Sabtu, 16 Mei 2020

Sejarah Bogor (59): Sejarah Bondongan dan Nama Tempat yang Benar; Bendongan dan Bandongan, Bandoengan dan Bendoengan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Apakah Bondongan memiliki sejarah? Tentu saja ada, tetapi tidak hanya sekadar toponimi dan Taman Makam Pahlawan. Topografi wilayah Bondongan sebenarnya telah menceritakan sejarahnya sendiri. Tempo doeloe, sungai Tjikpakantjilan dibendung di beberapa titik untuk melembabkan sawah-wawah yang baru dicetak dan kebun-kebun buah-buahan yang baru ditanam. Di area inilah muncul perkampongan yang baru: kampong Bondongan.

Kampong Bondongan (Peta 1900)
Pernah ke Bondongan? Jika dari gunung Salak dimulai dari Empang melalui Bondongan (kini jalan Pahlawan) menuju (jalan) Batutulis. Ke arah kiri menuju jalan Siliwangi (Sukasari), ke arah kanan menuju jalan Lawang Gintung (terus ke jalan Siliwangi). Sebaliknya dari pantai (Jakarta) melalui jalan Pajajaran, di Sukasari berbelok ke jalan Siliwangi. Simpang kiri pertama jalan Lawang Gintung dan simpang kiri berikutnya jalan Batutulis. Terusan jalan Batutulis menuju jalan Lawang Ginting, namun jika belok kanan masuk jalan Bondongan.

Nama kampong Bondongan tidak hanya di daerah aliran sungai Tjipakantjilan, tetapi juga ditemukan di Jawa [Bendongan]. Di daerah aliran sungai Tjitaroem di dataran tinggi Priangan juga terdapat nama tempat Bandong [Bandoeng], pada posisi dimana sungai Tjikapoendong jatuh ke sungai Tjitaroem. Di Batavia [Meester Cornelis] ada juga nama tempat yang disebut Bendoengan [Oedik dan Ilir]. Okelah. Kita kembali ke sejarah kampong Bondongan. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.  

Bondongan: Dari Batoetoelis ke Empang

Nama-nama tempat Batoetoelis, Bondongan dan Empang bukanlah nama kuno, namun juga bukan nama baru. Ketiga nama tempat ini baru muncul pada era VOC. Tiga nama ini tidak merujuk pada nama asli, tetapi nama yang terkesan diintroduksi dari bahasa Melajoe [bendung, empang, batu tulis]. Nama-nama kampong ini muncul sebagai penanda navigasi saat itu dimana terdapat situs yang penting. Bondongan karena ada bendungan; empang karena ada yang diempang, dan batu tulis karena ada batu bertulis (prasasti). Pada ekspedisi pertama nama-nama ini belum ada.

Kampong Batoetoelis (Peta 1900)
Pada awal ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong pada tahun 1687 (Luitenant Patingi dan Sergeant Scipio) tidak menemukan tempat pemukiman (kampong), namun mereka mengidentifikasi situs tua batu yang bertulis. Pada tahun 1699 terjadi letusan gunung Saak dan gempa besar yang menutupi seluruh permukaan tanah di sekitar lereng gunung Salak. Pada tahun 1701 Michiel Ram dan Cornelis Coops juga mengunjungi area dimana terdapat batu bertulis dan area sekitar belum ada penduduk yang menghuninya. Kampong terdekat dari area ini adalah kampong Katoelampa dan kampong Paroeng Benteng (dua kampong ini dipisahkan oleh sungai Tjiliwong). Area ini diduga telah ditinggalkan oleh penduduk sejak runtuhnya kerajaan Pakwan-Padjadjaran dan menjadi area kosong 1.5 abad.

Pada ekspedisi pertama (1687-1701) nama-nama yang diidentifikasi adalah nama geografis seperti gunung Salak, sungai Tjisadane, sungai Tjiliwong, sungai Tjipakoe dan sungai Tjikaret. Beberapa nama kampong yang diidentifikasi di sisi (timur) sungai Tjiliwong antara lain Katoelampa, Paroeng Benteng, Bantarkemang dan Tadjoer. Nama-nama kampong ini diduga kuat adalah perkampongan baru setelah ekspedisi pertama (1687) yang mana Luitenant Tanoedjiwa di Kampong Baroe diposisikan sebagai kepala wilayah (bupati). Kampong Baroe kira-kira berada di Warung Jambu yang sekarang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bupati Kampong Baroe Memimpin Pembangunan Pertanian

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar