*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Wilayah Sumatra adalah wilayah yang lengkap untuk urusan tambang bahan
fosil. Ada batubara, ada minyak dan ada juga gas serta gambut. Yang jelas di
Palembang tidak ada tambang minyak dan batubara, hanya ada kilang minyak Plaju.
Yang ada di wilayah Palembang sekitar adalah kawasan gambut. Kawasan tambang
batubara di Sumatera Selatan berdampingan dengan sumur-sumur tambang minyak.
Singkatnya pertambangan minyak di Sumatera Selatan cenderung di pedalaman,
sedangkan di wilayah belakang pantai cenderung ditemukan lahan gambut yang luas.
Apa arti semua itu?
Sumatera selatan atau pulau Sumatra bagian selatan yang
dikenal sebagai provinsi Sumatra Selatan didirikan pada tanggal 12 September
1950 yang awalnya mencakup daerah Sumatra Selatan sekarang, Bengkulu, Lampung,
dan kepulauan Bangka Belitung dan keempat wilayah yang terakhir disebutkan
kemudian masing-masing menjadi wilayah provinsi tersendiri akan tetapi memiliki
akar budaya bahasa dari keluarga yang sama yakni bahasa Austronesia proto
bahasa Melayu dengan pembagian daerah bahasa dan logat antara lain seperti
Palembang, Ogan, Komering|Lampung, Musi, Lematang dan masih banyak bahasa
lainnya. Menurut sumber antropologi disebutkan bahwa asal usul manusia Sumatra
bagian selatan dapat ditelusuri mulai dari zaman paleolitikum dengan adanya
benda-benda zaman paleolitikum pada beberapa wilayah antara lain sekarang
dikenal sebagai Kabupaten Lahat, Kabupaten Sarolangun Bangko, Kabupaten Ogan
Komering Ulu dan Tanjung Karang yakni desa Bengamas lereng utara pergunungan
Gumai, di dasar (cabang dari Sungai Musi) sungai Saling, sungai Kikim lalu di
desa Tiangko Panjang (Gua Tiangko Panjang) dan desa Padang Bidu atau daerah
Podok Salabe serta penemuan di Kalianda dan Kedaton dimana dapat ditemui
tradisi yang berasal dari acheulean yang bermigrasi melalui sungai Mekong yang
merupakan bagian dari bangsa Monk Khmer (lihat Wikipedia).
Sejarah sebaran tambang minyak di wilayah Sumatra Selatan menjadi penanda
navigasi sekjarah zaman kuno di wilayah Sumatera Selatan. Bagaimana bisa? Seperti
disebut di atas, di wilayah Palembang hanya ditemukan lahan gambut dan kilang
minyak, sedangkan tambang (sumur-sumur) minyak cenderung ditemukan di wilayah
pedalaman seperti di Muara Enim (di daerah aliran sungai Lematang). Lalu apa
hubungannya peta tambang di wilayah Sumatera Selatan dengan sejarah zaman kuno?
Apakah hal itu bisa menjelaskan sejarah Sriwijaya? Seperti kata ahli sejarah
tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Peta Tambang Minyak:
Sedimentasi Zaman Kuno di Muara-Muara Sungai
Jauh
sebelum nama Palembang di kenal, sudah dikenal nama Sriwijaya pada zaman kuno
(lihat prasasti Kedukan Bukit 682). Namun kemudiaan nama Sriwijaya menghilang.
Nama Palembang (juga Bangka) paling tidak sudah diidentifikasi pada peta di awal
era Portugis (lihat peta Pedro Reinel, 1517). Nama ini sesuai dengan nama
Palembang yang dicatat dalam teks Negarakertagama (1365 M).
Dalam teks Negarakertagama tidak disebut nama
Sriwijaya. Nama Sriwijaya masih dicatat pada prasasti Tanjore (1030 M).
Nama-nama yang dicatat dalam prasasti ini termasuk Panai, Binanga, Mandailing
dan Rokan, Kedan dan Malaya. Pada teks Negarakertagama nama-nama yang disebut terakhir ini juga
dicatat, Dalam hal ini, nama Sriwijaya adalah satu hal dan nama Palembang
adalah hal lain lagi. Dalam teks Negarakertagama, di wilayah Sumatra bagian
selatan yang sekarang hanya nama Palembang satu-satunya yang dicatat. Nama-nama
yang banyak dicatat berada di Sumatra bagian utara dan Semenanjung. Sejak era
Portugis nama Palembang terus dipetakan.
Nama
Palembang yang dicatat dalam teks Negarakertagama (1365) diduga berada di
wilayah Palembang yang sekarang. Namun tidak tepat di pusat kota Palembang yang
sekarang, tetapi agak ke hilir di sisi utara sungau Musi (kota lama). Kraton di
kota lama ini relokasi pada era VOC karena sering mengalami banjir. Dengan kata
lain kota Palembang bergeser ke hulu, lebih dekat dengan posisi GPS kraton
(pusat) Sriwijaya tempo doeloe.
Seperti disebut di atas, nama Palembang adalah
satu hal dan nama Sriwijaya adalah hal lain. Kota Palembang diduga adalah kota
yang terbentuk kemudian di hilir sungai Musi. Sedangkan pusat Sriwijaya di masa
lampau berada di suatu pulau yang berada di pertemuan sungai Musi dan sungai
Komering. Pulau itu diduga kuat adalah Bukit Siguntang yang sekarang. Dengan
demikian pada era Sriwijaya, dari (pulau) Bukit Siguntang hingga ke hilir yang
sekarang masih perairan (laut). Berdasarkan peta gambut yang sekarang, di
wilayah (provinsi) Sumatera Selatan kawasan gambut ini terkonsentrasi di
belakang pantai (di hilir kota Palembang yang sekarang). Hanya luasan kecil di
pedalaman di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Musi. Dalam hal ini pulau
Sumatra tampak lebih ramping zaman doeloe jika dibandingkan dengan yang
sekarang, dimana garis pantai pada era Sriwijaya tepat berada di kota Palembang
yang sekarang.
Sebaran
kawasan lahan batubara dan kawasan tambang (sumur-sumur) minyak di wilayah
Sumatera Selatan berada di arah pedalaman. Seperti disebut di atas kawasan
batubara dan kawasan minyak relatif berdekatan satu sama lain.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Sejarah Tambang Minyak Sumatra
Selatan: Berada di Wilayah Pedalaman
Wilayah
Palembang dapat dikatakan tidak memiliki sumber daya alam, Di kota Palembang
berkembang sebagai pusat perdagangan, kota sungai yang mempertemukan produk
alam dari pedalaman dan produk industri yang didatangkan dari luar melalui
pelayaran sungai ke kota Palembang, Wilayah Palembang yang rendah (kota
Palembang sendiri rata-rata 6 M dpl) sangat bearoma air payau dan lumpur.
Seperti itulah bayangan para pedagang di Jawa (Batavia) tentang wilayah Sumatra
Selatan yang berpusat di daerah aliran sungai Musi. Namun orang mulai kaget
ketika dilaporkan di wilayah pedalaman (di arah hulu kota Palembang) ditemukan
minyak.
Bataviaasch nieuwsblad, 14-11-1896: ‘Tak
seorang pun, yang mengenal Palembang dengan cara apa pun, akan mengira bahwa
apa pun dapat diperoleh dari dataran rendah selain air dan lumpur; oleh karena
itu pasti akan mengejutkan untuk mengetahui bahwa sumber alami minyak mentah
telah ditemukan di berbagai tempat dalam beberapa tahun terakhir dan semua
spesialis (peneliti pertambangan) di lapangan setuju bahwa ada cukup minyak
dengan kualitas yang sangat baik yang tersedia di wilayah ini. Baru-baru ini
tiga perusahaan telah muncul, yang saya dengar, akan diikuti oleh dua lainnya. Yang
tertua adalah Bombay -- Burmah Tradin Corporation Limited Company. Sebuah
lubang bor telah dibuat di sana, sedalam 1500 kaki. Area tambang ini terletak
sangat nyaman karena kapal layar besar dapat memasuki wilayah Banjoe Asin.
Perusahaan yang sudah mendapatkan cukup minyak di Langkat ini bekerja dengan
modal tidak terbatas. Yang kedua adalah maskapai Belanda di bawah kepemimpinan Boissevain
di Amsterdam yang dimulai di dua tempat berbeda yaitu di Muara Enim dan di
Babat yang akan segera dilakukan pemboran di kedua tempat tersebut. Prospek di
kedua tempat tersebut sangat menguntungkan. Dari Moeara Enim, minyak akan
dibawa ke Palembang melalui 100- pipa tiang pancang. Dari Babat dimana
kira-kira. 20 sumur telah ditemukan, minyaknya dapat disalurkan ke Banjoe Asin.
Perusahaan ketiga adalah Nederlandsch Indische Exploitatie Maatschappij. Yang
ini sedang eksplorasi. Perusahaan inilah yang memperoleh monopoli karena
memiliki sekitar 100 lot. Jadi selama memiliki izin untuk eksplorasi di 100 lot
itu, persaingan dikecualikan karena tidak ada perusahaan lain yang dapat
membentuk sebanyak itu. Sudah ada sampel mintyak dari daerah Marga Loeboe
Santjang, itu berarti berdekatan dengan wilayaj kerja perusahaan Bombay’.
Penemuan
sumber minyak di wilayah Sumatra Selatan sudah dilaporkan sekitar tahun
1850-an. Namun secara industri baru diketahui pada tahun 1888. Perusahaan Burmah
Tradin Corporation Limited Company yang memulai, yang telah mengusahakan
tambang minyak di Langkat (Pangkalan Brandan).
Sampai sejauh ini tambang-tambang minyak di (pulau)
Sumatra hanya berada di wilayah pantai timur Sumatra.. Seperti halnya di blok
Sumatra Selatan berada di daerah aliran sungai, di Langkat pun demikian.
Perusahaan milit JA Stoop di Panolan (Blora) juga berada di wilayah daerah
aliran sungai (Bengawan Solo). Seperti di dua blok tersebut yang berada di
pedalaman, blok Sumatra Selatan juga terbilang di pedalaman (Moeara Enim,
sungau Lematang dan Babat, sungai Musi) sebagaimana dapat diperhatikan pada
peta sebaran sumur0sumur mintak di Sumatra Selatan. Sebaran minyak ini kurang
lebih serupa dengan sebaran batubara pada peta yang diperlihatkan di atas.
Wilayah
eksplorasi Babat rata-rata ketinggian area adalah 37 M dpl. Ketiggian ini
kurang lebih sama dengan di wilayah eksplorasi Cepu (sekitar 40 M dpl). Berbeda
dengan di Langkat yang ditemukan pada ketinggian 9 M dpl. Sedangkan penemuan
sumur minyak di Muara Enim berada di ketinggian 100 M dpl.
Apa yang bisa dipahami wilayah-wilayah
eksplorasi menyak berdasarkan ketinggian (dpl) dapa diringkas sebagai berikut:
Muara sungai Bengawan Solo awalnya di wilayah Cepu dimana di zaman kuno terjadi
proses sedimentasi jangka panjang yang di bawah dasar laut mengendap
sampah-sampah tumbuhan yang terbawa atus sungai dari pedalaman. Kemudian muara
sungai Bengawan Solo ini terus bergeser ke timu di Bojonegoro dan kemudian
Lamongan dan terakhir Gresik. Hal serupa ini yang terjadi di masa lampau di
wilayah Sumatra Selatan. Awalnya muara sungai Lematang berada di Muara Enim (pertemuan sungai Enim di sungai Lematang). Lalu
selanjutnya muara sungai Lematang ini bergeser ke Banyuasin (pertemuan sungai
Lematang dan sungai Musi). Ibu kota Banyuasin (Pangkalanbalai dengan ketinggian
16 M dpl) sementara ketinggian sumur minyak di Babat 37 M dpl. Lalu ke hilir
muara sungai Musi bergeser ke Palembang (6 M dpl) dan pada masa kini muara
sungai di pantai timur Sumatra (0 M dpl). Seperti halnya di pantai utara Jawa,
garis pantai di pantai timur Sumatra telah bergeser dari pedalaman hingga ke
posisi yang sekarang. Dengan kata lain, pulau Sumatra di zaman kuno pada
awalnya sangat ramping, mulai dari utara hingga ke selatan lebarnya kurang
lebih sama. Pembengkakan dararatan di bagian selatan pulau (Sumatra bagian
selatan) di wilayahg Sumatra Selatan yang sekarang disebabkan antara lain
karena faktor sungai Musi dan sungai Lematang yang membawa sampah tumbuhan dari
berbagai aktivitas manusia (pembakaran huta) atau karena aktivitas vulkanik.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar