Senin, 20 April 2020

Sejarah Air Bangis (22): Ujung Gading dan Sejarahnya; Mandailing di Tjoebadak, Parit, Simpang Tonang, Aur, Djonggor, Batahan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini

Oedjoeng Gading, bukanlah nama kampong kemarin sore. Nama kampong Oedjoeng Gading sudah sangat kuno, bahkan nama Odjoeng Gading lebih dahulu ada dibandingkan nama Air Bangis. Sebagaimana Pasaman dan Batahan, nama Oedjoeng Gading juga adalah nama sungai. Nama Air Bangis juga adalah nama sungai. Nama sungai Oedjoeng Gading dan nama sungai Air Bangis merujuk pada sungai yang sama. Nama sungai Oedjoeng Gading di hulu, nama sungai Air Bangis di hilir.

Odjoeng Gading (Peta 1595)
Kita bisa berandai-andai (suatu anggapan). Mungkin kita tidak menduga, bahwa tepat pada posisi GPS dimana kota Air Bangis pada jaman lampau adalah laut (perairan). Kampong yang berada di pantai adalah kampong Oedjoeng Gading. Dengan kata lain Odjoeng Gading adalah muara sungai Oedjoeng Gading (berbatasan langsung dengan pantai). Lalu kemudian kita beranggapan bahwa daratan Air Bangis terbentuk karena proses sedimentasi karena adanya aliran lumpur dan material lainnya yang cukup banyak melalui sungai-sungai dari pedalaman karena aktivitas yang luar biasa dari gunung berapi (gunung Malintang, gunung Koelaboe atau gunung Pasaman-Ophir)..

Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930 penduduk Oedjoeng Gading seluruhnya adalah orang Mandailing. Keterangan ini tentu ada artinya. Sebagai sebuah kampong besar berjumlah penduduk banyak (dan asli Mandailing) tentu saja kampong ini sudah eksis sejak lama. Jaraknya yang begitu dekat dengan centrum Mandailing, kampong Oedjoeng Gading memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan penduduk Mandailing di pedalaman (pegunungan).

Sungai Sikarbou, Antara Ujung Gading dan Air Bangis (Now)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja* Peta 1903

Nama Oedjoeng Gading Lebih Tua dari Air Bangis

Banyak sumber untuk memahami sejarah masa lampau. Namun diantara sumber yang ada lebih valid tulisan dan lukisan daripada lisan. Tarih suatu tulisan semakin tua akan semakin menjelaskan seberapa jauh sejarah berlangsung ke masa lampau. Tidak hanya itu, tulisan yang bertarih tahun yang sama tingkat validitasnya juga berbeda menurut jenis sumber. Karena itulah norma dalam penulisan yang lazim dalam dunia akademik membutuhkan rujukan. Rujukan dalam hal ini adalah sumber yang memiliki tingkat validitas tinggi. Tidak dapat diandalkan seorang tetua di Odjoeng Gading atau di Air Bangis untuk menggambarkan bagaimana sejarah dua kota itu secara lisan tiga abad lampau.

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/dari-ayer
Turi-turian tidak dapat dijadikan suatu rujukan meski itu tertulis. Namun turi-turinan yang tertulis dan memiliki tarih waktu penulisan masih dapat dijadikan sebagai sumber jika itu maksudnya hanya untuk bidang tertentu. Namun tidak memadai untuk bidang yang lain. Seperti yang ditunjukkan pada peta di atas (Peta 1695) dilukiskan nama-nama geografis (tempat, sungai, pulau dan lainnya) yang mana dicatat tingkat kedalaman laut. Dalam hal ini, pengukuran dilakukan untuk tujuan tertentu (navigasi) karena itu pencatatannya dilakukan melalui suatu pengukuran lalu dicatat secara benar yang kemudian digunakan oleh pihak lain. Data inilah yang sampai ke tangan kita pada masa ini secara utuh (dokumennya masih baik). Sumber-sumber semacam ini jelas lebih valid jika dibandingkan turi-turian yang baru ditulis pada tahun 1900an. Misalnya di dalam turi-turian itu disebut bahwa teluk Air Bangis sangat dalam. Namun seberapa dalam tidak disebutkan. Keterangan kedalaman di dalam tulisan turi-turian ini tidak berguna. Peta yang dibuat pada tahun 1695 menjadi lebih berguna, karena memberikan informasi yang lebih sesuai fakta. Informasi yang dihasilkan akan lebih baik dan benar jika disertai dengan analisis yang komprehensif (menguji data sesuai konteks dan membandingkan antar data yang ada)..

Bagaimana gambaran (fakta dan data) masa lampau kota Oedjoeng Gading tentu masih menarik untuk ditelusuri. Kesulitan akses data selama ini menjadi halangan bagi penulis untuk menulis sejarah. Namun kini semua data masa lalu dalam bentuk tertulis sudah dibuka sumbernya. Hanya tinggal membacanya. Sumber-sumber masa lalu kita (Indonesia-Hindia Belanda) umumnya tertulis dalam bahasa Belanda. Oleh karena itu untuk menggali data sejarah jangan lagi membaca isi turi-turian yang ditulis di kulit pohon atau permukaan bambu (apalagi tulisan itu dibuat belum lama untuk menceritakan sesuatu yang terjadi beberapa abad yang lalu). Jika metodologi turi-turian yang digunakan untuk menganalisis sejarah masa lampau, Anda sebenarnya tidak tahu apa pun (si Parturi lebih cerdas dari Anda).

Sikarbou (Peta 1665)
Pada peta-peta tertua nama tempat atau nama sungai Air Bangis tidak dikenal. Nama yang diidentifikasi pada Peta 1665 hanya Batahan, Sikarbou dan Pasaman. Lalu beberapa dekade kemudian pada Peta 1695 nama yang diidentifikasi adalah  Oedjoeng Gading dan Air Bangis. Identifikasi di dalam peta umumnya pananda navigasi untuk menunjukkan nama sungai dan nama tempat. Sungai Batang Sikarbou saling dipertukarkan dengan nama sungai Oedjoeng Gading. Nama Oedjoeng Gading adalah nama tempat sedangkan Sikarbou adalah nama sungai yang melalui kota Oedjoeng Gading. Oleh karena itulah nama sungai Sikarbou saling tertukar dengan nama sungai Oedjoeng Gading. Sementara itu sungai Air Bangis adalah hilir dari sungai Sikarbou.

Air Bangis (Peta 1903)
Berdasarkan peta morpologi yang diterbitkan pada tahun 1904 antara pantai dengan kota Oedjoeng Gading adalah rawa yang sangat luas. Area daratan di daerah rawa tersebut adalah gunung Djawi-Djawi dan bukit Pintjoeran. Sebelum terbentuknya rawa, gunung Djawi-Djawi dan bukit Pintjoeran adalah dua pulau di tengah laut. Pada jaman doeloe ada satu faktor utama mengapa terbentuk rawa besar di pantai (seperti di Jawa) adalah adanya suatu kejadian alam yang luar biasa yakni letusan gunung berapi yang menyebabkan lumpur dari material lainnya terbawa dari hulu ke laut. Dalam hal ini diduga telah terjadi letusan gunung Malintang atau gunung Koelaboe. Gunung Malintang (2.200 M) disebut sebuah gunung berapi yang tidak lagi aktif. Dua sungai yang berasal dari lereng gunung ini adalah Batang Si Kilang dan Air Bangis atau Batang Sikabau bersama-sama yang secara keseluruhan membentuk rawa yang tenang (lihat Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 1916).

Lumpur dan material yang terbawa ke pantai oleh sungai Sikarbou telah tersedimentasi karena halangan pulau Djawi-Djawi dan pulau Pintjoeran. Terjadi proses sedimentasi (rawa-rawa) menyebakan aliran sungai Sikarbou mencari jalan sendiri ke laut. Aliran ini dapat berbeda sewaktu-waktu seiring dengan proses sedimentasi. Pada akhirnya aliran sungai Sikarbou di daerah rawa-rawa menemukan jalannya yang tetap, menuju celah antara daratan dan pulau Pintjoeran. Pada muara baru sungai Sikarbou ini kemudian muncul kampong baru yang disebut Air Bangis. Adanya nama tempat ini (Air Bangis) nama sungai Sikarbou di hilir menjadi Air Bangis (ruas sungai antara kampong Air Bangis dengan kampong (kota) Odjoeng Gading). Pola penamaan (navigasi) sungai serupa ini umum ditemukan seperti di Jawa, antara lain sungai Tangerang (asal Tjisadane), sungai Bekasi (Tjilengsi), sungai Jacatra (Tjiliwong) dan sungai Karawang (asal Tjitaroem). Fenomena alam yang berlangsung lama ini mengindikasikan bahwa kota-kota di pantai utara Jawa, seperti Jakarta (Batavia), Teluknaga-Tangerang, Karawang dan Bekasi tempo doeloe adalah lautan. Seperti halnya Air Bangis, kota-kota pantai adalah Jacatra (muara sungai Tjiliwong), Babakan (muara sungai Tjisadane) dan Bantar Gebang (muara sungai Tjilengsi) dan Karawang (muara sungai Tjitaroem). Oleh karena itu sungai yang sama: Tjiliwong di hulu, sungai Jacatra di hilir; Tjisadane di hulu, Tangerang di hilir; Tjilengsi di hulu, sungai Bekasi di hilir; Tjitaroem di hulu, sungai Karawang di hilir.

Pola yang serupa yang dekat dengan pembentukan kampong (kota) Air Bangis adalah kampong (kota) Natal di muara sungai Batang (setelah terbentuknya kota Natal nama sungai menjadi sungai Batang Natal). Dalam literatur kuno nama Batahan adakalanya disebut Batang. Batahan merujuk pada bahasa Arab (Batahin atau Bathan yang artinya orang Arab). Setelah nama Baros, nama yang terbilang sangat tua di pantai barat Sumatra adalah Batahan sebagai pusat perdagangan (produk kuno seperti kamper, kemenyan, emas dan gading). Orang-orang Eropa yang datang kemudian (Portugis) melafalkan Batahan menjadi Batang. Besar dugaan Batahan atau Batang adalah pelabuhan yang terbentuk karena pedagang-pedagang Arab, yang mana orang-orang India telah membentuk koloni di pedalaman di pertemuan sungai Batang Angkola pada dan Batang Gadis pada abad ke-8. Orang-orang Arab yang diduga telah memiliki basis di pantai barat Sumatra, orang India yang telah menyebar di pedalaman termasuk Rao dan Agam kemudian membentuk jalur pedagangan ke timur (munculnya percandian Padang Lawas dan Muara Takus) yang pada gilirannya muncul kerajaan besar: Kerajaan Aroe (Batak Kingdom). Dalam perkembangannya, nama Batang (Batahan) menjadi penanda navigasi untuk semua sungai-sungai terutama di wilayah Tapanuli yang sekarang (Batang dalam bahasa Batak adalah sungai; sementara sungai adalah bahasa Melayu yang awalnya ditulis dalam aksara Latin sebagai Songei, Songi, Soengei dan sebagainya). Semua nama-nama sungai besar yang berhulu di pedalaman menggunakan Batang untuk menyatakan sungai, seperti sungai Batang Toroe, Batang Gadis-Batang Angkola, Batang Natal dan Batang Batahan (serta Batang Sikarbou). Idem dito di Jawa: Caly atau Kali untuk menyatakan Tji atau Tsji. Dalam hal ini Batang Batahan, Batang Sikarbou dan Batang Pasaman semuanya berhulu di gunung (api) Malintang (Mandailing) dan gunung Koeloboe (Mandailing-Rao). Gunung yang terlihat di arah kanan sungai Pasaman disebut gunung Pasaman (Ophir).

Secara teoritis Air Bangis adalah nama tempat yang baru, sedangkan Oedjoeng Gading adalah nama yang jauh lebih tua. Secara empiris dengan memperhatikan peta morpologi Air Bangis dan membandingkan pola-pola penaman nama tempat dan nama sungai di tempat lain, diduga kuat bahwa sebelum terbentuk kampong Air Bangis sudah terbentuk kampong Oedjoeng Gading. Kampong Odjoeng Gading diduga adalah pelabuhan (muara sungai) produk-produk yang berasal dari pedalaman (Mandailing dan Rao). Pelabuhan Oedjoeng Gading diduga hanya sebagai pelabuhan pengumpan (feeder) untuk pelabuhan-pelabuhan besar.

Pelabuhan Batahan, Tkoe, Priaman (Peta 1753)
Pada peta-peta lama (sebelum 1600) tiga pelabuhan besar yang diidentifikasi adalah pelabuhan Batahan, Tikoe dan Pariaman. Hingga tahun 1750an tiga pelabuhan ini masih dianggap penting. Dalam Peta 1753 di dekat Pariaman diidentifikasi (penanda navigasi) Tello Bangi [Teluk Bangi(s) ?]. Lantas apakah penduduk Teluk Bangis telah bedol desa ke Air Bangis? Seiring dengan menguatnya nama Air Bangis, nama teluk Bangis di Pariaman lambat-laun menghilang (tidak teridentifikasi lagi). Pada Peta 1953 ini nama Air Bangis (dan Odjoeng Gading) tidak menonjol, nama-nama selain tiga pelabuhan besar juga diidentifikasi nama-nama pelabuhan kecil (feeder) yakni Pasaman, Cassan (Kasang),  Cortatenga (Kota Tangah) dan Oigong Carang (Odjoeng Karang).

Oedjoeng Gading Pelabuhan Kuno Setua Batahan

Pada peta-peta kuno, nama-nama yang dicatat adalah Batahan, Pulo Babi dan Sikarbou (lihat Peta 1657). Belum diidentifikasi nama Oedjoeng Gading. Pada peta yang lebih muda (Peta 1665) tiga nama ini tetap diidentifikasi. Namun nama yang telah dikunjungi oleh orang Eropa baru nama (sungai) Batahan. Ini dapat dilihat dari penandaan navigasi kedalaman laut di sisi luar muara sungai (sekitar 20 M).

Peta 1657
Apa yang menarik dari identifikasi nama geografis ini adalah nama Pulo Baby ( Pulau Babi). Nama pulau yang disebut Babi ini berada di sebelah utara (sungai) Siekerbou (Sikarbou). Pertanyaannya, mengapa disebut pulau tetapi berada di wilayah daratan? Pulo ini berbeda dengan pulau-pulau di lepas pantai seperti Pulo Batoe. Sangat mungkin yang dimaksud pulau disini pada dasarnya adalah pulau sedimen yang berada di muara sungai Sikarbou. Pulau sedimen (Pulo Baby) ini telah melindungi kampong Odjoeng Gading di muara sungai Sikarbou. Pulau sedimen inilah kemudian yang membuat aliran sungai Sikarbou mengarah ke daratan di sebelah utara yang diduga menjadi sebab munculnya identifikasi nama (sungai) Air Bangis (lihat Peta 1695). Pada Peta 1695 diidentifikasi tiga nama: Air Bangis, Oedjoeng Gading dan Sikarbou. Nama pulau Babi tidak muncul lagi pada peta-peta selanjutnya. Dalam hal ini nama sungai Sikarbou tetap eksis, sedangkan dua nama baru diidentifikasi yakni Air Bangis dan Oedjoeng Gading. Jika dua nama ini juga menunjukkan nama tempat, maka nama Oedjoeng Gading haruslah diartikan lebih dulu eksis jika dibandingkan nama Air Bangis. Hal ini karena lazimnya pada saat itu nama-nama tempat berada di muara sungai. Sedangkan nama tempat di muara sungai yang baru (Air Bangis) baru muncul setelah terbentuk sungai baru (seiring dengan terbentuknya Pulo Babi). Penanda navigasi yang penting telah bergeser dari pulau Babi menjadi tempat Air Bangis.

Kapan terbetuknya nama tempat Air Bangis diduga setelah terbentuknya pulau Babi. Nama tempat Air Bangis inilah yang kemudian nama sungainya disebut sungai Air Bangis. Oleh karena nama sungai Sikarbou masih eksis, maka nama sungai Air Bangis merujuk pada sungai baru yang terbentuk (yang awalnya rawa-rawa) sebagai cabang dari sungai Sikarbou di sebelh hulu dekat dengan kampong Oedjoeng Gading. Dalam hal ini nama tempat dan nama sungai Air Bangis adalah nama baru. Sedangkan kampong Odjoeng Gading (awalnya) di muara sungai Sikarbou (sebelum terbentuk pulau Babi).. Nama kampong Oedjoeng Gading diduga telah berumur setua kampong Batahan. Kampong Batahan dan kampong Oedjoeng Gading adalah kampong-kampong yang dihuni oleh penduduk Mandailing. Sungai Batahan dan sungai Sikarbou berhulu di gunung Malintang (Mandailing).

