*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini
Oedjoeng Gading, bukanlah nama kampong kemarin sore. Nama kampong Oedjoeng Gading sudah sangat kuno, bahkan nama Odjoeng Gading lebih dahulu ada dibandingkan nama Air Bangis. Sebagaimana Pasaman dan Batahan, nama Oedjoeng Gading juga adalah nama sungai. Nama Air Bangis juga adalah nama sungai. Nama sungai Oedjoeng Gading dan nama sungai Air Bangis merujuk pada sungai yang sama. Nama sungai Oedjoeng Gading di hulu, nama sungai Air Bangis di hilir.
Oedjoeng Gading, bukanlah nama kampong kemarin sore. Nama kampong Oedjoeng Gading sudah sangat kuno, bahkan nama Odjoeng Gading lebih dahulu ada dibandingkan nama Air Bangis. Sebagaimana Pasaman dan Batahan, nama Oedjoeng Gading juga adalah nama sungai. Nama Air Bangis juga adalah nama sungai. Nama sungai Oedjoeng Gading dan nama sungai Air Bangis merujuk pada sungai yang sama. Nama sungai Oedjoeng Gading di hulu, nama sungai Air Bangis di hilir.
Odjoeng Gading (Peta 1595) |
Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930 penduduk
Oedjoeng Gading seluruhnya adalah orang Mandailing. Keterangan ini tentu ada
artinya. Sebagai sebuah kampong besar berjumlah penduduk banyak (dan asli
Mandailing) tentu saja kampong ini sudah eksis sejak lama. Jaraknya yang begitu
dekat dengan centrum Mandailing, kampong Oedjoeng Gading memiliki hubungan
kekerabatan yang dekat dengan penduduk Mandailing di pedalaman (pegunungan).
Sungai Sikarbou, Antara Ujung Gading dan Air Bangis (Now) |
Nama Oedjoeng
Gading Lebih Tua dari Air Bangis
Banyak sumber untuk memahami sejarah masa lampau.
Namun diantara sumber yang ada lebih valid tulisan dan lukisan daripada lisan. Tarih
suatu tulisan semakin tua akan semakin menjelaskan seberapa jauh sejarah
berlangsung ke masa lampau. Tidak hanya itu, tulisan yang bertarih tahun yang
sama tingkat validitasnya juga berbeda menurut jenis sumber. Karena itulah
norma dalam penulisan yang lazim dalam dunia akademik membutuhkan rujukan.
Rujukan dalam hal ini adalah sumber yang memiliki tingkat validitas tinggi.
Tidak dapat diandalkan seorang tetua di Odjoeng Gading atau di Air
Bangis untuk menggambarkan bagaimana sejarah dua kota itu secara lisan tiga abad lampau.
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/dari-ayer |
Bagaimana gambaran (fakta dan data) masa lampau
kota Oedjoeng Gading tentu masih menarik untuk ditelusuri. Kesulitan akses data
selama ini menjadi halangan bagi penulis untuk menulis sejarah. Namun kini
semua data masa lalu dalam bentuk tertulis sudah dibuka sumbernya. Hanya
tinggal membacanya. Sumber-sumber masa lalu kita (Indonesia-Hindia Belanda)
umumnya tertulis dalam bahasa Belanda. Oleh karena itu untuk menggali data
sejarah jangan lagi membaca isi turi-turian yang ditulis di kulit pohon atau permukaan
bambu (apalagi tulisan itu dibuat belum lama untuk menceritakan sesuatu yang
terjadi beberapa abad yang lalu). Jika metodologi turi-turian yang digunakan
untuk menganalisis sejarah masa lampau, Anda sebenarnya tidak tahu apa pun (si
Parturi lebih cerdas dari Anda).
Sikarbou (Peta 1665) |
Air Bangis (Peta 1903) |
Berdasarkan peta morpologi yang diterbitkan pada
tahun 1904 antara pantai dengan kota Oedjoeng Gading adalah rawa yang sangat
luas. Area daratan di daerah rawa tersebut adalah gunung Djawi-Djawi dan bukit
Pintjoeran. Sebelum terbentuknya rawa, gunung Djawi-Djawi dan bukit Pintjoeran
adalah dua pulau di tengah laut. Pada jaman doeloe ada satu faktor utama
mengapa terbentuk rawa besar di pantai (seperti di Jawa) adalah adanya suatu
kejadian alam yang luar biasa yakni letusan gunung berapi yang menyebabkan
lumpur dari material lainnya terbawa dari hulu ke laut. Dalam hal ini diduga telah terjadi
letusan gunung Malintang atau gunung Koelaboe. Gunung Malintang (2.200 M)
disebut sebuah gunung berapi yang tidak lagi aktif. Dua sungai yang berasal
dari lereng gunung ini adalah Batang Si Kilang dan Air Bangis atau Batang
Sikabau bersama-sama yang secara keseluruhan membentuk rawa yang tenang (lihat Encyclopaedie
van Nederlandsch-Indie, 1916).
Lumpur dan material yang terbawa ke pantai oleh
sungai Sikarbou telah tersedimentasi karena halangan pulau Djawi-Djawi dan
pulau Pintjoeran. Terjadi proses sedimentasi (rawa-rawa) menyebakan aliran
sungai Sikarbou mencari jalan sendiri ke laut. Aliran ini dapat berbeda
sewaktu-waktu seiring dengan proses sedimentasi. Pada akhirnya aliran sungai
Sikarbou di daerah rawa-rawa menemukan jalannya yang tetap, menuju celah antara
daratan dan pulau Pintjoeran. Pada muara baru sungai Sikarbou ini kemudian muncul
kampong baru yang disebut Air Bangis. Adanya nama tempat ini (Air Bangis) nama
sungai Sikarbou di hilir menjadi Air Bangis (ruas sungai antara kampong Air
Bangis dengan kampong (kota) Odjoeng Gading). Pola penamaan (navigasi) sungai serupa
ini umum ditemukan seperti di Jawa, antara lain sungai Tangerang (asal
Tjisadane), sungai Bekasi (Tjilengsi), sungai Jacatra (Tjiliwong) dan sungai
Karawang (asal Tjitaroem). Fenomena alam yang berlangsung lama ini mengindikasikan
bahwa kota-kota di pantai utara Jawa, seperti Jakarta (Batavia),
Teluknaga-Tangerang, Karawang dan Bekasi tempo doeloe adalah lautan. Seperti
halnya Air Bangis, kota-kota pantai adalah Jacatra (muara sungai Tjiliwong),
Babakan (muara sungai Tjisadane) dan Bantar Gebang (muara sungai Tjilengsi) dan
Karawang (muara sungai Tjitaroem). Oleh karena itu sungai yang sama: Tjiliwong
di hulu, sungai Jacatra di hilir; Tjisadane di hulu, Tangerang di hilir;
Tjilengsi di hulu, sungai Bekasi di hilir; Tjitaroem di hulu, sungai Karawang
di hilir.
Pola yang serupa yang dekat dengan pembentukan
kampong (kota) Air Bangis adalah kampong (kota) Natal di muara sungai Batang
(setelah terbentuknya kota Natal nama sungai menjadi sungai Batang Natal). Dalam
literatur kuno nama Batahan adakalanya disebut Batang. Batahan merujuk pada
bahasa Arab (Batahin atau Bathan yang artinya orang Arab). Setelah nama Baros,
nama yang terbilang sangat tua di pantai barat Sumatra adalah Batahan sebagai
pusat perdagangan (produk kuno seperti kamper, kemenyan, emas dan gading).
Orang-orang Eropa yang datang kemudian (Portugis) melafalkan Batahan menjadi
Batang. Besar dugaan Batahan atau Batang adalah pelabuhan yang terbentuk karena
pedagang-pedagang Arab, yang mana orang-orang India telah membentuk koloni di
pedalaman di pertemuan sungai Batang Angkola pada dan Batang Gadis pada abad
ke-8. Orang-orang Arab yang diduga telah memiliki basis di pantai barat
Sumatra, orang India yang telah menyebar di pedalaman termasuk Rao dan Agam kemudian
membentuk jalur pedagangan ke timur (munculnya percandian Padang Lawas dan
Muara Takus) yang pada gilirannya muncul kerajaan besar: Kerajaan Aroe (Batak
Kingdom). Dalam perkembangannya, nama Batang (Batahan) menjadi penanda navigasi
untuk semua sungai-sungai terutama di wilayah Tapanuli yang sekarang (Batang
dalam bahasa Batak adalah sungai; sementara sungai adalah bahasa Melayu yang
awalnya ditulis dalam aksara Latin sebagai Songei, Songi, Soengei dan
sebagainya). Semua nama-nama sungai besar yang berhulu di pedalaman menggunakan
Batang untuk menyatakan sungai, seperti sungai Batang Toroe, Batang
Gadis-Batang Angkola, Batang Natal dan Batang Batahan (serta Batang Sikarbou).
Idem dito di Jawa: Caly atau Kali untuk menyatakan Tji atau Tsji. Dalam hal ini
Batang Batahan, Batang Sikarbou dan Batang Pasaman semuanya berhulu di gunung
(api) Malintang (Mandailing) dan gunung Koeloboe (Mandailing-Rao). Gunung yang
terlihat di arah kanan sungai Pasaman disebut gunung Pasaman (Ophir).
Secara teoritis Air Bangis adalah nama tempat
yang baru, sedangkan Oedjoeng Gading adalah nama yang jauh lebih tua. Secara
empiris dengan memperhatikan peta morpologi Air Bangis dan membandingkan
pola-pola penaman nama tempat dan nama sungai di tempat lain, diduga kuat bahwa
sebelum terbentuk kampong Air Bangis sudah terbentuk kampong Oedjoeng Gading. Kampong
Odjoeng Gading diduga adalah pelabuhan (muara sungai) produk-produk yang
berasal dari pedalaman (Mandailing dan Rao). Pelabuhan Oedjoeng Gading diduga
hanya sebagai pelabuhan pengumpan (feeder) untuk pelabuhan-pelabuhan besar.
Pelabuhan Batahan, Tkoe, Priaman (Peta 1753) |
Oedjoeng Gading Pelabuhan Kuno Setua Batahan
Pada peta-peta kuno, nama-nama yang dicatat
adalah Batahan, Pulo Babi dan Sikarbou (lihat Peta 1657). Belum diidentifikasi
nama Oedjoeng Gading. Pada peta yang lebih muda (Peta 1665) tiga nama ini tetap
diidentifikasi. Namun nama yang telah dikunjungi oleh orang Eropa baru nama
(sungai) Batahan. Ini dapat dilihat dari penandaan navigasi kedalaman laut di
sisi luar muara sungai (sekitar 20 M).
Peta 1657 |
Kapan terbetuknya nama tempat Air Bangis diduga
setelah terbentuknya pulau Babi. Nama tempat Air Bangis inilah yang kemudian
nama sungainya disebut sungai Air Bangis. Oleh karena nama sungai Sikarbou
masih eksis, maka nama sungai Air Bangis merujuk pada sungai baru yang
terbentuk (yang awalnya rawa-rawa) sebagai cabang dari sungai Sikarbou di
sebelh hulu dekat dengan kampong Oedjoeng Gading. Dalam hal ini nama tempat dan
nama sungai Air Bangis adalah nama baru. Sedangkan kampong Odjoeng Gading
(awalnya) di muara sungai Sikarbou (sebelum terbentuk pulau Babi).. Nama
kampong Oedjoeng Gading diduga telah berumur setua kampong Batahan. Kampong
Batahan dan kampong Oedjoeng Gading adalah kampong-kampong yang dihuni oleh
penduduk Mandailing. Sungai Batahan dan sungai Sikarbou berhulu di gunung
Malintang (Mandailing).
Pulau Sicanang di Deli tempo doeloe (Peta 1657) dan Now |
Pulau
Babi terbentuk pada awalnya adalah dua pulau kecil dimana di dua pulau kecil
tersebut masing-masing dapat kini dilihat keberadaan (daratab) bukit Pintjoeran
dan gunung Djawi-Djawi. Pulau Babi yang terbentuk dari basis bukit dabn gunung
tersebut karena proses sedimentasi, lambat laut Pulau Babi semakin membengkak
karena proses sedimentasi yang berkelanjutan dan mulai memenuhi seluruh teluk
(antara pulau dan muara sungai Sikarbou di Odjoeng Gading). Akhirnya sulit membedakan
pulau (Pulau Babi) yang sudah menyatu menjadi daratan yang dibatasi aliran
sungai nama pulau Babi di Air Bangis menghilang dalam sejarah. Di teluk Belawan
tempo doeloe terdapat suatu pulau. Teluk ini adalah muara sungai Hamparan Perak
dan sungai Deli. Pulau kecil di tengah teluk ini disebut Pulau Sicanang. Namun
karena proses sedimentasi yang berkelanjutan berabad-abad pulau Sicanang
semakin membengkak dan memenuhi seluruh teluk. Pulau ini sulit dibedakan
sebagai pulau karena kini hanya dikelilingi oleh sungai Hamparan Perak (sungai
Belawan) dan sungai Deli. Meski demikian, nama area tersebut di sebut Pulau
Sicanang (karena begitulah namanya sejak lampau). Nama area disebut Pulau
Sicanang dipertahankan penduduk, namun nama Pulau Babi dilupakan di Air Bangis.
Populasi
Mandailing: Oedjoeng Gading, Tjoebadak,
Simpang Tonang, Sungai Aur, Rabi Djonggor, Batahan dan Parit
Kota Oedjoeng Gading dan kota Air Bangis adalah
dua kota yang bertetangga di daerah aliran sungai Batang Sikarbou/sungai Air
Bangis. Kota Oedjoeng Gading berada di hulu (muara sungai Sikarbou tempo
doeloe) dan kota Air Bangis berada di hilir (muara sungai Air Bangis). Sungai
Air Bangis adalah cabang sungai Sikarbou di hilir. Sungai Sikarbou berhulu di
gunung Malintang (Mandailing).
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 1916 |
Pada tahun 1930 (sensus penduduk 1930) berapa
jumlah penduduk kota Air Bangis dan beraapa jumlah penduduk kota Oedjoeng
Gading tidak diketahui secara pasti. Hal ini karena penduduk dua kota ini tidak
tersajai secara spesifik. Data yang dipublikasikan adalah data penduduk seluruh
Onderafdeeling Ophir (mengacu pada pembentukan onderafdeeling Ophir sesuai
Staatblads No. 162 tahun 1929).
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 1939 |
Namun demikian, secara kualitatif disebutkan
bahwa nagari-nagari Tjoebadak, Simpang Tonang, Soengai Aoer, Oedjoeng Gading,
Rabi Djonggor, Batahan dan Parit sepenuhnya adalah orang Mandailing (lihat Encyclopaedie
van Nederlandsch-Indie, 1939).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar