Kamis, 10 Juni 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (58): Aksara Era Zaman Kuno di Indonesia, Bermula Aksara Pallawa; Aksara Batak versus Aksara Jawa

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini 

Semua aksara nusantara (termasuk Filipina) zaman kuno bermula dari aksara Pallawa (India selatan). Pada era lingua franca bahasa Sanskerta, aksara Pallawa ini terjadi adopsi oleh penduduk asli di Sumatra dan Jawa. Perkembangan aksara nusantara ini terbentuk dua pola, jenis aksara Jawa dan aksara Sumatra. Aksara Jawa berkembang di Kerajaan Majapahit (Jawa bagian tmur) dan aksara Sumatra berkembang di Kerajaan Aru (Sumatra bagian utara). Aksara Jawa-Majapahit meluas ke barat (Sunda) dan ke timur (Lombok), sementara aksara Sumatra-Aru meluas di Sumatra bagian utara (Gajo) dan bagian selatan (Lampung) serta wilayah timur di Filipina dan Sulawesi. Hal itulah mengapa aksara Bugis-Makassar lebih mirip aksara Batak daripada aksara Jawa.

Sebelum aksara diintroduksi di nusantara sudah berkembang aksara di India (Pallawa) dan di Tiongkok (Jiaguwen). Produk-produk zaman kuno seperti kamper dan kemenyan yang permintaannya terus meningkat di Arab dan Eropa menyebabkan pedagang-pedagang India mulai berkoloni di pantai barat Sumatra dengan pelabuhan ekspor kamper di Barus. Dari sinilah pedagang-pedagang India mengalami eskpansi perdagangan hingga di Jawa. Tiga kerajaan awal terbentuk yakni Kerajaan Aru (Sumatra utara) dan Kerajaan Tarumanegara (Jawa barat). Setelah itu terbentuk Kerajaan Sriwijaya. Pada era ini satu-satunya aksara adalah Pallawa dengan lingua franca Sanskerta. Dalam perkembangan lebih lanjut, aksara Pallawa dikembangkan di Kerajaan Aru yang menjadi cikal bakal aksara Sumatra dan dikembangkan di Kerajaan Singhasari (Majapahit) yang menjadi cikal bakal aksara Jawa. Pedagang-pedagang Kerajaan Aru mengintroduksi aksara Sumatra (Aksara Batak) di Filipina dan Sulawesi (besar dugaan juga di Maluku) dan hal serupa Aksara Jawa oleh pedagang-pedagang Majapahit di bagian barat Jawa dan bagian timur Jawa hingga Lombok (besar dugaan juga hingga Bima dan Kalimantan bagian selatan dan barat). Pada awal era perkembangan agama Islam muncul aksara Arab tetapi aksara Batak dan akasara Jawa juga masih eksis. Lalu kemudian oleh pedagang-pedagang Portugis dan Spanyol mengintroduksi aksara Eropa  (aksara Latin).

Lantas bagaimana sejarah aksara zaman kuno di Indonesia? Seperi disebut di atas dikembangkan dari aksara Pallawa di Kerajaan Aru dan Kerajaan Singhasari-Majapahit. Aksara Batak yang berkembang di Kerajaan Aru (Padang Lawas) meluas ke Toba, Karo dan Gajo di bagian utara dan Minangkabau (pra Pagaroejoeng), Kerinci, Rejang terus ke Lampung. Pola aksara Batak ini juga diduga kuat dipengaruhi aksara Tiongkok (hubungan dagang antara Kerajaan Aru dan Tiongkok yang intens). Hal itulah mengapa aksara Sumatra dan Jawa terkesan berjauhan padahal berakar sama (Pallawa). Bagaimana semua itu berlangsung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Prasasti dan Candi pada Era Aksara Pallawa Bahasa Sanskerta: Aksara Batak dan Aksara Jawa

Keberadaan aksara Pallawa berbahasa Saskerta di Hindia Timur (nusantara) terdapat pada prasasti yang ditemukan Muara Kaman, Kutai, Disebutkan bahwa prasasti itu dibuat abad ke-4. Dimana prasasti itu dibuat sulit dibuktikan apakah benar-benar di Kutai atau di tempat lain. Hal ini karena aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta berasal dari India (selatan). Sementara bukti candi dan laporan-laporan di zaman kuno pusat pertumbuhan dan pekembangan hanya berada di pantai barat Sumatra dan pantai utara Jawa.

Sejauh ini tidak ada tanda-tanda yang lebih muda dari tahun prasasti ditemukan bukti peradaban di wilayah Kutai. Tanda-tanda peradaban di Kutai baru terdeteksi pada era Portugis. Tarih pada prasasti Kutai (abad ke-4) baru belakangan ini diketahui berada di Jawa bagian barat (candi Batujaya) dan di Jawa bagian tengah (Kendal) berupa candi. Namun yang jelas bahwa prasasti yang ditemukan di Kutai dapat dikatakan keberadaan aksaran Pallawa di nusantara.

Bahasa Sanskerta sejauh ini diketahui sebagai lingua franca tertua di nussantara (Hindia Timur). Dalam hal ini pengguna bahasa Sanskerta yang membawa peradaban tulis aksara Pallawa. Bukti-bukti bahasa Sanskerta dengan aksara Pallawa, selain prasasti Muara Kaman juga ditemukan di berbagai tempat pada abad-abad berikutnya.

Disebutkan prasasti tertua di (pulau) Jawa ditemukan di Jawa bagian tengah yakni prasasti Sojomerto di kecaatan Reban, Batang dan di kecamatan Salam, Magelang yang dikenal sebagai prasasti Canggal (juga disebut prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya). Prasasti Sojomerto tentang silsilah raja diperkirakan pada akhir abad ke-7, prasasti Canggal berangka tahun 732 M  aksara Pallawa dengan bahasa Sanskerta ditemukan di halaman candi Gunung Wukir. Isi teks prasasti tentang pernyataan Raja Sanjaya pada tahun 732 sebagai seorang penguasa universal dari Kerajaan Mataram Kuno.

Keberadaan candi dan keberadaan prasasti tidak mencerminkan ruang dan waktu yang sama. Candi tertua di Jawa ditemukan di Batujaya (Jawa barat) yang diduga kuat dibangun pada abad yang sama abad ke-4 dan candi di Kendal (Jawa tengah) diduga dibangun pada abad ke-7. Urutan ini seakan mengindikasikan pusat peradaban bermula di bagian barat Jawa kemudian meluas ke bagian tengah Jawa. Seperti disebut di atas prasasti tertua di Jawa ditemukan bertarih abad ke-8. Lantas apakah prasasti Muara Kaman Kutai awalnya berada di Jawa bagian barat?

Candi tertua di Sumatra ditemukan di Tapanuli Selatan (candi Simangambat yang diperkirakan dibangun pada abad ke-9. Akan tetapi prasasti tertua di Sumatra berarih abad ke-7 (prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang). Seperti halnya prasasti Muara Kaman Kuta, prasasti Kedukan Bukit awalnya berada di pulau Bangka. Oleh karena itu dimana peradaban awal bermula (aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta) haruslah mempertimbangkan candi dan atau prasasti. Hal ini karena peradaban awal aksara Pallawa seiring dengan kehadiran pedagang-pedagang India (selatan) yang berbahasa Sanskerta (yang menjadi lingua franca di nusantara). Bukti-bukti terawalnya seperti disebut di atas pada prasasti Muara Kaman (abad ke-4), prasasti-prasasti yang ditemukan di Sumatra bagian selatan pada abad ke -7).

Prasasti dan candi terkait dengan adanya kerajaan. Candi adalah pusat pemujaan di dalam kerajaan dan prasasti dibuat sehubungan dengan pernyataan yang penting apakah dari raja atau pemimpin agama. Media yang digunakan batu yang menjadi faktor penting keberadaannya bertahan lama hingga diketahui pada masa kini. Hal yang sama dengan keberadaan candi (dibangun dari batu atau bata).

Keterangan awal tentang Hindia Timur (nusantara) dicatat oleh seorang ahli geografi Yunani Ptolomeus (90-168 M), Disebutkan bahwa pulau Sumatra bagian utara adalah sentra produksi kamper. Pada abad-abad berikutnya di dalam literatur Eropa disebutkan Megasthenes (290 ) nama Tabrobana (yang diduga kata lain nama pulau Sumatra yang disebut Ptolomeus) dan pada abad ke-5 disebutkan kamper diekspor dari pelabuhan yang disebut Barus (kota pelabuhan di pantai barat Sumatra). Berdasarkan berita Tiongkok (dinasti Tang) disebutkan (kerajaan) Sriwijaya telah mengirim utusan ke Tiongkok pada 670. Tahun ini adalah 12 lebih awal dari keberadaan prasasti Kedukan Bukit 682 M. Baru sekian abad kemudian muncul berita tentang nusantara dari Eropa dalam catatan Marco Polo yang mengunjungi bagian utara Sumatra pada abad ke-13 dan kemudian pada abad ke-14 dengan kunjungan Friar Odoric dan Ibnu Batutah (seorang Moor asal Tunisia). Pada saat kehadiran Ibnu Batutah di kawasan selat Malaka pada tahun 1345 terdapat dua kerajaan besar di Hindia Timur yakni Kerajaan Aru dan Kerajaan Majapahit.

Awal peradaban (asing) di Hindia Timur diduga kuat bermula di pantai barat Sumatra, yang kemmudian meluas hingga ke Jawa dan Semenanjung Malaka. Barus sebagai pelabuhan ekspor kamper diduga menjadi gambaran awal tentang keberadaan kerajaan awal di Hindia Timur. Dalam perkembangannya diketahui Barus adalah pelabuhan Kerajaan Aru di pantai barat Sumatra dan Binanga di pantai timur Sumatra. Kerajaan Aru diduga kuat lebih awal eksis jika dibandingkan kerajaan-kerajaan di Jawa (Tarumanagara dengan candi Batujaya abad ke-4). Seperti disebut di atas keberadaan (kerajaan) Sriwijaya sudah diketahui di Tiongkok dan prasasti Kedukan Bukit pada abad ke-7. Seperti yang disebut di atas pada abad ke-7 keberadaan prasasti Sojomerto dan candi di Kendal.

Keberadaan Kerajaan Aru, selain mengacu pada catatan Ptolomeus (abad ke-2) dan laporan Eropa tentang keberadaan pelabuhan Barus (abad ke-5), juga dapat diketahui berdasarkan prasasti Kedukan Bukit 682 M. Disebutkan Raja Dapunta Hyang Nayik dari Binanga dengan 20.000 tentara tiba di (kerajaan) Sriwijaya di Hulu Upang (yang diduga kuat di Bangka yang sekarang). Pada dekade-dekade ini terdapat tiga raja bergelar Dapunta, yakni Raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanāga (lihat prasasti Talang Tuo 684 M) dan Dapunta Selendra (lihat prasasti Sojomerto). Dalam hal ini Dapunta Hyang Nayik adalah Raja dari Kerajaan Aru dengan ibu kota di Binanga (kini kecamatan di Padang Lawas Tapanuli dimana terdapat banyak candi-candi).

Pada abad ke-7 ini di nusantara diketahui tiga raja yang bergelar Dapunta yakni raja dari Kerajaan Aru (Dapunta Hyang Nayik), raja dari Kerajaan Sriwijaya (Dapunta Hyang Sri Jayanāga) dan raja dari Kerajaan Kalingga (Dapunta Selendra). Tiga raja dan kerajaan tentulah saling terkait dan memiliki hubungan baik. Bagaimana hal itu terkait dapat dijelaskan berdasarkan prasasti Kota Kapur (686 M).

Kehadiran Raja Dapunta Hyang Nayik di Hulu Upang (Bangka) dalam rangka memperkuat (mungkin juga untuk mengukuhkan raja) Sriwijaya. Pada prasasti Kota Kapur disebutkan Sriwijaya telah berangkat menyerang kerajaan di Jawa yang tidak mau bekerjasama (di duga dalam hal navigasi pelayaran perdagangan). Kerajaan yang diserang ini diduga kuat adalah Kerajaan Tarumanagra yang sudah eksis sejak abad ke-4. Seperti disebut di atas prasasti Muara Kaman bertarih abad ke-4. Kerajaan Tarumanagara yang berada di Jawa bagian barat diduga kuat hancur yang mana sebagian pimpinannya melarikan diri ke pedalaman (lihat juga prasasti Ciaruteun, Ciampea Bogor dan prasasti Cidangiang, Pandeglang) dan sebagian yang lain diduga kuat ke pantai timur Kalimantan (Muara Kaman Kutai?). Ada  kemiripan bentuk tulisan antara prasasti Cidangian dengan prasasti Tugu yang diduga dibuat orang yang sama di satu sisi dan di sisi lain dari isi teks ada kemiriipan antara prasasti Tugu dan prasasti Muara Kaman Kutai tentang satuan nilai jumlah ekor sapi. Sementara itu kerajaan yang berada di Jawa bagian tengah (diduga Kerajaan Kalingga) bersedia bekerjasama sehingga diberi gelar Dapunta. Dalam perkembangannya Kerajaan Kalingga mengukuhkan kerajaan di Magelang (lihat prasasti Canggal 732 M). Kerajaan di Magelang inilah yang diduga cikal bakal Kerajaan Mataram (Kuno).

Dalam hal ini aksara Pallawa menjadi penting dan bahasa Sanskerta sebagai lingua franca dalam navigasi pelayaran perdagangan di nusantara (Sumatra, Jawa dan mungkin Kalimantan). Seperti disebut di atas, tarih tertua aksara Pallawa diketahui abad ke-4 (prasasti Muara Kaman) dan prasasti-prasasti di Sumatra bagian Selatan (Kedukan Bukit, Talang Tuo dan Kota Kapur). Penyebaran pengguna bahasa Sanskerta dan aksara Pallawa ini seiring dengan perkembangan kerajaan-kerajaan yang dimulai dari Kerajaan Aru dengan pelabuhan utama kampernya di Barus? Lantas apa hubungannya antara kerajaan di Sumatra bagian utara (Kerajaan Aru) dengan prasasti Vo Chan di Vietnam.

Prasasti Vo Cahn dalam bahasa Sanskerta diperkirakan dibuat pada abad ke-2 atau ke-3. Prasasti ini ditemukan di Vo Chan, Vietnam. Dalam teks prasasti disebut nama Raja Sri Mara. Seperti halnya prasasti Muara Kaman, prasastu Vo Chan terbilang jauh dari arah barat (India selatan) tempat datangnya para pedagang pengguna bahasa Sanskerta.

Umur prasasti Vo Chan terbilang paling tua di Asia Tenggara tetapi sebaliknya lokasi ditemukan prasasti berada di tempat paling terpencil. Bukankah secara sosiogeografis yang lebih tua berada pada posisi yang lebih dekat. Ini sedikit bertentangan dengan catatan geografi Ptolomeus pada abad ke-2 sentra produksi kamper berada di pulau Sumatra bagian utara (sebelah barat), kawasan ditemukannya gelar Mara untuk raja-raja. Apakah telah terjadi suatu peristiwa penting di Vo Chan yang terhubung dengan Sumatra (Kerajaan Aru).

Kerajaan Champa (bahasa Cham: Nagarcam) suatu kerajaan yang terbentuk pada abad ke-7. Tetangga Champ adalah Khmer di Kamboja, penganut agama Boedha dengan karakteristik sinkretisme antara Boedha, Hindoe, animisme dan pemujaan terhadap leluhur (suatu agama yang mirip di Kerajaan Aru, Boedha sekte Bhairawa). Prasasti lainnya di Indochina adalah prasasti Dong Yen Chau prasasti berbahasa Cham yang ditulis dalam aksara Pallawa ditemukan di Đông Yen Châu, tidak  jauh dari ibu kota lama Kerajaan Champa di Indrapura. Prasasti mengindikasikan pengaruh agama Hindu, kemiripan tata bahasa dan kosakata yang digunakan dalam prasasti ini dengan prasasti-prasasti berbahasa Melayu Kuno. Seperti kita lihat nanti, prasasti Vo Chan yang bertarij abad ke-2 telah dibawa dari Sumatra ke  Vietnam (penduduk yang membawa inilah kemudian membentuk kerajaan Cham pada abad ke-7).

Berdasarkan prasasti Vo Cham dapat diinterpretasi bahwa Radja Sri Mara (dari Sumatra) telah menikahkan putrinya dengan anggota keluarga kerajaan di Vo Chan yang mana suaminya telah dinobatkan menjadi raja. Dalam hal ini prasasti dibuat (pada abad ke-3) saat peristiwa penobatan raja yang dikukuhkan oleh raja Sri Mara. Dalam prasasti sang raja besar (Sri Mara) berdoa agar kepada sang ayah yang telah pergi (meninggal) dan kepada sang anak yang menjadi raja (sang menantu) agar masuk sorga dan berjaya di dunia.

Nama Cham dan nama Khmer (serta nama Cambodia) mirip nama kamper, suatu produk zaman kuno dengan sentra produksi di bagian utara pulau Sumatra yang diekspor dari pelabuhan Barus (kapur Barus atau kamper). Barus sendiri adalah pelabuhan Kerajaan Aru di pantai barat Sumatra dan Binanga di pantai timur Sumatra. Dengan memperhatikan hubungan satu sama lain, orang-orang Cham dan orang-orang Khmer, sesuai prasati Vo Chan, penduduk Champ dan Khmer terbentuk karena peristiwa sejarah tempo doeloe karena hubungan keluarga (adanya perkawinan) penduduk yang lebih awal (asli) dan penduduk yang datang kemudian (pendatang dari Sumatra). Namun besar kemungkinan etnik Khmer di pedalaman yang berasal dari Sumatra (Kerajaan Aru).

Dalam hubungan ini masuk akal jika prasasti Vo Cahn awalnya berada di pantai barat Sumatra. Orang Cham, Khmer (Kamboja) sendiri terbilang adalah orang tropis di Indochina dengan bahasa mirip bahasa Melayu. Bagaimana migrasi orang Sumatra ke Indochina dapat dijelaskan dengan menggunakan prasasti Ligor (Thailand) dan prasasti Laguna (Filipina)

Prasasti Laguna ditemukan di teluk Manila pulau Luzon. Prasasti terbuat dari perunggu ini bertarih 900 M berbahasa Sanskerta dan Pallawa (Melayu Kuno). Isi prasasti mengindikasikan kerajaan-kerajaan di sekitar teluk (Tondo, Pila, Pilalan dan Nayaman) tunduk pada raja yang termasyhur di Binwangan. Dengan mengacu pada prasasti Kedukan Bukit 682 M yang disebut di atas, raja (Kerajaan Aru) Dapunta Hyang Nayik beribukota di Minanga (Padang Lawas). Besar dugaan nama Binwangan pada prasasti Laguna adalah Binanga. Sementara itu, prasasti Ligor di Thailand bertarih 775 M (sisi-B) mengindikasikan pembangunan candi di Jawa yang dibantu oleh penduduk Kunjara (prasasti Canggal 732 M). Kerajaan Kajara adalah kerajaan yang didirikan Sriwijaya (prasasti Ligor sisi-A). Oleh karena itu prasasti Dong Yen Chau di Viernam dibuat sekitar tahun-tahun diantara prasasti Ligor (Thailand) dan Laguna (Filipina). Wilayah di pintu teluk Manila pada masa ini (provinsi Bataan) dikenal populasi (etnik) Ayta yang karakteristiknya mirip dengan populasi ernik Batac di pulau Palalawan yang keduanya memiliki banyak kemiripan dengan etnik Batak di Sumatra (Kerajaan Aru). Nama Ayta (mirip nama Bata) di provinsi Bataan. Nama-nama geografis di wilayah provinsi Bataan ini banyak yang mirip dengan nama-nama di Angkola Mandailing (Padang Lawas, Kerajaan Aru). Seperti disebut di atas, prasasti Ligor di pantai timur Thailand selatan dekat dengan Malaysia (Nakhon Si Thammarat) berupa pahatan yang ditulis pada dua sisi batu dimana bagian pertama disebut prasasti Ligor A (manuskrip Viang Sa) sedangkan bagian lainnya disebut prasasti Ligor B berangka tahun 775 M, Dalam hal ini prasasti ini tampaknya ada hubungannya dengan prasasti Kota Kapur dan prasasti Canggal (Selendra) seperti disebut di atas. Pada manuskrip Ligor A berisi tentang raja Sriwijaya yang mendirikan Trisamaya caitya untuk Kajara (kini Magelang), sedangkan manuskrip Ligor B berangka tahun 775 berisi tentang nama Visnu yang bergelar Sri Maharaja dari keluarga Śailendravamśa (Raja Kajara). Tampaknya prasasti ini menceritakan tentang pengangkatan raja di Jawa, kerajaan yang didirikan Sriwijaya (lihat prasasti Canggal). Prasasti Ligor berbeda dengan prasasti Laguna (900 M), prasasti Ligor tidak mengindikasikan tentang di Ligor sendiri. Seperti prasasti Muara Kaman dan prasasti Vo Chan, apakah prasasti Ligor dibuat di tempat lain. Bagaimana prasasti ini berada di Ligor dibawa oleh siapa dan kapan? Pada tahun-tahun ini tentu saja kerajaan di Jawa belum sampai di Semenanjung dan Indochina dan Filipina, baru Kerajaan Aru yang sudah mencapai kawasan laut China selatan ini (lihat prasasti Vo Cahn abad ke-3 dan prasasti Laguna 900 ) sebab Sriwijaya lebih berorientasi di selatan (dan bahkan menyatu dengan Jawa), sedangkan Kerajaan Aru sudah sekal lama berada di wilayah utara termasuk Semenanjung dan Filipina. Kawasan Indochina ini (Khmer dan Champa yang minoritas di Vietnam) lebih bernuansa Sumatra bagian utara, seperti disebut di atas yang mana nama Khmer dan Champa diduga merujuk pada nama Kamper. Pada masa ini diantara dua etnik ini terdapat nama district Ma Da yang berperilaku mirip orang Batak di Padang Lawas. Sumatra Utara. Ma Da (dalam bahasa Mandarin Kuno, Ma=Ba dan Da=Ta) yang berarti Ma Da sama dengan Bata. Distrik Ma Da berada di sekitar danau Tri An berada di provinse Dong Nai (suatu wilayah tropis) yang dihuni kelompok etnik minoritos yang bahasa berbeda dengan Viet(nam) yang mayoritas. Bukankah nama Nai merujuk pada nama Batak? Nama district Mada [Bata] di provinis Dong Nai [Nai] berdekatan dengan provinsi Bataan di teluk Manila. Sebagai tambahan nama Morong di provinsi Bataan dan nama Morong di Trengganu (pantai timur Semenanjung Malaya) dekat prasasti Ligor, suatu nama yang mirip dengan nama Morang di Kerajaan Aru (kabupaten Padang Lawas yang sekarang). Kawasan Semenanjung bagian timur ini juga meliputi ujung Semenanjung (lihat prasasti Singapura aksara Pallawa berbahasa Sanskerta). Tentu saja nama yang disebut di dalam prasasri Laguna 900 M dapat diinterpretasu sebagai nama-nama yang mirip di Kerajaan Aru seperti Tondo (tondi jiwa atau tondong kerabat); Pila (sungai Bila); dan Pilalan (dari nama Pila atau Bila). Tentu saja pada masa ini banyak nama Minanga ditemukan di Filipina termasuk teluk Manila. Pila yang disebut pada prasasti kini berada di municipalitas Lumban (suatu nama bagi orang Angkola Mandailing sebagai kampong atau desa). Nama barangai (asli) di municipalitas Lumban ini ada juga yang mirip dengan nama tempat di Angkola seperti Maracta (Maratcar), Talang (Tolang), Parang (Paran), Salac (Salak), Nama Mdang yang disebut dalam prasasti mirip nama Mondang di Padang Lawas. Oleh karena itu nama Binwangan dalam prasasti Laguna 900 M diduga kuat adalah Binanga yang menjadi ibu kota Kerajaan Aru

Perihal tentang prasasti Ligor menjadi penting. Di satu sisi prasasti yang ditemuakan di Ligor yang menceritakan penduduk Kajara (membantu) membangun candi di Jawa (prasasti Canggal dan prasasti Ligor) dan kerajaan Kajara dibangun Sriwijaya (prasasti Ligor). Seperti ditanyakan di atas, sebenarnya prasasti ini dibuat dimana? Apakah di Ligo atau tepat lain? Tentu saja pada tahun-tahun ini Kerajaan Sriwijaya masih berada di Bangka dan terkonsentrasi dan berorientasi di selatan. Namun secara umu dapat disimpulkan bahawa prasasti Ligor dibuta di Jawa (mungkin saja di Kajara). Jika diurutkan tarih prasasti Canggal (732 M) dan prasasti Ligor (sisi-B) tahun 775. Dalam hal ini prasasti Ligor sisi-A dibuat sebelum tahun 732 M, sementara sisi-B dibuat kemudian untuk meringkas atau menegaskan peristiwa 732 M. Dengan demikian prasasti Ligor dibuat di Jawa sebelum tahun 775 atau sebelumnya. Lalu siapa yang mebawa prasasti ini ke Ligor? Itu hal lain lagi. Yang jelas di Ligor (Thailand) sudah ada komunitas atau kerajaan yang terbentuk kemudian, yang diduga kuat sejaman dengan di teluk Manila (Filipina) dan Vo Chan (Vietnam). Kawasan ini adalah ruang navigasi pelayaran perdagangan Kerajaan Aru.

Tunggu deskripsi lengkanya

Aksara Batak hingga Filipina dan Sulawesi, Aksara Jawa hingga Bima dan Kalimantan

Sejarah zaman kuno di Hindia Timur long-long time. Sejak catatan Ptolomeus pada abad ke-2, Kerajaan Aru membantu Kerajaan Sriwijaya menyerang Jawa (akhir abad ke-7) hingga invasi Kerajaan Chola di India selatan (Hindoe) pada abad ke-11.  Ada tiga pelabuhan yang diserang Chola di sekitar kawasan selat Malaka (Boedha) yakni Kadaram (Kedah), Panai (Kerajaan Aru) dan Kerajaan Sriwijaya (di muara sungai Batanghari, relokasi dari Bangka). Pasca invasi Chola Kerajaan Aru bangkit kembali (demikian juga Sriwijaya, tetapi tidak dengan Kadaram).

Pengaruh Hindoe di Kerajaan Aru tampak pada salah satu candi di Padang Lawas (candi Sangkilon) satu-satunya candi Hundoe di Padang Lawas dan juga terdapat nama geografi Angkola. Semasa invasi Chola sejumlah pemimpin Kerajaan Aru melarikan ke hulu sungai Batanghari (terbentuk Kerajaan Mauli), sedangkan Kerajaan Sriwijaya relokasi ke daerah aliran sungai Musi.

Pasca kebangkitan Kerajaan Aru, agama Hindoe dihianati dan kembali dengan ajaran lama (Boedha) tetapi dengan sekte yang berbeda yang disebut Sekte Bhairawa. Sekte ini awalnya berkembang di Indochina (kawasan yang sudah dirintis Kerajaan Aru sejak lama di wilayah Champa dan Khmer yang sekarang, suatu kawasan yang tidak dikuasai Chola yang diduga juga menjadi pelarian para pemimpin Kerajaan Aru selama pendudukan Chola. Sekte Bhairawa inilah dari Kerajaan Aru meluas ke Kerajaan Mauli. Saat bangkit inilah Kerajaan Singhasari menjalin hubungan perdagangan dengan Kerajaan Aru.

Dua dari tiga kerjaan besar di Hindia Timur saling bertukar berbagai hal tidak hanya perdagangan (exchange) komoditi juga pertukaran pengalaman dan ilmu pengetahuan, termasuk religi. Pada saat Keraajaan Singhasari dipimpin oleh Raja Kertanegara, sang raja mengadopsi agama Boedha Batak sekte Bhairawa, suatu ajaran sinkretisme Boedha dan pagan dengan pemujaan terhadap leluhir. Radja Kertanegara menjadi salah satu pendukung fanaik sekte Bhairawa di Jawa.

Radja Kertanegara mengirim hadih berupa arca kepada raja di Kerajaan Mauli yang notabene sekte Bhairawa. Tentu saja telah terjadi konspirasi dalam hubungannya dengan Kerajaan Sriwijaya yang masih Boedha. Sebagaimana diketahui pada akhirnya Kerajaan Singhasari dimasa Raja Kertanegara menyerang Kerajaan Sriwijaya. Raja Kertanegara meninggal pada tahun 1292. Ini menjadi klimak, Kerajaan Singhasari berakhir dan kemudian digantikan Kerajaan Majapahit. Kerajaan Srwijaya yang berusaha bangkit, kembali diserang, kini dilakukan oleh Kerajaan Majapahit (Hindoe). Kerajaan Sriwijaya tamat. Lantas mengapa Kerajaan Majapahit yang dipimpin Patih Gajah Mada tidak menyerang Kerajaan Mauli dan Kerajaan Aru yang sama-sama sekte Bhairawa (silahkan tebak sendiri).

Adityawarman diangkat menjadi raja di Kerajaan Mauli pada tahun 1347. Pengangkatan ini dapat dilihat pada prasasti Padang Roco yang mana prasasti itu terdapat pada arca yang dulu merupakan hadiah dari Raja Kertanegara. Radja Adtyawarman memproklamasikan Kerajaan Mauli (Dharmasraya) sebagai kerajaan Melayu dan kemudian Adtyawarman merelokasi ibu kota dari hulu sungai Batanghari ke hulu sungai Indragiri (yang menjadi cikal bakal Kerajaan Pagaroejoeng). Berbagai persoalan di Jawa muncul, tidak lama kemudian setelah raja baru di Kerajaan Mauli diketahui Patih Gajah Mada disebutkan telah meninggal atau moksa pada tahun 1364. Sejak itu Kerajaan Majapahit mulai melemah. Pada masa inilah Mpu Prapanca menulis naskah Negarakertagama (1365). Dalam buku ini pada pupuh 15 mendaftarkan nama-nama pelabuhan (kerajaan) yang menjadi mitra perdagangan Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1375 Raja Adtyawarman meninggal dunia. Seperti Raja Kertanegara dari Singhasari, Radja Adityawarman juga salah satu pendukung fanatik agama Boedha Batak sekte Bhairawa. Kerajaan Majapahit semakin memudar lebih-lebih setelah raja Majapahit terkenak Hayam Wuruk meninggal pada tahun1389.

Selama era Kerajaan Singhasari dan Kerajaan Majapahit aksara Pallawa dikembangkan yang menjadi kebutuhan sendiri (terbentuk akasar Jawa Kuno atau Kawi). Sementara itu Kerajaan Aru juga mengembangkan aksara untuk kebutuhan sendiri (terbentuk aksara Batak). Aksara Pallawa tamat, demikian juga bahasa Sanskerta. Bahasa Jawa semakin menguat (menjadsi bahasa Jawa Kuno), demikian juga semakin menguat bahasa Batak (Batak Kuno). Pengguna bahasa Sanskerta juga semakin berkembang (lahirlah bahasa Melayu Kuno). Pada fase ini kerajaan-kerajaan Melayu (seperti Kerajaan Malaka) yang sudah beragama Islam mengadopsi aksara Arab (aksara Jawi). Saat ini hanya tinggal satu kerajaan besar, kerajaan yang memiliki pengaruh luas yakni Kerajaan Aru (Kerajaan Singhasari, Kerajaan Sriwijaya sudah lama tamat, Kerajaan Majapahit hanya bisa bertahan di dalam negeri di Jawa).

Kerajaan Aru semakin kuat, tidak tertandingi oleh kerajaan manapun di nusantara. Kekuatan Kerajaan Aru semakin kuat karena sudah berkolaborasi dengan pedagang-pedagang Moor beragama Islam. Komunitas Moor sudah sejak lama ada di sekitar kawasan selat Malaka. Hal itulah mengapa utusan Moor asal Tunisia berkunjung kepada kerajaan-kerajaan di selat Malaka dan juga melanjutkan kunjungannya ke Tiongkok. Utusan itu berada di selata Malaka tahun1345 yang dikenal sebagai Ibnu Batutah. Dua dari empat raja (federasi) Kerajaan Aru beragama Islam yang mana satu diantaranya bergelar haji (lihat prasasti Sitopayan yang ditemukan pada candi Bahal di Padang Lawas). Pengaruh Kerajaan Aru yang sudah sejak lama di bagian utara pulau Sumatra dan kawasan Laut China Selatan (Sungapoera, Broenai, Ligor, Champa dan Khmer serta Filipina)  semakin meluas ke Sulawesi dan Maluku.

Tunggu deskripsi lengkanya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar