Rabu, 07 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (10): Sejarah Orang Cina di Borneo; Populasi Orang Cina di Kalimantan Hasil Sensus Penduduk 1930

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Barat di blog ini Klik Disini

Begitu dekat Tiongkok (China) dengan pulau Borneo (Kalimantan). Sedekat itulah hubungan orang-orang Cina di berbagai tempat di pulau Kalimantan. Dalam hal ini, pulau Kalimantan adalah salah satu tujuan migrasi orang-orang Cina di Hindia. Orang-orang Cina yang bermigrasi ke pulau Kalimantan sejak lama, kemudian banyak yang menyebar ke berbagai tempat di Hindia seperti di Jawa dan Sumatra.

Kehadiran orang-orang Tiongkok ke Jawa dan Sumatra bukanlah baru, bahkan sudah sejak jaman kuno. Kehadiran mereka bahkan sudah uncul secara masif pada awal terbentuknya kesultanan (kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa). Ada penulis yang menyebutkan beberapa diantara Wali Songo di Jawa memiliki nama Tiongkok. Pada era Portugis, orang-orang Mandarin (istilah China dari Inggris belum muncul) adalah orang-orang Tiongkok yang banyak ditemukan di berbagai tempat seperti di pantai timur Sumatra dan seputar pulau Borneo. Migrasi ini semakin masif ketika Portugis membuka cabang perdagangan di Macao. Migrasi orang-orang China di era VOC semakin meningkat lagi hal ini karena pedagang-pedagang VOC sudah sampai ke kota-kota pantai di timur Tiongkok dan bahkan Jepang. Puncak kehadiran orang China di Batavia menyebabkan terjadi peberontakan orang-orang Cina yang menimbulkan kerusuhan pada tahun 1740 dimana dalam kerusuhan ini diperkirakan sebanyak 10.000 orang Cina meninggal (oleh militer VOC).

Sejarah kehadiran orang-orang Cina di pulau Kalimantan menjadi menarik untuk diperhatikan tentu saja bukan karena faktor kedekatan jarak, akan tetapi lebih dari itu. Pemberontakan orang-orang Cina tidak hanya di Batavia dan sekitar (1740) tetapi juga pernah terjadi di pantai barat Kalimantan pada tahun 1821. Dalam sensus penduduk tahun 1930 jumlah orang Cina di Kalimantan terbilang signifikan. Bagaimana itu semuanya terjadi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pemberontakan Orang Cina di Pantai Barat Kalimantan

Konrak-kontrak Pemerintah VOC dengan para pemimpin lokal (kerajaan atau kesulatanan) sejak masa lampau menjadi dasar legitimasi untuk menentukan wilayah yurisdiksi Belanda dan wilayah yurisdiksi Inggris. Pada saat terjadi pendudukan Inggris di Jawa pada tahun 1811, praktis hanya wilayah Bengkoelen yang secara tradisional menjadi wilayah yurisdiksi Inggris. Sebelum pendudukan Jawa dan Madoera, wilayah lainnya sudah dikuasai Inggris kecuali Ternate. Dengan dikuasainya Jawa (dan Madoera) Inggris lebih fokus di Jawa dan kurang memperhatikan wilayah lain kecuali di Macassar, Bandjarmasin, Timor dan Palembang. Di empat wilayah luar Jawa ini masing-masing ditempatkan seorang Residen (lihat Almanak 1815).

Pada tahun 1816 terjadi peralihan kekuasan di Hindia dari Inggris dan dikembalikan kepada Belanda (Pemerintah Hindia Belanda). Dalam fase awal transisi ini Pemerintah Hindia Belanda meneruskan pemerintahan di tempat-wilayah dimana sebelumnya Inggris menempatkan pejabat-pejabatnya. Penambahan cabang pemerintahan yang pertama dilakukan pasca Inggris ini pada tahun 1819 adalah di pantai barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) dengan ibu kota di Tapanoeli. Setelah orang-orang Inggris di Padang bergeser dan memusat di Bengkoelen, ibu kota pantai barat Sumatra dipindahkan dari Tapanoeli ke Padang pada tahun 1821. Namun terjadi resistensi dengan adanya perlawanan kaoem Padri di Padangsche Bovenlanden. Untuk mengatasinya Pemerintah Hindia Belanda mengirim ekspedisi militer tahun 1822 di bawah pimpinan Luitenant Kolonel Raaf. Sejak inilah bermula Perang Padri (dan berakhir tahun 1838).

Bersamaan dengan perlawanan kaoem Padri di Padangsche Bovenlanden yang mana ekspedisi militer dilakukan tahun 1822, terjadi pemberontakan orang-orang Cina di pantai barat Kalimantan. Boleh jadi Pemerintah Hindia Belanda kaget dan tidak menduga yang seakan teringat pada tahun 1740 dimana di Batavia orang-orang Cina melakukan pemberontakan (yang menyebabkan sekitar 10.000 orang Cina tewas di tangan militer). Untuk mengatasi pemberontakan orang-orang Cina di pantai barat Kalimantan dikirim suatu ekspedisi militer tahun 1821 di bawah komisaris JH Tobias dan komandan militer Luitenant Kolonel de Stuers (lihat juga Almanak 1849). Bagaimana hasilnya? Yang jelas sejak inilah Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan di pantai barat Kalimantan (bukan faktor Inggris seperti di pantai barat Sumatra tetapi karena faktor orang-orang Cina di pantai barat Kalimantan).

Wilayah Hindia Belanda begitu luas, sangat luas sehingga Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang-cabang pemerintahan membutuhkan waktu yang lama. Sementara militer terus bekerja di pantai barat Sumatra (melawan Padri) terjadi dialog antara Inggris dan Belanda soal Bengkoelen. Lalu dilakukan perjanjian tukar giling antara Bengkoelen (Inggris) dengan Malaka (Belanda) pada tahun 1824. Dengan demikian Inggris terbebaskan di seluruh Sumatra dan Inggris yang saat itu berpusat di Penang dan Singapoera plus Malaka mulai menguasai seluruh wilayah Semenanjung Malaka. Pulau Kalimantan sendiri secara keseluruhan masih di bawah yurisdiksi Belanda.

Situasi yang lebih kondusif di Bandjarmasin dan pasca ekspedisi militer di pantai barat Kalimantan, Pemerintah Hindia Belanda lebih memfokuskan perhatian ke pantai barat Kalimantan. Di Bandjarmasin tempat kedudkan Residen, cabang pemerintahan baru diinisiasi sebatas di Tabanio dengan menempatkan seorang Luittenant Satu. Tampaknya pembentukan cabang pemerintahan di Zuid en Oostkust van Borneo yang berpusat di Bandjarmasing ditunda untuk sementara.

Cabang-cabang pemerintahan yang segera dibentuk di pantai barat Kalimantan dipimpin oleh seorang pejabat setingkat gubernur untuk Westkust van Borneo (yang berkdudukan di Batavia) yang mana untuk posisi Resident van Pontianak en Mempawa ditempatkan (berkedudukan) di Pontianak. Posisi Residen juga ditempatkan di Sambas. Di wilayah Residentie Pontianak en Mampawa juga diangkat seorang Asisten Residen Pontianak en Mampawa yang juga berkedudukan di Pontianak. Di Mampawa dan di Sintang ditempatkan masing-masing pejabat dengan pangkat Luitennt Satu. Luasnya cabang pemerintahan di pantai barat Kalimantan ini mengindikasikan besarnya pengaruh orang-orang Cina sehingga harus diimbangi dengan jumlah pejabat yang cukup banyak. Hingga tahun 1827 (saat tengah menigginya suhu politik di Djogjakarta dalam Perang Jawa) cabang Pemerintah Hindia Belanda terluas di luar Djawa dan Madoera terdapat di pantai barat Suatra dan disusul pantai barat Kalimantan. Tampaknya Pemerintah Hindia Belanda masih tetap menganggap Inggris dan orang-orang Cina sebagai ancaman laten (lebih-lebih hubungan politik antara Inggris dan Tiongkok saat ini sangat baik). Dalam hal ini muncul pertanyaan: apakah pemberontakan orang-orang Cina di pantai barat Kalimantan di belakangnya berada Inggris? Apakah kegagalan pemberontakan Cina di pantai barat Kalimanantan yang mengalihkan target Inggris ke wilayah Borneo Utara?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Orang Cina di Pulau Kalimantan: Hasil Sensus Penduduk 1930

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar