*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini
Ada buku berjudul Orang Jawa Naik Haji. Juga ada buku berjudul Orang Batak Naik Haji. Tentu saja ada tulisan-tulisan lainnya seperti Orang Sunda Naik Haji dan Orang Bugis Naik Haji. Okelah, sekarang kita tambahkan Orang Sasak Naik Haji. Lantas apa pentingnya? Yang jelas belum ada judul seperti itu. Namun tentu saja tidak hanya karena itu. Orang Sasak sejatinya sudah sejak dari doeloe melakukan perjalanan haji ke Mekkah.
Ada buku berjudul Orang Jawa Naik Haji. Juga ada buku berjudul Orang Batak Naik Haji. Tentu saja ada tulisan-tulisan lainnya seperti Orang Sunda Naik Haji dan Orang Bugis Naik Haji. Okelah, sekarang kita tambahkan Orang Sasak Naik Haji. Lantas apa pentingnya? Yang jelas belum ada judul seperti itu. Namun tentu saja tidak hanya karena itu. Orang Sasak sejatinya sudah sejak dari doeloe melakukan perjalanan haji ke Mekkah.
Di pulau Lombok ada nama
tempat yang menggunakan nama haji, yakni pelabuhan Labuhan Haji. Lepas dari
apakah orang Sasak sudah pernah naik haji, yang jelas nama tempat Laboehan
Hadji sudah lama namanya ada. Tidak ada nama tempat yang disebut (Laboehan)
Hadji kecuali hanya di pulau Lombok. Pelabuhan berarti tempat datang dan
perginya orang-orang melalui laut (pelayaran). Lantas apakah asal-usul nama
Laboehan Hadji karena pedagang-pedagang dari Timur Tengah datang dan berlabuh
di Lombok? Atau apakah nama Laboehan Hadji berasal-usul karena banyak penduduk
Sasak yang melakukan perjalanan haji melalui pelabuhan di pantai timur Lombok
tersebut?
Bagaimana sejarah perjalanan haji orang Sasak
dari pulau Lombok? Nah, itu yang menjadi
inti pertanyaannya yang merujuk pada judul tulisan ini. Lalu, apakah sudah ada
tulisan yang menarasikan sejarah (perjalanan) haji penduduk Sasaka? Tampaknya
belum. Itulah mengapa judul tulisan di atas penting dinarasikan. Okelah, untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita
telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Laboehan Hadji di Lombok Timur
Apa dan dimana suatu tempat di pulau Lombok
disebut Laboehan Hadji. Itu adalah pelabuhan di pantai barat pulau Lombok.
Hanya itu saja? Tentu tidak. Munculnya
pelabuhan haji di pantai timur Lombok (Laboehan Lombok) jelas tidak bersifat
random (acak dan muncul tiba-tiba). Secara epistemologi,nama pelabuhan haji
adalah pelabuhan para haji. Terserah apakah hajinya datang dari laut untuk
mendarat atau orang dari darat mau naik (melakukan pelayaran) haji ke Mekkah. Itulah
asal-usul nama pelabuhan laut Laboehan Hadji? Bagaimana itu terjadi? Catatan
Cornelis de Houtman dapat dijadikan entry point.
Ekspedisi pertama Belanda
yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman pada tahun 1597 dalam catatan pelayaran
mereka dicatat kehadiran mereka di pulau Lombok, suatu kampong di teluk.
Pelabuhan ini mereka catat sudah lebih mendangkal jika dibanding sebelumnya. Ada
lapisan lumpur yang terbawa sungai dari daratan. Apakah gunung api Rindjani
telah bekerja belum lama ini? Tentu saja mereka sangat memahami soal navigasi.
Mereka melakukan pengukuran kedalaman laun di teluk dengan alat tertentu.
Satu hal yang penting
dala catatan mereka di teluk adalah terdapat suatu kampong [Lombok] dimana
terdapat pasukan bersenjata 100 orang dimana di salah satu sudut kampong
terdapat sebuah rumah yang lebih besar yang menjadi tempat pemimpinnya. Dalam
catatan itu dinyatakan bahwa sejak 1593 pelabuhan ini telah menjadi koloni
kerajaan {Islam) Djepara. Merek mengekspor kayu dari wilayah ini sebagai bahan
yang bagus untuk pembuatan kapal. Apakah catatan Cornelis de Houtman ini
mengindikasikan awal penyebaran (agama) Islam di Lombok?
Pelabuhan Laboehan Hadji diduga kuat adalah
pelabuhan sekunder dari pelabuhan (Laboehan) Lombok di teluk Lombok. Pelabuhan
ini terbentuk karena pedagang-pedagang dari Jawa (khususnya dari Djepara)
melakukan transaksi dagang dengan penduduk Sasak. Para pedagang ini diduga
telah turut menyiarkan agama Islam di Lombok. Penduduk Sasak di Lombok yang
beragama Hindoe dan pagan telah menkonversi kepercayaan mereka dengan keyakinan
(agama) yang baru (Islam). Dari sinilah diduga kuat bahwa penduduk Sasak di
pedalaman menyebut pelabuhan ini dengan nama Laboehan Hadji (pelabuhan para
haji yang menyiarkan agama Islam).
Jawa
dan Lombok semakin terhubung dalam banyak hal. Pola-pola pertanian ada
kemiripan demikian juga dengan seni (gamelan: Jawa, Bali, Lombok). Namun
menurut seorang peneliti Eropa tahun 1847 (Heinrich Zollinger) dari sudut
bahasa justru bahasa Melayu yang banyak terserap dalam bahasa Sasak. Sementara
nama-nama tempat banyak yang bersesuaian nama-nama tempat di Jawa dan di
Lombok. Bahkan nama pulau (Lombok) juga ada nama Lombok di Jawa. Tidak hanya
itu nama-nama tempat yang lainnya juga cukup banyak antara lain Mataram,
Kediri, Selong, Soerabaja, Sakra, Wanasaba dan Pohgading. Nama-nama tempat ini
diduga adalah awalnya komunitas orang Jawa yang berdagang dan menetap (koloni)
di pedalaman Lombok yang menjadi simpul-simpul penyebaran syiar Islam. Nama-nama
tempat ini berada pada jalur-jalur utama perdagangan di pulau Lombok dari timur
(Laboehan Hadji) ke barat (Mataram). Sebagaimana diketahui kerajaan Demak dan
(kemudian) kerajaan Djepara adalah kesultanan Islam pertama di Jawa (yang juga
menjadi pusat penyebaran syiar Islam di Jawa). Seperti dikutip di atas,
Cornelis de Houtman yang berlabuh di pelabuhan Lombok tahun 1597 mencatat
kerajaan Djepara telah membuka cabang pemerintahan (koloni) di (kampong) Lombok
sejak 1593.
Kerajaan Selaparang di Lombok telah menjadi
kerajaan besar di pulau Lombok. Hubungan yang intens diduga telah terjadi
dengan kerajaan besar di Makassar (kerajaan Gowa) yang belakangan telah menjadi
kesultanan Islam. Intensitas hubungan antara kerajaan Gowa dengan
kerajaan-kerajaan di pulau Soembawa dan Lombok diduga karena menganut agama
yang sama yang dihubungkan dengan perdagangan.
Nama-nama
tempat yang terhubung dengan nama-nama di Gowa dan Lombok diduga munculnya
nama-nama seperti Piejoe, Kopang dan Ampenan. Sebagai kerajaan besar, wilayah
(kerajaan) Selaparang tidak hanya pulau
Lombok dan pulau-pulau kecil di sekitar tetapi juga termasuk pulau besar yang
kini disebut pulau Penida (kemudian masuk Bali). Pulau Penida sebagai wilayah
kerajaan Selaparang dapat diperhatikan pada Peta 1660.
Dari pelabuhan Ampenan dan pulau Penida
pedagang-pedagang Gowa berstransaksi dagang dengan penduduk di pesisir timur
Bali. Boeleleng di pantai utara pulau Bali diduga adalah pelabuhan penting
orang-orang Gowa. Kerajaan Gowa sendiri berhasil ditaklukkan VOC pada tahun
1669. Dalam perkembangannya kerajaan Karangasem menguasai sepenuhnya
(pelabuhan() Boeleleng dan pada tahap berikutnya melakukan invasi ke pulau
Lombok.
Sejak
jatuhnya kerajaan Gowa, Pemerintah VOC melakukan kontrak (perjanjian) dengan
radja-radja di pulau Soebawa dan Lombok. Perjanjian Pemerintah VOC dengan
Kerajaan Selaparang dilakukan pada tahun 1675. Pada tahun 1740 kerajaan
Karangasem di Bali melakukan invasi ke pulau Lombok. Sejak itu kerajaan
Selaparang meredup. Sudah barang tentu orang-orang Bali tidak menyebarkan agama
(karena memiliki kasta? Kasta Waisya). Orang Bali di Lombok hanya semata-mata motif
ekonomi. Pulau Lombok sangat subur yang memiliki sistem pengairan sepanjang
tahun. Oleh karena itu pulau Lombok sudah sejak lama surplus beras. Orang Bali
hanya sampai di (bagian barat) Bali dan tidak memperluas ekspansi ke pulau
Soembawa (meski kerajaan Soembaw telah membentengi sendiri dari ancaman orang
Bali). Orang-orang Soembawa keluar dari pulau Lombok sudah cukup bagi orang
Bali untuk mengembangkan kerajaan baru di pulau Lombok. Awalnya hanya satu
kerajaan Karangasem kemudian terbentuk tiga kerajaan lainnya yakni Mataram,
Pangoetan dan Pagasangan.
Pada era Pemerintah Hindia Belanda (suksesi VOC
yang bubar pada tahun 1799) hanya tersisa dua kerajaan yang berkembang di pulau
Lombok yakni kerajaan Karangasem dan kerajaan Mataram. Akibat intervensi orang
asing dua kerajaan Bali ini akhirnya hancur (dan tidak berdaya). Saat
melemahnya kerajaan Bali di Lombok, penduduk Sasak mulai kembali mendapat peran
penting yang dibimbing oleh para haji-haji yang terdapat di Lombok khsusunya di
bagian tengah pulau dan pantai tiimur pulau. Marwah kerajaan Selaparang tempo
doeloe yang begitu besar tumbuh dan berkembang kembali.
Intervensi
asing di pulau Lombok terjadi dalam dua tahap. Pada awal Pemerintah Hindia
Belanda intensitas mereka di pulau Lombok sangat rendah (karena kesibukan di
tempat lain). Saat inilah secara individu pedagang-pedagang asing memainkan
peran di pulau Lombok. Terjadi persaingan antara pedagang-pedagang Inggris dan
pedagang-pedagang Denmark di Lombok. GP King seorang Inggris mendukung kerajaan
Mataram dengan suplai senjata untuk mengalahkan kerajaan Karangasem yang
didukung pedagang-pedagang Denmark. Terjadi perang saudara antara Bali di
Lombok, Mataram versus Karangasem. Kerajaan Karangasem takluk. Kerajaan Mataram
(Bali Selaparang) menjadi penguasa tunggal di Lombok. GP King menjadi pengusaha
unggul di Lombok. Pemerintah Hindia Belanda membuat perjanjian dengan Radja
Bali Selaparang pada tahun 1846 sejak adanya niat baik kerajaan Bali Selaparang
turut membantu Pemerintah Hindia Belanda menghukum pangeran (kerajaan)
Boeleleng yang didukung kerajaan Karangasem Bali.
Pangeran
Mataram yang menggantikan ayahnya menjadi sangat padu dengan GP King.
Pangeran-Radja Bali Selaparang menjadi sangat makmur. Kekuatan persenjataannnya
yang semakin mumpuni menjadi ingin raja di raja tidak hanya di Lombok tetapi
juga di Bali. Namun para pangeran Bali Selaparang mulai bertindak kejam
terhadap penduduk Sasak. Saat inilah mulai muncul pemberontakan-pemberontkan dari
penduduk Sasak yang dipimpin oleh para haji-haji. Kerajaan Soembawa yang pernah
terusir dari Lombok pada tahun 1740 kembali memberi sokongan kepada penduduk
Sasak. Oleh karena adanya hubungan yang baik dengan Pemerintah Hindia Belanda
(perjanjian yang terus diperbaru) melarang keterlibatan Soembawa terhadap
pemberontakan di Lombok. Pemerintah Hindia Belanda berharap dengan keluarnya
Soembawa dari Lombok perang akan mereda. Akan tetapi tidak demikian. Penduduk
Sasak sudah kepalang basah dan pemberontkan terus dilancarkan. Tentu saja para
pasukan Sasak tersudut karena persenjataan Bali Selaparang dari waktu ke waktu
semakin canggih dan semakin banyak jumlahnya. Saat inilah, ketika penduduk
Sasak ketika ingin independen di tanah sendiri meminta Pemerintah Hindia
Belanda melakukan intervensi di Lombok. Awalnya Pemerintah Hindia Belanda
melakukan jalan diplomasi agar terwujud keamanan dan keadilan di Lombok. Namun
ajakan damai Pemerintah Hindia Belanda tidak digubris. Salah seorang haji di
Praja emiliki peran strategis dalam eskalasi politik ini. Haji tersebut disebut
Goeroe Bangkol. Pasal pelanggaran perjanjian damai yang dibuat pada tahun 1846
telah banyak yang dilanggar kerajaan Bali Selaparang. Permintaan para pemimpin
penduduk Sasak atas dasar pelanggaran perjanjian yang ditandatangani kerajaan
Bali Selaparang lalu Pemerintah Hindia Belanda melakukan intervensi. Langkah
pertama yang dilakukan adalah ultimatum, namun itu juga tidak digubris. Lalu
perang antara Pemerintah Hindia Belanda yang didukung penduduk Sasak melawan
kerajaan Bali Selaparang tidak terhindarkan. Awalnya Pemerintah Hindia Belanda
kalah, tetapi tentu saja akan menang pada perang berikutnya. Kerajaan Bali
Selaparang hancur pada tahun 1895. Penduduk Sasak tampaknya lega, dan para
pemimpin Sasak mulai mendapat perang penting dalam cabang-cabang pemerintahan
di Lombok.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Haji Abdoel Gani Asal Dompoe di Lombok
Seorang haji asal Dompoe yang beberapa waktu sebelumnya
yang pulang dari Mekah memilih menetap di Lombok untuk berdakwah. Namanya Hadji
Abdoel Gani. Namun tidak lama kemudian pendakwah ini diusir oleh para pangeran
dari kerajaan Bali Selaparang (lihat Nederlandsch Indie, 26-08-1859). Disebutkan
Hadji Abdoel Gani yang telah memiliki sejumlah pengikut mengungsi ke Soembawa,
dimana guru haji terus meneruskan dakwahnya. Haji Abdoel Gani di Soembawa sangat
dihormati. Sebelum pulang kampong, Hadji Abdoel Gani sudah terlebih dahulu
berdkawah di Malaka.
Meski
Hadji Abdoel Gani telah relokasi ke Soembawa, para pangeran Selaparang tetap
keberatann dan keluhan mereka itu telah disampaikan kepada Pemerintah Hindia
Belanda. Para pangeran beralasan karena sultan kekaisaran Soembawa membiarkan Hadji
Abdoel Gani menghasutnya untuk berperang melawan Bali Selaparang. Kebenaran
klaim ini tidak dikonfirmasi meskipun atas perintah Gubernur Jenderal. Namun
demikian, atas inisiatif sendiri pejabat yang bertanggungjawab di Bonthain en
Bulekomba pergi menyelidikinya atas persetujuan dari Gubernur Celebes. Pejabat
tersebut juga mengetahui bahwa Hadji Abdoel Gani juga berdakwah di Bima.
Seperti di Soembawa sang pandakwah juga sangat dihormati di Bima. Keberadaan masjid
megah di Bima sudah diketahui sejak 1855.
Berdasarkan keterangan tersebut, Hadji Abdoel
Gani besar dugaan adalah ulama besar. Seorang ulama yang berpengalaman di
Mekkah dan Malaka yang sangat dihortmati di pulau Lombok dan pulau Soembawa.
Tentu saja para pangeran Bali Selaparang sangat khawatir tentang keberadaan
Haji Abdoel Gani seorang ulama besar. Pada saat itu, para pangeran Bali
Selaparang sangat kejam terhadap penduduk Sasak. Antara dua belah pihak saling
bertolak belakang. Hadji Abdoel Gani ini mengangkat harkat penduduk Sasak yang
terdzalimi, para pangeran Bali Selaparang semakin dzalim terhadap penduduk
Sasak.
Namun Haji
Abdoel Gani kadung sudah sangat terkenal, sangat dihormati dan pengikutnya di
Lombok bahkan ikut mengungsi ke Soembawa. Pada sumber lain diketahui bahwa
pejabat di Afdeeeling Bonthain en Bulekoemba telah meminta Sultan Soembawa
mengevakuasi seuluruh orang Soembawa dari Lombok. Hal ini karena pulau Soembawa
termasuk wilayah Afdeeeling Bonthain en Bulekoemba. Pejabat tak ingin muncul
kerusuhan di Lombok yang akan menyeret warganya dari Soembawa. Permintaan itu sudah
dipenuhi Soeltan Soembawa. Akan tetapi para pengikut Hadji Abdoel Gani yang
berasa; dari Lombok tentu tidak urusannya untuk mengusirnya dari Soembawa.
Mungkin Soeltan Soembawa beranggapan itu urusan Radja Bali Selaparang di Lombok
dengan Asisten Residen Bali en Lombok di Boeleleng. Para pengikut Hadji Abdoel
Gani asal Lombok inilah yang diduga kembali ke Lombok dan mulai melakukan
pemberontakan terhadap rezim Bali Selaparang.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Haji Asal Lombok
Kapal-kapal dagang Persia dan Arab lambat laun
digantikan oleh kapal-kapal dagang Inggris sebagai pengangkut jamaah haji dari
Nusantara (Indonesia). Kapal-kapal dagang Belanda menjadi hanya terbatas pada
pelayaran jarak jauh (Batavia-Amsterdaam via Afrika Selatan).
Pemanfaatan
kapal-kapal Inggris terus berlangsung hingga terjadinya pendudukan Inggris atas
Jawa (1811-1816). Kapal-kapal dagang Inggris bahkan terus beroperasi hingga
tahun 1824 (traktat London).
Sejak Bengkulu dan Malaka tukar guling antara
Belanda dan Inggris, kapal-kapal dagang Inggris tetap menjadi salah satu
pilihan utama jamaah haji untuk ke Makkah. Pelabuhan Singapoera, Malaka dan
Penang menjadi simpul pelayaran haji yang utama (embarkasi haji). Kapal-kapal
kecil dari berbagai penjuru nusantara mengantarkan jamaah haji ke pusat
embarkasi Inggris ini.
Kapal-kapal
dagang dari (jazirah) Arab dari Batavia ke Jeddah menjadi jarak pelabuhan
terjauh dalam pelayaran internasional antara nusantara dan jazirah Arab.
Kapal-kapal dagang Arab ini ketika berangkat ke Persia dan Arab (Jeddah) juga
melakukan transaksi di pelabuhan-pelabuhan seperti Singapoera, Malaka dan Kota
Radja (kini Banda Atjeh) dari sisi timur Sumatra, sedangkan dari sisi barat
Sumatra juga melakukan yang sama di pelabuhan Telok Betong, Bencoelen, Padang,
Pariaman, Baros, Singkel dan Meaulaboh (dan Kota Radja). Pelabuhan-pelabuhan
ini juga menjadi semacam pelabuhan ‘embarkasi’ jamaah haji.
Pengaruh Belanda yang telah memudar di India (khususnya
Coromandel dan Malabar) dan semakin meluasnya pengaruh Inggris di Timur Tengah
menjadi faktor penting mengapa kapal-kapal dagang Inggris sebagai moda
transportasi haji Nusantara. Pelabuhan Colombo di bawah Inggris menjadi
pelabuhan transit.
Setelah
berakhirnya VOC (1799) dan digantikan Pemerintah Hindia Belanda, belum
sepenuhnya Belanda tertarik dengan bisnis pelayaran haji. Kapal-kapal Inggris
masih leluasa. Embarkasi perjalanan haji berada di kampong Loear Batang (Batavia).
Pemerintah Hindia Belanda yang beribukota di Batavia, lambat laun mulai melirik
haji, namun tidak dalam urusan memfasilitasi tetapi lebih melihat jamaah haji
yang terus meningkat dari waktu ke waktu hanya karena melihat potensi pajaknya.
Kegiatan perjalanan haji (moda pelayaran) dibiarkan melalui mekanisme pasar,
namun potensi pajaknya Pemerintah Hindia Belanda mulai mengendus ‘fulus’.
Pemerintah
Hindia Belanda pada dasarnya adalah penganut paham liberal. Para misionaris dan
organisasi-organisasi misionaris Kristen yang terus menerus mempengaruhi
pemerintah tetapi Pemerintah Hindia Belanda tidak menggubrisnya. Pada tahun
1860-an paham liberal ini masih terdengar dimana-mana. Pejabat-pejabat Belanda
di lapangan (di tingkat Controleur dan Asisten Residen) sering mengemukakan
‘baik Islam, Kristen maupun pagan, sama pentingnya, yang diutamakan adalah
penduduk yang bersedia untuk membangun jalan dan jembatan (baca: kerjasama
ekonomi). Pemerintah Hindia Belanda, seperti era VOC, tetapi mementingkan motif
ekonomi (keuntungan).
Sejak 1830an Pemerintah Hindia Belanda mulai
terlibat dalam pemberangkatan haji. Namun masih sebatas pengaturan, tetapi
kapal-kapal yang digunakan masih menggunakan kapal-kapal Inggris (yang lalu
lalang antara Jazirah Arab dan Singapoera). Tentu saja kapal-kapal Belanda
tidak efisien untuk mengangkut hadji, karena kapal-kapal jarak jauh Belanda
hanya Hindia Belanda dan Belanda (masih melalui Afrika Selatan). Sehubungan
dengan pebukaan Terusan Suez sejak 1869, kapal-kapal Belanda mulai memaksimalkan
potensi ‘fulus’ pejalanan haji Hindia Belanda ke Jeddah tersebut.
Dalam
dokumen-dokumen Hindia Belanda para haji dari berbagai pulau di Hindia Belanda
dikelompokkan sesuai asal agar lebih mudah. Semacam kloter meski berada di
dalam satu kapal. Kloter haji Hindia Belanda yang dapat diidentifikasi antara
lain kloter (kafilah) yang disebut Hadji Preanger, Hadji Malang, Hadji Pasoeroean,
Atjeh, Ambon dan Bugis. Kloter lainnya antara lain Hadji Painan, Hadji Sambas, Hadji
Straits Settlements (semenandjoeng Malaya, termasuk pantai timur Sumatra), Hadji
Mandailing en Angkola (Tapanoeli), Selajar, Banten, Pontianak, Makassar,
Lampung, Pekalongan, Batjan, Tjianjur, Banjarmasin, Baros, Palembang, Pidie, Bengkoelen,
Ternate, Martapura, Banda, Idie, Mandar, Soekopoera (Garoet dan sekitarnya). Dalam
daftar ini belum ada kloter Hadji Sasak atau Lombok. Boleh jadi jamaah haji
dari Sasak tergabung dengan Selajar, Makassar, Bugis atau Mandar.
Jumlah jaaah haji dari tahun ke tahun terus meningkat.
Oleh karena itu kapal yang mengangkut jamaah haji dari waktu ke waktu juga
makin besar. Namun dalam pengaturan dan pemberangkatan jamaan haji ini
Pemerintah Hindia Belanda hanya sebatas administratif dan penyediaan kapal,
Untuk urusan dari Jeddah ke Mekkah dilakukan sendiri-sendiri oleh kloternya. Konsul
Pemerintah Hindia Belanda yang berada di Jeddah hanya sebatas pemantauan. Oleh
karena urusan perjalanan dari Jeddah ke Mekkah dan selama pelaksanaan haji
kurang mendapat perhatian Pemerintah Hindia Belanda. Bahwa berapa orang yang
meninggal karena sakit atau tidak kembali karena kehabisan atau kehilangan uang
banyak yang bermukim di Arab.
Pada
tahun 1902 seorang haji asal padang Sidempoean di kota Padang Saleh Harahap
gelar Dja Endar Moeda berinisiatif untuk menyusun panduan (pedoman) perjalanan
haji. Pedoman ini lalu dibuat secara rinci dan lengkap, lalu kemudian
dipublikasikan di surat kabat. Pedoman ini kemudian diajukan oleh penulisnya
kepada Pemerintah Hindia Belanda agar diterbitkan secara massif dan diberikan
kepada semua calon jamah haji di Hindia Belanda. Kementerian Pendidikan, Budaya
dan Agama lalu mengadopsinya tahun 1903. Pedoman perjalanan haji ini kemudian
dikirim pemerintah pusat ke berbagai Controleur atau Asisten Residen untuk
dibagikan kepada calon jamaah haji yang telah terregister. Isi pedoman buku
haji ini termasuk persiapan selagi masih di kampong masing, selama di pelayaran,
selama perjalanan dari Jeddah ke Mekkah dan cara-cara menyelesaiakan rukun haji
di Kabah.
Beberapa embarkasi perjalanan haji berada di
Batavia, Soerabaja, Makassar dan Padang. Jemaah haji asal pulau Lombok ke
Soerabaja sedangkan jemaah haji asal pulau Soebawa ke Makassar. Hal ini sesuai
dengan pembagian wilayah saat itu yang mana Residentie Bali en Lombok
berorientasi ke Soerabaja dan Residentie Zuid Celebes meliputi pulau Soembawa.
Penyelenggaraan haji terus ditingkatkan hingga berakhirnya era kolonial Belanda
(1941).
Pada
era pendudukan militer Jepang (1942-1945) tidak ditemukan berita atau dokumen
tentang penyelenggaraan haji. Tampaknya pemerintah pendudukan militer Jepang
tidak terlalu peduli urusan seperti itu. Setelah takluknya Jepang kepada Sekutu,
para pemimpin Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indoensia pada tanggal 17
Agustus 1945. Pada awal kemerdekaan Indonesia, belum sempat memikirkan soal
perjalanan haji, Belanda (NICA) telah kembali menduduki Indonesia. Pemerintah
NICA memasuki pulau Lombok pada bulan Maret 1946.
Setahun setelah cabang pemerintahan NICA-Belanda
di Lombok, penyelenggaraan perjalanan haji ke Mekkah dimulai lagi. Tahun 1947
adalah awal penyelenggaraan haji setelah lama vakum. Embarkasi pemberangkatan
berada di tiga pelabuhan: Makassar, Tandjoeng Priok dan Ampenan. Pada tanggal 16
dan 17 September 1947 jamaah haji ke Mekkah asal Lombok diberangkatkan ke Jeddah
melalui pelabuhan Ampenan (lihat Nieuwe courant, 23-09-1947). Disebutkan
jumlahnya sebanyak 1.100 jamaah. Jumlah jamaah haji asal Lombok tercatat
sebagai yang terbanyak. Ada dua kapal besar yang mengangkut jamaah dari
pelabuhan Ampenan, yakni kapal ss Phrontis dan kapal ss Ocean.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar