Rabu, 04 November 2020

Sejarah Kalimantan (57): Sejarah Benteng Schans van Thuijll Bandjarmasin (Benteng Tatas); Benteng Tabanio, Benteng Kween

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Selatan di blog ini Klik Disini

Benteng dibangun ada keperluannya. Benteng-benteng di Indonesia umumnya dibangun pada era VOC. Hal itu karena kekuatan koloni berada di dalam benteng. Namun pada era Pemerintah Hindia Belanda, benteng sebagai pertahanan digantikan dengan pendirian garnisun-garnisun militer. Meski demikian ada beberapa benteng yang dimanfaatkan sesebagai garnisun militer dan juga ada benteng baru didirikan karena alasan tertentu seperti di Banjarmasin. Benteng pertama dibangun Belanda adalah benteng Asterdam di pulau Ontong Jawa sebelum Kasteel Batavia dibangun 1619.

Sebelum pemerintah VOC membangun Kasteel Batavia, sudah ada sejumlah benteng yang dibangun oleh Portugis. Benteng Voctoria di Amboina direbut Belanda pada tahun 1605. Dari benteng inilah benteng-benteng Portugis direbut oleh Belanda, seperti benteng di Banda dan benteng di Coupang (Timor) tahun 1613. Belanda juga mebangun benteng baru seperti benteng Amsterdam. Setelah Kasstel Batavia benteng-benteng baru semakin banyak yang dibangun, mulai dari seputar Batavia, pantai barat Sumatra, Jawa, Celebes hingga Borneo di Tabanio.

Bagaimana sejarah benteng di pulau Borneo? Rencananya diulai di muara sungai Tabanio, tetapi realisasinya di Bandjarmasin. Benteng ini namanya Schans de Tuijl, kini lebih dikenal sebagai benteng Tatas. Mengapa benteng dibangun di Bandjarmasin sementara situasi dan kondisinya sudah era garnisun? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Benteng Schans de Thuijl Bandjarmasin: Majoor Nahujs, 1819

Di Kota Banjarmasin pada masa ini ada kelurahan namanya Mantuil. Lalu apakah itu nama yang merujuk pada nama benteng, tepatnya pos militer Belanda tempo doeleoe: Schans de Thuijl. Boleh jadi benar. Karena posisi GPS pos Schans de Thuijl tempo doeloe berada di kelurahan ini. Namun yang menjadi pertanyaan mengapa nama pos ini begitu melekat pada warga Banjarmasin? Ok itu satu hal. Hal lain yang lebih penting tentang sejarah benteng Schans de Thuijl

Banjarmasin silih berganti oleh Belanda dan Inggrsi. Pada tahun 1619 Belanda meninggalkan Borneo karena empat pelautnya terbunuh. Orang Belanda pertama ke Borneo adalah Oliver Noort tahun 1601. Pada tahun 1705 orang Inggris tersusir dari Banjarmasin. Lalu pada tahun 1711 Belanda (VOC) menjalin kontak dengan kesultanan Bandjarmasin. Pada tahun 1741 VOC membangun benteng di Bandjar masin. Ini juga sesuai dengan dipindahkannya ibu kota dari Bandjarmasin ke Martapoera. Pada tahun 1777 VOC memperluas, terutama di Pontianak. Pada tanggal 6 Juli 1779, Pemerintah VOC membuat kesepakatan dengan Soeltan Bandjarmasin. Salah satu poin dalam perjanjian ini perihal tentang pembangunan benteng di Tabanio. Implementasi pembangunan benteng ini tahun 1780 dikirim Carl Friedrich Reimer untuk melakukan survei, pengukuran dan pembuatan desain awal. Namun desain benteng yang sudah dibuat ini tidak pernah direalisasikan. Besar dugaan karena politik yang terjadi Eropa dimana Belanda diduduki Prancis yang kemudian Prancis mengambil alih Jawa pada tahun 1795. Lalu pada tahun 1811 Jawa diduduki Inggrsi dan pada tahun 1812 mengambilalih Bandjarmasin.

Pada tahun 1816 Jawa dikembalikan kepada Belanda (Pemerintah Hindia Belanda) setelah sempat diduduki oleh Inggris. Bandjarmasin yang dikuasai Belanda dan ditaklukkan Inggris pada tahun 1812 juga diambilalih Belanda di bawah Komisaris J Boekholtz pada tahun 1816. Namun kehadiran (Pemerintah Hindia) Belanda mendapat residentensi yang mengakibatkan pada tahun 1818 terjadi perselisihan di Banjarmasin. Untuk mengatasinya kembali dikirim Komisaris J Boekholtz dan kemudian digantikan Majoor Nahujs. Pada saat situasi inilah benteng atau pos militer dibangun di Bandjarmasin. Pada tahun 1819 Majoor Nahuijs dipindahkan ke Soeracarta. Posisi Majoor Nahuijs kemudian digantikan oleh seorang sipil Roesler.

Pos militer Majoor Nahujs inilah yang disebut Schans de Thuijl. Pos militer ini secara alamiah sudah berbentuk benteng, dikelilingi air sungai Banjarmasin dan sungai Martapoera. Posisinya sangat strategis berada di pintu gerbang dekat ke laut yang berawa-rawa, sebagai jalur escape sebagaimana umumnya benteng-benteng VOC-Belanda dibangun di sekitar muara sungai seperti di muara sungai Tjiliwong (Kasreel Batavia, 1619), di muara sungai Semarang (Fort Semarang, 1705) dan di muara sungai Soerabaja (Fort Soerabaja, 1706). Pos militer Majoor Nahujs ini pada dasarnya sudah menjadi area pos perdagangan Belanda sejak era VOC (sejak 1711). Area ini sebelumnya adalah ibu kota kerajaan sebelum relokasi ke Martapoera.

Namun dalam perkembangannya, benteng Schans de Thuijl oleh Pemerintah Hindia Belanda dianggap beresiko karena keungkinan bajak laut datang dari laut. Secara internal posisinya memadai dan strategis tetapi secara eksternal lokasinya yang berada di dalam uara sungai kurang fleksibel untuk pergerakan ke pantai barat maupun pantai timur Borneo. Desain benteng Tabanio yang dulu sudah dibuat dibuka kembali. Pembangunan benteng Tabanio menjadi relevan lebih-lebih setelah terjadinya pemberontakan Cina di pantai barat Borneo tahun 1821 (yang mana dikirim komisaris JL Tobias dan Overste de Stuers). Posisi strategis benteng Tabanio akan terhubung dengan benteng Rotterdam (di Makassar) dan benteng Amsterdam (Manado). Tabanio menjadi pelabuhan baru (lihat Utrechtsche courant, 17-03-1824).

Pada tahun 1827 terjadi pemberontakan kesultanan Matan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya dikirim kapal perang HM Dibbets dan berhasil diatasi bulan September 1828. Pada bulan November terbit resolusi bahwa orang yang berasal dari Jawa dilarang ke Borneo (pada saat ini terjadi suhu yang meningkat dalam Perang Jawa). Boleh jadi larangan ini atas rekomendasi Overste Nahujs yang saat ini adalah Resden Jogjakarta,

Sejak pemberontakan di Matan, situasi dan kondisi mulai kondusif. Pusat Belanda kembali ke Bandjarasin. Dalam fase ini hubungan Soeltan Bandjarmasinn dan Pemerintah Hindia Belanda semakin mesra. Posisi Soeltan Bandjarmasin ditinggikan menjadi Soesoehonan di pulau Borneo. Kapal-kapal perang Pemerintah Hindia Belanda mulau melakukan banyak patroli dari ujung ke ujung dari Tandjong Datoe di barat hingga pulau Sebatik di timur. Soeltan Sambas belum koperatif demikian juga sultan-sultan di pantai timur. Hal itulah sebab dibangun benteng (fort) di Sambas dan di Tabanio.

Pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda sendiri di pulau Borneo sudah dimulai pada tahun 1826 sehubungan dengan reorganisasi cabang pemerintahan di seluruh Hindia Belanda (lihat Bataviasche courant, 22-11-1826). Di Bandjarmasin berkedudukan Residen yang juga merangkap untuk Martapura (tempat kedudukan Soeltan). Asisten Residen di Tatas. Pejabat setingkat Controleur di Marabahan dan di Tabanio.

Dalam fase ini Soeltan Bandjarmasin di Martapoera dianggap sebagai partner strategis Pemerintah Hindia Belanda (karena sudah pernah terhubung sejak lama) yang menjadi pemegang legitimasi dalam pemerintahan Hindia Belanda di pualu Borneo khususnya di wilayah Zuid en Oostkust van Borneo, seperti halnya Soesoehoenan di Soeracarta.

Dalam upaya untuk menjaga jalannya cabang pemerintahan yang baru di pulau Borneo, dan masih tingginya ancaman bagi orang-orang Eropa, Pemerintah Hindia Belanda memperkuat pertahanan di Schans van Thuijll dan merealisasikan benteng Tabanio dan membangun garnisun kecil di Marabahan. Lokasi benteng Tabanio tampaknya sedikit bergeser ke arah pedalaman (jika dibandingkan dengan desai awal yang dibuat pada tahun 1779). Garnisun militer di Marabahan dirancang seperti mirip benteng (setengah benteng yang disebut redoute). Pembangunan redoute Marabahan dan pembangunan benteng Schans van Thuijll tampaknya dimaksudkan untuk mengawal ibu kota (Banjarmasin) di sepanjang sungai Bandjarmasin baik dari hilir maupun dari hulu. Adanya dua benteng akan membuat ibu kota kesultanan Bandjarmasin di Martapoera lebih aman, tetapi posisi kraton Bandjarmasin sendiri terjebak seakan terkurung diantara orang Eropa. Dalam pembangunan benteng (Fort) Tabanio boleh jadi dimaksudkan untuk melindungi kawasan perairan pantai selatan ke arah barat dan ke arah timur juga dimaksudkan untuk melindungi ibu kota Martapoera. Akan tetapi pembangunan benteng Tabanio ini juga membuat Soeltan terjebak di Martapoera.Kelak dari Tabanio dirintis jalan darat ke Martapoera dan Pelaihari. Peta 1835

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Benteng di Indonesia: Benteng-Benteng di Kalimantan

Pada tahun 1850 posisi kekuatan militer Peerintah Hindia Belanda hanya terdapat di pantai selatan dan pantai barat yang berpusat di Bandjarmasin dan di Pontianak dimana masing-masing berkedudukan Residen. Posisi garnizoen militer terdapat di Pontianak dan di Bandjarmasing (lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indie voor 1851).

Selain dua garnizoen militer tersebut (semacam Kodam pada masa ini), juga terdapat benteng (fort) di Tabanio, pos militer (redoute) di Marabahan dan kampement di Schans van Thuijl. Redoute Marabahan juga disebut benteng Kween, Benteng lainnya terdapat di Sambas dan kampement di Sambas. Benteng memiliki spesifikasi khusus yang berbeda dengan garnizoen (markas militer). Benteng memiliki tembok pengaman yang kuat dan dilengkapi dengan bastion. Redoute berada di bawah benteng (Fort). Benteng di bangun di wilayah yang memiliki ancaman tertinggi. Peta 1861

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar