*Untuk melihat semua artikel Sejarah Museum dalam blog ini Klik Disini
Sejarah kuno selalu penuh teka-teki. Hal yang paling pokok mengapa demikian karena kurang tersedianya data yang lengkap dan akurat. Sebab lain karena pendekatan analisis yang digunakan bersifat parsial tidak keseluruhan (total) dalam arti data dari aspek lain tidak disertakan dalam analisis. Celakanya, interpretasi dari hasil analisis tidak mencerminkan fakta yang sesungguhnya. Itulah gambaran umum tentang narasi sejarah kuno, narasi sejarah yang terus direvisi (jika ditemukan fakta dan data baru).
Lantas bagaimana sejarah candi di Padang Lawas? Pada era Republik Indonesia upaya ini baru dilakukan secara komprehensif bersamaan dengan upaya rehabilitasi yang dilakukan pada situ-situs candi yang terdapat di Padang Lawas. Namun yang tetap menyisakan pertanyaan adalah mana yang lebih awal eksis pusat Budha di Palembang atau pusat Budha di Panai. Pusat Budha Panai berada di arah hulu daerah aliran sungai Baroemoen (kini kabupatyen Padang Lawas di Tapanoeli). Okelah, mari kita pelajari kembali. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Pusat Budha: Percandian di Padang Lawas, Tapanoeli
Jauh sebelum situs kuno Palembang ditemukan, pada tahun 1841 Dr FW Junghuhn meneukan dan melaporkan keberadaan situs kuno berupa candi di wilayah Padang Lawas, Tapanoeli (hulu daerah aliran sungai Baroemoen). Salah satu situs candi Padang Lawas sudah dipublikasikan oleh pelukis terkenal Rosenberg (1857). Namun keberadaan candi ini hanya direspon sebagai pengetahuan umumnya tanpa pernah direspon lebih lanjut. Para pemerhati kepurbakalaan dan peneliti sejarah termasuk arkeolog hanya tetap fokus tentang situs-situs kuno di Jawa (penemuan Boroboedoer dan Prambanan).
Fokus penyelidikan situs kepurbakalaan di Jawa oleh orang-orang Belanda di Jawa yang tergabung dalam Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia (lembaga ilmu pengetahuan) tampaknya sulit menggerakkan pandangan ke Sumatra. Bahkan surat seorang peneliti Inggris, S. Beal pada tahun 1887 yang ditujukan kepada lembaga di Batavia tidak digubris. S Beal Sinoolog yang telah lama melakukan riset di Tiongkok dalam suratnya menyatakan telah menemukan arah suatu kekaisaran besar yang letaknya menuju sungai Moesi dimana kota Palembang berada. Lebih lanjut Beal menyatakan bahwa ia sampai pada kesimpulan bahwa sebuah kota Hindu yang besar pastilah berada di lokasi Palembang yang sekarang. Dalam surat itu juga Beal bertanya apakah Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tertarik untuk memulai penyelidikan di ibukota Palembang untuk menyelidiki kemungkinan sisa-sisa pusat yang kekaisaran yang kuat tersebut.
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia telah membuat keputusan yang sangat keliru. Sebab pada tahun 1920 Mr LC Westenenk, Residen Palembang mengumumkan penemuannnya di Bukit Sigoentang menemukan puing-puing patung Budha yang bertarih 684 M (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1920).
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1920: ‘Residen Westenenk mengumumkan kemarin menemukan dimana Palembang memiliki inscriptie (tulisan kuno) Hindoe sebanyak tujuh belas catatan dan tidak rusak. Tulisan kuno ini menunjukkan kemiripan yang sangat besar dengan tulisan di Kota Kapoar di Banka dan karena itu mungkin sudah berusia lebih dari sepuluh abad. Ini adalah prasasti Hindoe Melayu pertama yang ditemukan di Sumatera Selatan’.
Batavia geger. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen kecolongan. Berbagai media (bahkan juga media di Belanda) menyindir kita kehilangan waktu 30 tahun studi untuk memperluas pengetahuan kita tentang Sriwidjaja. Disebut kehilangan waktu 30 tahun karena S Beal pada tahun 1887 telah mendorong peneliti-peneliti untuk melakukan penyelidikan di Palembang. Sindiran ini seakan mencemooh bahwa kembali Inggris selalu lebih maju selangkah di depan dari Belanda.
Mr LC Westenenk (Residen Palembang 14 Mei 1920 - 25 Mei 1921), bukanlah seorang peneliti apalagi bukan seorang arkeolog. Mr LC Westenenk hanyalah pejabat pemerintah yang memiliki perhatian terhadap perihal kepurbakalan. Media menyindiri mungkin untuk mengolok-olok dimana berada para peneliti dan para arkelolog Belanda selama ini. Peneliti terkenal Inggris S Beal telah diabaikan oleh peneliti Belanda dan temuan Mr LC Westenenk seorang awam justru membuat gempar dunia ilmu pengetahuan Belanda. Dalam hal ini head to head peneliti Belanda kalah cepat dibandingkan Inggris.
Surat S Beal itu sesungguhnya telah menjadi isu di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, namun entah bagaimana surat S Beal ini kembali masuk laci. Pembicaraan surat S Beal baru intens setelah Mr LC Westenenk melaporkan penemuannya (1920).
Langkah inilah yang kemudian memunculkan gagasan pendirian Pusat Kepurbakalan di Palembang (bukan di Jawa). Pusat kepurbakalaan ini akan menjadi pusat kajian dalam penyelidikan lebih lanjut situs-situs tua di Palembang, Bangka, Padang Lawas dan berbagai tempat dimana akan ditemukan situs baru di Sumatra. Orang yang ditempatkan di pusat kepurbakalaan yang baru ini adalah seorang arkeolog bernama FM Schnitger.
Menurut NJ Krom dalam bukunya Hindoe-Javaansche Geschiedenis (1926) hanya tiga kompleks candi di Sumatra yakni Palembang, Muara Takus (Riau) dan Panai (Padang Lawas). Tiga daerah ini jauh mendahului dari semua tempat di Sumatra, seperti Lamuri di Aceh, Malaka dan Pagaruyung. Dari spesimen makara yang terdapat di candi Padang Lawas menurut Krom, tidak hanya lebih tua (dari candi Melayu di Muara Takus) tetapi juga menunjukkan Panai (Padang Lawas) lebih makmur pada abad kesebelas. Keberadaan Panai tercatat dalam prasasti Tanjore, 1030. Urutan keberadaan tempat-tempat penting di Sumatra (lihat Krom, 1926) adalah sebagai berikut: Sriwijaya di Palembang, kemudian Panai di muara sungai Baroemoen dan selanjutnya Jambi (dan dihulunya muncul kemudian Muara Takus).
Pada tahun 1935, Schnitger melakukan beberapa minggu penelitian di Palembang (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-02-1935). Disebutkan Schnitger menemukan artefak dan candi-candi yang berasal dari abad ke-13 dan 14. Tidak lama kemudian FM Schnitger, Kepala Pusat Kepurbakalan Sumatra di Palembang, mendapat laporan adanya candi yang lebih tua di Simangambat, Siaboe (dekat Padang Lawas). Schnitger kaget luar biasa dan bergegas dari Palembang datang ke Siaboe untuk mengkonfirmasi keberadaan candi Simangambat. Tanpa pikir panjang, FM Schnitger dan tim langsung melakukan ekskavasi terhadap candi Simangambat dan laporannya dipublikasikan pada bulan Juni 1935 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-06-1935 dan Bataviaasch nieuwsblad 05-06-1935).
Keberadaan candi di Simangambat boleh jadi merupakan garis continuum kehadiran orang-orang India selatan di Sumatra: Baros, Siaboe dan Padang Lawas. Sebagaimana diketahui, kota tertua di nusantara yang pernah tercatat adalah Baros (konon sudah dikunjungi oleh orang-orang Mesir kuno, jaman prasejarah). Koloni orang-orang India selatan di Baros besar kemungkinan adalah orang-orang India selatan yang melakukan migrasi setelah mengetahui banyak penduduk lokal di sekitar sungai Batang Angkola di Siaboe mengusahakan tambang emas (pertambangan emas masih ditemukan hingga ini hari).
Pelabuhan Panai berkembang setelah era pelabuhan kuno, Baros memudar. Dengan kata lain pusat-pusat perdagangan dari pantai barat Sumatra (di Baroes) telah bergeser ke pantai timur Sumatra dimana Palembang dan Panai menjadi pelabuhan penting. Meski demikian, keberadaan penduduk Batak dalam mengusahaan produk-produk alamiah (kemenyan, benzoin dan kamper) tetap sentral. Pelabuhan Panai (di hulu sungai Baroemoen atau sungai Batang Pane) didukung oleh bandar-bandar kecil di hulu sungai Baroemoen, tempat dimana pedagang-pedagang India melakukan transaksi dagang dengan penduduk dari semua punjuru Tanah Batak. Produk perdagangan kuno kemenyan, benzoin dan kamper sebagaimana diketahui hanya dihasilkan oleh penduduk Batak. Besar kemungkinan produk ini mengalir ke Palembang melalui pelabuhan Panai.
Sehubungan dengan penemuan situs kepurbakalaan di Padang Lawas, Palembang dan Simangaabat memunculkan pertanyaan baru. Situs mana yang lebih eksis dan dimana peradaban awal berkembang lebih awal di Sumatra: Apakah di Tapanuli atau Palembang?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Era Hindoe di Sumatra dan Jawa
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar