Rabu, 19 Agustus 2020

Sejarah Pulau Bali (42): Jalak Bali dan Jalak Harupat; Rothschild, Deninger, Stresemann, Tauern dan Prof Dr Soekarja Somadikarta

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, flora dan fauna pulau Bali dan pulau Jawa mirip satu sama lain, ada harimau Bali dan ada harimau Jawa, juga ada salak Bali dan ada salak Soenda. Harimau Bali dan harimau Jawa sudah punah, tapi salak Bali masih eksis. Satu yang unik unik di pulau Bali adalah jenis burung jalak yang dikenal sebagai Jalak Bali, suatu burung endemik yang hanya ditemukan di Bali, karena itu disebut burung Jalak Bali.

Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) adalah sejenis burung pengicau berukuran sedang, dengan panjang lebih kurang 25cm, dari suku Sturnidae. Jalak Bali hanya ditemukan di hutan bagian barat pulau Bali dan merupakan hewan endemik Indonesia. Burung ini juga merupakan satu-satunya spesies endemik Bali dan pada tahun 1991 dinobatkan sebagai lambang fauna Provinsi Bali. Jalak Bali ditemukan pertama kali pada tahun 1910. Nama ilmiah Jalak Bali dinamakan menurut pakar hewan berkebangsaan Inggris, Walter Rothschild, sebagai orang pertama yang mendeskripsikan spesies ini ke dunia pengetahuan pada tahun 1912. Sementara itu, nama jalak terkenal di Jawa disebut Jalak Harupat, namun bukan suatu burung tetapi sejenis ayam jantan dalam bahasa Sunda. Ayam tersebut dimitoskan sebagai ayam yang kuat, pemberani, nyaring saat berkokok, selalu menang saat diadu. Sifatnya yang demikian membuatnya dijadikan julukan bagi seorang pemberani seperti Otto Iskandardinata (lihat Wikipedia).

Bagaimana sejarah Jalak Bali? Namanya sudah dipatenkan dengan nama ilmiah Leucopsar rothschildi yang dihubungkan dengan seorang kolektor asal Austria yang tinggal di Inggris, Walter Rothschild. Jauh sebelumnya sudah ada seorang Inggris di Lombok yakni Alfred Russel Wallace. Tentu saja jangan lupa dengan nama Prof. Dr. Soekarja Somadikarta yang juga ahli burung terkenal Indonesia. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Flora dan Fauna Bali: Walter Rothschild

Ketika menulis artikel ini, saya teringat Prof Dr Soekarja Somadikarta, meski sudah tua namun masih enerjik. Saya dengan beliau kerap saling bertukar info sejarah. Prof Dr Soekarja Somadikarta dapat dikatakan generasi penerus dari tokoh-tokoh fauna Indonesia: Alfred Russel Wallace dan Lionel Walter Rothschild. Jika Lionel Walter Rothschil penemu burung Jalak Bali (Leucopsar rothschildi), Soekarja Somadikarta adalah penemu burung Kacamata Togian (Zosterops somadikartai).

Soekarja Somadikarta lahir di Bandoeng tanggal 21 April 1930) adalah seorang ahli burung Indonesia dan guru besar emeritus di Universitas Indonesia. Prof  Dr Soekarja Somadikarta sejatinya adalah Bapak Ornitologi Indonesia, seorang pelopor dalam penelitian burung di Indonesia. Penemuanya terhadap burung Kacamata Togian namanya ditabalkan sebagai nama akademik burung tersebut Zosterops somadikartai. Soekarja Somadikarta meraih gelar doktor (Ph.D) di Freie Universitat Berlin tahun 1959. Pada tahun 1974 diangkat sebagai guru besar Universita Indonesia dan menjadi dekan Fakultas MIPA UI dua periode (1978-1984). Pada tahun 2000 Prof  Dr Soekarja Somadikarta pensiun sebagai guru besar di Universitas Indonesia. Selagi saya masih mahasiswa, anak Pak Soma (Prof  Dr Soekarja Somadikarta) bernama Dedi Ahadiat pernah menjadi asisten kami dalam mata kuliah fisika.

Lionel Walter Rothschild adalah seorang kolektor kutu (Sumatra-bode, 11-04-1911). Meski demikian, Lionel Walter Rothschild adalah seorang putra milioner di Eropa, Baron Albert von Rothschild asal Wina yang sebagian investasinya di Inggris meninggal pada tangga 11 Februari 1911 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 14-03-1911). Dengan uang yang sangat melimpah Lionel Walter Rothschild mendatangkan spesimen kutu dari seluruh penjuru dunia dan disimpan di galerinya yang mewah (museum Tring) di London. Lionel Walter Rothschild adalah keturunan Jahudi tersukses di Inggris. Lantas apakah Lionel Walter Rothschild pernah ke Bali?

Lionel Walter Rothschild tampaknya tidak pernah datang ke Bali. Tidak pernah ada berita yang mengindikasikan Lionel Walter Rothschild prnah melakukan perjalanan ke Hindia Belanda. Lionel Walter Rothschild adalah seorang sponsor dalam pengiriman ahli-ahli untuk melakukan penelitian etnografi termasuk zoology ke Hindia Belanda seperti Dr ID Tauern yang telah melakukan penelitian ke pulau Misool, pulau Seram dan pulau Bali (lihat Algemeen Handelsblad, 03-06-1914).

Sudah barang tentu para ahli yang dikirim seperti Dr ID Tauern yang menemukan burung Jalak Bali dan namanya diberi sesuai nama sponsornya Lionel Walter Rothschild. Hal seperti ini sejak doeloe sudah lazim. Misalnya ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda  Pieter Merkus mengirim seorang Jerman Jung Huhn untuk melakukan ekspedisi geologi dan botani ke Tapanoeli tahun 1840. Di district Sipirok (onderafdeeling Angkola) Jung Huhn menemukan pohon pinus yang khas. Lalu pohon itu diberi nama botaninya sebagai Pinus Merkusii Jungh. et de Vriese.

Pada tahun 1846 Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Jacob Rochussen mengirm seorang Jerman Heinrich Zollinger ke pulau Bali dan pulau Lombok untuk melakukan  ekspedisi ilmiah untuk memetakan geologi dan botani. Dalam laporannnya Zollinger menyatakan ‘kakatua putih ditemukan di Lombok, belum di Balie, juga spesies burung nuri kecil yang sangat indah di Jawa dan Balie tidak diketahui’. Dalam laporan Dr R van Eck asal Belanda yang diterbitkan tahun 1878 menyatakan: ‘akhirnya melihat satawa hutan bersayap, kami mencari kakatoewa dengan sia-sia, yang pertama kali ditemukan di Lombok. Untuk melihat noeri (sejenis nuri kecil, sangat indah) kita harus pergi ke perbatasan timur Karangasem atau ke salah satu pulau di dekat Kloengkoeng. Di sisi lain, banyak burung berjanggut, sari buah, wielewalen, pelatuk, burung jalak, kwikstaarten, kelelawar, dan spesies lain beterbangan di Bali, yang tidak terjadi atau jarang ditemukan di seberang selat Lombok’.

Lantas mengapa nama Jalak Bali diberi nama Leucopsar rothschildi padahal R van Eck sudah mencatatnya pada tahun 1878. Apakah hal itu karena R van Ecjk tidak mendiskusikannya dengan ahli yang kompeten. R van Eck sendiri adalah etnolog. Berbeda dengan Jung Huhn yang setelah pulang dari Tapanoeli mendiskusikan temuannya dengan Prof de Vriese di Buitenzorg. Oleh karena itu, nama pinus temuan Jung Huhn diberi nama Pinus Merkusii Jungh. et de Vriese.

Setelah Heinrich Zollinger ke Bali dan Lombok pada tahun 1846, seorang geolog dan botanis Inggris Alfred Russel Wallace berada di pulau Lombok pada tahun 1856. Wallace tidak ke Bali. Boleh jadi hal ini karena di pulau Lombok sejak 1833 terdapat seorang pedagang Inggris yang terkenal GP King. Keberadaan orang asing di Bali dan Lombok menjadi penting karena radja-radja sangat selektif siapa yang boleh masuk ke pedalaman. Zollinger adalah orang pertama dan terakhir yang masuk pedalaman Lombok hingga tahun 1895.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Jalak Bali: Dr. K Deninger, E Stresemann dan Dr. OD Tauern

Bagaimana para ahli menemukan Jalak Bali sesungguhnya tidak sengaja. Ekspedisi ilmiah yang dilakukan oleh Dr. Deninger, Dr. OD Tauern dan E Stresemann menuju pulau Seram di Maluku terdampar di Bali pada bulan Januari 1910 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-05-1911). Selama perbaikan kapal di Soerabaja, disebutkan Dr. Tauern dan E Stresemann, yang tetap tinggal di Bali melakukan perjalanan di pulau ke arah yang berbeda. Dalam perjalanan tersebut Dr Tauern mengumpulkan banyak materi etnografi Bali. Lalu pada tanggal 16 April, setelah Dr. Deninger kembali dari Soerabaja ketiga peneliti ini bertemu kembali di atas kapal uap (di Bali) dan kemudian bersama-sama berangkat ke Maluku untuk kelanjutan ekspedisi mereka.

Pimpinan ekspedisi ilmiah ini adalah Prof Dr. Karl Deninger, seorang geolog di Universitas Freiburg dan Erwin Stresemann seorang zoologist dari Universitas Munchen. Dalam tim ini juga termasuk Dr Odo Deotadus Tauern, ahli fisika dan geografi dari Universitas Freiburg.  Dr. K Deninger sendiri sudah pernah ke Maluku di pulau Boeroe pada tahun 1906.1907 untuk melakukan studi geologi. Dalam kunjungan kedua ke Maluku ini didampingi dua ahli lainnya yang memulai perjalan dari Singapoera pada tanggal 24 November (1909), Kapal mereka tiba di Pasar Ikan Batavia dan kemudian bertemu dengan Gubernur Jenderal. Setelah itu berlayar ke Soerabaja selama 72 jam. Di dalam kapal ini dari Batavia ikut tiga pribumi dari perusahaan Soerabajahschen Machinehandel yang akan membantu menangani mesin (kapal sendiri sudah bermasalah sejak dari Muntok). Dalam pelayaran ini Dr. Deninger dan Mr. Stresemanu duduk sebagai nahoda dan sementara Dr. Tauern mengoperasikan mesin. Pada awal Januari berangkat dari Soerabaja (ke Maluku) namun setelah 24 jam kapal bermasalah dan mereka terpaksa berlayar ke Bali dan ingin berlabuh ke pelabuhan Boeleleng. Namun sebelum mencapai pelabuhan mereka mengalami badai barat yang tak terduga dan sangat hebat, Kapal terlempar ke pantai dan rusak parah. Kapal yang rusak kemudian, tidak ada pilihan lain, akan ditarik kembali ke Soerabaja untuk diperbaiki. Pada tanggal 20 Februari, kapal uap Speelman membawa kapal mereka kembali ke Soerabaja. Dr. Deninger juga ikut untuk memperbaiki kapal. Sambil menunggu perbaikan kapal, Dr. Deninger melakukan perjalanan ke selatan Oost Java dimana dia terlibat dalam penyelidikan geologi untuk formasi tersier. Setelah selesai kapal, Dr. Deninger berangkat ke Bali tetapi sial kapal tersangkut di selat Madoera. Kapal dibawa kembali ke Soerabaja, Sialnya lagi kapal tidak bisa ditunggu karena perbaikannya akan lama. Dengan kapal uang Dr. Deninger ke Bali untuk menemui koleganya untuk melanjutkan perjalanan ke Maluku.

Selama di pedalaman Bali, diduga salah satu dari E Stresemann dan Dr OD Tauern telah menemukan burung jalak Bali. Besar dugaan zoolog E Stresemann yang kemudian mendiskusikan tentang penaman burung endemik Bali tersebut. Seperti disebutkan di dalam berbagai tulisan, burung jalak Bali sudah sejak 1910 diberi nama botani lLeucopsar rothschildi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Prof. Dr. Soekarja Somadikarta: Bapak Ornitologi Indonesia

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar