Selasa, 05 Juli 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (693): Bahasa Melayu Telah Meluas Sebelum Tumbuh di Semenanjung Malaya; Sanskerta Batak Jawa

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Nama Melayu adalah satu hal, pertumbuhan dan perkembangan bahasa yang kemudian diidentifikasi dengan nama tunggal Melayu adalah hal lain lagi. Pertumbuhan bahasa yang disebut Melayu bermula di pantai timur Sumatra, bahasa yang berakar dari bahasa Sankerta. Sebagai lingua franca, bahasa Sanskerta diperkuat bahasa Batak dan bahasa Jawa yang kemudian bahasa baru itu disebut bahasa Melayu (sebagai lingua franca baru menggantikan bahasa Sanskerta). Hal itu pula yang berulang pada hari ini Bahasa Indonesia menjadi lingua franca baru (bahasa yang berakar dari bahasa Melayu yang diperkuat bahasa daerah).

Sebelum Indonesia merdeka, para penulis/penelitu Belanda telah memperhatikan bagaimana orang-orang Indonesia (nasionalis) menumbuhkembangkan Bahasa Indonesia (sejak 1928). Setelah merdeka, melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan terus mmengambangkan Bahasa Indonesia hingga ini hari yang dilembagakan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dalam hal ini, Bahasa Indonesia telah satu abad tumbuh dan berkembang, satu abad pula telah menjadi perhatian para penulis/peneliti. Bagaimana dengan bahasa Melayu? Satu abad sebelumnya (sebelum deklarasi Bahasa Indonesia 1928) para penulis/peneliti khususnya orang-orang Belanda, Inggris dan Prancis sejak 1811 telah membahas sejarah bahasa Melayu, mendiskusikan pertumbuhan dan perkembangannya, dan membahas persebarannya. Paralel dengan ini penulis/peneliti Belanda mengkaji lebih dalam bahasa-bahasa etni di Nusantara (baca: Indonesia). Semuanya, dalam dua abad terakhir telah jelas, terang benderang tentang bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Apa yang ditulis hari ini sudah tersedia data sejak dua abad yang lampau, hanya perlu ditambahkan sedikit untuk menyempurnakan hasil kajian para peneliti/penulis terdahulu. Atas dasar kajian-kajian itulah artikel ini ditulis.

Lantas bagaimana sejarah bahasa Melayu telah meluas sebelum berkembang di Semenanjung Malaya? Seperti disebut di atas, para penulis/peneliti terdahulu sejak dua abad lalu khususnya orang-orang Belanda, Inggris dan Prancis plus Jerman telah hampir semua topik bahasa mendiskusikannnya. Lalu bagaimana sejarah bahasa Melayu telah meluas sebelum berkembang di Semenanjung Malaya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bahasa Melayu Telah Meluas Sebelum Berkembang di Semenanjung Malaya: Eksistensi Bahasa Sanskerta, Bahasa Batak dan Bahasa Jawa

Banyak orang pada masa ini salah kaprah tentang bahasa Melayu. Orang Malaysia beranggapan bahasa Melayu berkembang di Malaka (semasa kerajaan Malaka) dan menyebar ke Nusantara. Itu tidak sepenuhnya benar. Celakanya, belum lama ini ada seorang guru besar Indonesia diundang dalam simposium bahasa Melayu yang diselenggarakan Dewan Bahasa dan Pustaka berbicara bahwa Indonesia merdeka karena bahasa Melayu. Nah ini juga berlebihan. Juga banyak yang beranggapan bahasa Melayu yang tersebar luas di nusantara dan terbentuknya Bahasa Indonesia merujuk pada bahasa Melayu di Riau. Ini juga sungguh berlebihan. Lantas bagaimana sejarahnya? Sejarah bahasa Melayu inilah yang kerap salah persepsi.

Sudah banyak bukti-bukti awal, yang menunjukkan awal tumbuh berkembang bahasa, yang kemudian disebut bahasa Melayu bermula di pantai timur Sumatra (pada era Kerajaan Sriwijaya). Dalam prasasti Kedoeka Boekit (682 M) yang ditemukan di Palembang, belum berbahasa Melayu. Dalam teks itu justru bahasa yang digunakan adalah bahasa Sasnkerta dan bahasa Batak. Bahasa Sanskerta memang mirip bahasa Melayu, tetapi sebaliknya dari kosa kata bahasa Sankertalah terbentuknya awal bahasa Melayu. Demikian juga dalam terbentuknya bahasa Tagalog di Filipina (yang berawal di teluk Manila), akar bahasanya berasal dari bahasa Sanskerta. Bahasa Sanskerta adalah bahasa berasal dari India selatan yang menjadi lingua franca di wilayah pesisir dalam hubungannya dengan navigasi pelayaran perdagangan. Saat itu, dimana di pulau-pulau telah eksis bahasa-bahasa etnik, terutama di pedalaman, seperti bahasa Batak dan bahasa Jawa. Di Semenanjung, sebelum terbentuk bahasa Melayu, bahasa asli adalah bahasa (etnik) Semang (populasi negrito, penduduk berkulit gelap)

Bahasa Melayu tumbuh dan berkembang sejak lama (menggantikan bahasa Sanskerta sebagai lingua franca). Kapan bermula tidak diketahui secara pasti. Yang jelas tumbuh dan berkembang berawal di pantai timur Sumatra. Lantas kapan bahasa Melayu menjadi sempurna? Seperti bahasa-bahasa lainnya, yang jelas bahasa Melayu tidak pernah berhenti berkembang. Pada masa inilah dapat dikatakan telah menjadi lingua franca (baru) di nusantara. Sebagai lingua franca, bahasa Melayu tidak hanya digunakan di pantai timur Sumatra, juga di pantai utara Jawa.

Hingga terjadi serangan (kerajaan Chola) ke Selat Malaka pada tahun 1025 M tidak ada bukti nyata bahasa Melayu sudah terbentuk sempurna dalam arti satu kesatuan bahasa. Dalam prasasti Laguna yang ditemukan di Luzon, Filipina bertarih 900 M masih bercampur bahasa Sanskerta dengan berbagai bahasa etnik. Akan tetapi kosa-kata dalam prasasti Laguna sudah jauh lebih mengarah ke pembentukan bahasa Melayu. Bahasa-bahasa etnik juga menyerap bahasa Sanskerta seperti yang ditunjukkan dalam prasasti-prasasti yang ditemukan dalam bahasa Batak dan bahasa Jawa kuno (Kawi).

Perkembangan bahasa Melayu diduga kuat baru terjadi setelah serangan Chola tahun 1025 M. Parasasti Tanjore berbahasa Tamil. Bahasa Tamil inilah yang diduga menghalangi perkembangan bahasa Sanskerta sebagai lingua franca di nusantara. Akan tetapi penggunaan bahasa Sanskerta kadung sudah meluas di nusantara, sebab yang diduga bahasa Tamil tidak berkembang, dan tidak mendapat tempat yang luas di nusantara sebagai lingua franca.

Setelah berakhir invasi Chola (hampir satu abad), mulailah bermunculan kerajaan-kerajaan baru di selat Malaka (pantai barat Semenanjung dan pantai timur Sumatra), kerajaan Sriwijaya eksis kembali. Dalam fase Chola ini di tempat lain kerajaan-kerajaan semakin banyak termasuk di Indochina, Filipina, Borneo dan Jawa hingga Sulawesi dan Maluku serta Nusa Tenggara Barat. Oleh karena pengaruh Chola tidak sampai di Jawa, maka kerajaan-kerajaan di Jawa lebih cepat berkembang. Salah satu kerajaan di Jawa yang kuat adalah Kerajaan Kediri yang kemudian digantikan oleh Kerajaan Singhasari. Salah satu relasi perdagangan kerajaan Singhasari di Sumatra adalah kerajaan besar di pantai timur Sumatra di Padang Lawas (Tapanoeli). Hal itu dapat diperhatikan struktur dan arsitektur candi di Padang Lawas )Kerajaan Batak) mirip dengan candi di Singhasari (Kerajaan Jawa). Saat ini diduga bahasa Melayu sudah terbentuk di pantai timur Sumatra yang juga digunakan di pantai utara Jawa. Pada saat ini diduga telah sempurna aksara Jawa dan aksara Batak (keduanya merujuk pada aksara Pallawa). Kedua aksara ini sudah ditemukan dalam prasasti-prasasti. Meski demikian aksara Pallawa masih digunakan dalam menulis prasasti berbahasa Melayu (kuno)..

Pasca invasi Chola bahasa-bahasa yang eksis yang dapat dikatakan bahasa utama (penuturnya banyak) adalah bahasa asli Batak, bahasa asli Jawa dan bahasa baru Melayu (suksesi bahasa Sankerta). Bukti penggunaan bahasa Kawi aksara Jawa ditemukan dalam teks Negarakertagama, penggunaan bahasa Batak aksara Batak ditemukan dalam prasasti di Padang Lawas. Bahasa Melayu selain menggunakan aksara Pallawa (juga akasara Batak dan aksara Jawa) sudah ada yang menggunakan aksara Jawi (Arab gundul) seperti prasasti Trengganu 1326 M.

Keberadaan orang-orang Arab beragama Islam sudah eksis pada zaman kenabian (sebelum prasasti-prasasti di Palembang, antara lain Kedoekan Boekit 682 M). Keberadaan pedagang Arab ini ditemukan di Baroes (pantai barat sumatra) dan pantai timur Tiongkok (Canton). Meski tetap eksis di Nusantara tetapi tidak meluas karena pengaruh Hindoe/Boedha masih sangat kuat di Sumatra danm Jawa (pengaruh Islam juga belum kuat dan baru mencapai puncaknya di Eropa Selatan, di Spanyol seperti di Cordoba). Pada saat Perang Salib di Eropa sekitar tahun 1000 M, peradaban Islam di Eropa menurun drastis, orang-orang Moor beraga Islam yang membangun peradaban Islam di Eropa selatan, mulai menyebar, tidak hanya di Afrika Utara, juga sudah ada yang mencapau pantai barat India. Saat mana kekosongan penmgaruh Chola (Tamil India) di selat Malaka, orang-orang Moor beragama Islam inilah yang kemudian menggantikan kekuatan perdagangan di selat Malaka. Salah satu kota utama orang Moor berada di pantai barat Semenanjung adalah Muar (merujuk pada Moor, Moar dan Muar). Orang-orang Moor yang memperkuat kerajaan-kerajaan di Sumatra (bagian utara) dan Semenanjung. Kunjungan Ibnu Batutah ke selat Malaka dan Tiongkok pada tahun 1345 wujud dari bukti komunitas Moor sudah banyak di selat Malaka. Kerajaan-kerajaan Sumatra (bagian utara, seperti Samudra dan Padang Lawas) yang diperkuat orang-orang Mpor semakin kuat navigasi pelayaran perdagangan yang semakin intens ke Tiongkok, Filipina, Borneo Utara, Sulawesi hingga Maluku bahkan Papua dan Nusa Tenggara. Semakin kuatnya pengaruh Islam yang diperankan oleh orang-orang Moor diduga yang menyebabkan kerajaan Hindoe di Jawa yang tengah naik daun coba berkompetis dengan orang-orang Moor. Kerajaan Hindoe di Jawa yang kuat itu adalah Madjapahit (suksesi Singhasari).

Pada saat mana kerajaan Hindoe Madjaphit semakin menguat di Jawa, pengaruh Islam semakin meluas di Sumatra bagian utara dan tengah serta di Semenanjung (seperti di Muar dan Terengganu). Bentrok antara kekuatan lama Hindoe/Boedha dengan kekuatan baru Islam diduga menjadi sebab Kerajaan Madjapahit melakukan invasi, khususnya ke Sumatra (Pamalayu). Kerajaan Sriwijaya di Sumatra bagian selatan masih dipengaruhi Boedha. Salah satu dampak serangan Madjapahit di Sumatra adalah radja-radja Boedha Sriwijaya relokasi ke pantai barat Semenanjung (diantara Muar dan Kelang/Kedah) dan radja-radja Melayu di wilayah Jambi bergeser ke pedalaman (era Adityawarman). Idem dito raja-raja di pantai timur Sumatra (di bagian utara) yang beragama Islam bergeser ke utara (Atjeh) dan bergerak ke pedalaman.

Dalam teks berbahasa Kawi aksara Jawa Negarakertagama (1365 M), nama-nama tempat yang disebut di nusantara cukup banyak mulai dari barat di ujung utara Sumatra hingga ke timur di Papua, mulai dari Jawa di selatan hingga utara di Kalimantan Utara. Nama-nama tempat yang disebut adalah nama-nama pelabuhan perdagangan yang diantaranya terdapat sejumlah kerajaan kuat (Boedha, Hindoe, Islam dan pagan). Di selatan Sumatra hanya disebut nama Palembang; sementara di Sumatra bagian tengah antara lain Jambi, Karitang, Kampar, Kandis dan Darmasraja, sedangkan di Sumatra bagian utara antara lain Mandailing, Padang Lawas, Rokan, Panai, Baroes, Tamiang, Perlak, Samudra dan Lamuri. Di wilayah Semenanjung antara lain Tumasik, Ujung Medini, Muar, Kelang, Kedah dan Langkasuka serta Trengganu. Nama-nama tempat di Sulawesi antara lain Buton, Makasar dan Luwuk; di Maluku antara lain Maluku dan Muar; di Papua antara lain Wonin; di Nusa Tenggara antaralain Bali, Lombok, Bima, Solor dan Timor serta Sumba.

Dalam teks Negarakertagama (1265) nama Malaka belum disebut (malah lebih dahulu disebut Maluku). Di kepulauan antara Sumatra dan Kalimantan hanya dua nama yang disebut Karimata dan Batam (plus Tumasik). Yang disebut di pantai barat Semenanjung antara lain Muar (orang Moor), Kelang (orang India) dan Kedah (orang Persia?). Tampaknya Batam, dekat Tumasik lebih penting saat itu dibanding Bintan (boleh jadi Bintan bagian dari Tumasik). Dalam fase inilah diduga perkembangan bahasa Melayu telah meluas di Nusantara.

Versi sejarah Malaka: Dengan jatuhnya Tunmasik, Raja melarikan diri ke negeri Muar dan sampai di Malaka. Pada saat itu, Malaka merupakan wilayah kekuasaan Siam. Saat itu, beliau mendapati penduduk Malaka sudah mulai ramai, baik dari orang Pasai, Arab, Persia, Gujarat dan Malabar. Kemudian, Sidi Abdul Aziz, seorang ulama yang berasal dari Jeddah, datang ke Malaka, mengajak Raja masuk Islam dengan gelar Sultan Muhammad Syah. Ia memeluk Islam sekitar tahun 1384. Sejak itu, ia resmi menjadi sultan negeri Malaka. Berdasarkan Sulalatus Salatin dan Suma Oriental Kerajaan didirikan oleh Parameswara seorang pangeran yang berasal dari Palembang yang melarikan diri karena invasi Majapahit. Kronik Dinasti Ming juga mencatat Parameswara sebagai pendiri Malaka mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing pada tahun 1405 dan meminta pengakuan atas wilayah kedaulatannya. Sebagai balasan upeti yang diberikan, Kaisar Tiongkok menyetujui untuk memberikan perlindungan pada Malaka. Pengaruh yang besar dari relasi ini adalah Malaka dapat terhindar dari kemungkinan adanya serangan Siam dari utara. Keberhasilan dalam hubungan diplomasi dengan Tiongkok memberi manfaat akan kestabilan pemerintahan baru di Malaka, kemudian Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, dan juga menjadi salah satu pangkalan armada Ming. Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409, mengambarkan Islam telah mulai dianut oleh masyarakat Malaka, sementara berdasarkan catatan Ming, penguasa Malaka mulai mengunakan gelar sultan muncul pada tahun 1455. Sedangkan dalam Sulalatus Salatin gelar sultan sudah mulai diperkenalkan oleh penganti berikutnya Raja Iskandar Syah, tokoh yang dianggap sama dengan Parameswara oleh beberapa sejarahwan. Sementara dalam Pararaton disebutkan terdapat nama tokoh yang mirip yaitu Bhra Hyang Parameswara sebagai suami dari Ratu Majapahit, Ratu Suhita. Namun kontroversi identifikasi tokoh ini masih diperdebatkan sampai sekarang. Pada tahun 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah, memerintah selama 10 tahun, kemudian menganut agama Islam dan digantikan oleh Sri Maharaja atau Sultan Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, mengambil gelar Sri Parameswara Dewa Syah. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah. (Wikipedia)

Kerajaan Malaka disebut baru terbentuk pada awal abad ke-15. Kota ini berawal dari kota perdagangan yang kecil diantara Muar dan Kelang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Penulis dan Peneliti Sejak Dua Abad Lalu: Bahasa Melayu dan Bahasa-Bahasa Nusantara serta Bahasa Indonesia

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar