*Semua artikel Sejarah Kota Surabaya dalam blog ini Klik Disini
Tidak hanya di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah,
benteng pada era kolonial juga ada yang dibangun di Jawa Timur. Benteng pertama
dibangun di muara sungai Soerabaja. Benteng lainnya ditemukan di Ngawi yang
disebut benteng Fort van Den Bosch. Satu lagi benteng di Jawa Timur adalah
benteng yang dikenal sekarang sebagai benteng Kedung Cowek. Lantas apakah masih
ada benteng-benteng lainnya di wilayah provinsi Jawa Timur yang sekarang?
Pada
masa ini benteng peninggalan kolonial hanya dianggap sebagai warisan masa lalu
yang dijadikan sebagai destinasi wisata. Benteng-benteng tersebut kerap dipandang
sebagai objek wisata saja dan jarang diperhatikan sebagai bagian dari sejarah
masa lalu di kawasan. Padahal benteng-benteng itu dilestarikan bukan saja untuk
kesinambungan pariwisata tetapi juga menjadi pemicu bagi setiap orang untuk
melihat fungsi benteng itu di masa lalu dalam perjalanan sejarah kawasan. Adanya
benteng mengindikasikan bahwa kawasan begitu penting di masa lalu apakah dalam
hubungannya dengan (pemerintah kolonial) Belanda maupun dalam hubungannya
dengan situasi dan kondisi penduduk termasuk kejadian-kejadian heroik dari para
pemimpin lokal dalam melancarkan perlawanan kepada Belanda.
Lantas bagaimana sejarah sejarah
benteng-benteng di (provinsi) Jawa Timur? Seperti disebut di atas, benteng di Jawa Timur tidak
hanya Fort van Den Bosch, tetapi
juga ada benteng Soerabaja dan benteng Kedung Cowek. Pertanyaan lebih lanjut
apakah ada benteng-benteng lainnya yang pernah dibangunan di wilayah Jawa Timur? Pertanyaan ini membutuhkan penyelidikan. Seperti
kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan
artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel
saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah
pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk
lebih menekankan saja*.
Benteng
Kuno di Jawa Timur
Benteng di Ngawi
disebut Fort van den Bosch karena terkait dengan nama Johannes van den Bosch,
sosok yang terbilang kontroversi pada era Pemerintah Hindia Belanda. Keberadaan
benteng Ngawi paling tidak diketahui pada tahun 1828 (lihat Javasche courant, 17-01-1828).
Disebutkan di Fort Ngawi dalam posisi dipertahankan dengan baik. Saat ini
tengah berlangsung Perang Jawa (salah satu pemimpinnya yang terpenting Pangeran
Diponegoro). Benteng ini dipimpin oleh Kapitein de Munck.
Javasche courant, 22-01-1828: ‘Batavia, 21 Januari
1828. Kabar dari Surakarta, dari tanggal 14 hari ini, bahwa pangerang Rongo
memberitahu Residen, bahwa para pemberontak, dengan kekutan hampir 2.000 orang,
telah tiba di Ngawie, yang telah membakar desa dan mengepung benteng, dan bahwa
ia kemudian mengambil beberapa tindakan untuk mencegah menembus lebih jauh.
Bupati Jangoel, Rongo Prawiro-Sentiko, dikatakan telah menerima surat yang
paling mendesak dari kepala pemberontak di daerah tersebut untuk berdagang
bersama dengan mereka, dan telah mengirimkan surat ini bersama dengan
pengangkut, kepada pangerang Rongo. Letnan Marnitz yang memimpin detasemen pasukan yang
ditempatkan di Wonoredjo mengetahui bahwa pos kami pada waktu itu dikelilingi
oleh sekelompok 5.000 orang, telah setuju dengan Pangeang Rongo, Bupati Solo
Ponorogo, dan Letnan Schnorbusch membuat gerakan maju untuk melegakan Ngawie;
sebagai Bupati Solo Ponorogo, akibat niat tersebut mereka maju bersama
barissan-barisan mereka ke Wonoredjo untuk mengikuti ekspedisi yang dimaksud disana.
Selain hal tersebut di atas, komandan Ngawie, Kapten de Munck, juga telah
melaporkan bahwa garnisun Belanda di tempat itu, serta Tommongong Madion yang
ada disana telah melarikan diri ketika para pemberontak mendekat dan bahwa dia
telah menerima bala bantuan empat ratus prajurit infanteri, termasuk dua artileri
ringan, di muara yang dalam perjalanannya di sepanjang sungai Solo bentrok
dengan pasukan lawan’.
Dari pihak pemerintah,
perang ini awalnya dipimpin oleh Kolonel Nachuis (yang juga menjadi Residen
Solo) sejak 1825 yang saat itu panglima adalah Luit Gouvernour Luit. Gen de
Kock. Setelah kehadiran pasukan gabungan perlawanan yang dipimpin Pangeran
Diponegoro ini berhasil dipadamkan. Sebelum Pangeran Diponegoro berhasil
ditangkap (dan kemudian diasingkan), pangeran Sentot Alibasa menyeberang dan
bergabung dengan pemerintah. Pasca perang, dengan adanya benteng di Ngawi,
situasi dan kondisi di Ngawi menjadi penting. Di sekitar benteng kemudian
didirikan garnisun militer dan rumah sakit militer. Untuk sekadar menambahkan
benteng kuno (peninggalan VOC) di muara sungai Soerabaja dibongkar dan sebagai
gantinya dibangun benteng di Simpang Fort Oranye (Sidoardjo). Benteng Oranye
dan benteng Kartosoera )Solo) yang terhubung dengan benteng Ngawi pada saat
terjadi Perang Jawa.Pasca Perang Jawa ini untuk mendukung benteng Ngawi
dibangun benteng
Benteng Ngawi di tempat strategis di muara sungai
Madiun di sungai (Bengawan) Solo. Suatu posisi transit perdagangan yang penting
melalui jalur sungai terutama dari Solo ke pantai di Sidayu (Gresik). Posisi
GPS benteng Ngawi ini dibangun di suatu tanjung pertemuan dua sungai besar
tersebut. Posisi strategis ini tidak hanya bisa mengontrol lalu lintas
pelayaran di dua sungai, juga dua sisi sungai di hilir (timur) benteng menjadi
barier dan pada sisi barat menghadap space antara dua sungai menjadi arus
pergerakan pasukan. Dengan posisi alamiah inilah maka benteng dibangun bentuk
persegi empat dengan empat bastion (bentuk benteng yang tidak lazim). Awalnya
lokasi benteng ini adalah suatu rawa (lahan basah) dengan membuat drainase seputar
benteng juga menjadi fungsi sekunder sebagain barier bagian dalam benteng.
Hasil penggalian drainase ini digunakan untuk meninggikan area benteng menjadi
terkendali dari kemungkinan bajir dari sungai Solo dan sungai Madiun. Hal
itulah pada masa ini seakan-akan benteng ini dibuat lebih rendah dari halaman
benteng.
Pada tahun 1839
benteng Ngawi ini ditingkatkan dengan melakukan renovasi. Ini berbeda dengan
benteng-benteng di Batavia dan sekitar yang sudah tidak difungsikan lagi. Di
Batavia hanya benteng Noordwijk yang direnovasi tetapi tidak dimaksudkan untuk
fungsi benteng tetapi lebih pada suatu monumen dengan memperkaya taman. Benteng
ini disebut benteng Fort Frederik (nama pangeran Frederik) yang pada masa ini tepat
di area masjid Istiqlal yang sekarang. Pada saat inilah benteng-benetng di
beberapa titik penting direnovasi seperti benteng Ngawi. Lantas mengapa benteng
Ngawi ditingkatkan? Pemerintah tampaknya
mengantisipasi kemungkinan munculnya ancaman baru pasca Perang Jawa
(1825-1830).
Pada dasarwarsa ini benteng-benteng yang dibangun
diberi nama, Boleh jadi itu karena petunjuk dari pengeran Frederik.
Benteng-benteng di Sumatra yang sudah diberi nama antara lain Fort de Kock
(Bukittinggi), Fort van der Capellen (Batusangkar) dan Fort Elout (Panyabungan,
Tapanuli Selatan). Untuk benteng Ngawi yang akan segera dibangun, berdasarkan
beslit Gubernur Jenderal No 1. 19 Juni 1839 diberi nama Fort Generaal van den
Bosch. Nama-nama benteng tersebut mengacu pada nama-nama veterang Perang Jawa.
Nama van den Bosch sendiri sudah terkenal sejak era Gubernur Jenderal Daendels
(1808-1811) yang dapat dikatakan sebagai tangan kanan Daendels ketika
membebaskan Preanger ketika jalan trans Java dibangun pada tahun 1809. Johannes
van den Bosch pernah menjadi Gubernur Jenderal (1830-1833) yang terkenal dengan
programnya Koffiestelsel (yang membuat penduduk Preanger dan Tapanuli serta Ngawi
di Madioen menderita).
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Sejarah
Militer Kolonial di Jawa Timur
Tunggu deskripsi
lengkapnya
*Akhir
Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar