Rabu, 22 Juli 2020

Sejarah Pulau Bali (11): Sejarawan Bali, Para Pionir Penulisan Sejarah Pulau Bali; Sejarah Seharusnya Memiliki Permulaan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Jangan bilang saya sejarawan. Saya hanyalah seorang ekonom peminat sejarah. Dalam sejarah Bali, haruslah ada orang yang memulainya. Mereka itu ternyata bukan kita, tetapi adalah orang-orang gila yang berani bertarung nyawa. Kita pada masa ini tidak ada apa-apanya. Kita hanya sekadar penyalin. Yang lebih buruk lagi ada diantara kita yang sengaja tidak sengaja menambah yang tidak pernah ada. Lalu kemudian muncul golongan yang aneh yang melebih-lebihkan satu hal dan juga mengerdilkan hal lainnya.

Menurut Wikipedia: Sejarah (bahasa Yunani: ἱστορία, historia (artinya "mengusut, pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian"); bahasa Arab: تاريخ, tārīkh; bahasa Jerman: geschichte) adalah kajian tentang masa lampau, khususnya bagaimana kaitannya dengan manusia. Dalam bahasa Indonesia, sejarah, babad, hikayat, riwayat, tarikh, tawarik, tambo, atau histori dapat diartikan sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau atau asal usul (keturunan) silsilah, terutama bagi raja-raja yang memerintah. Ini adalah istilah umum yang berhubungan dengan peristiwa masa lalu serta penemuan, koleksi, organisasi, dan penyajian informasi mengenai peristiwa ini. Istilah ini mencakup kosmik, geologi, dan sejarah makhluk hidup, tetapi sering kali secara umum diartikan sebagai sejarah manusia. Para sarjana yang menulis tentang sejarah disebut ahli sejarah atau sejarawan. Peristiwa yang terjadi sebelum catatan tertulis disebut Prasejarah.

Sejarah adalah narasi fakta dan data. Suatu fakta dan data yang dinarasikan secara proporsional yang jauh dari maksud untuk mengelabui pembaca. Sejarah haruslah memberi edukasi pada generasi mendatang. Dalam membaca fakta dan data jelas diperlukan analisis yang cermat agar memberikan dampak pada narasi sejarah yang baik dan benar. Dalam hubungan ini, artikel ini dimaksudkan untuk merangkum siapa saja sejarawan awal pulau Bali, orang-orang yang telah memberi kontrinusi dalam penulisan sejarah masa kini. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bali Sejak Era VOC: G van den Broek

Sejarah Bali, meski pulaunya kecil seperti halnya pulau Lombok, sejatinya Bali memiliki sejarah yang super lengkap. Ibarat toserba (hypermarket) semua (bidang penelitian sejarah) ada. Tidak hanya soal keragaman (jenis) termasuk varian warna, sejarah Bali juga ibarat pembeli sepatu di hypermarket yang dapat menemukan semua ukuran (bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan lansia) dan semua kebutuhan (sekolah, kantor, pesta, olah raga dan liburan). Para peneliti (sejarah) Bali juga banyak orangnya yang mampu melayani semua pengunjung. Para peneliti inilah yang disebut pionir sejarah Bali.

Hingga tahun 1839 tidak ada orang asing yang mengetahui secara sadar bahwa penduduk Bali beragama Hindoe. Para penulis sejarah Bali menyebut orang Bali adalah Budha dan berbicara bahasa Bali, de Balinezen zijn Budhisten en spreken het Balineesch (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1839). Paradoks memang. Intinya, masih banyak yang belum mengenal bagian dalam pulau Bali, padahal catatan tentang keberadaan Bali seumur dengan kehadiran Belanda di Hindia Timur (sejak ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman, 1595-1597). Sejak ekspedisi pertama ini, Bali dapat dianggap sebagai basis pertama pelaut-pelaut Belanda. Pada tahun 1605 Bali adalah basis (angkatan laut) Belanda dalam penaklukan Amboina yang dikuasai oleh Portugis. Ekspedisi penaklukkan (pelabuhan) Ambon ini dipimpin oleh Admiral Steven van Hagen.

Dalam catatan Kasteel Batavia (Daghregister) yang dimulai sejak 1659 nama Bali termasuk yang sering disebut. Pada era VOC, Bali hanya dikenal dari sisi luar. Salah satu penulis yang sudah berinisiatif memanfaatkan data Daghregister adalah Valentijn, seorag geografi sosial yang berdiam di Amboina yang bukunya dipublikasikan pada tahun 1727 hanya menyinggung Bali sepintas dari sisi luar. Demikian juga Radermacher, pendiri lembaga ilmiah pertama, Bataviasch Genootschap Der Kunsten En Weetenschappen (didirikan 1778), dalam berbagai risalahnya tentang Hindia Timur hanya secuil menyinggung Bali. Ketidaktahuan tentang Bali, bahkan sekelas Raffles, hanya berspekulasi menulis sejarah Bali dan berasumsi bahwa asal usul orang Bali dari berbagai tempat di Celebes (lihat The History of Java; yang diterbitkan 1817). Dari sisi luar, sejarah Bali terbilang terdepan dalam sejarah Indonesia, tetapi dari sisi (pe)dalam(an) sejarah Bali kurang terinformasikan hingga tahun 1846. Inilah masalah utama sejarah Bali. Namun itu tidak menjadi soal, karena peneliti (sejarah) Bali sangat banyak (dari berbgai bidang keahlian) dan juga memiliki perhatian yang intens (termasuk melakukan kajian sejarah Bali secara retrospektif). Dalam hal inilah peran pionir sejarawan Bali menjadi penting. Mereka inilah yang kemudian membangun fondasi sejarah Bali untuk sejarawan next generation.

Setelah kembalinya Pemerintah Hindia (menggantikan pemerintah pendudukan militer Inggris 1811-1816) mengirim ekspedisi ke Bali. Dalam berbagai sumber disebut orang yang memimpin ekspedisi damai ke Bali adalah van den Broek pada tahun 1817 atau 1818. Laporan van den Broek ini sudah diketahui pada tahun 1818 (lihat  Algemene konst- en letter-bode, 1818). Laporan ini kemudian terdapat pada (buku) De Oosterling (diedit oleh J Oliveir Jr) yang diterbitkan pada tahun 1834 di bawah judul Verslag nopens het eiland Bali, de Vorsten hunne geaardheid en betrekkingen, den handel, den culture, de bevolking, hare seden en gewoonten, godsdienst en andere bojzonderheden (halaman 158-236). Sebagaimana judulnya cakupan laporan cukup luas seperti perdagangan di pantai, sekilas tentang masing-masing kerajaan di Bali.

De Oosterling (diedit oleh J Oliveir Jr) 1834
Nama G van den Broek dengan beberapa penumpang lainnya diberitakan berangkat ke Batavia. Dalam pelayaran ini terdapat tentara (lihat Rotterdamsche courant, 06-01-1818). Berita berikutnya adalah bahwa di Portsmouth [Inggris] kapal Le Fenne Annet di bawah kapten G van den Broek dari Amstedam menuju Batavia (lihat Opregte Haarlemsche Courant, 15-01-1818). Di Batavia dari Postkantoor diumumkan bahwa beberapa kapal akan berangkat ke Belanda, diantaranya kapal La Fenne Annette dengan kapten van den Broek menuju Antwerpen (lihat Bataviasche courant, 16-01-1819). Diantara kedatangan dan keberangkatan inilah sebagai komisaris, G van den Broek dikirim ke Bali. Banyak diantara keluarga (marga) van den Broek sebagai pelaut dan juga terdapat beberapa yang tinggal di Hindia. Salah satu keluarga van den Broek yang terkenal adalah P van den Broek komandan eskpedisi Belanda pertama ke Arabia, Hindoestan dan Suratte antara tahun 1616 hingga 1618. Tujuan misi perdamaian yang dipimpin G van den Broek ke Bali ini tidak menghasilkan perjanjian damai (placaat). Meski demikian, masih ada yang tersisa atas ekspedisi ini yakni laporan tentang Bali.

Paling tidak kehadiran G van den Broek di Bali sebagai petunjuk adanya wakil Pemerintah Hindia Belanda (Batavia) untuk menjajaki kembali hubungan yang terputus dengan (radja-radja) Bali. Boleh jadi ini adalah kunjungan pertama orang Belanda ke Bali setelah lama tidak terjadi kontak (komunikasi). Laporan van den Broek ini dapat dikatakan sebagai penulisan terawal tentang sejarah Bali. Berdasarkan catatan Kasteel Batavia yang terakhir terdapat dua surat dari Bali kepada Yang Mulia di Batavia.

Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1882
Surat berbahasa Melayu, Goesti Made dari Karangasem en Selaparang kepada Yang Mulia (Hunne Hoog Edelheden) diterima di Batavia pada 26 Januari 1792, tanpa cap. Isi suratnya adalah pemberitahuan pengiriman kapten Tiongkok di kapal yang memuat daging kering, kulit sapi, kayu cendana dan sarang burung...Terakhir kali orang Cina pergi dengan 100 budak Bali. Surat lainnya adalah surat berbahasa Melayu dengan cap merah dalam aksara Bali ditulis pada Shaban 1218 ke-18 diterima di Batavia pada tanggal 9 Mei 1804. Isi surat adalah permintaan untuk meminjam untuk jangka waktu tiga bulan untuk dikirim satu kapal layar, lima pentjalang besar dan sepuluh yang kecil dengan perlengkapannya, persenjataan dan amunisi yang terdiri dari serbuk, peluru, bom, granat dan semua hal seperti itu, yang sangat sulit didapat, karena ia ingin berperang dengan Sasak di Lombok dan pengawasan di laut. Setelah perang berakhir dengan pertolongan Tuhan (!), dia akan mengembalikan semua yang dipinjam dengan hadiah 300 hingga 400 budak (surat-surat ini dimuat dalam majalah Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1882).

Kahadiran G van den Broek tidak banyak memberikan keterangan tentang sejarah Bali. Sejarah Bali hanya terbatas pada perihal perdagangan sejak era VOC dan aspek yang tekait politik. Ini karena orang-orang Eropa-Belanda hanya terbatas (perdagangan) di pantai. Ketika sejumlah tempat sudah dibentuk cabang Pemerintah Hindia Belanda seperti di Jawa (pasca Perang Jawa-Diponegoro 1825-1830) dan Sumatra’s Westkust (Perang Padri sejak 1823, yang baru berakhir 1838) Bali sendiri masih independen, yang berarti Bali belum langsung berada di bawah Pemerintah Hindia Belanda. Sebelumnya pemerintah penduduk Inggris (1811-1816) akan memaksa Bali berada di bawah Letnan Gubernur Raffles namun harus sirna karena kembalinya kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, Bali yang tetap independen.

Setelah gagalnya van den Broek membuat penjanjian damai dengan raja-raja Bali, sebenarnya ada upaya yang dilakukan pasca Tractat London 1824 yakni dengan mengirim Said Hasan Abdoellah. Hasilnya hanya kerajaan Badoeng yang bersedia yang kemudian ditandatangani perjanjian antara pejabat Pemerintah Hindia Belanda dengan Radja Badoeng pada tahun 1826. Untuk itu Pemerintah Hindia Belanda menempatkan du Bois sebagai perwakilan pemerintah di Badoeng. Namun du Buis harus segera ditarik pada tahun 1831 (pasca Perang Jawa). Hubungan Pemerintah Hindia Belanda dengan Bali kembali terputus.

Independensi Bali menyebabkan Bali kurang terinformasikan ke luar. Dengan kata lain  orang-orang Eropa-Belanda belum ada yang menginformasikan tentang situasi dan kondisi di (pedalaman) Bali. Informasi tentang Bali hanya diperoleh di pelabuhan-pelabuhan (seperti pelabuhan Boeleleng dan pelabuhan Koeta). Dari sumber lain diketahui bahwa selama du Bois di Badoeng, ada dua orang Inggris Medhurst dan Tomlin yang datang. Setelah tidak adanya kehadiran Pemerintah Hindia Belanda di Bali sejak 1831 lalu kemudian muncul satu orang Inggris yang mulai merintis perdagangan di pelabuhan pantai Bali. Pedagang tersebut awalnya berada di Batavia yakni GP King lalu pindah ke Bali tahun 1833. Pedagang ini kemudian diketahui telah relokasi ke Ampenan, Lombok (sementara pedagang Denmark, keluarga de Lange membangun perdagangannya di pelabuhan Tanjung Karang, Lombok).

Utrechtsche courant, 28-11-1836
Utrechtsche courant, 28-11-1836: ‘Bali tidak langsung di bawah Pemerintah Belanda tetapi dikendalikan oleh beberapa raja independen, yang kesewenang-wenangan, penyalahgunaan perang timbal balik menyebabkan pengembangan pertanian dan industri terhambat. Penduduknya adalah orang yang memiliki asal-usul sama dengan Jawa, sebagian besar masih mengaku Buddha dan juga sebagian berbicara bahasa leluhur. Orang Bali berani dan setia dan karena alasan inilah mereka lebih disukai termasuk di antara prajurit pribumi Jawa. Beberapa orang kembali ke pulau mereka setelah masa tugas mereka, sementara mereka biasanya menetap di Jawa. Beberapa barang Inggris secara teratur masuk ke pulau yang dipertukarkan dengan empat atau lima ratus budak muda dan budak perempuan setiap tahunnya. Para pangeran Bali sendiri berdagang dengan subyek mereka sendiri dan mendapatkan bagian dari pendapatan di dalam perdagangan tersebut’.

Orang-orang Eropa-Belanda, sejak lama hanya mengenal Bali sebagai kontak pertama Belanda sejak Cornelis de Houtman, komunikasi perdagangan VOC, wilayah kerajaan-kerajaan, perjanjian-perjanjian dengan raja-raja Bali, para budak yang didatangkan dari Bali, orang-orang Bali yang dijadikan sebagai tentara pribumi pendukung militer VOC dan orang-orang Bali yang banyak menetap di Batavia dan sekitar. Bagaimana situasi dan kondisi di (perdalaman) Bali dan bagaimana sejarahnya masih buta bagi orang-orang Belanda. Para ilmuwan Belanda sejak era VOC hingga Pemerintah Hindia Belanda hanya intens melakukan studi di Jawa. Bali masih sebuah kotak pandora. Seorang perwira mudal angkatan laut Melvill membuka perhatian dengan menulis deskripsi geografis pulau Bali.

Saat pulau Bali hampir terlupakan, seorang perwira angkatan laut Melvill menulis deskripsi geografis pulau Bali dan pulau Lombok yang dimuat pada majalah di Moniteur des Indes (1845-1849) pada tahun kesatu dan tahun kedua dengan judul Beschrijving van de eilanden Bali en Lombok. P Baron Melvill van Carnbee, mengindikasikan keturunan Inggris yang lahir di ‘s Gravenhage pada tanggal 20 Mei 1816. Dia memulai karir sebagai letnan laut dan melakukan pelayaran pertama ke Hindia (1835-1837). Melvill kembali ke Hindia pada tahun 1839 dan sejak ini timbul menatnya untuk pengetahuan kepulauan Hindia seiring dengan penempatannya juga di kantor hydograph di Batavia. Melvill mulai menyadari dengan ketekunannya memperhatikan bahwa para pelaut Belanda yang telah menggunakan selama lebih dari setengah abad memanfaatkan peta laut yang dibuat Inggris sudah tidak memadai untuk perairan Hindia Belanda, Melvill mulai paham mengapa banyak kapal-kapal Belanda tenggelam dan kehilangan banyak materi di perairan Hindia Belanda. Melvill mulai menyarankan perlunya memperbaiki dan untuk menyusun peta yang lebih baik dari dokumen-dokumen VOC-Hindia Belanda yang lama lama. Lalu lahirlah peta Jawa terbaru pada tahun 1842. Pada tahun 1845 Melvill kembali ke Hindia hingga 1850. Dalam fase ini Melvill banyak melakukan pelayaran ke seluruh Hindia dalam tugas-tugas pengamanan laut dan pemetaan. Dalam kesempatan ini Mervill banyak melakukan pengukuran ketinggian gunung termasuk gunung Randjani di Lombok dan gunung-gunungdi Soembawa dan Floresr. Melvill pada fase ini juga diperbantukan sebagai pemimpin Moniteur des Indes. Melvill banyak membahas dalam bidang ini, uraian, peta, komentar, dll. Pembuatan peta Tiongkok Selata, Riouw, Singapura, dan Lingga atas kontribusi Melvill sangat dihargai bahkan oleh orang Inggris sendiri. Pada tahun 1850 Melvill dipromosikan sebagai ajudan ke Wakil Laksamana van den Bosch. P Baron Melviil menikah pada tahun 1854 dengan nona muda, putri anggota Dewan Hindia, Baron de Koek. Pada tahun 1854 Melvill menghasilkan peta laut Jawa dan juga menyelesaikan kompilasi peta pantai timur Celebes dan jalur pelayaran yang berdekatan. Mervill dengan permintaan pemerintah akan mengedit dan akan menerbitkan atlas umum Hindia Belanda. Untuk itu Mervill telah mengumpulkan banyak catatan dari dirinya sendiri dan orang lain termasuk dari para pelancong di darat maupun di lautan. Atas semua prestasinya di bidang pelayaran dan kelautan serta pemetaan telah diberikan bintang oleh pemerintah. Namun usia Melvill tidak lama, seperti yang diberitakan Algemeen Handelsblad, 12-01-1857 P Baron Melvill van Carnbee meninggal pada bulan Oktober 1856.

Sehubungan dengan adanya kebijakan Pemerintah Hindia Belanda dalam pelarangan perdagangan budak di Hindia Belanda, sejumlah radja-radja di pulau Flores dan pulau-pulau sekitar mengeluh kepada Pemerintah Hindia Belanda tentang banyak penduduknya yang diculik dan diduga mengalir ke kota-kota pelabuhan di barat pulau Soembawa dan timur pulau Lombok. Sementara itu, sebelumnya Pemerintah Hindia Belanda sudah memiliki perjanjian dengan radja Bali Selaparang di Lombok tahun 1843 untuk turut mencegah perdagangan budak di sekitar perairan Lombok (perjanjian dengan Radja Boeleleng pada tahun 1841). Dengan adanya perjanjian ini akan memudahkan kapal perang Pemerintah Hindia Belanda bergerak di perairan Bali dan Lombok untuk mencegah perdagangan budak. Dalam hubungan inilah kapal perang Hindia Belanda melakukan pengamanan di sekitar perairan Lombok dan perairan Bali. Saat inilah diduga kuat Melvill mengumpulkan bahan-bahannya dalam penulisan tentang deskripsi geografis pulau Bali dan Lombok yang diterbitkan pada majalah Moniteur de Indes (1845 dan 1846).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Para Pionir Sejarah Bali

Pada tahun 1846 Pemerintah Hindia Belanda merekrut seorang Jerman Heinrich Zollinger, penulis yang beralatar belakang keahlian geologi dan botani untuk ditugaskan melakukan ekspedisi ilmiah di Bali dan Lombok. Hal ini dilakukan seiring dengan pengiriman ekspedisi militer Pemerintah Hindia Belanda untuk menghukum pangeran (radja) Boeleleng yang dimulai pada bulan Juni 1846. Perang antara Pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan Boeleleng dikenal sebagai Perang Bali pertama (1846).

Disebutkan pangkal perkara perang ini adalah Goesti Ngoerah Made Karang Asem, Radja Boeleleng telah melanggar perjanjian yang dibuat dengan Pemerintah Hindia Belanda yang ditandatanganinya sendiri dilanggar dan ditandatangani sendiri. Perjanjian itu dibuat pada tanggal 26 November 1841 dan diperbarui tanggal 8 Mei 1843. Pelanggaram lainnya adalah penduduk Djembrana (di bawah kekuasaan Radja Boeleleng) pada bulan Januarij 1844 bersalah karena menjarah kapal yang berlayar di bawah bendera Belanda di atas kapal milik warga negara Hindia dan bahwa kompensasi yang dijanjikan belum diberikan; bahwa Radja tidak menerima dan memperlakukan utusan-utusan Pemerintah dengan penghargaan yang harus dibayar dan sebagai wakil dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda tetapi disikapi sebagai musuh. Juga disebutkan surat Gubernur Jenderal tidak dijawab, dan tidak menampilkan bendera Belanda sebagaimana mestinya (sesuai perjanjian damai). Oleh karena pintu negosiasi sudah tertutup lalu diputuskan diadakan ekspedisi (militer). Sebelum dilakukan pendaratan, surat ultimatum telah dikirimkan kepada Radja dengan tempo 3X24 jam. Bagaimana perang itu berlangsung dapat dibaca pada surat kabar Javasche courant, 07-07-1846 (yang mana pada edisi ini semuanya berisi tentang perang di Boeleleng dan Singaradja).

Sehubungan dengan perang di pulau Bali ini mulai pulau Bali ditulis dari berbagai sisi. Selain artikel-artikel di surat kabar. salah satu tulisan yang terbilang teknis adalah tulisan van Hoevel tentang Pulau Bali yang dimuat pada Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1846. Laporan Heinrich Zollinger baru diterbitkan pada tahun 1847 dengan judul Verhaal eener reis over de eilanden Bali en Lombok gedurende de maanden mei tot september 1846 (diterbitkan di Utrecht). Dari isinya, Heinrich Zollinger telah mengunjungi Singaradja pada tahun 1846. Sementara tulisan van Hoevel lebih pada kompilasi berbagai sumber.

Tulisan Heinrich Zollinger, dapat dikatakan sebagai tulisan yang menguraikan secara komprehensif tentang pulau Bali, tidak hanya soal geologi dan pertanian juga tentang perdagangan dan juga tentang deskripsi penduduk pulau Bali. Jika G van den Broek pada kunjungan tahun 1818 mengulas tentang sisi luar pulau Bali, Heinrich Zollinger, dapat dikatakan sangat rinci tentang sisi (pe)dalam(an) pulau Bali.

Sejak laporan Heinrich Zollinger tentang pulau, tulisan-tulisan tentang pulau pulau semakin akumulatif (semakin diperkuat dan semakin diperkaya). Tulisan yang segera menyusul setelah Heinrich Zollinger, adalah tulisan Rudolf Hermann Theodor Friederich yang berjudul Voorloopig verslag van het eiland Bali yang diterbitkan oleh Universiteitsbibliotheek Leiden pada tahun 1849.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Dr. N van der Tuuk dan Dr. R van Eck

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar