*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini
Apakah ada sejarah lapangan terbang di pulau Madura? Yang terinformasikan adalah lapangan terbang di Sumenep yang dibangun pada tahun 1970an. Lapangan terbang di Sumenep diberi nama bandara (bandar udara) Trunojoyo. Lapangan terbang Sumenep ini hingga kini masih eksis. Dalam, hubungan sejarah lapangan terbang di pulau Madura, apakah pernah eksis lapangan terbang pada era Pemerintah Hindia Belanda dan selama pendudukan Jepang?
Bandar Udara Trunojoyo adalah bandar udara yang terletak di kabupaten Sumenep, memiliki landasan pacu 1.600 M dan akan diperluas menjadi panjang 2.500 M dan lebar 45 meter. Bandara Trunojoyo sendiri dibangun pada tahun 1970an. Bandara Trunojoyo mengalami era keemasan pada awal-awal pembangunannya diawali dengan penerbangan secara langsung jemaah haji Sumenep ke Surabaya. Hingga Bulan Juni 2016 Bandara Trunojoyo yang dikelola Kementerian Perhubungan dengan kepanjangan tangannya yaitu Kantor UPBU (Unit Penyelenggara Bandar Udara) Kelas III Trunojoyo - Sumenep melayani penerbangan perintis PT Airfast Indonesia dan 3 sekolah penerbangan, yaitu Merpati Pilot School, Trans Asia Pacific Aviation Training, dan Balai Pendidikan dan Pelatihan Penerbang Banyuwangi atau Loka Banyuwangi. Pada tahun 2011, sempat direncanakan adanya perubahan nama Bandar Udara Trunojoyo menjadi Bandar Udara Sultan Abdurrahman. Alasannya tak lain karena adanya ikatan psikologis masyarakat Sumenep dengan rajanya terdahulu, selain untuk mengingatkan kepada masyarakat bahwa Sumenep pada waktu dulu dipimpin oleh seorang raja yang sangat bijaksana dan dicintai oleh rakyatnya. Pada tanggal 27 september 2017 telah dibuka penerbangan komersial perdana maskapai Wings Air, melayani rute Sumenep-Surabaya PP. Untuk penerbangan domestik ke seluruh Indonesia bisa dilayani dari bandara ini dengan layanan transit di bandara Juanda Surabaya (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah lapangan terbang di pulau Madura, bermula di Gili Anyar, Kamal? Seperti disebut lapangan terbang di pulau Madura hanya terinformasikan lapangan terbang di Sumenep. Sejak era Pemerintah Hindia Belanda ada empat kota penting yang menjadi ibu kota afdeeling. Kota-kota terdekat dari pulau Madura dimana terdapat lapangan terbang pada era Pemerintah Hindia Belanda adalah Surabaya, Denpasar dan Mataram. Lalu bagaimana sejarah lapangan terbang di pulau Madura, bermula di Gili Anyar, Kamal? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Lapangan Terbang di Pulau Madura Bermula di Gili Anyar; Kini di Sumenep (Surabaya, Denpasar, Mataram)
Di pulau Madura tidak hanya lapangan terbang di Sumenep masa kini yang pernah eksis. Di masa lampau, era Pemerintah Hindia Belanda pernah eksis lapangan terbang di Kamal (afdeeling Bangkalan). Lapangan terbang di Kamal bahkan lebih awal eksis daripada lapangan terbang di (wilayah) Soerabaja. Mengapa bisa begitu? Iya, itulah sejarah yang sebenarnya tentang keberadaan lapangan terbang di (pulau) Madura.
Penerbangan di Indonesia (baca: Hindia Belanda) dimulai pada era Pemerintah Hindia Belanda. Ini dimulai oleh Angkatan Laut (Marine Department) dan Angkatan Darat (Militaire Department). Ada dua jenis pesawat yang bisa mendarat di air (laut/danau) dan di darat (lapangan terbang/vliegveld). Jika Angkatan laut melakukan ekspedisi ke pulau-pulau yang jauh (yang belum ada lapangan terbang) pesawat take-off dari dak dan landing di air/laut lalu diangkut ke dak lagi dengan derek. Dalam perkembangannya, terutama angkatan darat (Leger) dan angakatan udara (Luchtmacht) semakin banyak membutuhkan lapangan terbang. Lapangan pertama yang dibangun di Tjililitan (Batavia) dan Kalidjati, Andir (Bandoeng). Selanjutnya lapangan terbang dibangun di Semarang, Gresik dan Singaradja (Bali) serta Muntuk (Bangka) dan Polonio (Medan). Antara Muntok dan Medan meminjam lapangan terbang di Singapoera (Inggris). Pada tahun 1924 terjadi penerbangan jark jauh (long distance) dari Amterdam ke Hindia Belanda di Tjililitan dengan transit di Phuket (Siam), Medan, Singapoera dan Muntok. Inilah penerbangan jarak jauh pertama di dunia.
Sejak suksesnya penerbangan jarak jauh antara Amsterdam-Batavia pada tahun 1924 yang disponsori KLM, kebutuhan penerbangan sipil di Hindia Belanda merebak. Gayung bersambut antara maskapai penerbangan sipil di Belanda (KLM) dengan munculnya permintaan yang tinggi di Hindia Belanda pengadaan penerbangan sipil. Penyelenggaraan penerbangan sipil tersebut dalam waktu yang tidak lama dapat direalisasikan seperti rute Batavia-Semarang dan rute Batavia-Bandoeng. Lapangan terbang sipil membutuhkan standar yang lebih tinggi, selain karena stander penerbangan sipil juga karena pesawat-pesawat sipil lebih besar (dan maskapai penerbangan sipil bernegosiasi dengan militer dalam hal upgrade lapangan terbang militer yang sudah ada). Dalam hal ini dapat ditambahkan munculnya permintaan dari orang Inggris untuk diizinkan lapangan terbang yang ada di Hindia untuk rute Singapoera-Sidney via Muntok, Jawa dan Singaradja/Bali. Lantas bagaimana soal isu penerbangan sipil ke Soerabaja dan ke Medan?
Sejak adanya penerbangan jarak jauh Amsterdam-Batavia dan permintaan yang
tinggi (kebutuhan) penerbangan sipil di Hindia Belanda, militer (darat/laut dan
udara) terus memperluas dan memperbanyak lapangan terbang. Lapangan terbang di
Gresik dianggap tidak memadai lagi karena mungkin terlalu jauh dari Soerabaya. Disamping
itu juga teknologi pesawat yang semakin meningkat, sehingga jangkauan pesawat
semakin jauh. Sebelumnya dipilihnya Gresik sebagai lapangan terbang militer karena
secara teknis dibutuhkan untuk rute penerbangan militer untuk menghubungkan
jalur pertahanan Tjililitan, Kalidjati/Soebang, Semarang, Gresik dan
Singaradja. Dalam hal inilah kemudian militer membangun lapangan terbang di Kamal,
afdeeling Bangkalan di pulau Madura (dalam hubungannya rute baru dari Semarang
dan ke Koeta (pengganti lapangan terbang di Singaradja). Lalu dalam perkembangannya
Angkatan laut membangun lapangan terbang sendiri di Morok Rembang, Soerabaja.
Permintaan penerbangan sipil yang tinggi di kota Soerabaja menjadi isu baru dalam penerbangan sipil (lihat De locomotief, 28-11-1928). Anak perusahaan KLM di Hindia Belanda (KNILM) tampaknya sulit merealisasikan di Soerabaja karena lapangan terbang Morok Rembang kurang kondusif untuk diupgrade. Ini berbeda dengan lapangan terbang di Semarang yang berada di Simongan (barat daya kota Semarang, ke arah hulu sungai Semarang). Lapangan terbang Morok Rembang (dekat pantai, di sebalah barat laut pelabuhan Tandjoeng Perak) hanya sesuai untuk pesawat-pesawat kecil (peswat militer berbobot ringan) karena secara geologis tanahnya rapuh dan ketinggian tanahnya yang rendah/tanah sedimen. Lalu ada usul memindahkan rencananya ke lapangan terbang Kamal (yang disambut baik oleh maskapai pelayaran yang akan menyediakan layanan bagi penumbang untuk menyeberang selat Madura dari Kamal ke pelabuhan Oedjoeng di Soerabaja.
Untuk mengatasi permasalahan di Soerabaja, usulan yang baru adalah
membangun lapangan terbang yang baru di Wonok Romo, Ngagel, tidak jauh dari
depot BPM. Disebutkan pihak militer mendukung di Ngagel, karena mereka lebih
memilih untuk berada sejauh mungkin dari pangkalan angkatan laut di Morok Rembang. Sebagai solusi sementara sambal
menunggu selesainya di Ngagel, direncanakan untuk menggunakan lokasi lapangan
terbang di dekat Kamal, di pantai Madura, yang lokasinya dianggap cocok dan
dapat dimungkinkan diupgrade dalam beberapa bulan. Lapangan terbang Kamal
sendiri berada tidak jauh dari Kamal, sekitar 5 Km dari dermaga Maduratram dan
tidak jauh di timur jalan raya Kamal – Bangkalan. Area pendaratan sementara di
Kamal akan memakan waktu sekitar satu jam 50 menit dari pusat kota Surabaya
dengan tram plus kapal penyeberangan.
Dengan mengerucutnya pilihan lokasi lapangan terbang yang baru di Soerabaja di area Ngagel, jauh dari lapangan terbang angakatan laut di Morok Rembang, dan militer menolak pilihan lokasi di Kamal, Madura, tetapi belum menyelesaikan masalah. Harga tanah di Ngagel memang lebih murah dan biaya pembangunan lapangan lebih rendah, tetapi secara geologis tanahnya kurang kondusif, karena ketinggiannya rendah dan dapat diringkatkan dengan pembangunan tanggul/drainase. Sementara itu juga diusulkan untuk mengatasinya dengan memanfaatkan upaya pendalaman Kali Brantas yang akan segera direalisasikan dimana pertapakan lapangan terbang tersebut kemudian dapat dinaikkan dengan pasir sungai dan tanah liat melalui pompa dan pipa panjang dari Kali Brantas. Usul terakhir ini diperkirakan lebih murah daripada pembangunan tanggul dan drainase.
Untuk mendukung realisasi lapangan terbang (sipil) di Soerabaja,
disebutkan Pemerintah Kota (gemeente) Soerabaja telah menyatakan bersedia
menyerahkan tanah dengan harga rendah (harga 10 sampai 15 sen per meter) demi untuk
sebuah lapangan terbang, mengingat Soerabaia membutuhkan penerbangan sipil yang
memadai. Namun perlu dicatat satu komisi yang dibentuk masih menghitung biaya
apakah dengan pertimbangan masing-masing apakah keputusan akhir di Morok
Rembang atau di Ngagel. Secara geografis Morok Rembang cukup menguntungkan
karena dekat dengan pusat bisnis di Soerabaja.
Bagaimanapun dalam urusan penebangan sipil tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan beberapa stakeholder seperti militer, pemerintah kon dan para warga yang membutuhkan jasa layanan penerbangan sipil. Tentu saja stakeholder maskapai penerbangan sipil (KNILM) memiliki keputusan di atas segalanya. Dalam satu kesempatan Ketika perwakilan maskapai KNILM datang ke Soerabaja untuk penjajakan terkesan ada pesimis ketika diwawancarai (lihat De Indische courant, 17-12-1928).
Disebutkan Mr. Beelaerts dari perwakilan KNILM menyatakan bahwa ‘Saya
tidak terlalu optimis tentang kemungkinan terbang di Soerabaia. Saya yakin kami
akan terbang ke Sumatra lebih cepat dari sini. Tidak ada yang akan datang meskipun
lapangan terbang sementara di (Kamal) Madoera. Beberapa keberatan telah
diajukan untuk ini. Pertama-tama, itu terlalu jauh dan angin monsoon bisa terjadi
di laut di selat Madoera. Selain itu, angkatan laut tampaknya telah mengajukan
keberatan di bidang penerbangan seipil (di Morok Rembang). Dan kemudian ada
biaya tambahan, yang kira-kira berjumlah ƒ5 hingga ƒ7,50 untuk transportasi
dari Soerabaia ke bandara. Semester pertama tahun depan kami berharap bisa
mulai menggunakan jalur: Batavia-Singapura-Palembang-Medan, mungkin dengan
jalur cabang ke Penang. Kemudian, tentu saja, pembukaan berbagai jalur ke pulau
lainnya untuk lalu lintas udara akan menyusul secara bertahap. Tapi itu masih rencana
masa yang akan datang.
Meski pihak KNILM sempat pesimis dengan pembukaan jalur penerbangan sipil ke Soerabaja tetapi pada akhirnya menemui solusinya sendiri yakni akan membangunan lapangan terbang baru di Soerabaja yang mana untuk sementara dilayani di Kamal, pulau Madoera (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 08-02-1929).
Disebutkan pejabat datang dari Semarang ke Soerabaia atas permintaan direktur Departemen Perusahaan Pemerintah, Kepala Biro Penerbangan, Dr WL Groeneveld Meijer, untuk mengadakan diskusi antara lain dengan manajemen pelabuhan di Soerabaja, mengenai lapangan terbang sementara dan lapangan terbang final (yang baru), sebagai tempat pendaratan penerbangan sipil di Soerabaja. Didampingi oleh Letnan Satu Insinyur, GWIJ van Walraven, masinis kelas dua L de Vogel dan masinis van Esch, keduanya dari dinas Manajemen Pelabuhan di Soerabaia, Dr Groeneveld Meijer menyeberang ke Madoera pagi ini untuk melihat area yang akan disiapkan untuk lapangan terbang sementara di Gili Anjar.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kini di Sumenep (Surabaya, Denpasar, Mataram): Mengapa Lapangan Terbang Penting di Sumenep?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar