pemerintah Hindia Belanda tahun
1940 mulai menempatkan populasi (asal) Jawa di Batahan juga mempertimbangkan
segala aspek. Salah satu aspek terpenting adalah kebersediaan penduduk setempat
menerima kehadiran mereka dan kebersediaan untuk melepaskan sebagian
tanah-tanah ulayat mereka untuk kebutuhan kolonisasi.
Hak ulayat (negeri raja) berbeda dengan hak
kolonisasi (negeri yang diserahkan). Hak ulayat tidak bisa ditelusuri ke asal.
Hal ini karena tidak ada yang memberi dan tidak ada yang menerima. Namun hak
kolonisasi bisa dilihat ke awal.
Contoh
kasat mata adalah kolonisasi Belanda di Indonesia. Hal ini karena bisa
ditelusuri ke awal ketika para pedagang-pedagang VOC atau para pejabat
Pemerintah Hindia Belanda membuat perjanjian dengan para raja-raja. Dalam hal
ini pemilik portofolio Hindia Belanda adalah para raja-raja tempo doeloe yang
bertransformasi menjadi Indonesia. Dengan demikian terminologi orang
Cubadak-Simpang Tonang berasal dari Tapanoeli adalah keliru.
Penduduk asli Cubadak-Simpang Tonang adalah orang
Mandailing di wilayah Sumatra Barat. Hal ini karena mereka sudah eksis sebelum
adanya batas wilayah dan pemerintahan Tapanoeli dan pemerintahan Sumatra Barat.
Demikian juga orang Natal berasal dari Sumatra Barat adalah keliru. Setelah ada
pembatasan wilayah hukum barulah orang yang datang berikutnya dapat dikatakan
sebagai pendatang.
Terminologi
pedatang dan asli haruslah dilihat sejarahnya pada kurun waktu yang berbeda.
Pada masa ini di Natal tidak hanya orang asli tetapi juga ada pendatang dari
Mandailing dan Sumatra Barat. Demikian juga di Cubadak-Simpang Tonang tidak
hanya penduduk asli tetapi juga ada pendatang yang datang dari wilayah lain di
Sumatra Barat dan Tapanuli. Ada pendatang lama dan ada pendatang baru. Tentu
saja akan ada lagi pendatang di masa datang. Itulah situasi dan kondisi di wilayah-wilayah
perbatasan budaya (Batak-Minangkabau, Batak-Melayu, Batak-Aceh; Minangkabau-Bengukulu,
Minangkabau-Kerinci, Minangkabau-Melayu Riau dan Minangkabau-Melayu Jambi).
Pemisahan dan penyatuan wilayah administratif tentulah
harus diartikan bersifat relatif. Dalam hal ini terminologi pedatang dan asli
juga harus dipandang bersifat relatif. Jika itu urusan masa lampau, katakalah
di jaman kuno, sulit mengatakan suatu populasi adalah asli. Boleh jadi penduduk
Indonesia adalah semua pendatang, entah darimana datangnya di jaman kuno. Itu
ibarat suatu batang sungai, yang absolut tetap eksis adalah batangnya, tetapi
air yang mengalir di atasnya adalah relatif. Batang itu sudah ada sejak jaman
kuno tetapi air yang mengalir di atas batang pada saat ini adalah air yang
berbeda dengan air di jaman kuno (sebagaiman kita ketahui air mengalir dalam
satu detik).
Dalam
hal ini suatu wilayah tanah adalah absolut, namun penduduknya dapat bersifat
relatif. Demikian dengan halnya dengan kebiasaaan (sosio-budaya) dapat bersifat
relatif. Kebiasaan nenek moyang kita di jaman kuno bisa jadi berbeda dengan
kebiasaan kita masa kekinian. Itulah esensi relativitas. Memahami pergerakan atau
pergeseran relativitas lebih berguna daripada mempersoalkan absolutism. Bukti
terdekat dari relativitas di suatu kawasan (wilayah) adalah populasi saling
memperkuat apakah melalui hubungan ketetanggaan atau karena hubungan
perkawinan.
Kisah Kuburan Dua vs Kampong Koeboeran Doea
Antara kota Cubadak dan kota Panti terdapat
wilayah-kawasan yang disebut Kuburan Dua. Namun kawasan ini kerap dihubungkan
dengan suatu kisah yang entah siapa yang mengawali ceritanya dan entah kapan
bermula. Kisah Kuburan Dua ini tampaknya diwariskan secara turun temurun hingga
ini hari. Pertanyaannya apakah asal-usul nama Kuburan Dua sesuai dengan ceritanya?
Memang
jarang nama tempat menggunakan kuburan, tetapi ada juga kampung atau gang
disebut kuburan. Di Jakarta dan sekitar ditemukan gang yang disebut gang Kober
(kober bahasa Belanda adalah kuburan). Ada nama desa Makam di Jawa (apakah makam
maksudnya kuburan, entahlah). Di Jakarta juga banyak ditemukan kampong Kramat
(biasayanya ada kuburan kramat). Di Jawa ada kampung di tengah pekuburan. Di
Medan ada nama Kampung Kubur. Jadi, kuburan dijadikan nama tempat sah-sah saja.
Kawasan yang disebut Kuburan Dua diantara Cubadak
dan Panti tempo doeloe adalah nama kampong. Kampong tersebut memang benar dicatat
sebagai Koeboeran Doea (lihat Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 13-05-1865).
Disebutkan Pemerintah akan membangun jalan dari Panti hingga Air Bangis melalui
kampong-kampong Koeboeran Doea, Simpang Geta, Tjoebadak, Tanah Koening, Taloe,
Oeloe, Batang Paroman, Loeboek Sorik, Kajoe Aarang, Tambang Randa, Moeara
Keawe, Alin, Kasih Poetih, Soengei Aur, Oedjoeng Tandjoeng, Oedjoeng Gading,
Parit, Batang Lapoek, Air Balam dan Silawe. Kampong Koeboeran Doea jelas nama
suatu kampong tempo doeloe. Besar dugaan awal kampong ini disebut Koeboeran
Doea karena terdapat dua kuburan.
Tidak
jelas siapa yang dikubur di tempat itu. Jika mengacu pada berita tahun 1865,
nama kampong tersebut disebut kampong Koeboeran Doea sudah lama. Pada era
Perang Padri (1835-1837) belum ada jalan antara Loender (kelak disebut Panti) Panti
dan Tjoebadak. Jalan perlintasan penduduk adalah dari Air Bangis melalui Taloe,
terus ke Tjoebadak dan Simpang Tonang terus ke Rao. Jalan setapak (yang hanya
bisa dilalui kuda beban) ini juga digunakan militer Belanda sebagai rute
militer dalam Perang Padri. Benteng militer Belanda berada di Rao dan pos militer
(benteng kecil) juga dibangun di Loender. Oleh karena adanya pos militer di
Loender maka diduga ada perlintasan militer antara Loender dan Tjoebadak (Air
Bangis adalah pusat pemerintahan pada saat itu). Besar dugaan dua kuburan ini
adalah kuburan orang yang terluka dalam perang dan kemudian meninggal di
sekitar apakah korbanya Eropa atau pasukan Padri. Dalam perkembangan
selanjutnya ketika penduduk membangun pertanian (berladang) di dekat dua
kuburan tersebut lalu disebut penanda navigasi Kuburan Dua yang kemudian
menjadi nama kampong. Pada Peta 1850 sudah terbentuk jalan setapak dari Cubadak
ke Loender (jalan dari Cubadak ke Rao via Simpang Tonang telah bergeser via
Loender (kelak disebut Panti).
Lalu kemudian muncul kisah Kuburan Dua. Namun
sayangnya kapan cerita itu bermula dan oleh siapa tidak diketahui. Pada buku
atau lembar apa cerita ini ditulis juga tidak diketahui. Namun menurut cerita,
hanya diceritakan dari waktu ke waktu. Namun kapan waktu ceritanya bermula juga
tidak diketahui apakah sudah lama atau baru muncul belakangan. Jadi, cerita
tetaplah cerita. Kisah Kuburan Dua tidak dapat dijadikan sejarah. Sebab sejarah
adalah narasi fakta dan data. Dari perspektif sejarah nama Kuburan Dua awalnya
adalah nama kampong, Nama kampong Kuburan Dua paling tidak telah diberitakan
pada tahun 1865. Pada Peta 1905 nama kampong Kueburan Dua tidak ada lagi, hanya
diidentifikasi sebagai penanda nama bukit: Bokeit Koeboeran Doea (demikian juga
pada Peta 1941). Bahwa ada kisah yang muncul dengan nama Kuburan Dua adalah hal
lain.
Boleh jadi kisah Kuburan Dua hanya sebagai rekaan,
Suatu cerita untuk tujuan tertentu apakah untuk sekadar bercanda atau memberi
nasehat hanya masalah bahasa menjadi pertumpahan darah. Kearifan lokal tidak
selalu dalam wujud fisik tetapi juga dalam suatu bentuk fiksi untuk penduduk.
Cerita fiktif yang kemudian merakyat. Celakanya ada yang menganggap itu fakta,
namun nyatanya sulit dibuktikan.
Era Modern: Mandailing di Pasaman dan Natal di
Mandailing
Keren,, terimakasih informasinya pak,, saya penduduk asli simpang Tonang, lahir dan tinggal disini, tp baru melalui tulisan bapak ini saya bisa mengetahui sejarah tentang tanah yang saya pijaki ini,,
BalasHapusMudah-mudahan ini menjadi cikal bagi generasi kedepan untuk lebih menggali sejarah tanah tumpah darah ini...