*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini
Sejarah Jembrana adalah sejarah lama. Ibu kota berada di Negara (kini Negara lebih dikenal sebagai ibu kota kabupaten Jembrana). Kabupaten ini berbatasan di sebelah timur dengan kabupaten Tabanan dan di sebelah utara kabupaten Buleleng. Kabupaten ini dengan pulau Jawa (Banyuwangi) dipisahkan oleh selat Bali. Satu nama yang kerap dikaitkan dengan wilayah Jembrana sejak awal (era VOC) adalah seorang pemuda tangguh yang dikenal sebagai Oentoeng Soeropati.
Sejarah Jembrana adalah sejarah lama. Ibu kota berada di Negara (kini Negara lebih dikenal sebagai ibu kota kabupaten Jembrana). Kabupaten ini berbatasan di sebelah timur dengan kabupaten Tabanan dan di sebelah utara kabupaten Buleleng. Kabupaten ini dengan pulau Jawa (Banyuwangi) dipisahkan oleh selat Bali. Satu nama yang kerap dikaitkan dengan wilayah Jembrana sejak awal (era VOC) adalah seorang pemuda tangguh yang dikenal sebagai Oentoeng Soeropati.
Menurut
cerita, Oentoeng Soeropati adalah seorang pangeran yang lahir dari Poeger,
bernama Sangadja, yang dipaksa pada usia enam tahun oleh pamannya,
Soesoehoenan, untuk melarikan diri ke Blambangan, untuk mencari perlindungan
dengan pangeran wilayah Blambangan. Namun pangeran Blambangan tidak berani
menjaga pemuda belia itu bersamanya, lalu menyarankan Oentoeng Soeropati untuk
menyeberang dengan pengasuhnya ke Djambrana di Bali. Disini mereka disambut
dengan ramah oleh Shabandar, yang kemudian menerima pangeran kecil ini sebagai
putranya dan memberinya panggilan (gelar) Bagoes Mataram. Setelah pemuda ini tumbuh
menjadi seorang pemuda yang hebat (lihat Dr R van Eck dalam majalah Tijdschrift
voor Neerland's Indie, 1878).
Okelah, itu satu hal. Hal lain yang lain juga
penting adalah bagaimana dengan sejarah Jembrana sendiri sebagai suatu wilayah
penting di pulau Bali? Sudah barang tentu sudah ada yang menulisnya. Namun
tentu itu tidak cukup. Untuk memenuhi kecukupan itu, dan untuk menambah
pengetahuan serta untuk meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita
telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah
seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan
tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan
imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*
Nama Jembrana: Djambrana, Djambangrana, ...
Nama Djembrana adalah suatu nama kerajaan di
pulau Bali, Kerajaan ini awalnya berpusat di Djambrana lalu kemudian relokasi
ke Negara. Wilayah Djembrana di pulau Bali ini kali pertama Pemerintah Hindia
Belanda membentuk cabang pemerintahan pada tahun 1855. Ini sehubungan dengan
berakhirnya Perang Bali pertama (1846-1849). Relokasi ibu kota ini sehubungan
dengan penempatan Controleur di Negara.
Peta 1597 |
Informasi tentang Djembrana dipublikasikan pada
tahun 1845 oleh seorang perwira angkatan laut P Baron Mervill dengan judul
deskripsi geogtrafis (termasuk peta) pulau Bali yang dimuat pada majalah
Moniteur de Indes 1845). Sehubungan dengan ekspedisi militer menghukum pangeran
(radja) Boeleleng tahun 1846, Pemerintah Hindia Belanda mengirim seorang Jerman
ahli geologi dan botanis Heinrich Zollinger untuk melakukan studi ilmiah di
pulau Bali (dan juga pulau Lombok). Dalam dua laporan ini mengidentifikasi (sungai)
Loloan sebagai salah satu pelabuhan terpenting di barat daya pulau Bali.
Dalam
laporan Heinrich Zollinger disebutkan geologi dan vegetasi pulau Jawa dan Bali
tidak berbeda. Lebih ke barat pulau lebih mirip Jawa. Heinrich Zollinger menyebutkan
harimau hanya ditemukan di wilayah Boeleleng dan Djembrana. Di dua wilayah ini
juga ditemukan banteng liar. Perdagangan luar negeri di Bali menurut Zollinger sepenuhnya berada di
tangan orang Bugis, Cina, dan Eropa. Orang Bali tidak berdagang barang asing,
tidak pernah meninggalkan negeri mereka atas kehendak sendiri. Orang Bali sama
sekali tidak memiliki kapal komersial. Namun ada satu hal bahwa ada
kecenderungan mereka untuk mengambil kapal-kapal yang memiliki nasib sial dan
terdampar ke pantai mereka. Di antara barang-barang impor, opium yang paling
penting.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pembentukan Cabang Pemerintah Hindia Belanda di Djambrana
Pada tahun 1841 ada perjanjian damai (placaat)
antara Pemerintah Hindia Belanda dengan radja Boeleleng. Ini sehubungan dengan
Pemerintah Hindia Belanda telah membuka pos perdagangan (lihat Algemeen Handelsblad, 20-03-1840). Lalu
perjanjian ini kemudian
diperbarui pada bulan Mei 1843. Kerajaan Djembrana berada di bawah kekuasaan
pangeran (radja) Boeleleng. Oleh karena itu perjanjian antara kedua belah pihak
meliputi kerajaan Boeleleng dan kerajaan Djembrana. Namun tidak lama kemudian
muncul sengketa,
Pada bulan Januari 1844 penduduk
Djembrana (di bawah kekuasaan Radja Boeleleng) menjarah kapal yang berlayar di
bawah bendera Belanda di atas kapal milik warga negara Hindia. Atas kejadian
ini Pemerintah Hindia Belanda meminta pertanggungjawaban kepada Radja
Boeleleng. Konpensasi yang dijanjikan belum diberikan. Radja tidak menerima dan
memperlakukan utusan-utusan pemerintah sebagai wakil dari Gubernur Jenderal
Hindia Belanda tetapi disikapi sebagai musuh. Surat Gubernur Jenderal tidak
dijawab. Sebagaimana telah ada kerjasama seperti yang diperjanjikan radja tidak
menampilkan bendera Belanda sebagaimana mestinya.
Penyelesaian sengketa mengalami jalan buntu. Pemerintah
Hindia Belanda lalu menyimpulkan pintu negosiasi dengan radja Boeleleng sudah
tertutup. Pemerintah Hindia Belanda kemudian meningkatkannya dengan memutuskan
untuk mengirim ekspedisi (militer) ke Boeleleng. Keputusan Pemerintah Hindia
Belanda ini didukung oleh radja-radja lainnya di Bali. Sebelum dilakukan
pendaratan, surat ultimatum telah dikirimkan kepada Radja dengan tempo 3X24
jam. Namun itu juga tidak mengubah pendirian radja Boeleleng. Lalu pasukan
angkatan laut mendarat di Boeleleng pada bulan Juni 1846.
Dalam ekspedisi militer
ini, tidak hanya didukung oleh radja-radja Bali lainnya seperti Kloengkong,
Gianjar dan Badoeng, tetapi pangeran (radja) Bali Selaparang juga turut
membantu Pemerintah Hindia Belanda dengan mengirim pasukan dari Lombok yang
diangkut oleh kapal laut milik seorang Inggris. Radja Boeleleng yang juga
berkuasa atas pageran (radja) Djembrana hanya radja Karangasem yang
mendukungnya. Uniknya kerajaan Karangasem Bali dan kerajaan Bali Selaparang
Lombok terbilang masih bersaudara.
Perlawanan Boeleleng ini berakhir pada tahun 1849.
Sejak inilah Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahannnya di
Bali. Pemerintahan yang dibentuk terbatas di wilayah Boeleleng dan wilayah
Djembrana dengan membentuk afdeeling Boeleleng dan afdeeling Djembrana.
Dalam pembentukan
pemerintahan ini seorang Asisten Residen ditempatkan di Boeleleng yang dibantu
seorang Controleur di Djembrana. Untuk mengawasi pemerintahan yang baru ini,
Asisten Residen Banjoewangi dilibatkan yang berada di bawah Residen Basoeki.
Pada tahun 1882 Pemerintah Hindia Belanda
memisahkan Bali dari Jawa (Residentie Basioeki) dan kemudian membentuk
Residentie Bali en Lombok dengan ibu kota di Singaradja. Dalam pemerintahan
residentie ini hanya afdeeling Boeleleng dan afdeeeling Djembrana yang berada
langsung di bawah (pejabat) Pemerintah Hindia Belanda. Untuk kerajaan-kerajaan
lainnya di pulau Bali dan kerajaan Bali Selaparang di Lombok mengelola
pemerintahannya sendiri-sendiri. Hubungan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan
radja-radja lainnya hanya didasarkan pada perjanjian yang dibuat pada
masing-masing radja. Perjanjian Pemerintah Hindia Belanda dengan radja Bali
Selaparang Lombok dibuat pada tahun 1846 (dan diperbarui lagi pada tahun 1882).
Isi
perjanjian antara Pemmerintah Hindia Belanda dengan radja-radja pada intinya
adalah tentang perdagangan timbal balik, upaya bersama untuk menjaga perdamaian
di kawasan dan keadilan pada penduduk masing-masing. Dalam perjanjian ini juga
termasuk larangan impor senjata dari luar negeri (luar wilayah Hindia Belanda).
Dalam perjanjian yang terakhir (1882) yang diperbarui termasuk pelarangan perdagangan
budak. Hal ini karena Pemerintah Hindia Belanda sejak 1860an telah meratifikasi
perdagangan budak dan pembebasan budak. Namun untuk wilayah Bali dan Lombok
hanya sebatas untuk larangan perdagangan budak saja (kepemilikan budak masih
ditoleransi).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kisah Untung Suropati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar