*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pendidikan dalam blog ini Klik Disini
Sekolah
tinggi adalah sekolah tertinggi, dimana Pendidikan tertinggi dapat dicapai.
Sekolah tinggi (hoogeschool) bermula pada Pemerintah Hindia Belanda dengan didirikannya
Technich Hoogeschool (THS) di Bandoeng tahun 1920 lalu kemudian diikuti
pendirian Rechthoogeschhol (RHS) dan Geneeskundige Hoogeschool (GHS) di
Batavia. Pada akhir Pemerintah Hindia Belanda dibentuk universitas
(Universiteit van Indonesia) yang menjadi cikal bakal pembentukan sejumlah universitas
di Indonesia.
Sejarah perguruan tinggi di Indonesia bermula era Pemerintah Hindia Belanda. Rintisan hanya di bidang kesehatan, tahun 1902 di Batavia didirikan STOVIA kemudian NIAS tahun 1913 di Surabaya. Ketika STOVIA tidak menerima didirikanlah sekolah GHS tahun 1927. Di Bandung tahun 1920 didirikan THS (embrio ITB). Pada tahun 1922 didirikan Textil Inrichting Bandoeng (TIB) embrio Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung, sekolah hukum (Rechts School) kemudian ditingkatkan menjadi Recht hooge School (1924). Di Jakarta tahun 1940 didirikan Faculteit de Letterenen Wijsbegeste menjadi Fakultas Sastra dan Filsafat di Indonesia. Di Bogor didirikan sekolah tinggi pertanian tahun 1941 sekarang IPB. Zaman Jepang sampai awal kemerdekaan, GHS ditutup dan atas inisiatif pemerintahan militer, GHS dan NIAS dijadikan satu dan diberikan nama Ika Dai Gakko (Sekolah Tinggi Kedokteran). Dua hari setelah proklamasi, pemerintah Indonesia mendirikan Balai Pergoeroean Tinggi RI yang memiliki Pergoeroean Tinggi Kedokteran, dibuka tanggal 1 Oktober 1945, pada masa perang kemerdekaan mengungsi ke Klaten dan Malang. Pemerintah RI di Yogyakarta bekerja sama dengan Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada pada tanggal 19 Desember 1949 mendirikan Universitas Gadjah Mada. Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta berdiri tanggal 8 Juli 1945 perguruan tinggi swasta pertama. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah sekolah tinggi era Hindia Belanda, THS, RHS dan GHS? Seperti disebut di atas perguruan tinggi di Indonesia bermula pada era Pemerintah Hindia Belanda berupa sekolah tinggi (hoogeschool). Lalu menjelang berakhirnya Belanda, dibentuk universitas (Universiteit van Indonesia) yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuk Universitas di Indonesia. Lalu bagaimana sejarah sekolah tinggi era Hindia Belanda, THS, RHS dan GHS? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Sekolah Tinggi Era Hindia Belanda, THS, RHS dan GHS; Cikal Bakal Terbentuk Universitas di Indonesia
Kapan sekolah tinggi dimulai di Indonesia? Sekolah tinggi adalah sekolah setara pendidikan di perguruan tinggi (pendidikan dimana pesertanya setara di atas sekolah menengah/atas). Lulusan sekolah Eropa (HBS 5 tahun/setara SMA) hanya dapat melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Belanda. Pribumi pertama lulusan HBS 5 yang lanjut studi ke perguruan tinggi (di Belanda) adalah Raden Kartono pada tahun 1896. Bagaimana dengan Docter Djawa School?
Siswa yang diterima di Docter Djawa School antara lain lulusan sekolah dasar Eropa (ELS). Lama studi di Docter Djawa School tiga tahun tingkat persiapan dan lima tahun untuk tingkat medik. Jika masa persiapan itu selama tiga tahun berarti setara sekolah menengah/pertama. Sementara tingkat medik selama lima tahun, itu berarti tiga tahun pertama diasumssikan setara sekolah menengah/atas, dan dua tahun terakhir haruslah dianggap Pendidikan setara di perguruan tinggi. Dengan kata lain dua tahun terakhiir di Docter Djawa School kira-kira setara dengan diploma dua tahun. Jadi, pendidikan berdasarkan lama studi, Docter Djawa School sebenarnya dapat dianggap adalah perguruan tinggi.
Dalam laporan awal tahun ajaran 1901/1902 jumlah siswa yang ada sebagai berikut: Jumlah peserta tahun ajaran 1900/1901 yang berakhir pada tanggal 19 Desember 1900 sebanyak 113 orang mahasiswa, yang mana 9 orang diantaranya telah lalus dan diangkat menjadi doctor djawa (Dr). Sementara itu sebanyak 75 siswa telah mendaftar untuk tahun ajaran baru, semuanya lulusan sekolah ELS, yang mana 41 diterima, sehingga jumlah siswa tahun ajaran baru ini sebanyak 145 terdiri dari 93 orang Jawa. 17 Sumatra, 18 Menado. 12 Amboina, 2 Timor, 2 Depokker dan 1 Bugis (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 06-08-1902). Siswa yang lulus ujian untuk dua kelas tertinggi tahun ajaran 1901/1902 diumumkan bulan November (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-11-1902). Tiga diantaranya Abdoel Hakim dan Abdoel Karim dari Padang Sidempoean, dan Tjipto Mangoenkoesoemo dari Poerwodadi.
Mengapa jumlah siswa yang diterima pada tahun ajaran 1901/1902 banyak
yang diterima (tidak seperti sebelumnya)? Ada perubahan/reorganisasi sekolah
kedokteran di Batavia. Kurikulum diubah dan sekolah diubah dari Docter Djawa
School menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Lama studi ditingkatkan
dari 8 tahun menjadi sembilan tahun (tiga tahun tingkat persiapan; enam tahun
tingkat medik). Dalam hal ini meski Abdoel Hakim dan Abdoel Karim dari Padang
Sidempoean, dan Tjipto Mangoenkoesoemo (lama studi sembilan tahun) tetapi gelarnya
tetap dokter djawa. Sedangkan lulusan mulai angkatan baru ini nanti tidak
bergelar dokter djawa (inlansch arts=dokter pribumi) lagi, tetapi disebut dokter
pribumi (Indisch Arts=dokter Hindia). Semasa transisi ini nama sekolah saling
dipertukarkan Docter Djawa School dan STOVIA. Salah satu diantara angkatan pertama
STOVIA ini adalah Raden Soetomo.
Abdoel Hakim dan Abdoel Karim serta Tjipto Mangoenkoesoemo lulus tahun 1905 dengan gelar docter djawa (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-11-1905). Dalam hal ini dokter djawa setara diploma tiga. Bagaimana sekolah-sekolah lainnya? Sekolah kedokteran hewan (veeartschool) di Buitenzorg yang dibuka tahun 1907 dapat dianggap setara diploma satu.
Dua sekolah pertama adalah sekolah kedokteran dan sekolah guru. Sementara
sekolah kedokteran sudah sudah perguruan tinggi (diploma), sekolah guru masih
setara sekolah menengah/pertama. Sebelumnya pada tahun 1900 sekolah pamong (Hoofdeenschool)
direorganisasi sebagai sekolah OSVIA (tetap setara sekolah menengah/pertama). Pada
tahun 1903 dibuka sekolah pertanian (landbouwschool) di Buitenzorg dengan lama
studi tiga tahun. Pada tahun 1907 dibuka sekolah kedokteran hewan (veeartschool)
di Buitenzorg. Siswa yang diterima adalah lulusan setara sekolah menengah/pertama
seperti lulusan sekolah guru. Lama studi adalah empat tahun. Jadi, Veeartschool
ini dapat dikatakan setara perguruan tinggi (diploma satu). Pada tahun 1909
dibuka sekolah hukum (rechtschool) dimana siswa yang diterima lulusan setara
sekolah menengah/pertama dengan lama studi tiga tahun. Sekolah guru, sekolah
pamong, sekolah hukum dan sekolah pertanian setara dengan sekolah menengah.
Jadi hingga saat ini baru ada dua tintisan perguruan tinggi (STOVIA dan Veeartschool).
STOVIA dan Veeartschool tidak mengalami perubahan. Yang berubah adalah Landbouwschool di Buitenzorg tahun 1911 berubah menjadi Middlebareschool. Pada tahun 1913 di Soerabaja dibuka sekolah kedokteran yang baru (Nederlandsch Indische Artsen School). Berbeda dengan STOVIA, sekolah ini siswa Eropa, Cina dan pribumi diterima.
Seiring dengan dibukanya sekolah HIS (tahun 1914), jumlah lulusan yang
dapat diterima di sekolah menengah/pertama semakin banyak. Pada tahun 1915
sekolah pertanian yang baru (Cultuurschool) dibuka di Soekaboemi. Perbedaannya Middlebareschool
di Buitenzorg dan Cultuurschool adalah persyaratan yang diterima, dimana di Cultuurschool
yang diterima lulusan ELS yang juga menerima siswa Eropa, Cina dan pribumi. Pada
tahun 1917 dibuka sekolah MULO yang mana di sekolah HBS (setara tiga tahun). Lalu
pada tahun 1919 dibuka sekolah AMS (Algemeene Middelbare School) di
Djogjakarta.
Pada tahun 1920 di Bandoeng dibuka Technische Hoogeschool (THS) di Bandoeng. THS adalah perguruan tinggi yang setara dengan di Eropa/Belanda. Lama studi empat tahun. Mahasiswa yang diterima adalah lulusan HBS 5 tahun, lulusan Cultuurschool dan kemudian lulusan sekolah AMS (jurisan IPA).Mahasiswa yang diterima Eropa, Cina dan pribumi. Lulusan THS Bandoeng adalah insinyur. Raden Soekarno adalah angkatan ketiga (masuk 1922) yang merupakan lulusan HBS 5 tahun di Soerabaja, dan juga Anwari lulusan dari AMS Jogjakarta.
Cikal Bakal Terbentuk Universitas di Indonesia: Soetan Casajangan dan Indische Vereeniging
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar