*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini
Candi Borobudur zaman kuno milik penduduk pedalaman Jawa
bagian tengah (wilayah Magelang), tetapi kini telah menjadi milik dunia (tidak
hanya Indonesia). Dalam hal inilah mengapa begitu penting tentang keberadaan
candi Borobudur. Candi yang sangat besar ini yang diperkirakan dibangun pada
abad ke-9 hingga kini masih bersifat misteri, karena bagaimana sejarah
membangunnya hingga kini masih perdebatan. Hal ini karena mengundang pertanyaan
seperti bagaimana cara menyusun kontruksinya yang terdiri dari batu yang banyak
dan besar-besar pula. Pertanyaan yang sama juga mirip dengan pembangunan
piramida kuno di Mesir.
Pembangunan (struktur) candi Borobudur
tidaklah mudah. Juga tidak dilakukan dalam tempo singkat. Candi Borobudur yang
sekarang bukanlah hasil kontruksi (pertama) tetapi hasil rekonstruksi
(konstruksi kedua). Sejak candi Borobudur, yang sempat hilang dan kemudian
ditemukan pada era Raffles, mulai dari proses ekskavasi hingga ditata kembali
(rekonstruksi) seperti yang sekarang membutuhkan waktu yang lama. Itu baru
proses rekonstruksi di zaman modern yang sudah tinggi level teknologinya.
Lantas bagaimana prsoses konstruksinya di zaman kuno. Tentu dalam hal ini kita
bertanya-tanya dan masih dipertanyakan. Pada masa ini membangun gedung tinggi
semisal 100 tingkat mudah dipahami karena menggunakan teknologi crane. Lalu
bagaimana candi Borobudur dibangun pada zaman teknologi bambu.
Lantas bagaimana sejarah pembangunan candi Borobudur? Seperti
disebut di atas, tentulah kita kagum karena cara pembuatannya menyebabkan kita
bertanya-tanya. Itu satu hal, Hal yang lain yang juga menimbulkan pertanyaan
adalah apakah wujud bangunan yang sekarang (hasil rekonstruksi) benar-benar
menggambarkan wujud yang sama (sepenuhnya) jika dibandingkan dengan hasil
konstruksi yang asli zaman kuno? Dengan kata lain apakah ada unsur sengaja
tidak sengaja yang memungkinkan terjadinya perbedaan. Lalu bagaimana kita
mengaitkan hasil kontruksi degan hasil rekonstruksi? Seperti kata ahli sejarah
tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku
hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan
artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel
saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah
pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk
lebih menekankan saja*
Sejarah Terkait Candi Borobudur: Dinasti Seilendra
Hanya satu jawaban yang mungkin bagaimana candi
Borobudur? Jawaban tersebut adalah pembangunannya dimulai dari atas. Itu
berarti pada zaman kuno, tanah di bawah candi pada awalnya sebuah pulau (sebut
saja pulau Borobudur). Pulau tesebut berada di tengah danau besar. Di dalam
danau tidak hanya satu pulau tetapi beberapa pulau. Ke dalam danau tersebut
sejumlah sungai bermuara. Sungai yang terbesar adalah sungai Kali Progo yang
berhulu di gunung Sindoro (juga hulu dari sungai Bodri yang bermuara ke pantai
utara).
Gunung Sindoro bukanlah gunung tertinggi di
Jawa. Yang tertinggi adalagh gunung Smeru (3.676 M). Gunung Sindoro tingginya
hanya 3.150 M. Namun ada keistimewaan gunung Sindoro, Dari gunung Sindoro berhulu dua sungai besar
yakni sungai Bodri ke pantai utara (di Kendal) dan sungai Progo ke pantai
selatan (via Magelang). Di hilir dua sungai ini kini terdapat situs candi yakni
candi Kendal dan candi Borobudur.
Bagaimana candi dibangun di atas pulau Borobudur itu
bermula pada awal era Hindoe Boedha di Jawa. Candi pertama yang dibangun di
Jawa bagian barat yang berada di suatu pulau di dekat muara sungai Tjataroem.
Situs candi tersebut kini ditemukan di Batujaya (Karawang) yang diduga menjadi
bagian dari kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Taruma sendiri eksis sekitar tahun
400 M (berdasarkan prasasti Kebon Kopi, Bogor). Kerajaan Tarumanagara diserang
(kerajaan) Sriwijaya pada tahun 686 M (berdasarkan prassasti Kota Kapur). Sejak
itu Sriwijaya berkolaborasi dengan kerajaan kecil di Jawa bagian tengah yang
didugas Kerajaan Kalingga. Inilah awal dinasti Seilendra.
Nama
Seilendra muncul pertama ditemukan pada prasasti Sojomerto, prasasti yang
ditemukan di desa Sojomerto, kecamatan
Reban, kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa
Melayu Kuno. Prasasti ini tidak menyebutkan angka tahun, berdasarkan taksiran
analisis paleografi diperkirakan berasal dari kurun akhir abad ke-7 atau awal
abad ke-8 masehi. Dalam prasasti ini disebut silsilah Dapunta Seilendra yang
mana ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya
bernama Sampula. Pada era itu ada tiga raja bergelar Dapunta. Selain Seilendra
di (Kerajaan Kalingga) adalah Dapunta Hyang Srijayanaga, raja Kerajaan
Sriwijaya (lihat prasasti Talang Tuo 684 M) dan Dapunta Hyang Nayik, yang diduga kuat raja Kerajaan Aru (lihat
prasasti Kedukan Bukit 682 M).
Sebagaimana prasasti Kebon Kopi terkait dengan candi
Batujaya (Kerajaan Taruma). prasasti Sojomerto juga diduga kuat terkait dengan
candi yang ditemukan di kecamatan Rowosari, kabupaten Kendal. Seperti halnya
candi Batujaya awalnya berada di pulau di suatu teluk dimana sungai Tjataroem
bermuara, candi Rowosari Kendal juga awalnya berada di suatu pulau di teluk
dimana sungai Bodri dan sungai Kuto bermuara. Dinasti Seilendra kemudian
relokasi ke pedalaman mengikuti sungai Progo di sebelah barat danau Borobudur,
dimana sebelumnya sudah terbentuk suatu kerajaan di sisi timur danau dengan
rajanya Sanjaya (lihat prasasti Canggal 732 M).
Prasasti Canggal ditemukan di halaman candi
Gunung Wukir di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, kabupaten Magelang. Candi
Gunung Wukir dimana ditemukan prasasti sendiri, yang mana posisi GPS-nya berada
di sebelah timur danau Borobudur dan di sebelah barat gunung Merapi. Prasasti
Canggal ini diduga kuat terkait dengan kerajaan Mataram Kuno.
Berdasarkan prasasti Ligor yang di satu sisi yang
mengindikasikan raja dari segala raja yang ada di dunia, yang mendirikan
Trisamaya caitya untuk Kajara dan di sisi lainnya bertarih tahun 775 M yang berisi
tentang nama Visnu yang bergelar Sri Maharaja dari keluarga Śailendravamśa
serta dijuluki dengan Śesavvārimadavimathana (pembunuh musuh-musuh yang sombong
tidak bersisa). Dalam prasasti ada dua nama penting yakni nama tempat Kajara
dan nama raja (dinasti) Seilendra.
Prasasti Ligor ditemukan di Ligor (sekarang
Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand, Semenanjung Malaya). Lantas apa
hubungannya antara suatu tempat di pantai timur Semenanjung dengan Kajara[n] di
Jawa bagian tengah di pedalaman. Sulit diketahui karena dinasti Seilendra yang
belum lama terbentuk sulit membayangkan telah memiliki pengaruh yang kuat di
Laut China Selatan. Keterangan yang bisa dihubungkan dengan dua tempat yang
berjauhan itu adalah prasasti Kedukan Bukit 682 M yang mana raja Dapunta Hyang
Nayik telah memimpin 20.000 tentara ke Hulu Upang (yang diduga kini di Bangka)
yang telah mengukuhkan (kerajaan) Sriwijaya (prasasti Talang Tuo 684 M) dan
melakukan penyerangan ke Jawa (prasasti Kota Kapur 686 M). Kerajaan yang
diserang di Jawa adalah Kerajaan Taruma (Jawa
bgian barat) dan kemudian mendirikan kerajaan dinasti Seilendra di Jawa
bagian tengah (suksesi Kerajaan Kalingga). Dalam prasasti Kedukan Bukit disebut
raja Dapunta Hyang Nayik berangkat dari Minanga. Besar dugaan dalam hal ini bahwa
sebagian dari pasukan Binanga ini bertempat tinggal di suatu tempat (yang
dibentuk baru) Kajara. Nama Kajara[n] di Jawa tersebut dengan nama nama Hajoran
di dekat Binanga. Hubungan Binanga dan Ligor diduga sudah lama terbentuk, jauh
sebelum ekspedisi ke Jawa dilakukan (lihat prasasti Vo Cahn abad ke-3).
Prasasti Ligor mengindikasikan bahwa dinasti Seilendra
telah relokasi dari pantai utara Jawa (prasasti Sojomerto) ke pedalaman di sisi
barat danau Borobudur (prasasti Ligor). Sementara kerajaan (merujuk pada
prasasti Canggal) berada di sisi timur danau Borobudur (di lereng gunung
Merapi). Dalam hubungan ini prasasti Kalasan 778 M (ditemukan di kecamatan
Kalasan, Sleman) dari dinasti Sanjaya berada di Medang diduga terkait dengan
pembangunan candi Kalasan, Dalam prasasti ini juga disebut gelar yang terkait
dengan dinasti Seilendra (di Kajaran?), Diduga kuat bahwa kerajaan (Kajara)
telah menyatukan semua kerajaan di seputar danau Borobudur ke dalam dinasti
Seilendra. Sejak inilah diduga menjadi awal dari pembangunan candi yang lebih
besar (candi Borobudur?).
Di dekat Binanga (prasasti Kedukan Bukit 682
M) ditemukan candi kuno yang kini disebut candi Simangambat. Berdasarkan
analisis para ahli bahwa pola bangunan candi Simangambat mirip dengan pola candi
di Jawa, yakni candi-candi pada era Mataram Kuno. Sukawati Susetyo menyimpulkan
bahwa beberapa artefak yang ditemukan baik dari hasil penggalian maupun yang
sudah berada di permukaan tanah pada candi Simangambat yaitu batu-batu
berbentuk kala; makara; batu berelief guirlande, gana, pilar dan motif kertas
tempel menunjukkan kemiripan dengan artefak dari candi-candi zaman Mataram
Kuna. Berdasarkan hal itu maka diduga bahwa Candi Simangambat dibangun sezaman
dengan candi-candi dari jaman Mataram Kuna sepertin candi Sewu (Prambanan,
Klaten), candi Kedulan (Kalasan, Sleman), candi Prambanan (Prambanan, Klaten),
candi Kalasan (Tirtamani, Sleman), candi Plaosan (Prambanan,
Klaten) dan candi Sojiwan (Prambanan, Klaten).
Pada masa ini wilayah kawasan candi Borobudur adalah
bagian dari kawasan yang sangat luas dan cenderung datar (kawasan wilayah
Magelang). Kawasan ini berada di antara gunung Merapi dan gunung Merbabu di
sebelah timur dan di sebelah barat gunung Sumbing dan gunung Sindoro.membentuk
lembah dengan kemiringan ke arah selatan (pantai selatan Jawa) searah dengan
aliran sungai Progo dan sungai Elo di tengah lembah. Satu yang penting di
tengah lembah (Megelang) ini adalah bukit Tidar dengan ketinggian sekitar 500
M. Kawasan datar kota Magelang sendiri sekitar 350 M (tinggi relatif bukit
Tidar di kota Magelang sekitar 150 M)\.
Di arah utara kota Magelang di sekitar sungai
Progo sekitar 350-360 M. Pada sisi barat sungai Progo semakin tinggi ke arah
barat (Bandoengan sekitar 430 M), demikian juga ke sisi timur (Pakis berada
pada 600 M). Ke arah selatan semakin menurun dimana posisi area candi Mendut
sekitar 245 M (sungai Elo bermuara ke sungai Progo). Pada kawasan candi ini
semakin tinggi ke arah timur (Mutilan 350 M). Di arah hilir semakin rendah
dengan ketinggian 210 M (di mana sungai Blongkeng yang berasal dari kota
Muntilan bermuara di sungai Progo). Semakin ke hilir semakin rendah lagi dimana
pada posisi 180 M di Jangkang, dimana sungai Pereng bermuara di sungai Progo
yang berhulu di gunung Ukir (340 M) dan desa Kadiluwih sendiri 300 M.
Bandingkan dengan area Borobudur sekita 240-250 M (yang mana puncak candi sendiri
berada pada posisi 297 M) yang mana posisi Manoreh sekitar 290 M dan semkain
tinggi ke arah barat dengan mengikuti rantai bukit hingga ke selatan perbatasan
Yogyakarta (dimana gunung Ayam-Ayam tinggi 1.021 M). Rantai bukit ini di
selatan candi Borobudur terdapat gunung Gajahmungkur dengan ketinggian 770 M
(yang juga berbatasan dengan DI Yogyakarya) yang semakin rendah ke arah sungai
Progo. Salam sendiri yang juga berada di perbatasan Yogykarta di sisi timur
sungai Progo berada pada posisi 345 M dan semakin tinggi ke arah timur (gunung Merapi).
Titik terendah (yang merupkan titik balik) berada di Kalibawang dimana sungai
Krasak bermuara ke sungai Progo (138 M) yang mana titik ini merupakan batas
tiga wilayah (Magelang, Yogyakarta dan Kulon Progo). Ke arah barat Kalibawang
semakin tinggi (perbukitan). Demikian juga dari muara sungai Krasak ke arah
timur semakin tinggi yang mana pada posisi Pisangan setinggi 230 M (masuk
wilayah Yogyakarta di sisi selatan sungai Krasak)
Kecamatan Kalibawang (kabupaten Kulon Progo) sebagai
titik terendah dapat dikatakan pada masa kini sebagai pintu gerbang dari
Yogyakarta menuju wilayah (kabupaten) Magelang (yang lebih tinggi).
Kawasan ini terbilang bottleneck yang diapit
oleh dua sisi perbukitan dimana sungai Krasak bermuara di sungai Progo. Sungai
Krasak sendiri berhulu di gunung Merapi. Sungai Krasak ini diduga kuat
terbentuk karena aktivitas gunung Merapi pada zaman kuno yang menjadi jalan
bagi lahar panas dari erupsio gunung Merapi menuju sungai Progo.
Lantas apakah kejadian-kejadian erupsi gunung Merapi di
zaman kuno yang menyebabkan danau Borobudur jebol? Lalu dimana garis tanggul
danau itu jebol. Namun yang jelas bahwa kawasan bottleneck Kalibawang hanyalah
jalan air dari wilayah yang tinggi ke wilayah yang lebih rendah. Di zaman kuno
kawasan bottleneck ini boleh jadi bukan titik terendah tetapi bagian titik
balik yang menjadi pembatas dataran rendah di selatan (Yogyakarta) dan dataran
tinggi di utara (Magelang),
Dimana posisi garis tanggul danau Borobudur
diduga kuat berada diantara dua titik yang
lebih tinggi dari area candi Borobudur (di sebelah barat dan di sebelah timur
sungai Progo). Seperti disebut di atas area candi Borobudur sekitar 240-250 M.
Ini bisa berarti pada titik desa Kadiluwih-gunng Wukir di sisi timur dan Desa Bigaran
di sisi barat sungai Progo. Desa Kadiluwih tinggi 300 M (Gunung Wukir sendiri
tinggi 340 M), sementara desa Bigaran sekitar 240 M (dekat sungai Progo) yang
mana di dekatnya di utara terdapat gunung Patuk setinggi 350 M.
Indikasi danau jebol tidak hanya di pulau Jawa, juga
ditemukan di pulau Sumatra dan pulau Kalimantan. Di pulau Sumatra ditemukan di
wilayah Angkola Mandailing (danau Siabu) dimana pada zaman kuno dibangun situs
candi Simangambat yang sekaang. Danau jebol juga ditemukan di Aceh (danau
Tangse). Di pulau Kalimantan tidak jauh dari Muara Kaman (di sisi utara sungai
Mahakam. Indikasi suatu danau besar juga ditemukan di Putussibau, hulu sungai
Kapuas. Last but not least juga ditemukan di pulau Papua (lembah Baliem). Tentu
saja tidak hanya danau Borobudur, juga ditemukan di tempat lain di pulau Jawa.
Apa yang bisa kita perhatikan sekarang
tentang permukaan rupa bumi Indonesia sekarang berbeda dengan rupa bumi pada
zaman kuno. Permukaan rupa bumi di wilayah Magelang yang sekarang termasuk
dalam soal ini. Permukaan rupa bumi pulau Jawa sendiri pada zaman kuno lebih
ramping dibandingkan pada masa ini, sebab di pantai utara Jawa dari Banten
hingga Banyuwangi banyak area-area yang awalnya perairan (laut) telah berubah
menjadi daratan karena proses sedimentasi jangka panjang. Area kawasan muara sungai dan area teluk
telah banyak mengalami perubahan bentuk (permukaan rupa bumi). Sebaliknya pada
masa kini banyak area yang sebelumnya berupa daratan telah tergenang menjadi perairan
karena dibangunnya bendungan-bendungan besar.
Sejak zaman kumo alam telah bekerja dengan caranya
sendiri. Alam telah membendtik dirinya sendiri, melalui aktivitas gunung (api)
dan aliran sungai-sungai serta vegetasi yang berada di atas tanah telah
mempengaruhi perubahan alam tersebut. Gunung Sindoro, gunung Sumbing, gunung
Merbabu dan gunung Merapi diduga kuat pada zaman kuno telah mempengaruhi
permukaan rupa bumi di wilayah Magelang yang sekarang. Di antara gunung-gunung
ini terdapat gunung Tidar dengan inggi 500 M (di tengah kota Magelang yang
sekarang).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Candi Borobudur: Konstruksi vs Rekonstruksi di
Suatu Pulau?
Candi Simangambat berada di pulau Sumatra, candi
Borobudur di pulau Jawa. Di pulau Jawa pada zaman kuno terdapat danau besar yang
mana di tengah danau itu, terdapat pulau tempat dimana candi Borobudur
dibangun. Bagaimana bisa? Bagaimana membuktikannya? Seperti disebut di atas,
salah satu yang masih pertanyaan misteri dalam sejarah zaman kuno adalah
bagaimana candi Borobudur dibangun mengingat teknologi crane baru ditemukan
sekarang, Dalam hal ini dihipotesiskan bahwa pembangunan candi dilakukan secara
berahap dalam jangka panjang yang dimulai dari atas kemudian ke bagian bawah
mengikuti arah menyusutnya danau akibat peristiwa yang hebat yang diduga dampak
yang ditimbulkan erupsi gunung Merapi.
Berdasarkan profil permukaan bumi yang dapat
diperhatikan dari peta satelit bahwa terdapat banyak jalur lahar erupsi gunung
Merapi ke arah barat daya menuju danau Borobudur. Danau ini awalnya adalah
wujud danau pegununungan seperti halnya (danau) Rawa Pening di Ambarawa. Danau
ini terbentuk karena proses vulkanik yang terjadi pengendapan massa berat di
hilir sungai yang sampit di selatan di sekitar kecamatan Ngluwar, kabupaten
Megelang yang sekarang sehingga terbentuk semacam tanggul yang lalu terbentuk
genangan air yang semakin meluas akibat debit air sungai yang terus meningkat
terutama sungai Kali Progo yang berhulu di gunung Sindoro. Oleh karena endapan
yang terjadi berbentuk sedimen maka ketika terjadi erupsi gunung Merapi yang
sangat dahsyat mengakibatkan lahar panas menuju arah tanggul danau jalannya
arus air sunga Kali Progo. Tanggung danau yang berupa endapan semakin lunak
karena air danau yang semakin panas dan akhirnya tanggul jebol dan terbentuk
jalur air sungai Kali Progo ke bentuk yang semula. Genangan air danau kembali
menyusut. Dalam posisi ini candi Borobudur yang dibangun di atas seakan berada
jauh dari dasar (tanah datar). Candi yang sudah terbentuk dari atas diperluas
ke bagian yang lebih bawah sehingga pada akhirnya dasar candi sejajar permukaan
tanah datar.
Pembangunan candi Borobudur yang dimulai dari bagian atas
pulau di tengah danau ini terjadi pada era Hindoe Boedha. Seperti disebut di
atas, bukti terawal peradaban di ekitar danau Borobudur adalah prasasti Canggal
(tarih 732 M). Prasasti ini ditemukan di desa Kadiluwih kecamatan Salam di
tempat dimana juga ditemukan candi (Gunung Wukir). Desa Kadiluwih ini awalnya
berada di pinggir danau sebelah timur. Pada posisi sejajar permukaan danau di
sebelah barat terdapat desa Kajoran tempat yang disebutkan pada prasasti Ligor
(775 M). Lalu setelah disatukannya kerajaan-kerajaan yang ada di dalam dinasti
Seilendra mulai dibangun candi yang lebih besar di sekitar danau. Lokasi yang
dipilih adalah pulau Borobudur agar semua arah kemunitas penduduk bisa
mengaksesnya.
Tidak secara jelas bagaimana penyatuan
kerajaan-kerajaan di sekitar danau. Namun dinasti Sanjaya tampaknya telah
relokasi ke wilayah lain di tenggara gunung Merapi atas persetujuan dinasti
Seilendra. Prasasti juga mengindikasukan pembangunan candi yang diduga candi
Kalasan. Ini dapat diperhatikan pada prasasti Kalasan (778 M). Dalam prasasti
ini dimana dibangun candi disebut desa Kalasa (nama yang kemudian dikenal
Kalasan). Pembanguna candi di Kalasa ini diduga setelah tempat ibadah yang
disebut dalam prasasti Canggal (732 M) tidak sesuai lagi. Dalam prasasti Ligor
(775 M) sudah disebut keberadaan Kajaran[n]. Sementara itu pada prasasti
Kelurak disebutkan pembangunan tempat suci. Tempat suci ini diduga candi Sewu
(tidak jauh dari candi Prambanan).
Kapan pembangunan candi Borobudur dimulai yakni ketika
tempat para Brahma dibangun di Kalasan. Candi Borobudur diduga kuat dibangun
untuk kebutuhan semua warga. Pada prasasti Tri Tepusan (842 M) disebutkan
pembangunan tempat suci. Apakah prasasti ini sebagai penanda awal dibangunnya
candi Borobudur? Ada yang menafsirkan bahwa pembangunan tempat suci yang
dimaksud dalam prasasti untuk menghormati parra leluhur.
Prasasti Tri Tepusan (842 M) menyebutkan
tentang tanah sima (bebas pajak) di desa Tri Tepusan yang diberikan oleh rī
Kahulunnan (Pramodhawardhani) untuk menjamin pendanaan dan pemeliharaan Kamūlān
yang disebut Bhūmisambhāra. Kamūlān sendiri dari kata mula yang berarti 'tempat
asal', sebuah bangunan suci untuk menghormati para leluhur, mungkin para
leluhur para Sailendra. Casparis menyarankan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra yang
dalam bahasa Sansekerta berarti "Gunung kebajikan gabungan dari sepuluh
tahap Boddhisattvahood" adalah nama asli Borobudur. (Wikipedia),
Pada tahun-tahun dimana candi Borobudur juga dibangun
candi Simangambat di dekat Binanga. Seperti disebut di atas pola bangunan candi
Simangambat mirip dengan candi-candi Kalasan. Lalu bagaimana bentuk pola (awal)
candi Borobudur?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di
blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar