Kamis, 18 Juni 2020

Sejarah Lombok (11): Apakah Masih Ada Penduduk Tambora? Gunung Tambora Meletus 1815, Pertanian Lombok Hancur


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Tempo doeloe terdapat kerajaan Tambora. Penduduknya, di medan yang berat sangat piawai mengendarai kuda. Penduduk satu wilayah kerajaan terkubur akibat letusan dahsyat gunung Tambora. Letusan gunung Tambora pada tanggal 5 April 1815 sangat menggelegar hingga terdengar keras di kota Makassar (dan juga terdengar hingga pulau Bangka, Sumatra). Peradaban Tambora lenyap.

Puncak gunung Tambora (Lukisan 1750); kawah Tambora (Now)
Nama Tambora kini masih tersisa sebagai nama (sisa) gunung Tambora. Nama Tambora juga ditabalkan sebagai nama kecamatan di kabupaten Bima (pulau Sumbawa) dengan ibu kota Labuhan Kananga. Di luar wilayah kecamatan Tambora masih ada tersisa nama Tambora di Batavia (kini Jakarta). Nama Tambora di Jakarta ditabalkan sebagai nama suatu kelurahan. Lantas, apakah orang Tambora telah punah? Tentu saja secara genetik tidak, tetapi secara kebudayaan (budaya dan bahasa) boleh jadi sudah hilang. Sudah barang tentu orang-orang Tombora yang telah merantau jauh ke berbagai tempat ada yang kembali ke kampong halaman. Jumlah yang tersisa sedikit, karena itu tidak cukup lagi mempertahankan kebudayaannya meski namanya sudah ditabalkan sebagai nama suatu kecamatan di kabupaten Bima.

Bagaimana gunung Tambora meletus adalah satu hal. Hal lain yang juga perlu dicatat dalam sejarah adalah bagaimana situasi dan kondisi sekitar pasca meletusnya gunung. Sudah barang tentu dampak letusan gunung Tambora sangat luas, tidak hanya di pulau Sumbawa. Lalu bagaimana dampaknya di  pulau Lombok. Dampak yang besar di pulau Lombok (timur) mengindikasikan letusan gunung Tambora sangat dahsyat. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kecamatan Tambora (Now)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Letusan Gunung Tambora

Suara letusan gunung sudah diketahui tanggal 5 April 1815. Namun tidak ada yang tahun dimana suara itu berasal. Surat kabar satu-satunya di Hindia, Java government gazette edisi  20-05-1815 melaporkan kajadiannya dan posisi letusan berada di Tambora. Ada jarak waktu antara kejadian tanggal 5 dengan pemberitaan tanggal 20 karena komunikasi saat itu baru lisan dan tulisan. Penyelidikan dimana suara itu dikirim ekspedisi dari Makassar dan kemudian dari Makassar laporan itu dikirim ke Batavia lewat kapal laut. Lalu, beberapa bulan kemudian berita letusan gunung Tambora menjadi viral di Eropa. 

Saat kejadian meletusnya gunung Tambora pada era pendudukan Inggris (1811-1816). Orang Eropa terdekat dari TKP berada di Makassar. Jarak pelayaran antara Hindia dengan Eropa (Inggris dan Belanda) masih melalui Afrika Selatan. Sementara berita bad nwes, good news tersebut mengalir ke Eropa, surat kabar Java government gazette secara berkala memberitakan perkembangannya selama hampir sebulan setelah berita pertama. Untuk lengkapnya dapat dibaca pada blog ini: ‘Sejarah Makassar (16): Letusan Gunung Tambora di Bima Terdengar di Makassar, 5 April 1815: Bagaimana Cara Membuktikan Letusan Berasal dari Gunung Tambora?’

Bagaimana dampak letusan gunung Tambora di (pulau) Lombok tidak pernah muncul. Sebab, di pelabuhan Ampenan dan pelabuhan Bima  sendiri yang tergolong pelabuhan ramai belum ada orang Eropa yang berdiam (menetap) sehingga tidak ada yang mentransmisikan ke surat kabar yang terbit di Batavia. Sejak kehadiran orang Eropa di Ampenan (1830an) letusan gunung Tmabora sudah lama berlalu. Kehidupan di pulau Lombok sudah nieuw normaal kembali.

Sejak perang saudara di Lombok antara kerajaan Karang Asem Lombok dam kerajaan Mataram Lombok meletus tahun 1838, pedalaman pulau Lombok semakin tertutup dengan dunia luar. Orang Eropa-Belanda terhalang masuk ke pedalaman Lombok karena kebijakan pemenang perang sausra Kerajaan Mataram Lombok sengaja tidak sengaja membatasi orang asing masuk ke pedalaman Lombok. Baru pada tahun 1847 orang Eropa-Belanda diberi izin memasuki pulau Lombok oleh radja Mataram Lombok, sehubungan dengan terjadinya perang Bali (sejak 1846).

Pemerintah Hindia Belanda mengutus seorang Jerman, ahli botani Heinrich Zollinger untuk melakukan ekspedisi ilmiah ke pulau Lombok. Heinrich Zollinger telah mengelilingi seluruh pantai-pantai Lombok dan mengunjungi sebagian besar pelosok-pelosok pulau Lombok. Heinrich Zollinge juga sudah sampai ke gunung Rindjani dan telah melihat danau Sagara. Heinrich Zollinger telah mengamati geologi pulau Lombok dan mengidentifikasi flora dan faunanya. Sebagai seorang botanis, Heinrich Zollinger juga mengulas pemahamannya tentang pertanian di pulau Lombok. Laporan ini telah dimuat pada jurnal Tijdschrift voor Neerland's Indie edisi September 1847 dengan judul Het Eiland Lombok. Dari laporan inilah diketahui bagaimana dampak letusan gunung Tambora di Lombok.

Ada jarak waktu yang jauh antara kejadian letusan gunung Tambora tahun 1815 dengan waktu pengamatannya pada tahun 1847 (32 tahun). Bagi seorang awam datang ke pulau Lombok pada tahun 1847 tentu saja tidak melihat apa yang pernah terjadi di Tanah Sasak. Hal ini karena semua sudah hijau kembali, terdapat sawah-sawah yang luas dan kebun-kebun dimana-mana yang sebagian besar hasilnya mengalir ke pusatperdagangan di pelabuhan Ampenan. Pandangan pertama orang awam hanya memahami tanak Sasak di Lombok subur yang luar biasa dan selalu tersedia pengairan sepanjang tahun meski musim kemarau. Heinrich Zollinger telah membuat pertanyaan sendiri dan menjawabnya sendiri tuntas di dala laporan ekspedisnya.

Kesan pertama Heinrich Zollinger ketika memasuki pedalaman pulau Lombok, seperti orang awam, mengagumi kesuburan tanah Sasak yang membuat raja tunggal Lombok, Radja Bali Selaparang di Mataram telah mencapai kemakmuran. Namun secara perlahan-lahan Heinrich Zollinger mulai memahami dengan pertanyaan-pertanyaannya yang baik dengan menjawabnya sendiri dengan tepat. Luasnya ruang pengamatan Heinrich Zollinger di pulau Lombok dan dengan analisis yang komprehensif, lalu Heinrich Zollinger menyimpulkan kesuburan Tanah Sasak karena dua hal, yakni dampak letusan gunung Tambora di Soemabawa dan keberadaan danau Sagara dan hutan-huran di gunung Rindjani Lombok yang terus memasok air ke sungai-sungai yang mengalir ke berbagai tempat di pulau Lombok.

Bentuk dasar lumbung padi penduduk Sasak
Dalam laporan ini dicatata bahwa hampir seluruh negeri di (pulau) Lombok ditutupi oleh lapisan abu vulkanik yang dalam, khususnya di sepanjang sungai-sungai, abunya telah berkumpul menjadi massa yang besar. Abu itu muncul dari letusan Tombora di Soembawa selama beberapa hari dari tanggal 5 hingga 17 bulan April 1815. Tanah Sasak ini sangat menderita selama masa itu dan pada tahun-tahun pertama setelah letusan, tidak mungkin lagi menanam padi, namun penduduk Sasak tidak terlalu menyebabkan banyak kekurangan dan kesengsaraan yang terjadi. Kebiasaan kuno mereka yang menyimpan beras di gudang selama enam tahun menyelamatkan nyawa sebagian besar penduduk asli. Laporan ini cukup jelas menggambarkan bagaimana penduduk Lombok di pedalaman bertahan hidup dan tertolong dari suatu kearifan lokal. Bale lumbung adalah lambang survival penduduk Sasak.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Apakah Penduduk Tambora Punah?

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar