*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tata Kota di Indonesia di blog ini Klik Disini
Batavia
adalah nama wilayah di Belanda, yang kemudian ditabalkan sebagai nama benteng
Belanda/VOC di hilir sungai Tjiliwong. Itu dimulai tahun 1619. Pembangunan
benteng Batavia tidak hanya soal benten in situ, tetapi juga benteng dijadikan
bagian dari suatu rencanan kota. Artinya, benteng hanya akan menjadi fungsi pertahanan
jika terdapat ancaman dan serangan benar-benar terjadi. Dalam konteks inilah
sejarah awal Batavia dimulai (yang kelak Namanya disebut Jakarta).
Tanggal 30 Mei 1619, Penaklukan Jayakarta dan Berdirinya Batavia yang Kini Jadi Jakarta. Merdeka.com. 30 Mei 2021. Pendirian kota Batavia tidak lepas dari peran Jean Pieterzoon Coen. Meskipun sebelumnya Jayakarta, dikuasai dan dibangun oleh Pangeran Fatahillah, namun situasi dan kondisi Jayakarta tidak seperti pada masa pengelolaan JP Coen. Setelah Jayakarta dikuasai VOC, melalui kebijakan ekspedisi militer yang dirancang oleh JP. Coen, keadaan kota Jayakarta perlahan meningkat dalam bidang sosial maupun ekonomi. Di atas reruntuhan kota dibangun kota dengan pola dan tata letaknya meniru kota di negeri Belanda. Rancangan kota tersebut membentuk fortalezza berbentuk kotak di bagian depan dari benteng digali parit. Di bagian belakangnya terdapat berbagai bangunan dan gudang yang juga dikelilingi oleh parit, pagar besi dan tiang-tiang yang kokoh. Benteng ini pada mulanya akan difungsikan sebagai kastil dan pusat perdagangan yang di masa kemudian akan merangkap sebagai pusat pemerintahan merangkap sebagai tempat para pegawai kompeni. Pembangunan ini merupakan cikal bakal dari berdirinya kota dengan lambang sebilah pedang dan perisai yang dikenal dengan nama Batavia. Batavia adalah nama yang diberikan oleh orang Belanda pada koloni dagang yang sekarang tumbuh menjadi Jakarta yang merupakan ibu kota dari Indonesia. Sebelum dikuasai Banten, bandar ini dikenal sebagai Sunda Kelapa yang merupakan salah satu titik perdagangan di Kerajaan Sunda. (https://www.merdeka.com/)
Lantas bagaimana sejarah Batavia tempo doeloe
Jakarta masa kini, bagaimana bermula? Seperti disebut di atas, kota Batavia
bermula tahun 1619 dimana benteng dibangun yang diintegrasikan dengan
pengembangan suatu kota baru. Peta tata kota Batavia pertama dibuat oleh Jean Pieterzoon Coen. Lalu
bagaimana sejarah Batavia tempo doeloe Jakarta masa kini, bagaimana bermula? Seperti
kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Batavia Tempo Doeloe Jakarta Masa Kini, Bagaimana Bermula; Peta Tata Kota Batavia Pertama
Sunda Kelapa (Cunda Calapa) dari catatan Cornelis de Houtman (Peta 1597) dan Iacatra dari peta Portugis Peta No.19 (1619) mengindikasikan dua nama untuk menunjukkan dua kota di wilayah yang sama. Pelaut Portugis sudah mendarat di Malacca tahun 1508 dan menguasainya tahun 1511. Dalam literatur Portugis, satu sumber yang cukup detail menggambarkan situasi dan kondisi umum di Jawa adalah buku Tome Pires (1512-1515). Tome Pires menyebut nama pelabuhan (port) Calapa. Penyebutan nama Cunda Calapa baru ditemukan dalam laporan Duarte Barbosa (1518). Sedangkan nama Jacatra baru muncul dalam laporan Joao de Barros (1527). Joao de Barros di dalam laporannya menyebut di pantai utara Jawa terdapat tujuh pelabuhan penting, yakni: Chiamo, Xacatara, Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang dan Bantam.
Penulis-penulis geografi Belanda mengidentifikasi Chiamo sebagai Tjimanoek (Indramajoe), Xacatara sebagai Jacatra, Caravam sebagai Karawang, Tangaram sebagai Tangerang, Cheguide (Tjikande), Pondang (Pontang) dan Bantam (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1906, 01-01-1906). Dari keterangan ini, dapat diinterpretasi, sudah tentu nama Jakarta sudah ada jauh sebelum tahun 1527. Nama Sunda Kelapa baru disebutkan kemudian sebagai pelabuhan Sunda dari Pajajaran di Pakuan (kini Bogor) yang beragama Hindu. Pelabuhan ini diserang Demak (Cheribon da Banten) yang beragama Islam dibawah pimpinan Fatahillah 1526. Di bawah kekuasaan Demak, disebutkan Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta. Oleh karena itu nama tempat yang dimaksud harus dilihat dari dua sisi: dari sisi Pajajaran disebut Sunda Kelapa dan dari sisi Demak/Banten disebut Jayakarta. Dua nama ini terus eksis dan saling dipertukarkan.
Pelaut-pelaut Belanda baru muncul satu abad setelah kehadiran Portugis. Setelah kehadiran Belanda di bawah pelaut Cornelis de Houtman, lalu kemudian pelaut-pelaut Belanda tahun 1602 membuka pos perdagangan di Banten, lalu pindah ke Ambon, kemudian Sulawesi Selatan, lalu ke Banten lagi dan akhirnya menetap di Batavia tahun 1619. Ini berarti buku ‘Itinerarivm, ofte schipvaert naer Oost ofte Portugaels Indien’ sudah beredar luas sebelum Belanda di Batavia. Ini juga berarti peta kuno 1619 bersamaan munculnya dengan Batavia ditetapkan sebagai markas VOC (Belanda).
Peta tahun 1619 (berbahasa Portugis) boleh jadi merupakan peta kuno
paling lengkap tentang navigasi pelayaran
perdagangan dunia. Informasi seluruh
nusantara (Oost ofte Portugaels Indien) dari Birma hingga Papua dan dari Luzon
hingga Timor terdapat pada Peta No.19. Dalam peta ini satu nama yang tercatat
di Teluk Jakarta adalah Icatra (Jacatra). Sedangkan buku kono paling
lengkap tentang identifikasi nama-nama tempat di dunia adalah berjudul
‘Itinerarivm, ofte schipvaert naer Oost ofte Portugaels Indien’ yang terbit di
Amsterdam tahun 1614. Buku berbahasa Belanda ini masih dicetak dengan huruf
gothiek. Buku ini besar kemungkinan juga merujuk pada jurnal Belanda tahun 1598
berjudul: ‘Journael vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost
Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde avontueren die haer bejegent
zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt aengeteeckent...’. Jurnal ini sepenuhnya
berisi catatan hari demi hari tentang ekspedisi yang dilakukan oleh Cornelis de
Houtman yang dimulai pada tanggal 2 April 1595 dengan total 249 pelaut. Di
dalam jurnal ini juga berisi beberapa peta termasuk peta Pulau Jawa yang dibuat
pada tahun 1597 dimana dalam peta ini terdapat dua nama tempat yang berdekatan
di Teluk Jakarta: Bantam (Banten) dan Cunda Calapa (Sunda Kelapa). Penulis-penulis Portugis
selanjutnya, pelabuhan Kalapa adakalanya ditulis sebagai pelabuhan Sonda Calapa
(Soenda Kalapa). Penyebutan Kalapa menjadi Soenda Kalapa menjadi lebih intens
setelah pendudukan Demak hingga menjelang kehadiran pelaut-pelaut Belanda yang
dipimpin oleh Cornelis de Houtman (1595-1597). Nama Kalapa (Xalapa) juga
ditemukan di Mexico sebagai pelabuhan penting. Tidak jelas mana yang lebih dulu
Kalapa di timur atau Xalapa di barat. Dua pelabuhan ini berada di wilayah
(dekat) tropis. Faktor Portugis (sebelum kedatangan Spanyol) sangat pnting di
dua pelabuhan yang berjauhan.
Nama Xunda Kalapa diduga adalah nama kuno (era Hindoe/Boenda). Nama Jakarta (Iacatra; Portugis) dalam hal ini sudah eksis sebelum 1527. Dengan kata lain sejak kehadiran Demak pada tahun 1527 muncul nama Jayakarta. Penaklukkan Jakarta mengakibatkan (pusat) kerajaan Jakarta berganti rezim, dari rezim lama menjadi rezim (asal) Demak. Kerajaan Jakarta sebelum dan sesudah berganti rezim, pelabuhannya adalah Kalapa. Oleh karena itu, pelabuhan Kalapa adalah pelabuhan Jakarta (sesuai Joao de Barros: Xacatara).
Pelabuhan
Kalapa tidak hanya digunakan oleh (kerajaan) Jakarta, tetapi juga oleh kerajaan
di Tanah Soenda, Pakwan-Padjadjaran. Dalam hal ini, pelabuhan Kalapa adalah
pelabuhan internasional yang mana Jakarta dan Pakwan-Padjadjaran memiliki
akses. Kerajaan Jakarta melalui akses air (sungai) Tjiliwong (sisi timur sungai
Tjiliwong). Sedangkan Kerajaan Pakwan-Padjadjaran melalui akses darat (sisi barat
sungai Tjiliwong). Pakwan-Padjadjaran,
sebagai kerajaan besar yang berpusat di Bogor sekarang, memiliki banyak akses
menuju laut (pelabuhan): ke pantai selatan melalui Tjimandiri ke Pelabuhan Ratu
sekarang; ke pantai utara, yakni Chiamo (Cimanuk/Indramayu), Xacatara (Kalapa
Jakarta melalui sungai Ciliwung), Caravam (Karawang melalui sungai Cibeet),
Tangaram (Tangerang melalui sungai Cisadane), Cheguide (Cikande melalui sungai
Tjikande atau sungai Tjidoerian), Pondang (Pontang) dan Bantam (Banten).
Kerajaan Jakarta diduga adalah kerajaan kecil yang menjadi vassal dari Kerajaan
Pakwan-Padjadjaran (yang menjadi sebab pelabuhan Kalapa dipandang sebagai
pelabuhan bersama). Akses kerajaan Pakwan-Padjadjaran ke laut/pelabuhan melalui sisi barat
sungai Tjiliwong. Jalan akses ini merupakan jalan kuno yang kini dikenal
melalui Kedong Badang, Tjileboet, Bodjongmanggis/Bodjong Gede,
Pondokterong/Tjitajam, Depok, Pondok Tjina, Sringsing/Lenteng-agoeng,
Tandjoeng/Pasar Minggu, Menteng, Tjikini, terus ke Soenda Kalapa. Jalan akses
ini tidak pernah memotong sungai, jalan ini berada diantara sungai Tjiliwong
dengan sungai Kroekoet (bermuara di setu Tjitajam di Pondokterong).
Dalam ekspedisi Belanda berikutnya tiba di pulau Sumatra pada tanggal 13 Desember 1604. Lalu pada tanggal 17 Januari 1605 kapal-(kapal) Belanda menyingkir dari Banten dan bergerak ke kepulauan Maluku. Sebelum ke Maluku mereka singgah di Jacatra dan tanggal 15 Februari tiba di Bima. Ini mengindikasikan nama Jacatra juga sudah dicatat Belanda. Pada ekspedisi pertama Belanda hanya mencatat nama pelabuhannya saja (Cunda Calapa). Ini mengindikasikan pemahaman mereka di seputar muara sungai Tjiliwong semakin meningkat. Pelabuhan Cunda Calapa berada di sisi barat muara sungai Tjiliwong, sedangkan (pusat kerajaan) Jacatra berada agak ke pedalaman (di sekitar Mangga Dua sekarang).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Peta Tata Kota Batavia Pertama: Dibuat Sendiri Jean Pieterzoon Coen
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Terimakasih pak Matua sudah banyak meluangkan waktunya untuk berbagi pengetahuan sejarah tempat di Indonesia. Khususnya sejarah yang terkait sungai dan perkotaan di Indonesia... Ditunggu selalu tulisan berikutnya... pasti bermanfaat
BalasHapusSelalu kembali keblog ini dari 10 tahun lalu sejak masih smp... terimakasih pak Matua sudah berbagi informasi yg aksesibel untuk semua orang🙏
BalasHapus