Pulau Sicanang di Deli tempo doeloe (Peta 1657) dan Now
Pulau Babi terbentuk pada awalnya adalah dua pulau kecil dimana di dua pulau kecil tersebut masing-masing dapat kini dilihat keberadaan (daratab) bukit Pintjoeran dan gunung Djawi-Djawi. Pulau Babi yang terbentuk dari basis bukit dabn gunung tersebut karena proses sedimentasi, lambat laut Pulau Babi semakin membengkak karena proses sedimentasi yang berkelanjutan dan mulai memenuhi seluruh teluk (antara pulau dan muara sungai Sikarbou di Odjoeng Gading). Akhirnya sulit membedakan pulau (Pulau Babi) yang sudah menyatu menjadi daratan yang dibatasi aliran sungai nama pulau Babi di Air Bangis menghilang dalam sejarah. Di teluk Belawan tempo doeloe terdapat suatu pulau. Teluk ini adalah muara sungai Hamparan Perak dan sungai Deli. Pulau kecil di tengah teluk ini disebut Pulau Sicanang. Namun karena proses sedimentasi yang berkelanjutan berabad-abad pulau Sicanang semakin membengkak dan memenuhi seluruh teluk. Pulau ini sulit dibedakan sebagai pulau karena kini hanya dikelilingi oleh sungai Hamparan Perak (sungai Belawan) dan sungai Deli. Meski demikian, nama area tersebut di sebut Pulau Sicanang (karena begitulah namanya sejak lampau). Nama area disebut Pulau Sicanang dipertahankan penduduk, namun nama Pulau Babi dilupakan di Air Bangis.  

Tunggu deskripsi lengkapnya

Populasi Mandailing: Oedjoeng Gading, Tjoebadak, Simpang Tonang, Sungai Aur, Rabi Djonggor, Batahan dan Parit

Kota Oedjoeng Gading dan kota Air Bangis adalah dua kota yang bertetangga di daerah aliran sungai Batang Sikarbou/sungai Air Bangis. Kota Oedjoeng Gading berada di hulu (muara sungai Sikarbou tempo doeloe) dan kota Air Bangis berada di hilir (muara sungai Air Bangis). Sungai Air Bangis adalah cabang sungai Sikarbou di hilir. Sungai Sikarbou berhulu di gunung Malintang (Mandailing).

Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 1916
Kota Air Bangis berada di teluk di sebelah kanan sungai Air Bangis. Kota Parit dan kota Oedjoeng Gading berada di jalan dari Air Bangis ke arah pedalaman, sedankan kota Sikilang berada di pantai. Kota Air Bangis adalah ibu kota District Air Bangis.Populasi penduduk kota Air Bangis berdasarkan catatan statistik tahun 1905 sebanyak 1.700 jiwa penduduk asli, sekitar 60 orang Cina dan hanya 12 orang Eropa. Penduduk asli Air Bangis tidak dapat dianggap sebagai Minangkabau murni, sebagian besar terdiri dari Mandailing dan beberapa elemen penduduk pesisir (lihat Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 1916).

Pada tahun 1930 (sensus penduduk 1930) berapa jumlah penduduk kota Air Bangis dan beraapa jumlah penduduk kota Oedjoeng Gading tidak diketahui secara pasti. Hal ini karena penduduk dua kota ini tidak tersajai secara spesifik. Data yang dipublikasikan adalah data penduduk seluruh Onderafdeeling Ophir (mengacu pada pembentukan onderafdeeling Ophir sesuai Staatblads No. 162 tahun 1929).

Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 1939
Berdasarkan staatblads tersebut Onderafdeeling Ophir ibu kota di Taloe. Onderafdeeling Ophir terdiri dari dua districtr, yaitu: District Air Bangis dan District Talamau. District Air Bangis terdiri dari dua onderdistrict yakni Air Bangis dan Oedjoeng Gading, sedangkan District Talamau terdiri daru dua onderdistrict yakni Talamau dan Pasaman. Jumlah populasi di District Talamau sebanyak 52.813 jiwa dimana sebanyak 29.311 jiwa berada di onderdistrict Talamau. Sedangkan di District Air Bangis sebanyak 34.433 jiwa yang mana di onderdistrict Oedjoeng Gading sebanyak 20. 507 jiwa dan di onderdistrict Air Bangis sebanyak 13.926 jiwa, Nagari-nagari yang terdapat di Onderdistrict Talamau adalah Tjoebadak, Simpang Tonang, Sinoeroet, Taloe dan Kadjai, sedangkan nagari-nagari yang terdapat di Onderdictrict Air Bangis adalah Air Bangis, Parit, Batahan, Oedjoeng Gading, Soengai Aoer, Moearö Kiawai dan Rabi Djonggor.

Namun demikian, secara kualitatif disebutkan bahwa nagari-nagari Tjoebadak, Simpang Tonang, Soengai Aoer, Oedjoeng Gading, Rabi Djonggor, Batahan dan Parit sepenuhnya adalah orang Mandailing (lihat Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 1939).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar