*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini
Dalam sejarah Bali, sesungguhnya jarang, jika tidak ingin dikatakan tidak pernah, pertikaian antar agama yang menyulut perang. Pertikaian yang intens terjadi justru antar kerajaan di Bali yang sama-sama penganut agama Hindu. Perang yang terjadi di masa lampau yang dilancarkan oleh orang Bali, baik antar sesama maupun dengan asing (Belanda) hanya karena atas dasar ekonomi. Aneksasi Karangasem (Hindoe) ke Lombok (Sasak Islam) juga hanya semata-mata motif ekonomi (bukan motif agama).
Dalam sejarah Bali, sesungguhnya jarang, jika tidak ingin dikatakan tidak pernah, pertikaian antar agama yang menyulut perang. Pertikaian yang intens terjadi justru antar kerajaan di Bali yang sama-sama penganut agama Hindu. Perang yang terjadi di masa lampau yang dilancarkan oleh orang Bali, baik antar sesama maupun dengan asing (Belanda) hanya karena atas dasar ekonomi. Aneksasi Karangasem (Hindoe) ke Lombok (Sasak Islam) juga hanya semata-mata motif ekonomi (bukan motif agama).
Agama Hindu
Bali dapat dikatakan adalah sisa Hindoe di Jawa. Pulau Bali melestarikan ajaran
Hindoe yang sebelumnya berkembang di Jawa. Sejumlah peneliti Bali di masa
lampau menjelaskan bahwa orang-orang (dari pulau) Jawa yang membawa ajaran
Hindoe ke pulau Bali (pasca jatuhnya Majapahit). Namun orang-orang Jawa yang
beragama Hindoe tidak semua penduduk Bali menjadi Hindoe. Penduduk asli Bali
ini tetap dengan kepercayaan lamanya (ada yang menyatakan sebagai Budha atau
Bodha di Lombok). Mereka ini dikenal sebagai penduduk dari desa-desa Bali Aga
yang di era kolonial Hindia Belanda masih banyak ditemukan. Dua yang lebih
dikenal pada masa ini desa Tenganan dan desa Trunyan.
Desa-desa Bali Aga dengan desa-desa Bali umumnya
(Hindoe) sama-sama eksis. Desa-desa Bali umumnya yang mayoritas dapat hidup
berdampingan dengan desa-desa Bali Aga. Gambaran yang menyebabkan orang Bali
Hindoe dapat menerima pendatang baru (Arab/Islam) dan orang-orang Cina. Orang
Bali Hindu tidak mau diganggu dan terganggu. Mereka membiarkan Islam, orang
Arab dan (ber)haji berkembang sendiri. Nah, bagaimana itu semua terbentuk? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan
wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Jamah haji di Jawa (1878) |
Para Haji Islam di Bali
Dari mana memulai memahami sejarah Islam di
(pulau) Bali? Mulailah dari adanya
pemberangkatan haji. Satu informasi yang penting adalah laporan Pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1876 (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1878).
Dalam catatan pemerintah itu terdapat sebanyak 23 orang yang tercatat berangkat
haji ke Mekah (dan pada tahun yang sama terdapat delapan yang pulang).
Jamaah haji (keberangkatan dan kedatangan) di Bali (1878) |
Lantas mengapa harus Boeleleng dan Djembrana? Tentu saja bukan karena di dua wilayah ini Pemerintah
Hindia Belanda telah membentuk cabang pemerintahan (Afdeeeling Boeleleng dan
Afdeeling Djembrana). Akan tetapi, karena kebetulan, di dua wilayah ini penduduk
asli Bali Hindoe atau Bali Aga) sudah sejak lama berinteraksi dengan suku
(bangsa) lain. Menurut perkiraan pada tahun 1874 jumlah orang asing di Bali (selain
penduduk asli Bali) terdapat sekitar sepuluh ribu orang termasuk diantaranya lebih
dari 1200 Cina. Yang lain adalah Bugis, Mandar, Kangean, Slajar, Jawa (termasuk
Madoera) dan Arab. Sebagian besar dari mereka tinggal di kota-kota pantai, dimana
mereka banyak melakukan aktvitas perdagangan.
Wilayah
Boeleleng dan wilayah Djembrana secara geografis bersinggungan dengan wilayah
lain. Wilayah Djembrana di bagian barat daya pulau Bali hanya dibatasi oleh
selat Bali (sebelumnya dicatat sebagai selat Blambangan) yang begitu dekat
dengan populasi Banjoewangi dan Madoera. Wilayah Boeleleng di bagian utara pulau
Bali berhadapan langsung dengan laut lepas dimana kapal-kapal Melayu
(Kalimantan) dan Bugis, Mandar dan lainnya hilir mudik dalam berbagai aktivitas
perdagangan antar pulau. Menurut sejumlah ahli secara geologis selat Bali terbentuk
karena patah akibay gempa bumi tempo doeloe. Hal ini yang menyebabkan flora dan
fauna Jawa tidak begitu berbeda dengan Bali. Namun yang sedikit membedakan
menurut para ahli (termasuk Wallace) harimau Bali (juga banteng liar) hanya
ditemukan di wilayah Boeleleng dan wilayah Djembrana. Tidak hanya itu, dari
segi navigasi menurut Heinrich Zollinger bahwa pantai-pantai Djembrana dan
pantai-pantai Boeleleng lebih aman (apakah dari angin munson atau arus laut
serta kedalaman laut dan wujud pantai untuk pendaratan perahu atau kapal). Semua
karakteristik itu menjadi sebab mengapa dua wilayah itu sangat beragam
populasi.
Pada wilayah-wilayah pantai inilah penduduk asli
Bali (yang beragama Hindoe) berinteraksi dengan berbagai kelompok populasi
pendatang. Para penduduk pendatang ini (kecuali Cina) umumnya beragama Islam.
Meski orang Bali sebagian berasal dari (pulau) Jawa (Hindoe) namun sangat jarang
penduduk asli Bali yang beragama Islam (kecuali sebab-sebab tertentu
sebagaimana didiskusikan nanti di bawah). Dalam hal ini penganut agama Islam di
Bali umumnya adalah pendatang.
Menurut sejumlah peneliti (antara lain WR van
Hoevel, 1846 dan R van Eck, 1878), agama Hindoe terbentuk di Bali seiring
dengan jatuhnya kerajaan Madjapahit (Hindoe) dengan semakin menguatnya pengaruh
Islam (dimulai dari pantai utara Jawa). Para migran asal Jawa inilah yang bersama-sama
dengan penduduk asli Bali yang menjadi populasi Hindoe di Bali. Sebagian
penduduk asli tetap dengan kepercayaannya yang secara ekslusif ditemukan di
banyak desa-desa Bali Aga. Dalam perkembangannya, pengaruh agama Islam semakin
meluas di (seluruh) Jawa, mulai merangsek ke pulau-pulau kecil (Klein Soenda)
termasuk Bali dan Lombok. Penduduk Bali yang sudah beragama Hindoe sulit
dimasuki pengarus agama Islam meski secara historis Bali disebut sebagai bagian
dari (pulau) Jawa. Fernando Mendez Pinto (1546) menyebut Bali sebagai salah
satu pulau yang tunduk pada pangéran Adipati dari Demak (yang beragama Islam).
Oleh karena itu penyebaran agama Islam bergeser ke pulau Lombok yang mana dalam
catatan ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman bahwa
di pulau Lombok sudah terbentuk koloni kerajaan Djepara sejak 1593.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Mataram Islam vs Bali Hindoe
Para pendatang tersebut adalah pedagang-pedagang
yang datang dari pantai utara Jawa termasuk Madoera (Mataram), Malaka dan
Kalimantan (Melayu) dan Gowa (Makassar dan Boegis). Pada saat kedatangan pedagang-pedagangIslam
ke Bali, posisi (kerajaan Jawa) Mataram sudah sangat kuat. Sebagaimana
diketahui Mataram sempat melakukan penyerangan terjadap benteng VOC di muara
sungai Tjiliwoeng (kasteel Batavia) pada tahun 1628. Sementara itu (kerajaan)
Bali juga terbilang kuat.
Pada tahun 1633 ada laporan pedagang VOC di Bali
bahwa kerajaan Bali akan menyerang Mataram. Tidak begitu jelas menyerang
Mataram apakah menyerang pusatnya di pedalaman Jawa atau cabang-cabang
pemerintah kerajaan Mataram seperti pantai utara Jawa (dan Madura) atau Lombok
atau menghadang Mataram di Blambangan dan Panaroekan. Sebab sebelumnya Mataram
(bersama orang Moor) sudah menaklukkan banyak kota penting seperti Soerabaja,
Pasaroeang, Gricee dan Toeban. Laporan ini segera direspon oleh pemerintah
VOCdi Batavia. Sebab Bali dan VOC memiliki musuh yang sama. Juga tidak
diketahui apa motif Bali menyerang Mataram apakah karena Mataram yang sangat
kuat di Lombok dan timur pulau Jawa atau apakah Bali sangat khawatir pengaruh
Islam akan ke Bali melalui para pedagang-pedagang Mataram (yang termasuk
orang-orang Arab) di pantai timur Jawa dan Lombok? Yang jelas tawaran VOC
ini diterima Bali. Sebagaimana diketahui hubungan VOC dengan Bali sudah ada
tempo doeloe bahkan sejak era Cornelis de Houtman. Hubungan itu semakin intens
setelah Belanda berhasil menaklukkan Ambon tahun 1605. Namun setelah pos utama
VOC dipindahkan dari Ambon ke Batavia (1619) hubungan Belanda-VOC sepi (tidak
ada lagi pedagang VOC di Bali). Respon VOC terhadap Bali ini menyebabkan Gubernur
Jenderal Hendrik Brouwer mengirim segera utusan ke Bali sekaligus untuk membuka
kembali kedubes (pedagang VOC) di Bali yakni dengan membawa beras satu kapal
besar yang baru datang dari Siam [kini Thailand]. Musuh Belanda tidak hanya
Mataram tetapi juga Portugis (yang berbasis di Malaka) yang mana para pedagang
Portugis masih ada di timur pulau Jawa. Munculnya kolaborasi Portugis dan
Mataram akan memperburuk posisi VOC, karena itu menjalin kembali hubungan
diplomatik dengan Bali adalah langkah strategis. Informasi ini dapat dibaca
pada artikel berjudul Het Gezantschap Naar Bali, Onder den Gouverneur Generaal Hendrik Brower, in 1633 yang dimuat pada
majalan Bijdragen
tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1856.
Namun yang menjadi persoalan bagi VOC adalah
bahwa secara ekonomi (pulau) Bali kurang menguntung. Hal itulah sebabnya
mengapa pedagang VOC sebelumnya meninggalkan pos perdagangan Bali. Akan tetapi,
membuat hubungan yang baik dengan Bali akan memperkuat posisi pertahanan VOC.
Lalu lahirlah gagasan perdagangan budak dari Bali sebagai komoditi yang dapat
dipertukarkan dengan VOC di Batavia yang akan dapat menguntungkan radja Bali
(selama ini budak untuk kebutuhan VOC di suplai dari Jawa dan tempat-tempat
lainnya).
Tentu
saja kolaborasi dengan Bali ini akan memperkuat kolaborasi yang sudah ada
sebelumnya dengan Amboina. Hubungan yang intens antara Batavia dan Bali dengan
Amboina di satu sisi akan sendirinya menghalangi kemungkinan Mataram meminta
bantuan Portugis (yang berbasis di Malaka). Garis komunikasi antara Batavia dan
Bali juga dengan sendirinya membuat ruang gerak Mataram terbatas di daratan
(Jawa). Untuk sekadar tambahan: saat ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin
oleh Cornelis de Houtman pada tahun 1596 saat berada di Idajoe pernah datang utusan
Blambangan (Hindoe) meminta bantuan Belanda, namun karena sudah ada pergerakan
pasukan Djepara (Islam) ke ujung timur Jawa, permintaan itu ditolak halus. Lalu
saat kapal-kapal Cornelis de Houtman mampir ke Lombok (di teluk Lembok) mereka
mencatat bahwa kerajaan Djapara sudah membuat kolonii di Lombok sejak 1593.
Koloni Djapara juga sudah ada di pulau Soembawa (khususnya di Bima).
Untuk menaklukkan Mataram jelas Bali tidak akan
mampu. Karena dalam banyak hal Mataram lebih unggul dari Bali apakah jumlah
kapal, jumlah tentara dan posisi wilayah. Bagaimana Bali bersemangat untuk
melawan Mataram tentu saja hanya karena faktor (kerajaan) Blambangan yang
beragama Hindoe (terakhir di pulau) Jawa akan memperlemah kedudukan Hindoe di
Bali. Jadi, perlawanan Bali terhadap Mataram adalah merebut kerajaan Blambangan
(Hindoe) dari kemungkinan jatuhnya Blambangan ke tangan Mataram. Tawaran VOC
untuk membentuk aliansi dengan Bali adalah saling menguntungkan.
Hubungan
yang intens antara (kerajaan) Bali dan VOC (di Batavia) dapat dilihat pada
catatan harian (Daghregister) Kasteel Batavia sejak 1659 sehubungan dengan
adanya pedagang VOC di Bali. Satu yang penting dalam Daghregister 30 April 1659
menyatakan bahwa di bawah yurisdiksi VOC (di Batavia) sudah terdapat sebanyak 1.177
orang Jawa dan Bali. Orang-orang Jawa di yurisdiksi VOC sebelumnya sudah
dilaporkan keberadaannya di Amboina. Mereka ini adalah pembantu orang-orang
Belanda dan pasukan militer VOC. Orang Jawa dalam hal ini (jelas bukan orang
Mataram) tetapi orang-orang yang direkrut dari (kota-kota) pantai utara Jawa.
Seperti halnya, orang-orang Jawa, orang-orang Bali juga memilii fungsi yang
sama sebagai pembantu orang Belanda dan pasukan militer VOC. Masih berdasarkan
catatan Kasteel Batavia (Daghregister) tanggal 11 April 1661 dan tanggal 5
Agustus 1661 kapal dari Bali membawa budak, budak perempuan dan kacang (ijo).
Beberapa bulan sebelumnya juga
di dalam Daghregister 12 Februari 1661, kapal de Haes dari Batavia menuju Bima.
Dalam Daghregister tahun-tahnn berikutnya dicatat kapal-kapal VOC dari Batavia
ke Makassar juga ada yang melalui Blambangan dan Bali. Ini mengindikasikan
pengaruh Portugis di ujung timur pulau Jawa telah menghilang.
Radja Bali tampaknya harus bersabar untuk melawan
Mataram (menaklukkan Blambangan). Kekuatan Mataram masih kuat. Strategi VOC
tidak sedang memprioritaskan (kerajaan) Mataram tetapi menghadapi persoalan
yang muncul di kerajaan Gowa (Makassar). Dalam menghadapi semua itu, pemerintah
VOC akan mengubah kebijakannya pada tahun 1666 yang mana sebelumnya kebijakan
perdagangan yang longgar di pantai diubah menjadi kebijakan yang sama sekali
baru yakni dimana penduduk asli (pribumi) akan dijadikan sebagai subyek VOC
(lihat Hendrik
Kroeskamp, 1931). Inilah awal yang sebenarnya orang Belanda (VOC) melakukan
penjajahan (tidak hanya sekadar membentuk koloni).
Perwakilan
dagang Belanda di Sambopp [Somba Opoe] sudah ada sejak 1607 yakni Class Leuers
dan berakhir tahun 1608 (setelah penaklukan Portugis di Amboina pada tahun
1605). Gubernur Jenderal Anthony van Diemen mengangkat seorang pedagang
(koopman) di Makassar N van Vliet sebagai gubernur (landvoogden). N van Vliet
terbunuh pada tahun 1638 lalu digantikan oleh oleh kepala pedagang
(opperkoopman) VOC di Makassar, Johan van Suijdewijk. Pengangkatan Johan van
Suijdewijk sebagai gubernur hanya berlangsung hingga 1646. Setelah itu fungsi
gubernur VOC di Makassar ditadakan, Namun pada tahun 1651 fungsi gubernur
diaktifkan kembali dengan mengangkat Evert Jansz Ruijs. Pada tahun 1655 Ruijs
digantikan oleh Abraham Verspreet. Namun belum lama menjabat sebagai gubernur,
Abraham Verspreet harus ditarik kembali ke Batavia. Pada tahun 1661 diketahui keberadaan
viceroy di Bima (lihat Dagregister 12 September 1661). Viceroy dalam hal ini
adalah gubernur VOC. Bima menjadi tempat terpenting kedua VOC di timur (selain
Amboina). Di Bima adalah tempat gubernur dan residen VOC. Setelah penarikan
gubernur di Makassar tampaknya kedudukan gubernur di relokasi ke Bima.
Sehubungan dengan kebijakan baru VOC ini, pada
tahun 1665 diketahui (pangeran) dari Bali Goesty Pangy (Gusti Panji?) bertemu
dengan Gubernur Jenderal (Joan Maetsuycker) di Batavia (lihat Daghregister
tanggal 28 Agu 1665).
Lalu
dalam perkembangannya pemerintah VOC masih menganggap utang Gowa atas kematian
pedagangnya tahun 1638. Pemerintah VOC memberikan ancaman kepada kerajaan Gowa.
Kedua belah pihak kemudian dibuat perjanjian (contract) damai yang disebut
Bongaisch Contract pada tahun 1667. Namun tentu saja isi perjanjian tersebut tidak
mudah dipenuhi. Akhirnya terjadi Perang Gowa antara VOC dengan Kesultanan Gowa
yang dipimpin oleh Soeltan Hasan Oedin. Perang ini berakhir pada tahun 1669. Setelah
penaklukan Makassar, pada tahun 1669, Johan van Opzijnen seorang pedagang
diangkat sebagai gubernur (landvoogden) di Makassar.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Orang-Orang Arab di Bali
Orang Moor dan orang Arab adalah pelaut-pedagang
yang handal. Sebelum orang Arab memperluas jaringan perdagangan ke Bali (dan
Lombok), orang-orang Moor adalah pemain utama dalam urusan perdagangan di pelabuhan
Boeleleng dan pelabuhan Ampenan. Namun secara perlahan-lahan peran orang-orang
Moor digantikan oleh orang-orang Arab. Pesaing Arab adalah orang-orang Cina.
Arab dan Cina banyak yang menjadi pedagang-pedagang utama. Yang menjadi feeder
untuk mereka adalah pedagang-pedagang Bugis, Mandar, Makassar dan Melajoe.
Orang Bali bukan pedagang antarpulau, karena orang Bali (juga orang Sasak di
Lombok) bukan pelaut.
Untuk
urusan diplomasi sejak era VOC hungga Pemerintah Hindia Belanda, pemerintah
jika ingin berususan dengan penduduk pribumi yang banyak diminta bantuannya
adalah orang-orang Moor dan orang-orang Arab. Orang-orang Cina jarang
digunakan. Hal ini karena orang Moor dan Arab selain beragama Islam (banyak
populasi Islam) juga karena orang Moor dan orang Arab lebih piawai berbahasa
Melayu dan juga memiliki kecenderungan cara berbicara yang baik (beretorika).
Untuk orang Eropa, pada era VOC, pemerintah Belanda lebih cenderung
mengandalkan orang-orang Portugis atau Prancis, dan pada era Pemerintah Hindia
Belanda pilihannya banyak jatuh pada orang Jerman. Orang Inggris adalah selalu
menjadi musuh Belanda atau paling tidak selalu dicurigai oleh orang Belanda.
Pengaruh orang Arab di dalam perdagangan dengan
orang Bali sudah sejak lama adanya, sejak era VOC. Pengaruh orang Arab tidak
hanya di Bali dan Lombok tetapi juga hingga pulau-pulau terpencil seperti Banda,
Kei (Toeal) dan Meraoeke (Papoea). Bukti pengaruh Arab ini lebih kuat dari Cina
dalam komunikasi perdagangan karena penanggalan yang digunakan adalah
penanggalan Islam dan aksara Arab-Melayu (Arab gundul). Atas dasar itulah,
ketika terjadi kebuntuan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan radja-radja
Bali (setelah diplomasi P van Broek gagal tahun 1818), pemerintah mengutus seorang
(pedagang) Arab (Abdullah bin Mohamed el Maz'rie) sebagai ‘diplomat’ ke
pedalaman Bali untuk menemuai para radja-radja.
Dalam
perdagangan nusantara, termasuk di pantai-pantai Bali bahasa yang digunakan
adalah bahasa Melayu (lingua franca). Bahasa Belanda hanya digunakan sesama
orang Eropa atau orang Eropa dengan pedagang-pedagang Arab. Untuk penanggalan
yang digunakan adalah penanggalan Eropa (Masehi) dan penanggalan Arab
(Hijriah). Sementara aksara yang digunakan dalam perdagangan adalah aksara Latin
dan aksara Arab (Arab-Melayu). Ini dapat dilihat dari surat pangeran (kerajaan)
Karangasem ke Gubernur Jenderal VOC di Batavia pada tahun 1892 dan 1804 ditulis
dalam bahasa Melayu dengan aksara Arab dan penanggalan Hijriah. Seperti halnya
orang Tionghoa aksara dan penanggalan Cina hanya terbatas pada orang-orang Cina,
aksara Bali juga terbatas diantara orang-orang Bali.
Diplomasi Arab ini di pulau Bali hanya berhasil
mempengaruhi radja Badoeng untuk melakukan perjanjian damai dengan Pemerintah
Hindia Belanda yang kemudian menempatkan seorang Portugis, du Bois di Badoeng
sebagai perwakilan Pemerintah Hindia Belanda. Namun, du Bois hanya sampai pada
tahun 1831. Tidak diketahui jelas mengapa kedubes di Badoeng dikosongkan. Setelah
itu tidak ada lagi perwakilan Pemerintah Hindia Belanda di pulau Bali. Lalu
kekosongan itu muncul seorang pedagang Inggris, GP King (namun tidak lama
karena King relokasi ke Ampenen di Lombok).
Tampaknya
pada fase permulaan Pemerintah Hindia Belanda, radja-radja Bali tidak terlalu
menyukai (lagi) pedagang-pedagang Eropa khususnya Belanda. Perdagangan Bali
kembali sepenuhnya dijalankan oleh orang-orang Arab dan Cina. Post perdagangan
Arab berada di Boeleleng dan Djembrana, sedangkan pos perdagangan Cina berada
di Sanoer. Para pedagang-pedagang Bugis, Mandar dan Melayu berada di
pelabuhan-pelabuhan kecil lainnya seperti Sangsit, Koeta dan Laboehan Amok. Di
wilayah Boeleleng dan wilayah Djembrana sudah sejak lama terdapat
komunitas-komunitas Islam (Arab, Jawa, Madoera, Melayu, Bugis dan lainnya).
Pantai-pantai selatan Bali dan Lombok dihuni oleh orang-orang yang berasal dari
Celebes (Islam).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar