Jumat, 08 Januari 2021

Sejarah Banten (6): Banten Zaman Kuno, Nama Banta Era Hindu dan Surosowan Era Zaman Islam; Banten Kuno, Banten Girang

 

*Untuk melihat seluruh artikel Sejarah Banten, klik Disini

Apalah arti sebuah nama, demikian William Shakespeare (1564-1616). What's in a name? Sekarang kita putar jarum waktu jauh di masa depan (pada masa kini). Apalah arti sebuah nama. Nama suatu kampong di pinggir Kota Serang. Kampong itu disebut Banten Girang, masuk wilayah desa Sempu, Kota Serang. Girang dalam bahasa Sunda adalah hulu, atas atau udik.

Banten zaman kuno, tidak berbicara Banten zaman modern (kerajaan-kesultanan). Nama Banten Girang diduga muncul pada era Banten modern setelah terbentuknya kota pelabuhan di muara sungai Tjibanten (Surosowan). Ditambahkan nama ‘girang’ upada nama Banten ntuk membedakan dengan nama Banten di wilayah hilir di daerah aliran sungai Tjibanten (sungai atau tji Banten). Dari kota pelabuhan inilah Hasanoeddin (van Gunung Jati atau Cirebon) menyiarkan agama Islam di wilayah Hindoe di Banten (yang berpusat di Banten Girang yang sekarang). Nama sungai Tjibanten di hilir disebut sungai Karang Antoe, seperti halnya sungai Jacatra (Tjiliwong), sungai Tangerang (Tjisadane), sungai Bekasi (Tjilengsie) dan sungai Karawang (Tjitaroem). Nama sungai Karang Antoe (merujuk pada nama tempat Karang Antoe). Sungai Tjibanten sendiri berhulu di gunung Karang (dekat gunung Pulosari).

Seperti apa gambaran zaman kuno wilayah Banten? Tentu saja orang masa kini hanya mengetahui nama Banten Girang. Hal ini karena di kawasan tersebut pernah ditemukan sisa benda kuno. Namun dalam hal ini, tidak hanya soal Banten Girang tetapi lebih luas dan lebih jauh ke zaman kuno. Apa pentingnya hal itu dikaji? Karena itulah awal sejarah Banten. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Banten: Era Hindoe

Pada masa ini, nama-nama geografis sejak era Boedha-Hindoe, banyak yang masih eksis. Terutama di pulau Sumatra dan pulau Jawa banyak yang merujuk pada nama India. Nama-nama Sunda (Zunda), Tangerang (Tangaram), Tjisadane (Sadana) dan Banten (Banta) diduga kuat merujuk pada nama-nama di India.

Nama Zunda dalam buku Mendes Pinto (1547) sudah disebut. Zunda yang diaksud adalah pelabuhan di muara sungai Tjiliwong. Nama Zunda juga dijadikan sebagai nama selat antara pulau Sumatra dan pulau Jawa. Pada era VOC, penulisan nama dengan Zunda masih dilakukan (lihat Daghregister, Kasteel Batavia). Mendes Pinto menulis nama Banten dengan Banta. Akan tetapi nama Banta telah bergser menjadi Bantam pada era VOC sebagaimana Tangara (di era Portugis) telah bergser menjadi Tangarang atau Tangerang.

Tidak hanya nama tempat Banta (yang juga menjadi nama sungai), nama gunung Karang juga merujuk pada nama India, Di wilayah Banten yang sekarang dua nama ini terhubung. Sungai Banta (Tji-Banten) berhulu di gunung Karang, ke hilir di laut (teluk) melalui kota Banta. Kota Banta ini di zaman kuno diduga tepat berada di kampong Banten Girang yang sekarang.

Secara teoritis, di zaman kuno, orang-orang India berlayar ke Sumatra dan Jawa untuk berdagang dengan penduduk asli. Pedagang-pedagang India membawa produk industri seperti kain, garam dan besi yang ditukar dengan produk alami dari penduduk asli seperti kemenyan, kampers, emas, gading, kulit hewan dan sebagainya. Diantara para pedagang-pedagang India ini kemudian terlibat produksi dengan penduduk asli. Interaksi pendatang (India) dan penduduk asli menyebabkan orang-orang India membuat koloni, tidak hanya di kota-kota pantai tetapi juga jauh ke pedalaman. Tipikal koloni India ini di Sumatra berada di dekat danau-danau pegunungan seperti Takengon, Toba, Siais, Maninjau, Singkarak, Kerinci dan Ranau. Nama-nama danau ini semuanya merujuk pada nama India. Demikian juga nama-nama gunung dan nama-nama sungai. Di pulau Jawa hampir tidak ada danau pedalaman, namun untuk tempat koloni dipilih pada suatu daerah aliran sungai, di dataran tinggi yang tidak jauh dari gunung. Pola ini tipikal di Jawa, seperti halnya di Banten Girang yang sekarang. Dalam hal ini kawasan Banten Girang yang sekarang salah satu koloni India di daerah aliran sungai (yang mengalir ke teluk). Di dalam koloni-koloni inilah orang-orang India dan penduduk asli mengembangkan peradaban yang disesuaikan dengan lingkungan alam. Satu sisa peradaban kuno yang masih eksis hingga ini hari adalah aksara dari penduduk asli di pulau Jawa (Jawa dan Sunda) dan di Sumatra (Lampong, Komering, Kerinci, Miangkabao pra Pagaroejoeng, Batak dan Gayo) yang mirip satu sama lain (lihat Uli Kozok). Tentu saja masih ada sisa peradaban fenomenal seperti candi di Jawa dan candi di Sumatra (Padang Lawa, Tapanuli dan Muara Takus, Bangkinan). Melalui peradaban baru ini di tengah penduduk asli (era Boedha-Hindoe) selama berabad-abad khususnya Jawa dan Sumatra terhubung dengan India melalui perdagangan.

Salah satu puncak peradaban pada era Hindoe ini di Jawa bagian barat (penduduk asli Soenda) dan terbilang yang terakhir adalah supremasi Kerajaan Pakwan-Padjadjaran. Area kerajaan ini berada di titik singgung terdekat antara sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane (Kota Bogor yang sekarang). Supremasi Pakwan-Padjadjaran ini meliputi seluruh Jawa bagian barat, termasuk kawasan Banten Girang yang sekarang. Pelabuhan utama adalah Zunda di muara sungai Tjiliwong. Pelabuhan-pelabuhan yang lebih kecil menjadi feeder, seperti pelabuhan di muara sungai Tjibanten (Karang Antoe), di muara sungai Tjidoerian (Tanara), di muara sungai Tjisadane (Tangerang), di muara sungai Tjilengsi (Bekasi), di muara sungai Tjitaroem (Karawang) dan yang lainnya seperti di Indraajoe dan Chirebon.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Transformasi Banten Menjadi Surosowan (Era Islam)

Sejak era Portugis, pelabuhan Banten sudah tumbuh menjadi pelabuhan besar. Kapal-kapal Portugis berlabuh di teluk Banten, termasuk kapal Mendes Pinto pada tahun 1547. Pada peta yang dibuat  Cornelis Claesz (1596) mengindikasikan kota pelabuhan Banten sebagai kota yang sangat ramai. Lingkungan kraton dibatasi oleh kanal dan pagar dengan area perdagangan di sisi timur lingkungan kraton. Namun tidak diidentifikasi apa yang menjadi nama kraton. Dalam perkembanganya diketahui perselisihan antara kerajaan Banten dengan Portugis yang mengakibatkan terjadi pertempuran di teluk (1614). Pada saat terjadi pertempuran ini skuadron Belanda sedang berada di teluk.

Satu yang penting pada fase pertempuran ini Willem Lodewijcksz, pelaut Belanda membuat sketsa dan pemetaan wilayah. Untuk sekadar catatan, saat itu Belanda sudah berbasis di Amboina, dimana pada tahun 1605 Belanda mengusir Portugis dari Amboina. Kehadiran Belanda di teluk pada saat terjadi pertempuran antara Banten dan Portugis mengindikasikan dalam posisi wait and see. Dalam salah satu peta yang dibuat Willem Lodewijcksz (yang dibantu oleh Pedro de Tayde, seorang Portugis di Banten), posisi kraton Surosowan tidak berada di kota (pelabuhan) Banten, tetapi jauh di pedalaman yang diduga berada di Banteng Girang yang sekarang. Pertanyaannya apakah kraton telah relokasi dari kota pelabuhan ke pedalaman?

Dalam peta yang dibuat Willem Lodewijcksz (1614) posisi (kraton) Surosowan berada di di pedalaman. Ada indikasi sejak kehadiran Hasoenoedin (putra Sunan Gunung Jati) di Banten, kraton Surosowan tetap berada di pedalaman (di wilayah Banten Girang, Banten kuno). Yang berada (selalu) di kraton di kota pelabuhan Banten adalah seorang pangeran (Banten).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar