Rabu, 20 Oktober 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (183): Sebaran Pertambangan Minyak di Sumatera Selatan; Sedimentasi Zaman Kuno di Muara Sungai

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Wilayah Sumatra adalah wilayah yang lengkap untuk urusan tambang bahan fosil. Ada batubara, ada minyak dan ada juga gas serta gambut. Yang jelas di Palembang tidak ada tambang minyak dan batubara, hanya ada kilang minyak Plaju. Yang ada di wilayah Palembang sekitar adalah kawasan gambut. Kawasan tambang batubara di Sumatera Selatan berdampingan dengan sumur-sumur tambang minyak. Singkatnya pertambangan minyak di Sumatera Selatan cenderung di pedalaman, sedangkan di wilayah belakang pantai cenderung ditemukan lahan gambut yang luas. Apa arti semua itu?

Sumatera selatan atau pulau Sumatra bagian selatan yang dikenal sebagai provinsi Sumatra Selatan didirikan pada tanggal 12 September 1950 yang awalnya mencakup daerah Sumatra Selatan sekarang, Bengkulu, Lampung, dan kepulauan Bangka Belitung dan keempat wilayah yang terakhir disebutkan kemudian masing-masing menjadi wilayah provinsi tersendiri akan tetapi memiliki akar budaya bahasa dari keluarga yang sama yakni bahasa Austronesia proto bahasa Melayu dengan pembagian daerah bahasa dan logat antara lain seperti Palembang, Ogan, Komering|Lampung, Musi, Lematang dan masih banyak bahasa lainnya. Menurut sumber antropologi disebutkan bahwa asal usul manusia Sumatra bagian selatan dapat ditelusuri mulai dari zaman paleolitikum dengan adanya benda-benda zaman paleolitikum pada beberapa wilayah antara lain sekarang dikenal sebagai Kabupaten Lahat, Kabupaten Sarolangun Bangko, Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Tanjung Karang yakni desa Bengamas lereng utara pergunungan Gumai, di dasar (cabang dari Sungai Musi) sungai Saling, sungai Kikim lalu di desa Tiangko Panjang (Gua Tiangko Panjang) dan desa Padang Bidu atau daerah Podok Salabe serta penemuan di Kalianda dan Kedaton dimana dapat ditemui tradisi yang berasal dari acheulean yang bermigrasi melalui sungai Mekong yang merupakan bagian dari bangsa Monk Khmer (lihat Wikipedia).

Sejarah sebaran tambang minyak di wilayah Sumatra Selatan menjadi penanda navigasi sekjarah zaman kuno di wilayah Sumatera Selatan. Bagaimana bisa? Seperti disebut di atas, di wilayah Palembang hanya ditemukan lahan gambut dan kilang minyak, sedangkan tambang (sumur-sumur) minyak cenderung ditemukan di wilayah pedalaman seperti di Muara Enim (di daerah aliran sungai Lematang). Lalu apa hubungannya peta tambang di wilayah Sumatera Selatan dengan sejarah zaman kuno? Apakah hal itu bisa menjelaskan sejarah Sriwijaya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Peta Tambang Minyak: Sedimentasi Zaman Kuno di Muara-Muara Sungai

Jauh sebelum nama Palembang di kenal, sudah dikenal nama Sriwijaya pada zaman kuno (lihat prasasti Kedukan Bukit 682). Namun kemudiaan nama Sriwijaya menghilang. Nama Palembang (juga Bangka) paling tidak sudah diidentifikasi pada peta di awal era Portugis (lihat peta Pedro Reinel, 1517). Nama ini sesuai dengan nama Palembang yang dicatat dalam teks Negarakertagama (1365 M).

Dalam teks Negarakertagama tidak disebut nama Sriwijaya. Nama Sriwijaya masih dicatat pada prasasti Tanjore (1030 M). Nama-nama yang dicatat dalam prasasti ini termasuk Panai, Binanga, Mandailing dan Rokan, Kedan dan Malaya. Pada teks Negarakertagama  nama-nama yang disebut terakhir ini juga dicatat, Dalam hal ini, nama Sriwijaya adalah satu hal dan nama Palembang adalah hal lain lagi. Dalam teks Negarakertagama, di wilayah Sumatra bagian selatan yang sekarang hanya nama Palembang satu-satunya yang dicatat. Nama-nama yang banyak dicatat berada di Sumatra bagian utara dan Semenanjung. Sejak era Portugis nama Palembang terus dipetakan.

Nama Palembang yang dicatat dalam teks Negarakertagama (1365) diduga berada di wilayah Palembang yang sekarang. Namun tidak tepat di pusat kota Palembang yang sekarang, tetapi agak ke hilir di sisi utara sungau Musi (kota lama). Kraton di kota lama ini relokasi pada era VOC karena sering mengalami banjir. Dengan kata lain kota Palembang bergeser ke hulu, lebih dekat dengan posisi GPS kraton (pusat) Sriwijaya tempo doeloe.

Seperti disebut di atas, nama Palembang adalah satu hal dan nama Sriwijaya adalah hal lain. Kota Palembang diduga adalah kota yang terbentuk kemudian di hilir sungai Musi. Sedangkan pusat Sriwijaya di masa lampau berada di suatu pulau yang berada di pertemuan sungai Musi dan sungai Komering. Pulau itu diduga kuat adalah Bukit Siguntang yang sekarang. Dengan demikian pada era Sriwijaya, dari (pulau) Bukit Siguntang hingga ke hilir yang sekarang masih perairan (laut). Berdasarkan peta gambut yang sekarang, di wilayah (provinsi) Sumatera Selatan kawasan gambut ini terkonsentrasi di belakang pantai (di hilir kota Palembang yang sekarang). Hanya luasan kecil di pedalaman di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Musi. Dalam hal ini pulau Sumatra tampak lebih ramping zaman doeloe jika dibandingkan dengan yang sekarang, dimana garis pantai pada era Sriwijaya tepat berada di kota Palembang yang sekarang.

Sebaran kawasan lahan batubara dan kawasan tambang (sumur-sumur) minyak di wilayah Sumatera Selatan berada di arah pedalaman. Seperti disebut di atas kawasan batubara dan kawasan minyak relatif berdekatan satu sama lain.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Tambang Minyak Sumatra Selatan: Berada di Wilayah Pedalaman

Wilayah Palembang dapat dikatakan tidak memiliki sumber daya alam, Di kota Palembang berkembang sebagai pusat perdagangan, kota sungai yang mempertemukan produk alam dari pedalaman dan produk industri yang didatangkan dari luar melalui pelayaran sungai ke kota Palembang, Wilayah Palembang yang rendah (kota Palembang sendiri rata-rata 6 M dpl) sangat bearoma air payau dan lumpur. Seperti itulah bayangan para pedagang di Jawa (Batavia) tentang wilayah Sumatra Selatan yang berpusat di daerah aliran sungai Musi. Namun orang mulai kaget ketika dilaporkan di wilayah pedalaman (di arah hulu kota Palembang) ditemukan minyak.

Bataviaasch nieuwsblad, 14-11-1896: ‘Tak seorang pun, yang mengenal Palembang dengan cara apa pun, akan mengira bahwa apa pun dapat diperoleh dari dataran rendah selain air dan lumpur; oleh karena itu pasti akan mengejutkan untuk mengetahui bahwa sumber alami minyak mentah telah ditemukan di berbagai tempat dalam beberapa tahun terakhir dan semua spesialis (peneliti pertambangan) di lapangan setuju bahwa ada cukup minyak dengan kualitas yang sangat baik yang tersedia di wilayah ini. Baru-baru ini tiga perusahaan telah muncul, yang saya dengar, akan diikuti oleh dua lainnya. Yang tertua adalah Bombay -- Burmah Tradin Corporation Limited Company. Sebuah lubang bor telah dibuat di sana, sedalam 1500 kaki. Area tambang ini terletak sangat nyaman karena kapal layar besar dapat memasuki wilayah Banjoe Asin. Perusahaan yang sudah mendapatkan cukup minyak di Langkat ini bekerja dengan modal tidak terbatas. Yang kedua adalah maskapai Belanda di bawah kepemimpinan Boissevain di Amsterdam yang dimulai di dua tempat berbeda yaitu di Muara Enim dan di Babat yang akan segera dilakukan pemboran di kedua tempat tersebut. Prospek di kedua tempat tersebut sangat menguntungkan. Dari Moeara Enim, minyak akan dibawa ke Palembang melalui 100- pipa tiang pancang. Dari Babat dimana kira-kira. 20 sumur telah ditemukan, minyaknya dapat disalurkan ke Banjoe Asin. Perusahaan ketiga adalah Nederlandsch Indische Exploitatie Maatschappij. Yang ini sedang eksplorasi. Perusahaan inilah yang memperoleh monopoli karena memiliki sekitar 100 lot. Jadi selama memiliki izin untuk eksplorasi di 100 lot itu, persaingan dikecualikan karena tidak ada perusahaan lain yang dapat membentuk sebanyak itu. Sudah ada sampel mintyak dari daerah Marga Loeboe Santjang, itu berarti berdekatan dengan wilayaj kerja perusahaan Bombay’.

Penemuan sumber minyak di wilayah Sumatra Selatan sudah dilaporkan sekitar tahun 1850-an. Namun secara industri baru diketahui pada tahun 1888. Perusahaan Burmah Tradin Corporation Limited Company yang memulai, yang telah mengusahakan tambang minyak di Langkat (Pangkalan Brandan).

Sampai sejauh ini tambang-tambang minyak di (pulau) Sumatra hanya berada di wilayah pantai timur Sumatra.. Seperti halnya di blok Sumatra Selatan berada di daerah aliran sungai, di Langkat pun demikian. Perusahaan milit JA Stoop di Panolan (Blora) juga berada di wilayah daerah aliran sungai (Bengawan Solo). Seperti di dua blok tersebut yang berada di pedalaman, blok Sumatra Selatan juga terbilang di pedalaman (Moeara Enim, sungau Lematang dan Babat, sungai Musi) sebagaimana dapat diperhatikan pada peta sebaran sumur0sumur mintak di Sumatra Selatan. Sebaran minyak ini kurang lebih serupa dengan sebaran batubara pada peta yang diperlihatkan di atas.

Wilayah eksplorasi Babat rata-rata ketinggian area adalah 37 M dpl. Ketiggian ini kurang lebih sama dengan di wilayah eksplorasi Cepu (sekitar 40 M dpl). Berbeda dengan di Langkat yang ditemukan pada ketinggian 9 M dpl. Sedangkan penemuan sumur minyak di Muara Enim berada di ketinggian 100 M dpl.

Apa yang bisa dipahami wilayah-wilayah eksplorasi menyak berdasarkan ketinggian (dpl) dapa diringkas sebagai berikut: Muara sungai Bengawan Solo awalnya di wilayah Cepu dimana di zaman kuno terjadi proses sedimentasi jangka panjang yang di bawah dasar laut mengendap sampah-sampah tumbuhan yang terbawa atus sungai dari pedalaman. Kemudian muara sungai Bengawan Solo ini terus bergeser ke timu di Bojonegoro dan kemudian Lamongan dan terakhir Gresik. Hal serupa ini yang terjadi di masa lampau di wilayah Sumatra Selatan. Awalnya muara sungai Lematang berada di Muara Enim  (pertemuan sungai Enim di sungai Lematang). Lalu selanjutnya muara sungai Lematang ini bergeser ke Banyuasin (pertemuan sungai Lematang dan sungai Musi). Ibu kota Banyuasin (Pangkalanbalai dengan ketinggian 16 M dpl) sementara ketinggian sumur minyak di Babat 37 M dpl. Lalu ke hilir muara sungai Musi bergeser ke Palembang (6 M dpl) dan pada masa kini muara sungai di pantai timur Sumatra (0 M dpl). Seperti halnya di pantai utara Jawa, garis pantai di pantai timur Sumatra telah bergeser dari pedalaman hingga ke posisi yang sekarang. Dengan kata lain, pulau Sumatra di zaman kuno pada awalnya sangat ramping, mulai dari utara hingga ke selatan lebarnya kurang lebih sama. Pembengkakan dararatan di bagian selatan pulau (Sumatra bagian selatan) di wilayahg Sumatra Selatan yang sekarang disebabkan antara lain karena faktor sungai Musi dan sungai Lematang yang membawa sampah tumbuhan dari berbagai aktivitas manusia (pembakaran huta) atau karena aktivitas vulkanik.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar