*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyuwangi dalam blog ini Klik Disini
Ada
yang menyebut Pelabuhan Boom sudah eksis sejak era Majapahit? Bagaimana bisa.
Yang jelas pelabuhan tertua di wilayah Banyuwangi berada di Balambangan di
daerah aliran sungai Blambangan (kini sungai Setail). Kota Banyuwangi sendiri
adalah kota baru, tempat pemukiman baru yang terbentuk pada era VOC. Lalu
apakah sudah adalah Pelabuhan Boom? Namun semua itu adalah prosesnya dari awal
hingga era Pelabuhan Boom dan kini era Pelabuhan Ketapang.
Pelabuhan Ketapang adalah sebuah pelabuhan feri di Desa Ketapang, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Bali via perhubungan laut (Selat Bali). Pelabuhan dapat dicapai dengan melewati Jalan Gatot Subroto. Pelabuhan Ketapang berada dalam naungan dan pengelolaan dari ASDP Indonesia Ferry. Pelabuhan ini dipilih para wisatawan yang ingin menuju Pulau Bali menggunakan jalur darat. Setiap harinya, ratusan perjalanan kapal feri melayani arus penumpang dan kendaraan dari dan ke Pulau Bali melalui Pelabuhan Gilimanuk di Bali. Rata-rata durasi perjalanan yang diperlukan antara Ketapang - Gilimanuk atau sebaliknya dengan feri ini adalah sekitar 1 jam. Pelabuhan ini akan terintegrasi dengan Jalan Tol Probolinggo-Banyuwangi yang masih dalam tahapan perencanaan (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah pelabuhan di kota Banyuwangi, dimana dan kapan? Seperti disebut di atas di wilayah Banyuwangi juga terdapat pelabuhan sejak masa lampau. Pelabuhan di Banyuwangi masa ke masa Pelabuhan Boom hingga pelabuhan masa kini di Ketapang. Lalu bagaimana sejarah pelabuhan di kota Banyuwangi, dimana dan kapan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pelabuhan di Kota Banyuwangi, Dimana dan Kapan? Pelabuhan Banjoewangi, Pelabuhan Boom dan Kondisi Masa Ini
Situasi dan kondisi area pelabuhan Banyuwangi yang sekarang, sebenarnya sangat berbeda dengan kondisi dan situasi tempo doeloe. Namun siapa yang peduli. Akan tetapi sejarah tetaplah sejarah. Untuk memulai memahaminya dalam sejarah kota Banyuwangi, pelabuhan Banyuwangi sebagaimana pada Peta 1883 terletak di dua sisi (pulau) Boom (sebelah barat dan sebelah timur). Sisi sebelah timur langsung ke laut lepas (terutama untuk koneksi kapal-kapal besar di lepas pantai). Sedangkan sisi barat merupakan suatu selat sempit yang di arah utara dibangun tanggul/batang penghalang (boom).
Di atas boom ini dibangun jalan/jembatan yang menghubungkan kota/benteng Banyuwangi dengan pulau. Perlu dicatat bahwa pulau boom sendiri adalah daratan yang terbentuk baru di masa lampu karena proses sedimentasi jangka panjang. Artinya, pulau (gumuk/gundukan pasir) ini dulunya tidak ada, sehingga pelabuhan awal Banyuwangi pada mulanya berada di sekitar muara sungai Banyuwangi (sisi selatan benteng). Dengan kata lain saat itu benteng (Fort Utrecht) langsung menghadap laut lepas. Perahu-perahu saat itu dari sisi selatan benteng dapat lalu lalang ke arah hulu sungai hingga di dekat rumah bupati Banyuwangi (sekitar alun-alun yang sekarang). Pada masa inilah pelabuhan Banyuwangi disebut pelabuhan Haven Banjoewangi.
Pulau pasir (pulau Boom) pada peta-peta lama belum/tidak terindentifikasi. Pulau pasir tersebut baru diidentifikasi pada Peta 1817. Pulau pasir ini seakan menjadi penghalang (barrier) terhadap benteng dari gelombang laut/ombak di sekitar selat Bali. Pulau pasir yang terbentuk ini menjadi jangkar penting dalam proses perluasan pembentukan daratan baru. Di satu sisi, semakin luas mendekati daratan (benteng_ dan di sisi lain semakin meluas memasuki perairan (selat).
Sejatinya selat Bali bukanlah laut dangkal, tetapi juga bukan laut dalam. Sungai Banyuwangi berperan penting dalam terbentuknya pulau pasir (pulau Boom), yang mana sungai membawa massa padat dari arah pedalaman di lereng gunung Raung. Massa padat ini berupa lumpur dan sampah vegetasi, yang boleh jadi di masa lampau gunung Raung sangat aktif dan kerap meletus. Arah jatuhnya debu vulkanik ke tenggara di wilayah Banyuwangi, yang menjadi hulu dari sungai-sungai seperti sungai besar sungai Setail dan sungai Banyuwangi (dulu disebut sungai Gattak).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pelabuhan Banjoewangi, Pelabuhan Boom dan Masa Ini: Pelabuhan Ketapang
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar