*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tata Kota di Indonesia di blog ini Klik Disini
Pada masa ini Wamena ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Papua Pegunungan dan Nabire juga telah ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Papua Tengah. Dua kota ini jelas berjauhan, satu di pesisir pantai dan satu lagi di pedalaman. Kota Nabire tepat berada di bagian paling dalam teluk besar Cendrawasih. Kota Wamena tepat berada di tengah lembah luas (lembah Baliem) di lereng gunung tertinggi di Papua (gunung Jayawijaya). Kedua kota ini sulit dihubungkan dengan jalan darat. Sungai Baliem bermuara ke pantai barat di Laut Arufuru.
Wamena adalah ibu kota kabupaten Jayawijaya dan sekaligus juga sebagai ibu kota Provinsi Papua Pegunungan. Wamena juga merupakan sebuah distrik di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan. Wamena adalah pusat kota di daerah pedesaan yang menampung dataran tinggi dengan konsentrasi populasi tertinggi di Lembah Baliem dan daerah sekitarnya. Penduduk Wamena memiliki sejumlah kelompok etnis, yang paling dominan adalah suku Dani, Lani dan Yali. Kabupaten Nabire adalah salah satu kabupaten yang juga merupakan ibu kota Provinsi Papua Tengah, yang berbatasan dengan Provinsi Papua Barat di sebelah barat. Ibu kota kabupaten ini terletak di punggung pulau Papua (di bagian dalam teluk Cendrawasih) (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah tata kota Nabire dan tata kota Wamena? Seperti disebut di atas, dua kota ini masing-masing telah ditetapkan sebagai ibu kota provinsi. Kota Nabire di teluk besar (Teluk Cendrawasih), sungai Membramo di pantai utara berhulu di lembah luas (Lembah Baliem) di lereng gunung tertinggi. Lalu bagaimana sejarah tata kota Nabire dan tata kota Wamena? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Tata Kota di Nabire dan Wamena; Teluk Besar Cendrawasih dan Lembah Besar Baliem di Gunung Tertinggi
Seperti suku Asmat, suku Dani di Papua juga dikenal luas. Penduduk suku Dani mendiami lembah terkenal, Lembah Baliem di pedalaman Papua. Seperti suku Amungme di masa lampau seakan terisolasi di pedalaman, suku Dani juga terisolasi dan tidak memiliki akses ke pantai (dunia luar). Oleh karena itu penduduk suku Dani untuk waktu yang lama memiliki cara hidup yang tetap orisinil. Gambaran itu masih terlihat hingga kini.
Pada era Hindia Belanda, penduduk Papoea belum teridentifikasi sebagai
penduduk yang dibedakan menurut suku. Hal ini karena studi antropologis belum
ada yang dilakukan untuk penduduk Papoea. Pemerintah maupun para pedagang
(bahkan sejak era VOC) yang berinteraksi di kota-kota pantai hanya melihat
penduduk Papoea atas dasar penduduk yang bermukim di wilayah pantai dan
penduduk yang berdiam di pedalaman.
Wilayah pedalaman untuk kali pertama diketahui pada tahun 1922 berdasarkan suatu ekspedisi Wilheliina Top atau Carstenz Top (lihat De Preanger-bode, 15-03-1922). Pengetahuan ini juga termasuk nama (lembah) Baliem dan sungai Wamena. Ekspedisi (resmi pemerintah) ini dipimpin oleh Overste Laut Kremer yang dikawal oleh satu detasemen militer yang dipimpin oleh Kapoiteit Infanteri J van Arkel. Dalam ekspedisi ini turut ahli geologi Dr Hubrecht. Tim ekspedisi ini dibantu oleh sebanyak 34 orang Dayak. Sedangkan detasemen militer dibantu oleh 41 orang Dayak. Eskepdisi ini berlangsung dari tanggal 1 Oktober 1921 dan berakhir tanggal 1 Januari 1922. Ekspedisi ini berjalan sukses dapat mendaki puncak Wilhelmina. Pendakian puncak Carstenz ini merupakan yang kedua, sebelumnya dilakukan dari selatan oleh ekspedisi Prancis yang dipimpin oleh Herderschee.
Eskpedisi
ke Wilhelmina ini dilakukan dari pantai utara melalui muara sungai Membramo ke
arah hulu di pedalaman. Nama-nama geografis yang dicatat dalam laporan
ekspedisi ini didahului nama sungai Dika dan sungai Djapellimboet dan kampong
Timorini pada tanggal 12 Oktober dan tanggal 15 di kampong Donda. Pada tanggal
17 stay di Panarah. Kemudian tanggal 19 di Aap Toli. Tanggal 20 memasuki
wilayah Koeboe dan tanggal 24 mencapai Noega dan keesokan harinya menuju
kampong Tamak (ketinggian 1.750 M). Pada tanggal 1 November tiba di kampong
Noreagobak (masih lanskap Koeboe), tanggal 8 di kampong Toegobak. Tanggal 10
berada di ketinggian 2.400 M kampong pertama dari Baliem (pos militer
dibangun). Keesokan harinya dilanjutkan dan stay di kampng Tora (pertemuan Tiom
dan Baliem). Sementara Luitenant Dros di Tora tim ekspedisi ke Baliem dan
bertemu penduduk yang dipandu oleh pemandu Wamgimeh. Pemandu penduduk asli
bernama Wamgimeh. Di Donda dibuat pos militer sementara yang dipimpin oleh
Luitenant Drost. Sedangkan tim ekspedisi melanjutkan perjalanan, saat inilah
dari pos Donda diketahui bahwa di Lembah Baliem memiliki penduduk yang padat
(relatif dengan wilayah yang sudah mereka lalui dari pantai utara) namun belum
diketahui secara pasti. Catatan inilah boleh jadi nama Baliem dan Wamena
disebut dalam publikasi. Dalam hal ini, nama Baliem adalah nama wilayah
(lembah) sedangkan nama Wamena hanya dicatat sebagai nama sungai. Tentu saja
ada nama kampong yang disebut Wamena (tim ini tidak sampai ke sana). Pada
tanggal 18 di Pieremeh, anak sungai kecil di sebelah kanan Baliem. Lebih dari
30 Km medan tak berpenghuni memisahkan ekspedisi dengan titik yang dituju tim
ekspedisi. Pada tanggal 22 pukul setengah satu, dengan bantuan parang, tim
turun ke dasar sungai Wamena dan memasuki pos militer yang dibangun di tepi
sungai ini. Pada tanggal 23 mereka beristirahat dan sebagian besar orang Papua
yang ikut membantu pulang tetapi mereka berjanji akan membawa babi dan ubi.
Keesokan harinya orang Dayak berangkat bersama Wamgimèh. Tanggal 25 November
jalan melewati lapisan batu pasir yang menjadi bagian punggung pertama dari
Central Chain (Pegunungan Tengah). Kawasan ini menjadi batas antara utara dan
selatan (pedalaman) Papua.
Salah satu anggota tim ekspedisi tersebut menulis pada surat kabar De Preanger-bode, 25-03-1922 memberi kesan bahwa jalan menuju target ekspedisi melalui ladang yang dibangun dengan baik dan kampung-kampung yang makmur. Semuanya menunjukkan bahwa orang Papua sangat makmur di daerah ini. Pemandangan ke utara di lembah Baliem yang dalam dengan lereng menurun dan desa-desa tersembunyi sangat indah dari sini. Lurus utara naik di tepi kiri Balien, Moli dan Bonnom, dua gunung menurun cukup curam ke sungai, dimana jalan berkelok ke atas terlihat jelas. Penduduk Baliem mengaku hidup bersahabat dengan orang Papua di selatan pengunungan Rantai Tengah. Menurut saya, area pendaratan yang cocok untuk bidang tanah juga bisa dibangun di dataran tinggi Baliem yang berawa. Singkatnya, kami mendapatkan area pesawat berikut untuk bagian dari Papua Tengah ini: pesawat air: di Danau Habbema, Sungai Idenburg dekat Prauwenbivak; pesawat darat: Dataran Kubu – alang-alang, dataran tinggi Baliem, keduanya harus dipersiapkan dulu. Bahwa eksplorasi selanjutnya dari N. van den Central Chain Papua dapat dilakukan dengan pesawat,
Salah
satu yang penting dari ekspedisi ini, selain pendakian puncak Carstenz adalah
pengenalan awal tentang wilayah pedalaman Papua di dataran tinggi, terutama di
Lembah Baliem. Dalam hal ini identifikasi untuk pendaratan pesawat yang sesuai
sudah diidentifikasi, paling tidak untuk titik awal pendaratan di danau Habema
(sebelah barat kota Wamena yang sekarang). Inilah awal sejarah kota Wamena dan
kabupaten Jayawijaya.
Lantas bagaimana dengan Wamena selanjutnya di lembah Baliem di pedalaman Papua? Tidak terinformasikan. Apakah setelah eskpedisi pertama ke lembah Baliem tahun 1922 tidak ada lagi ekspedisi berikutnya? Yang terlaporkan adalah bahwa pesawat Amerika Serikat jatuh di pedalaman Papua di lembah Baliem. Lalu suatu ekspedisi udara dilakukan pada tahun 1952 (lihat Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant, 26-09-1952).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Teluk Besar Cendrawasih dan Lembah Besar Baliem di Gunung Tertinggi: Kota Nabire dan Kota Wamena Masa ke Masa
Mungkin banyak yang bertanya apalah arti sejarah sungai dan sejarah nama sungai. Okelah, mungkin sungai tidak memberi makna penting pada masa kini, karena sungai sama saja dengan laut dan danau tentang soal air. Namun sesungguhnya sejarah sungai dapat dikatakan awal dari sejarah di suatu tempat. Mengapa? Seperti halnya di lautan (tanjung, teluk atau selat) adalah penanda navigasi pelayaran di awal sejarah. Dalam hal ini, sungai Membramo di pantai utara pulau Papua adalah jalur navigasi pelayaran dari lautan (pantai) ke pedalaman (pegunungan). Di dua sisi ini terdapat populasi penduduk, yang dalam hal ini seperti disebut di atas, menjadi awal navigasi pelayaran sungai hingga memungkin ekspedisi sampai ke Lembah Baliem dimana terdapat kampong Wamena.
Sungai
Mamberamo adalah suatu sungai yang keberadaannya belum lama dicatat dalam
sejarah navigasi pelayaran dan sejarah geografi. Panjang sungai Mamberamo 670 Km.
Sungai Mamberamo berhulu di Pegunungan Jayawijaya dan bermuara ke Samudera
Pasifik. Sungai Mamberamo jelas sungai yang panjang, yang itu berarti air
mengalir dari pegunungan di pedalaman (kabupaten Sarmi) melalui berbagai wilayah
geografi sebelum menemukan jalan ke muara di pantai (laut).
Sungai Membramo pada masa ini melewati sembilan kabupaten dan bermuara di pantai utara pulau Papua di kabupaten Membramo. Dari muara sungai Membramo terhubung melalui pesisir/laut ke teluk besar di sebelah barat, yakni Teluk Cendrawasih yang tempo doeloe disebut Geelvink Baay. Teluk besar ini dikawal oleh beberapa pulau besar Pulau Biak (Misore atau Schouten), Pulau Japen (Langland atau Jobie) dan Pulau Numfor (Bultig). Salah satu pulau kecil di teluk bagian dalam bernama Pulau Moor (kini masuk kabupaten Nabire).
Teluk Cenderawasih adalah suatu teluk yang yang sangat luas. Pada masa ini garis pantai teluk ini yang masuk tiga provinsi (provinsi Papua, provinsi Papua Tengah dan provinsi Papua Barat). Di dalam teluk terdapat lima kabupaten (yang disebut wilayah Saereri) yakni kabupaten Biak, kabupaten Numfor, kabupaten Supiori, kabupaten Yapen. Sedangkan kabupaten lainnya yang bersinggungan dengan teluk adalah kabupaten Manokwari, kabupaten Teluk Wondama, kabupaten Nabire, kabupaten Waropen dan kabupaten Membramo Raya.
Seperti disebut di atas, teluk ini sungguh besar
sehingga pada masa ini terbentuk banyak kabupaten. Kota Manokwari yang menjadi
ibu kota Provinsi Papua Barat juga menjadi bagian dari kawasan teluk ini. Demikian
juga Kota Nabire yang menjadi ibu kota Provinsi Papua Tengah juga menjadi
bagian dari kawasan teluk.
Teluk
besar ini ditemukan orang-orang Belanda (Hollander) pada tahun 1701. Surat
kabar di Asterdam, Amsterdamse courant, 25-03-1702 memberitakan bahwa kapal
Geelvink tiba dari Oost Indische (Hindia Timur). Pada Peta 1835 teluk
Cenderawasih diidentifikasi sebagai Geelvink Baay. Dalam peta ini di bawah nama
teluk diberi catatan ‘ditemukan oleh orang-orang Belanda (Hollander) pada tahun
1701. Besar dugaan orang-orang Belanda yang menemukan teluk Cenderawasih
tersebut menggunakan kapal Geelvink yang tiba di pelabuhan Amsterdam pada bulan
Maret 1702. Itulah asal-usul nama yang diberikan kepada teluk besar itu
Geelvink Baay. Berdasarkan catatan Kasteel Batavia (Daghregister) dicatat nama
kapal Geelvink pada tahun 1697. Kapal
ini diidentifikasi sejenis freguat. Daghregister, 18 Januari 1698 kapal
Geelvink tiba di Amboina dengan surat kepada Tuan Willem van Wijngaarden.
Kapal ini kembali di Batavia (Daghregister, 1 Juni 1698). Daghregister, 17 Juni 1700 mencatat penampakan
kapal Inggris di Nova Guinea. Kapal Geelven berangkat ke Amsterdam
(Dagregister, 29 Desember 1701). Daghregister 28 Juli 1702 mencatat kedatangan
kapal Geelvink. Kapal ini kembali ke Belanda dan Daghregister 6 November 1704
mencatat kedatangan kapal Geelvink dari Patria (ibu kota VOC di Belanda). Daghregister,
19 Desember 1704 mencatat bahwa Dewan Hindia (Rade van India), berdasarkan
adanya pelanggaran, kapal Geelvink dikirim ke Nova Guinea untuk melakukan
tindakan yang diperlukan.
Teluk Geelvink di Papua tampaknya menjadi penting bagi Pemerintah VOC di Batavia. Setelah mengklaim penemuannya terhadap teluk pada tahun 1701 dan adanya gangguan (pelaut) asing di Papua (Nova Guinea) pada tahun 1704 oleh Dewan Hindia mengirim kapal Geelvink ke Nova Guinea (karena diduga kapal ini berpengalaman di Papua). Namun gangguan asing si Papua ini tidak disebutkan apakah di teluk Geelvink atau bagian lain pulau. Sebagaimana diketahuii bahwa VOC membuka pabrik kali pertama di Papua (pantai barat Papua) atas persetujuan Soeltan Tidore di Roembati (Tanjung Onim) pada tahun 1678. Teluk Geelvink sendiri berada di pantai utara Papua.
Tampaknya
kapal Geelvink berhasil di Nova Guinea dan mendapat hak pembelian di
pantai-pantai Papua. Berdasarkan Daghregister, 20 Oktober 1705 kapal Geelvink
dan perahu layar orang Papua tiba dari Banda, membawa lima orang penduduk asli dari
tanah Nova Guinea. Lima orang ini diduga adalah pemimpin lokal di kota-kota
pantai Papua yang datang ke Batavia untuk penandatangan kontrak atau sejenisnya
(dengan Gubernur Jenderal). Ini seakan mengindikasikan ada peningkatan status
ikatan jika dibandingkan pada tahun 1678 (yang hanya sebatas Soeltan Tidore dan
Gubernur Ternate). Berdasarkan Daghregister, 31 Oktober 1705 perahu layar orang
Papua (Nova Guinea) membawa sebuah surat kepada Komandan Knol dan dewan serta
situs Residen di sepanjang Pantai Timur Jawa. Untuk sekadar catatan: Mayor
Govert Knol adalah komandan militer VOC yang melakukan penaklukan di Jawa. Ini
bermula setelah ekspedisi dari benteng Missier (Tergal) dilanjutkan dengan
ekspedisi dari (benteng) Semarang ke Cartosoera. Ekspedisi ke Cartosoera ini
dimulai tanggal 24 Oktober 1705 dibawah pimpinan Herman de Wilde yang mengikuti
rute Semarang, Oengaran, Toentang, Salatiga, Cartosoera. Selanjutnya, Govert
Knol pada yang berbasis di benteng Semarang, melakukan ekspedisi dari benteng
Semarang untuk menaklukkan Soerabaja ke pedalaman dengan memulai ekspedisi dari
Soerabaja pada tahun 1706. Mayor adalah pangkat tertinggi militer VOC pada saat
itu.
Kerjasama Pemerintah VOC dengan para pemimpin wilayah di Papua dalam hal ini relatif bersamaan dengan ekspedisi-ekspedisi awal VOC dibawah komandan Majoor Knol di Jawa. Eskpedisi pertama ke pedalaman Jawa menjadi pangkal kerjasama pemerintah VOCdengan para pemimpin Jawa di Cartosoera. Kerjasama dengan para pemimpin lokal di bagian barat Jawa dilakukan pada tahun 1703. Peran kapal Geelvink tampaknya besar dalam kerjasama antara pemerintah VOC dengan para pemimpin lokal di Papua. Oleh karena itu diduga kuat mengapa nama teluk besar di Papua diberi nama Geelvink Baai (kini Teluk Cenderawasih).
Teluk
Cenderawasih dalam hal ini ditemukan pertama kali pada tahun 1701 yang kemudian
diberi nama Geelvink, kapal yang berperan dalam mengusir kehadiran Inggri di
pantai Papua pada tahun 1700. Papua sendiri yang sudah dikenal sejak era
Portugis (karena itu Papua juga disebut Nova Guinea), wilayah pantai utara
Papua pertama kali dikunjungi oleh pelaut-pelaut Belanda (yang berbasis di
Amboina) terjadi pada tahun 1616. Ekspedisi ke pantai utara Papua ini dilakukan
oleh Jacob Le Maire dan Willem Schouten. Hal itulah mengapa nama pulau Biak
yang sekarang tempo doeloe di sebut Schouten Eiland dan nama Le Maire untuk
nama selat, Pada tahun 1643 pantai utara Papoea kembali dikunjungi oleh pelaut
Belanda Abel Tasman dan Majoor Visscher. Baru pada tahun 1705 pantai utara
Papoea dikunjungi Weyland dengan tiga kapal Geelvink, Kraanvogel dan Nova
Guienea untuk mengusir petualang Inggris Wiiliam Dampier yang membuka usaha di
Papoea,
Lantas bagaimana dengan Nabire di teluk Geelvink? Nama Nabire paling tidak disebutkan pada tahun 1908 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 09-07-1908). Disebutkan satu ekspedisi/eksplorasi ke teluk besar yang mana pada tanggal 19 April berlabuh melalui muara Sungai Wanggar, di pantai selatan Teluk Geelvink. Pesisir selatan umumnya terdiri dari dataran yang landai serta di Nabiré di muara sungai yang lebih timur, kurang penting dengan nama yang sama (sungai Nabire), dimana suku Alifuru berada yang memberikan pelayanan yang baik ke pantai Papua sebagai pemandu dan pemburu di pedalaman yang masih kaya akan burung cendrawasih. Pemukiman orang Nabiré terletak di arah tenggara teluk. Sungai disini tidak dapat dilayari dengan kano. Dari Nahiré pantai berbelok ke timur laut. Pantai Waropen yang datar dimulai lagi tepat di seberang Kepulauan Moor. Nama Nabire sudah dicatat dalam Alphabetische naamlijst behoorende bij de Overzichtskaart van den Oost-Indischen Archipel, schaal 1:2.5000.000 yang diterbitkan 1908. Disebutkan Nabire berada di Gelvink Bay masuk wilayah (residentie) Ternate en Onderh.
Tijdschrift
van het Aardrijkskundig Genootschap, 1913: ‘Eksplorasi militer. Pada bulan September, Oktober, dan November
1912, eksplorasi di sepanjang pantai tenggara dan selatan Teluk Geelvink
dilanjutkan. Bagian dari detasemen di bawah komandannya, Ten Klooster
menjelajahi pesisir selatan dari Moesairo hingga muara sungai Boemi, dan
perjalanan dilakukan ke daratan dari sungai itu dan dari situ ke arah timur
Nabire. Detasemen lainnya eksplorasi di bawah letnan dalam area sungai Wanggar
yang mengalir ke teluk di sebelah barat Boemi. Letak Nabire pada 30 19' 20 LS
dan 135° 26'49" BT. Terdiri dari 6 rumah dengan jumlah penduduk 14
laki-laki, 13 perempuan, 12 laki-laki dan 8 istri dan anak, dari suku Jaoer
Papua. Banyaknya anak sungai yang mengalir antara Nabire dan Musairo merupakan
drainase yang tidak signifikan dari dataran berbukit tinggi yang membentang
tidak jauh dari pantai hingga ke pedalaman, dimana hanya pengembara
Taroenggareh yang bergerak. Jalan setapak dan tempat tinggal permanen tidak ditemukan
di daerah ini.
Dari beberapa ekspedisi disebutkan pesisir selatan Geelvink Bay umumnya terdiri dari medan yang datar dan landai. Permukiman utama yang ditemukan disini adalah Hamoekoe, Wanggar dan Nabiré. Jauer Papua tinggal di Wanggar dan Nabiré. Hamoekoe adalah pemukiman suku Irsaam. Kedua suku tersebut selalu berhubungan dengan pedagang dan pemburu burung.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar