Rabu, 07 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (9): Raja dan Penduduk Asli di Kalimantan; Asal-Usul Raja Adalah Satu Hal, Asal Usul Penduduk Asli Hal Lain

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Selatan di blog ini Klik Disini

Membicarakan penduduk Borneo (Kalimantan) haruslah dibedakan antar generasi yang dengan demikian dibedakan asal-usulnya. Generasi awal penduduk Kalimantan boleh jadi sudah ribuan tahun, generasi awal ini dapat dikatakan sebagai penduduk asli (Dayak). Mereka cenderung berada di pedalaman Generasi kedua adalah pendatang berikutnya dari wilayah kebudayaan yang lebih maju yang membawa pengetahuan baru yang mereka ini membentuk kerajaan-kerajaan di wilayah pantai. Lalu generasi terakhir yang berdatangan pada era VOC dari berbagai tempat, seperti orang Cina, orang Jawa dan orang Boegis. Antara satu sama lain penduduk yang berbeda generasi ini terjadi perkawinan campuran. Pola asal-usul penduduk ini tipikal untuk semua pulau di Indonesia.

Generasi kedua ini yang cenderung terjadi pada era Hindoe-Boedha yang kemudian disusul era penyebaran agama Islam (seperti Arab, Persia dan Moor). Gelombang pendatang yang awalnya berdagang lalu kemudian menetap (membentuk koloni) yang menyebabkan munculnya pusat-pusat perdagangan, kerajaan-kerajaan dan kesultanan0-kesultanan. Dari generasi kedua inilah kemudian penduduk generasi pertama belajar (meniru) untuk mebentuk kerajaan, Garis keturunan kerajaan inilah yang kemudian antargenerasi mempertahankan tradisi kerajaan-kesultanan sebagai golongan tertentu dari penduduk yang disebut bangsawan. Golongan inilah yang menjadi partner orang Eropa (Portugis Spanyol, Belanda dan Inggris) dalam membangunan kekuatan perdagangan yang kemudian bermetamorfosis membentuk (sistem) pemerintahan di Hindia Timur (yang menjadi cikal bakal Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Lantas bagaimana sejarah raja-raja di (pulau) Kalimantan? Sudah barang tentu sudah ada sejak jaman kuno. Namun bagaimana eksistensinya pada era kolonial Belanda? Ada pasang surut. Ada yang kerajaan melemah dan menghilang dan ada juga kerajaan yang tetap eksis dan terus tumbuh dan berkembang. Bagaimana itu semua terjadi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Radja-Radja di Kalimantan

Dalam Almanak 1849 dicatat nama-nama radja-radja di (pulau) Kalimantan mulai dari Soeltan yang diidentifikasi Yang Mulia (Zijne Hoogheid) hingga panembahan. Yang bergelar Zijne Hoogheid) de Soeltan terdapat di Bandjarmasin, Sambas, Pontianak, Pasir, Koetai dan Beraou (Goenoeng Tabor). Disebutkan Soeltan Bandjarmasin bertempattinggal di Martapoera.

Kotawaringin hanya disebut Radja (Vorst). Yang bergelar Penembahan terdapat di Landak, Mampawa, Simpang, Soekadana dan Mattan. Gelar Jang di Pertoan ada di Koeboe. Di kepulauan Karimata hanya disebut kepala (hoofd). Para pemimpin lokal ini dibedakan gelarnya disesuaikan situasi dan kondisi setempat dan perimbangan Pemerintah Hindia Belanda. Para pemimpin lokal ini mendapat gaji dari Pemerintah plus sumber-sumber pendapatan lainnya. Oleh karena catatan di Almanak maka daftar ini hanya yang berada di wilayah yurisdiksi Belanda saja (tidak termasuk di wilayah yurisdiksi Inggris di Borneo Utara).

Soeltan-Soeltan ini mengindikasikan wilayah masing-masing memiliki legitimasi tradisional sebagai kesultanan (kerajaan besar yang beragama Islam). Jumlahnya tidak banyak dan hanya enam. Sejak kapan menerima legitimasi kesultanan berbeda-beda dan siapa yang memberi legitimasi juga berbeda-beda. Jumlah ini sudah sangat jauh berubah jika dibandingkan situsi dan kondisi dua abad sebelumnya (awal kehadiran Belanda-VOC).

Berdasarkan Peta 1657 (Belanda-VOC) hanya tiga kerajaan yang ditandai sebagai kerajaan besar yakni Bandjarasin, Soeccadana dan Sambas. Dalam daftar tahun 1849 hanya Bandjarmasin dan Sambas tetap bertahan sebagai kerajaan besar. Kerajaan Soeccadana (Soekadana) diduga telah mernurun sehubungan dengan promosinya kerajaan Pontianak. Kerajaan-kerajaan lain yang promosi adalah Pasir, Koetai dan Beraou. Dalam Peta 1657 ketika Soeccadana dan Sambas sudah eksis sebagai kerajaan besar, nama Pontianak bahkan belum teridentifikasi. Dalam hal ini kerajaan Pontianak (yang sudah mendapat legitimasi kesultanan) dapat dibilang kerajaan yang baru muncul. Sementara itu dalam peta tersebut kerajaan Boernai (Broenei) masih terbilang kerajaan kecil. Meski demikian, nama kerajaan Boernai sudah eksis sejak era Portugis (yang menjadi identifikasi orang-orang Portugis menamai pulau dengan nama Borneo (lapal Portugis untuk Boernai)).

 

Setengah abad kemudian berdasarkan Peta 1724 kerajaan-kerajaan besar yang diidentifikasi tidak hanya Bandjarmasin, Soecadana dan Sambas, juga kerajaan Borneo (Boernai), Hermata, Landak, Lava dan Jathoe. Besar kecil posisi kerajaan relatif terhadap yang lain ditentukan oleh seberapa besar pengaruhnya secara politik (kekuasaan), ekonomi (perdagangan) dan keterkenalan (popularitas). Dalam peta ini nama Beraou belum teridentifikasi. Dalam peta ini juga diidentifikasi lokasi kerajaan Sambas telah bergeser lebih ke hulu. Besar dugaan pergeseran ini karena semakin kuatnya kerajaan Hermata di pantai. Kerajaan Hermata sesungguhnya sudah eksis sejak lama (paling tidak sudah diidentifikasi sebagai kerajaan pada Peta 1619).

Perubahan-perubahan yang terjadi pada setiap kerajaan-kerajaan dari waktu ke waktu tidak hanya ditentukan karena adanya pengaruh ekonomi (perdagangan) tetapi juga karena ada faktor politik yang menyebabkan peperangan yang berimplikasi hilangnya kerajaan di satu pihak dan munculnya kerajaan baru di pihak lain, Akibat peperangan ini juga dapat menyebabkan suatu kerajaan promosi menjadi kerajaan-kesultanan besar. Faktor kedekatan kerajaan-kesultanan dengan Belanda (Pemerintah VOC dan Pemerintah Hindia Belanda) menjadi faktor penting kerajaan-kesultanan terus eksis dan semakin dikenal.

Hingga pada tahun 1849 cabang pemerintahan di pulau Kalimantan masih terbatas. Adanya cabang pemerintahan diindikasikan ditempatkannya seorang Controleur pada tingkat yang paling rendah (kira-kira setingkat kabupaten pada masa ini). Seluruh pulau Kalimantan (yurisdiksi Belanda) dikepalai seorang gubernur (Governement van Borneo en Onderhoorigheden) yang berkedudukan di Batavia. Seorang Residen (Residentie Zuid en Oostkust van Borneo) berkedudukan di Bandjarmasing. Masing-masing Asisten Residen ditempatkan di Pontianak dan di Sambas. Residentie Zuid en Oostkust van Borneo terdiri dari Bandjarmasin, Koetai en de Oostkust van Borneo dan Kotawaringin en de Zuidkust van Borneo. Bandjarmasin sendiri terdiri dari distrik-distrik Tanah Laoet, Bacompaij en Doesoen dan Poelo Petak en Kahajan dimana masing-masing ditempatkan pejabat atau posthouder plus lanskap-lanskap Schans van Tuijll dan Kween. Sementara wilayah Pontianak terdiri dari lanskap-lanskap Landak, Soekadana, Mampawa dan Taijan. Hanya di Landa ada pejabat setingkat posthouder. Di Koetai en de Oostkust van Borneo sudah ditemopatkan seorang pejabat dan Kotawaringin en de Zuidkust van Borneo beberapa pejabat. Dalam Almanak 1827 hanya ada pejabat di Bandjarmasin, Pontianak dan Sambas. Saat ini salah satu pejabat yang ditempatkan di Bandjarmasing membidangi wilayah Zuid dan Oostkust van Borneo.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Hubungan Radja-Radja dengan Pemerintah Hindia Belanda dan Pengebangan Penduduk Asli Kalimantan

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar