Minggu, 20 Juni 2021

Sejarah Kota Surabaya (28): Benteng di Jawa Timur, Untuk Apa Dibangun? Fort van den Bosch dan Benteng di Kedung Cowek

 

*Semua artikel Sejarah Kota Surabaya dalam blog ini Klik Disini 

Tidak hanya di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah, benteng pada era kolonial juga ada yang dibangun di Jawa Timur. Benteng pertama dibangun di muara sungai Soerabaja. Benteng lainnya ditemukan di Ngawi yang disebut benteng Fort van Den Bosch. Satu lagi benteng di Jawa Timur adalah benteng yang dikenal sekarang sebagai benteng Kedung Cowek. Lantas apakah masih ada benteng-benteng lainnya di wilayah provinsi Jawa Timur yang sekarang?

Pada masa ini benteng peninggalan kolonial hanya dianggap sebagai warisan masa lalu yang dijadikan sebagai destinasi wisata. Benteng-benteng tersebut kerap dipandang sebagai objek wisata saja dan jarang diperhatikan sebagai bagian dari sejarah masa lalu di kawasan. Padahal benteng-benteng itu dilestarikan bukan saja untuk kesinambungan pariwisata tetapi juga menjadi pemicu bagi setiap orang untuk melihat fungsi benteng itu di masa lalu dalam perjalanan sejarah kawasan. Adanya benteng mengindikasikan bahwa kawasan begitu penting di masa lalu apakah dalam hubungannya dengan (pemerintah kolonial) Belanda maupun dalam hubungannya dengan situasi dan kondisi penduduk termasuk kejadian-kejadian heroik dari para pemimpin lokal dalam melancarkan perlawanan kepada Belanda.

Lantas bagaimana sejarah sejarah benteng-benteng di (provinsi) Jawa Timur? Seperti disebut di atas, benteng di Jawa Timur tidak hanya Fort van Den Bosch, tetapi juga ada benteng Soerabaja dan benteng Kedung Cowek. Pertanyaan lebih lanjut apakah ada benteng-benteng lainnya yang pernah dibangunan di wilayah Jawa Timur? Pertanyaan ini membutuhkan penyelidikan. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Benteng Kuno di Jawa Timur

Benteng di Ngawi disebut Fort van den Bosch karena terkait dengan nama Johannes van den Bosch, sosok yang terbilang kontroversi pada era Pemerintah Hindia Belanda. Keberadaan benteng Ngawi paling tidak diketahui pada tahun 1828 (lihat Javasche courant, 17-01-1828). Disebutkan di Fort Ngawi dalam posisi dipertahankan dengan baik. Saat ini tengah berlangsung Perang Jawa (salah satu pemimpinnya yang terpenting Pangeran Diponegoro). Benteng ini dipimpin oleh Kapitein de Munck.

Javasche courant, 22-01-1828: ‘Batavia, 21 Januari 1828. Kabar dari Surakarta, dari tanggal 14 hari ini, bahwa pangerang Rongo memberitahu Residen, bahwa para pemberontak, dengan kekutan hampir 2.000 orang, telah tiba di Ngawie, yang telah membakar desa dan mengepung benteng, dan bahwa ia kemudian mengambil beberapa tindakan untuk mencegah menembus lebih jauh. Bupati Jangoel, Rongo Prawiro-Sentiko, dikatakan telah menerima surat yang paling mendesak dari kepala pemberontak di daerah tersebut untuk berdagang bersama dengan mereka, dan telah mengirimkan surat ini bersama dengan pengangkut, kepada pangerang Rongo. Letnan Marnitz  yang memimpin detasemen pasukan yang ditempatkan di Wonoredjo mengetahui bahwa pos kami pada waktu itu dikelilingi oleh sekelompok 5.000 orang, telah setuju dengan Pangeang Rongo, Bupati Solo Ponorogo, dan Letnan Schnorbusch membuat gerakan maju untuk melegakan Ngawie; sebagai Bupati Solo Ponorogo, akibat niat tersebut mereka maju bersama barissan-barisan mereka ke Wonoredjo untuk mengikuti ekspedisi yang dimaksud disana. Selain hal tersebut di atas, komandan Ngawie, Kapten de Munck, juga telah melaporkan bahwa garnisun Belanda di tempat itu, serta Tommongong Madion yang ada disana telah melarikan diri ketika para pemberontak mendekat dan bahwa dia telah menerima bala bantuan empat ratus prajurit infanteri, termasuk dua artileri ringan, di muara yang dalam perjalanannya di sepanjang sungai Solo bentrok dengan pasukan lawan’.

Dari pihak pemerintah, perang ini awalnya dipimpin oleh Kolonel Nachuis (yang juga menjadi Residen Solo) sejak 1825 yang saat itu panglima adalah Luit Gouvernour Luit. Gen de Kock. Setelah kehadiran pasukan gabungan perlawanan yang dipimpin Pangeran Diponegoro ini berhasil dipadamkan. Sebelum Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap (dan kemudian diasingkan), pangeran Sentot Alibasa menyeberang dan bergabung dengan pemerintah. Pasca perang, dengan adanya benteng di Ngawi, situasi dan kondisi di Ngawi menjadi penting. Di sekitar benteng kemudian didirikan garnisun militer dan rumah sakit militer. Untuk sekadar menambahkan benteng kuno (peninggalan VOC) di muara sungai Soerabaja dibongkar dan sebagai gantinya dibangun benteng di Simpang Fort Oranye (Sidoardjo). Benteng Oranye dan benteng Kartosoera )Solo) yang terhubung dengan benteng Ngawi pada saat terjadi Perang Jawa.Pasca Perang Jawa ini untuk mendukung benteng Ngawi dibangun benteng

Benteng Ngawi di tempat strategis di muara sungai Madiun di sungai (Bengawan) Solo. Suatu posisi transit perdagangan yang penting melalui jalur sungai terutama dari Solo ke pantai di Sidayu (Gresik). Posisi GPS benteng Ngawi ini dibangun di suatu tanjung pertemuan dua sungai besar tersebut. Posisi strategis ini tidak hanya bisa mengontrol lalu lintas pelayaran di dua sungai, juga dua sisi sungai di hilir (timur) benteng menjadi barier dan pada sisi barat menghadap space antara dua sungai menjadi arus pergerakan pasukan. Dengan posisi alamiah inilah maka benteng dibangun bentuk persegi empat dengan empat bastion (bentuk benteng yang tidak lazim). Awalnya lokasi benteng ini adalah suatu rawa (lahan basah) dengan membuat drainase seputar benteng juga menjadi fungsi sekunder sebagain barier bagian dalam benteng. Hasil penggalian drainase ini digunakan untuk meninggikan area benteng menjadi terkendali dari kemungkinan bajir dari sungai Solo dan sungai Madiun. Hal itulah pada masa ini seakan-akan benteng ini dibuat lebih rendah dari halaman benteng.

Pada tahun 1839 benteng Ngawi ini ditingkatkan dengan melakukan renovasi. Ini berbeda dengan benteng-benteng di Batavia dan sekitar yang sudah tidak difungsikan lagi. Di Batavia hanya benteng Noordwijk yang direnovasi tetapi tidak dimaksudkan untuk fungsi benteng tetapi lebih pada suatu monumen dengan memperkaya taman. Benteng ini disebut benteng Fort Frederik (nama pangeran Frederik) yang pada masa ini tepat di area masjid Istiqlal yang sekarang. Pada saat inilah benteng-benetng di beberapa titik penting direnovasi seperti benteng Ngawi. Lantas mengapa benteng Ngawi ditingkatkan? Pemerintah tampaknya mengantisipasi kemungkinan munculnya ancaman baru pasca Perang Jawa (1825-1830).

Pada dasarwarsa ini benteng-benteng yang dibangun diberi nama, Boleh jadi itu karena petunjuk dari pengeran Frederik. Benteng-benteng di Sumatra yang sudah diberi nama antara lain Fort de Kock (Bukittinggi), Fort van der Capellen (Batusangkar) dan Fort Elout (Panyabungan, Tapanuli Selatan). Untuk benteng Ngawi yang akan segera dibangun, berdasarkan beslit Gubernur Jenderal No 1. 19 Juni 1839 diberi nama Fort Generaal van den Bosch. Nama-nama benteng tersebut mengacu pada nama-nama veterang Perang Jawa. Nama van den Bosch sendiri sudah terkenal sejak era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) yang dapat dikatakan sebagai tangan kanan Daendels ketika membebaskan Preanger ketika jalan trans Java dibangun pada tahun 1809. Johannes van den Bosch pernah menjadi Gubernur Jenderal (1830-1833) yang terkenal dengan programnya Koffiestelsel (yang membuat penduduk Preanger dan Tapanuli serta Ngawi di Madioen menderita).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Militer Kolonial di Jawa Timur

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar