Sabtu, 19 Juni 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (60): Borobudur, Rekonstruksi Candi Masa Ini or Konstruksi Candi Zaman Kuno? Suatu Pulau di Danau?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini 

Candi Borobudur zaman kuno milik penduduk pedalaman Jawa bagian tengah (wilayah Magelang), tetapi kini telah menjadi milik dunia (tidak hanya Indonesia). Dalam hal inilah mengapa begitu penting tentang keberadaan candi Borobudur. Candi yang sangat besar ini yang diperkirakan dibangun pada abad ke-9 hingga kini masih bersifat misteri, karena bagaimana sejarah membangunnya hingga kini masih perdebatan. Hal ini karena mengundang pertanyaan seperti bagaimana cara menyusun kontruksinya yang terdiri dari batu yang banyak dan besar-besar pula. Pertanyaan yang sama juga mirip dengan pembangunan piramida kuno di Mesir.

Pembangunan (struktur) candi Borobudur tidaklah mudah. Juga tidak dilakukan dalam tempo singkat. Candi Borobudur yang sekarang bukanlah hasil kontruksi (pertama) tetapi hasil rekonstruksi (konstruksi kedua). Sejak candi Borobudur, yang sempat hilang dan kemudian ditemukan pada era Raffles, mulai dari proses ekskavasi hingga ditata kembali (rekonstruksi) seperti yang sekarang membutuhkan waktu yang lama. Itu baru proses rekonstruksi di zaman modern yang sudah tinggi level teknologinya. Lantas bagaimana prsoses konstruksinya di zaman kuno. Tentu dalam hal ini kita bertanya-tanya dan masih dipertanyakan. Pada masa ini membangun gedung tinggi semisal 100 tingkat mudah dipahami karena menggunakan teknologi crane. Lalu bagaimana candi Borobudur dibangun pada zaman teknologi bambu.

Lantas bagaimana sejarah pembangunan candi Borobudur? Seperti disebut di atas, tentulah kita kagum karena cara pembuatannya menyebabkan kita bertanya-tanya. Itu satu hal, Hal yang lain yang juga menimbulkan pertanyaan adalah apakah wujud bangunan yang sekarang (hasil rekonstruksi) benar-benar menggambarkan wujud yang sama (sepenuhnya) jika dibandingkan dengan hasil konstruksi yang asli zaman kuno? Dengan kata lain apakah ada unsur sengaja tidak sengaja yang memungkinkan terjadinya perbedaan. Lalu bagaimana kita mengaitkan hasil kontruksi degan hasil rekonstruksi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Sejarah Terkait Candi Borobudur: Dinasti Seilendra

Hanya satu jawaban yang mungkin bagaimana candi Borobudur? Jawaban tersebut adalah pembangunannya dimulai dari atas. Itu berarti pada zaman kuno, tanah di bawah candi pada awalnya sebuah pulau (sebut saja pulau Borobudur). Pulau tesebut berada di tengah danau besar. Di dalam danau tidak hanya satu pulau tetapi beberapa pulau. Ke dalam danau tersebut sejumlah sungai bermuara. Sungai yang terbesar adalah sungai Kali Progo yang berhulu di gunung Sindoro (juga hulu dari sungai Bodri yang bermuara ke pantai utara).

Gunung Sindoro bukanlah gunung tertinggi di Jawa. Yang tertinggi adalagh gunung Smeru (3.676 M). Gunung Sindoro tingginya hanya 3.150 M. Namun ada keistimewaan gunung Sindoro,  Dari gunung Sindoro berhulu dua sungai besar yakni sungai Bodri ke pantai utara (di Kendal) dan sungai Progo ke pantai selatan (via Magelang). Di hilir dua sungai ini kini terdapat situs candi yakni candi Kendal dan candi Borobudur.

Bagaimana candi dibangun di atas pulau Borobudur itu bermula pada awal era Hindoe Boedha di Jawa. Candi pertama yang dibangun di Jawa bagian barat yang berada di suatu pulau di dekat muara sungai Tjataroem. Situs candi tersebut kini ditemukan di Batujaya (Karawang) yang diduga menjadi bagian dari kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Taruma sendiri eksis sekitar tahun 400 M (berdasarkan prasasti Kebon Kopi, Bogor). Kerajaan Tarumanagara diserang (kerajaan) Sriwijaya pada tahun 686 M (berdasarkan prassasti Kota Kapur). Sejak itu Sriwijaya berkolaborasi dengan kerajaan kecil di Jawa bagian tengah yang didugas Kerajaan Kalingga. Inilah awal dinasti Seilendra.

Nama Seilendra muncul pertama ditemukan pada prasasti Sojomerto, prasasti yang ditemukan  di desa Sojomerto, kecamatan Reban, kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ini tidak menyebutkan angka tahun, berdasarkan taksiran analisis paleografi diperkirakan berasal dari kurun akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 masehi. Dalam prasasti ini disebut silsilah Dapunta Seilendra yang mana ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Pada era itu ada tiga raja bergelar Dapunta. Selain Seilendra di (Kerajaan Kalingga) adalah Dapunta Hyang Srijayanaga, raja Kerajaan Sriwijaya (lihat prasasti Talang Tuo 684 M) dan Dapunta Hyang Nayik,  yang diduga kuat raja Kerajaan Aru (lihat prasasti Kedukan Bukit 682 M).

Sebagaimana prasasti Kebon Kopi terkait dengan candi Batujaya (Kerajaan Taruma). prasasti Sojomerto juga diduga kuat terkait dengan candi yang ditemukan di kecamatan Rowosari, kabupaten Kendal. Seperti halnya candi Batujaya awalnya berada di pulau di suatu teluk dimana sungai Tjataroem bermuara, candi Rowosari Kendal juga awalnya berada di suatu pulau di teluk dimana sungai Bodri dan sungai Kuto bermuara. Dinasti Seilendra kemudian relokasi ke pedalaman mengikuti sungai Progo di sebelah barat danau Borobudur, dimana sebelumnya sudah terbentuk suatu kerajaan di sisi timur danau dengan rajanya Sanjaya (lihat prasasti Canggal 732 M).

Prasasti Canggal ditemukan di halaman candi Gunung Wukir di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, kabupaten Magelang. Candi Gunung Wukir dimana ditemukan prasasti sendiri, yang mana posisi GPS-nya berada di sebelah timur danau Borobudur dan di sebelah barat gunung Merapi. Prasasti Canggal ini diduga kuat terkait dengan kerajaan Mataram Kuno.

Berdasarkan prasasti Ligor yang di satu sisi yang mengindikasikan raja dari segala raja yang ada di dunia, yang mendirikan Trisamaya caitya untuk Kajara dan di sisi lainnya bertarih tahun 775 M yang berisi tentang nama Visnu yang bergelar Sri Maharaja dari keluarga Śailendravamśa serta dijuluki dengan Śesavvārimadavimathana (pembunuh musuh-musuh yang sombong tidak bersisa). Dalam prasasti ada dua nama penting yakni nama tempat Kajara dan nama raja (dinasti) Seilendra.

Prasasti Ligor ditemukan di Ligor (sekarang Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand, Semenanjung Malaya). Lantas apa hubungannya antara suatu tempat di pantai timur Semenanjung dengan Kajara[n] di Jawa bagian tengah di pedalaman. Sulit diketahui karena dinasti Seilendra yang belum lama terbentuk sulit membayangkan telah memiliki pengaruh yang kuat di Laut China Selatan. Keterangan yang bisa dihubungkan dengan dua tempat yang berjauhan itu adalah prasasti Kedukan Bukit 682 M yang mana raja Dapunta Hyang Nayik telah memimpin 20.000 tentara ke Hulu Upang (yang diduga kini di Bangka) yang telah mengukuhkan (kerajaan) Sriwijaya (prasasti Talang Tuo 684 M) dan melakukan penyerangan ke Jawa (prasasti Kota Kapur 686 M). Kerajaan yang diserang di Jawa adalah Kerajaan Taruma (Jawa  bgian barat) dan kemudian mendirikan kerajaan dinasti Seilendra di Jawa bagian tengah (suksesi Kerajaan Kalingga). Dalam prasasti Kedukan Bukit disebut raja Dapunta Hyang Nayik berangkat dari Minanga. Besar dugaan dalam hal ini bahwa sebagian dari pasukan Binanga ini bertempat tinggal di suatu tempat (yang dibentuk baru) Kajara. Nama Kajara[n] di Jawa tersebut dengan nama nama Hajoran di dekat Binanga. Hubungan Binanga dan Ligor diduga sudah lama terbentuk, jauh sebelum ekspedisi ke Jawa dilakukan (lihat prasasti Vo Cahn abad ke-3).

Prasasti Ligor mengindikasikan bahwa dinasti Seilendra telah relokasi dari pantai utara Jawa (prasasti Sojomerto) ke pedalaman di sisi barat danau Borobudur (prasasti Ligor). Sementara kerajaan (merujuk pada prasasti Canggal) berada di sisi timur danau Borobudur (di lereng gunung Merapi). Dalam hubungan ini prasasti Kalasan 778 M (ditemukan di kecamatan Kalasan, Sleman) dari dinasti Sanjaya berada di Medang diduga terkait dengan pembangunan candi Kalasan, Dalam prasasti ini juga disebut gelar yang terkait dengan dinasti Seilendra (di Kajaran?), Diduga kuat bahwa kerajaan (Kajara) telah menyatukan semua kerajaan di seputar danau Borobudur ke dalam dinasti Seilendra. Sejak inilah diduga menjadi awal dari pembangunan candi yang lebih besar (candi Borobudur?).

Di dekat Binanga (prasasti Kedukan Bukit 682 M) ditemukan candi kuno yang kini disebut candi Simangambat. Berdasarkan analisis para ahli bahwa pola bangunan candi Simangambat mirip dengan pola candi di Jawa, yakni candi-candi pada era Mataram Kuno. Sukawati Susetyo menyimpulkan bahwa beberapa artefak yang ditemukan baik dari hasil penggalian maupun yang sudah berada di permukaan tanah pada candi Simangambat yaitu batu-batu berbentuk kala; makara; batu berelief guirlande, gana, pilar dan motif kertas tempel menunjukkan kemiripan dengan artefak dari candi-candi zaman Mataram Kuna. Berdasarkan hal itu maka diduga bahwa Candi Simangambat dibangun sezaman dengan candi-candi dari jaman Mataram Kuna sepertin candi Sewu (Prambanan, Klaten), candi Kedulan (Kalasan, Sleman), candi Prambanan (Prambanan, Klaten), candi Kalasan (Tirtamani, Sleman), candi Plaosan (Prambanan, Klaten) dan candi Sojiwan (Prambanan, Klaten).

Pada masa ini wilayah kawasan candi Borobudur adalah bagian dari kawasan yang sangat luas dan cenderung datar (kawasan wilayah Magelang). Kawasan ini berada di antara gunung Merapi dan gunung Merbabu di sebelah timur dan di sebelah barat gunung Sumbing dan gunung Sindoro.membentuk lembah dengan kemiringan ke arah selatan (pantai selatan Jawa) searah dengan aliran sungai Progo dan sungai Elo di tengah lembah. Satu yang penting di tengah lembah (Megelang) ini adalah bukit Tidar dengan ketinggian sekitar 500 M. Kawasan datar kota Magelang sendiri sekitar 350 M (tinggi relatif bukit Tidar di kota Magelang sekitar 150 M)\.

Di arah utara kota Magelang di sekitar sungai Progo sekitar 350-360 M. Pada sisi barat sungai Progo semakin tinggi ke arah barat (Bandoengan sekitar 430 M), demikian juga ke sisi timur (Pakis berada pada 600 M). Ke arah selatan semakin menurun dimana posisi area candi Mendut sekitar 245 M (sungai Elo bermuara ke sungai Progo). Pada kawasan candi ini semakin tinggi ke arah timur (Mutilan 350 M). Di arah hilir semakin rendah dengan ketinggian 210 M (di mana sungai Blongkeng yang berasal dari kota Muntilan bermuara di sungai Progo). Semakin ke hilir semakin rendah lagi dimana pada posisi 180 M di Jangkang, dimana sungai Pereng bermuara di sungai Progo yang berhulu di gunung Ukir (340 M) dan desa Kadiluwih sendiri 300 M. Bandingkan dengan area Borobudur sekita 240-250 M (yang mana puncak candi sendiri berada pada posisi 297 M) yang mana posisi Manoreh sekitar 290 M dan semkain tinggi ke arah barat dengan mengikuti rantai bukit hingga ke selatan perbatasan Yogyakarta (dimana gunung Ayam-Ayam tinggi 1.021 M). Rantai bukit ini di selatan candi Borobudur terdapat gunung Gajahmungkur dengan ketinggian 770 M (yang juga berbatasan dengan DI Yogyakarya) yang semakin rendah ke arah sungai Progo. Salam sendiri yang juga berada di perbatasan Yogykarta di sisi timur sungai Progo berada pada posisi 345 M dan semakin tinggi ke arah timur (gunung Merapi). Titik terendah (yang merupkan titik balik) berada di Kalibawang dimana sungai Krasak bermuara ke sungai Progo (138 M) yang mana titik ini merupakan batas tiga wilayah (Magelang, Yogyakarta dan Kulon Progo). Ke arah barat Kalibawang semakin tinggi (perbukitan). Demikian juga dari muara sungai Krasak ke arah timur semakin tinggi yang mana pada posisi Pisangan setinggi 230 M (masuk wilayah Yogyakarta di sisi selatan sungai Krasak)

Kecamatan Kalibawang (kabupaten Kulon Progo) sebagai titik terendah dapat dikatakan pada masa kini sebagai pintu gerbang dari Yogyakarta menuju wilayah (kabupaten) Magelang (yang lebih tinggi).

Kawasan ini terbilang bottleneck yang diapit oleh dua sisi perbukitan dimana sungai Krasak bermuara di sungai Progo. Sungai Krasak sendiri berhulu di gunung Merapi. Sungai Krasak ini diduga kuat terbentuk karena aktivitas gunung Merapi pada zaman kuno yang menjadi jalan bagi lahar panas dari erupsio gunung Merapi menuju sungai Progo.

Lantas apakah kejadian-kejadian erupsi gunung Merapi di zaman kuno yang menyebabkan danau Borobudur jebol? Lalu dimana garis tanggul danau itu jebol. Namun yang jelas bahwa kawasan bottleneck Kalibawang hanyalah jalan air dari wilayah yang tinggi ke wilayah yang lebih rendah. Di zaman kuno kawasan bottleneck ini boleh jadi bukan titik terendah tetapi bagian titik balik yang menjadi pembatas dataran rendah di selatan (Yogyakarta) dan dataran tinggi di utara (Magelang),

Dimana posisi garis tanggul danau Borobudur diduga kuat berada diantara dua  titik yang lebih tinggi dari area candi Borobudur (di sebelah barat dan di sebelah timur sungai Progo). Seperti disebut di atas area candi Borobudur sekitar 240-250 M. Ini bisa berarti pada titik desa Kadiluwih-gunng Wukir di sisi timur dan Desa Bigaran di sisi barat sungai Progo. Desa Kadiluwih tinggi 300 M (Gunung Wukir sendiri tinggi 340 M), sementara desa Bigaran sekitar 240 M (dekat sungai Progo) yang mana di dekatnya di utara terdapat gunung Patuk setinggi 350 M.

Indikasi danau jebol tidak hanya di pulau Jawa, juga ditemukan di pulau Sumatra dan pulau Kalimantan. Di pulau Sumatra ditemukan di wilayah Angkola Mandailing (danau Siabu) dimana pada zaman kuno dibangun situs candi Simangambat yang sekaang. Danau jebol juga ditemukan di Aceh (danau Tangse). Di pulau Kalimantan tidak jauh dari Muara Kaman (di sisi utara sungai Mahakam. Indikasi suatu danau besar juga ditemukan di Putussibau, hulu sungai Kapuas. Last but not least juga ditemukan di pulau Papua (lembah Baliem). Tentu saja tidak hanya danau Borobudur, juga ditemukan di tempat lain di pulau Jawa.

Apa yang bisa kita perhatikan sekarang tentang permukaan rupa bumi Indonesia sekarang berbeda dengan rupa bumi pada zaman kuno. Permukaan rupa bumi di wilayah Magelang yang sekarang termasuk dalam soal ini. Permukaan rupa bumi pulau Jawa sendiri pada zaman kuno lebih ramping dibandingkan pada masa ini, sebab di pantai utara Jawa dari Banten hingga Banyuwangi banyak area-area yang awalnya perairan (laut) telah berubah menjadi daratan karena proses sedimentasi jangka panjang.  Area kawasan muara sungai dan area teluk telah banyak mengalami perubahan bentuk (permukaan rupa bumi). Sebaliknya pada masa kini banyak area yang sebelumnya berupa daratan telah tergenang menjadi perairan karena dibangunnya bendungan-bendungan besar.

Sejak zaman kumo alam telah bekerja dengan caranya sendiri. Alam telah membendtik dirinya sendiri, melalui aktivitas gunung (api) dan aliran sungai-sungai serta vegetasi yang berada di atas tanah telah mempengaruhi perubahan alam tersebut. Gunung Sindoro, gunung Sumbing, gunung Merbabu dan gunung Merapi diduga kuat pada zaman kuno telah mempengaruhi permukaan rupa bumi di wilayah Magelang yang sekarang. Di antara gunung-gunung ini terdapat gunung Tidar dengan inggi 500 M (di tengah kota Magelang yang sekarang).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Candi Borobudur: Konstruksi vs Rekonstruksi di Suatu Pulau?

Candi Simangambat berada di pulau Sumatra, candi Borobudur di pulau Jawa. Di pulau Jawa pada zaman kuno terdapat danau besar yang mana di tengah danau itu, terdapat pulau tempat dimana candi Borobudur dibangun. Bagaimana bisa? Bagaimana membuktikannya? Seperti disebut di atas, salah satu yang masih pertanyaan misteri dalam sejarah zaman kuno adalah bagaimana candi Borobudur dibangun mengingat teknologi crane baru ditemukan sekarang, Dalam hal ini dihipotesiskan bahwa pembangunan candi dilakukan secara berahap dalam jangka panjang yang dimulai dari atas kemudian ke bagian bawah mengikuti arah menyusutnya danau akibat peristiwa yang hebat yang diduga dampak yang ditimbulkan erupsi gunung Merapi.

Berdasarkan profil permukaan bumi yang dapat diperhatikan dari peta satelit bahwa terdapat banyak jalur lahar erupsi gunung Merapi ke arah barat daya menuju danau Borobudur. Danau ini awalnya adalah wujud danau pegununungan seperti halnya (danau) Rawa Pening di Ambarawa. Danau ini terbentuk karena proses vulkanik yang terjadi pengendapan massa berat di hilir sungai yang sampit di selatan di sekitar kecamatan Ngluwar, kabupaten Megelang yang sekarang sehingga terbentuk semacam tanggul yang lalu terbentuk genangan air yang semakin meluas akibat debit air sungai yang terus meningkat terutama sungai Kali Progo yang berhulu di gunung Sindoro. Oleh karena endapan yang terjadi berbentuk sedimen maka ketika terjadi erupsi gunung Merapi yang sangat dahsyat mengakibatkan lahar panas menuju arah tanggul danau jalannya arus air sunga Kali Progo. Tanggung danau yang berupa endapan semakin lunak karena air danau yang semakin panas dan akhirnya tanggul jebol dan terbentuk jalur air sungai Kali Progo ke bentuk yang semula. Genangan air danau kembali menyusut. Dalam posisi ini candi Borobudur yang dibangun di atas seakan berada jauh dari dasar (tanah datar). Candi yang sudah terbentuk dari atas diperluas ke bagian yang lebih bawah sehingga pada akhirnya dasar candi sejajar permukaan tanah datar.  

Pembangunan candi Borobudur yang dimulai dari bagian atas pulau di tengah danau ini terjadi pada era Hindoe Boedha. Seperti disebut di atas, bukti terawal peradaban di ekitar danau Borobudur adalah prasasti Canggal (tarih 732 M). Prasasti ini ditemukan di desa Kadiluwih kecamatan Salam di tempat dimana juga ditemukan candi (Gunung Wukir). Desa Kadiluwih ini awalnya berada di pinggir danau sebelah timur. Pada posisi sejajar permukaan danau di sebelah barat terdapat desa Kajoran tempat yang disebutkan pada prasasti Ligor (775 M). Lalu setelah disatukannya kerajaan-kerajaan yang ada di dalam dinasti Seilendra mulai dibangun candi yang lebih besar di sekitar danau. Lokasi yang dipilih adalah pulau Borobudur agar semua arah kemunitas penduduk bisa mengaksesnya.

Tidak secara jelas bagaimana penyatuan kerajaan-kerajaan di sekitar danau. Namun dinasti Sanjaya tampaknya telah relokasi ke wilayah lain di tenggara gunung Merapi atas persetujuan dinasti Seilendra. Prasasti juga mengindikasukan pembangunan candi yang diduga candi Kalasan. Ini dapat diperhatikan pada prasasti Kalasan (778 M). Dalam prasasti ini dimana dibangun candi disebut desa Kalasa (nama yang kemudian dikenal Kalasan). Pembanguna candi di Kalasa ini diduga setelah tempat ibadah yang disebut dalam prasasti Canggal (732 M) tidak sesuai lagi. Dalam prasasti Ligor (775 M) sudah disebut keberadaan Kajaran[n]. Sementara itu pada prasasti Kelurak disebutkan pembangunan tempat suci. Tempat suci ini diduga candi Sewu (tidak jauh dari candi Prambanan).

Kapan pembangunan candi Borobudur dimulai yakni ketika tempat para Brahma dibangun di Kalasan. Candi Borobudur diduga kuat dibangun untuk kebutuhan semua warga. Pada prasasti Tri Tepusan (842 M) disebutkan pembangunan tempat suci. Apakah prasasti ini sebagai penanda awal dibangunnya candi Borobudur? Ada yang menafsirkan bahwa pembangunan tempat suci yang dimaksud dalam prasasti untuk menghormati parra leluhur.

Prasasti Tri Tepusan (842 M) menyebutkan tentang tanah sima (bebas pajak) di desa Tri Tepusan yang diberikan oleh rī Kahulunnan (Pramodhawardhani) untuk menjamin pendanaan dan pemeliharaan Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra. Kamūlān sendiri dari kata mula yang berarti 'tempat asal', sebuah bangunan suci untuk menghormati para leluhur, mungkin para leluhur para Sailendra. Casparis menyarankan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra yang dalam bahasa Sansekerta berarti "Gunung kebajikan gabungan dari sepuluh tahap Boddhisattvahood" adalah nama asli Borobudur. (Wikipedia),

Pada tahun-tahun dimana candi Borobudur juga dibangun candi Simangambat di dekat Binanga. Seperti disebut di atas pola bangunan candi Simangambat mirip dengan candi-candi Kalasan. Lalu bagaimana bentuk pola (awal) candi Borobudur?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar