Rabu, 21 Februari 2024

Sejarah Bahasa (313): Bahasa Batak, Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu; Tata Bahasa Batak dan Sejarah Kodifikasi BahasaMelayu


*Pemberitahuan kepada Pembaca Blog Poestaha Depok: Untuk sementara, dari sekian waktu yang lama, saya menghentikan penulisan serial artikel di blog ini, untuk menyediakan waktu lebih banyak untuk menulis buku. Semoga semakin banyak buku yang dapat diterbitkan berdasarkan ribuan artikel dalam blog ini. Sehat kita selalu. Akhir MH buku SEJARAH PERS

***

Kembangkan bahasa Indonesia, pelajari bahasa Inggris dan lestarikan bahasa daerah. Sebagaimana bahasa Indonesia merujuk bahasa Melayu dan bahasa Melayu merujuk pada bahasa Austronesia (bahasa Batak). Bagaimana itu semua berevolusi tentulah menarik diperhatikan. Bahasa dan aksara sendiri adalah satu hal, siapa yang mengembangkangkan adalah hal lain lagi.buku SEJARAH MAHASISWA


Dapat Tugas Kodifikasi Bahasa Melayu, Ada Ahli Belanda Hubungi Raja Ali Haji tetapi Bukan Van Ophuijsen. Senin, 25 September 2023. Pada 1857 Wall berkenalan Raja Ali Haji, pujangga kerajaan Riau, yang menyusun Kitab Pengetahuan Bahasa. Wall mendapat tugas dari GG menyusun kodifikasi bahasa Melayu namun Wall meninggal 1872. Buku pertamanya direvisi HN van der Tuuk, lalu diterbitkan ulang versi ringkas. Yang disambut penuh adalah hasil pekerjaan CA van Ophuijsen. “Paedah kitab itoe ialah tempat bertanja, tjarabagaimana tiap-tiap kata jang terseboet, haroes ditoetoerkan dan bagaimana atoeran toelisannja dengan hoeroef olanda,” tulis Djamaloedin April 1902 ditujukan untuk kehadiran Kitab Logat Melayu, Woordenlijst voor de spelling der Maleische taal (buku ejaan bahasa Melayu, terbit 1901). Buku itu sebagai hasil kerja Ophuijsen melanjutkan pekerjaan Wall. Pada 1910, Ophuijsen menerbitkan buku Maleische spraakkunst (buku tata bahasa Melayu). Karya Ophuijsen ini diputuskan oleh Kongres Bahasa Indonesia 1938 sebagai panduan pengembangan bahasa Indonesia. (https://oohya.republika.co.id/)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Batak, bahasa Sanskerta dan bahasa Melayu? Seperti di sebut di atas bahasa Batak dituturkan di pedalaman dan bahasa Melayu dituturtkan di wilayah pesisir. Tata bahasa Batak dan sejarah kodifikasi bahasa Melayu tempo doeloe. Lalu bagaimana sejarah bahasa Batak dan bahasa Melayu? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Batak, bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu; Tata Bahasa Batak dan Kodifikasi Bahasa Melayu Tempo Doeloe

Bahasa Indonesia merujuk pada bahasa Melayu. Lalu apakah bahasa Melayu mirip bahasa Sanskerta atau bahasa Melayu mirip bahasa Batak? Narasi sejarah bahasa masa kini menyebut bahasa Melayu merujuk bahasa Sanskerta. Bagaimana antara bahasa Batak dan bahasa Jawa? Dalam narasi masa kini bahasa Jawa merujuk bahasa Sanskerta. Lantas bagaimana dengan bahasa Batak sendiri sebagai salah satu representasi bahasa-bahasa Austronesia?


Dengan menggunakan daftar Swadesh dapat diperbandingkan antara bahasa Sanskerta dengan bahasa-bahasa di nusantara. Dari 12 kosa kata dalam daftar Swadesh tidak kesan bahasa Sanskerta mirip bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Sebaliknya yang terkesan mirip adalah antaraa bahasa Batak dan bahasa Melayu. Bagaimana bisa? Faktanya memang begitu. Tentu saja bahasa Jawa juga ada kemiripan dengan bahasa Melayu. Lantas dimana posisi bahasa Sanskerta di dalam bahasa-bahasa nusantara (Batak, Jawa dan Melayu).

Salah satu sumber bahasa di nusantara yang terbilang tua ditemukan dalam prasasti Kedukan Bukit (682). Disebutkan aksara ini ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuno. Laly bagaimana dikatakan menggunakan bahasa Melayu kuno? Jika diperhatikan secara cermat bahasa yang digunakan kosa kata dan tatabahasanya ditemukan dalam bahasa Sanskerta dan dalam bahasa Batak. Artinya prasasti menggunakan dua bahasa (dwibahasa). Bagaimana bisa dapat disebutkan menggunakan bahasa Melayu?


Sebelum menyebutkan bahasa Melayu mari kita daftar kosa kata bahasa Batak dalam prasasti: vulan (bulan), di, sāmvau (sampan?), maṅalap (mangalap), maŕlapas, dari, mamāva (mambawa), dua, lakşa, daṅan, ko śa(?), duaratus, jālan, sarivu (saribu), tlurātus (tolurarus), sapulu dua, vañakña, dātaṁ, marvuat (mambuat), vanua (banua). Ada beberapa hal penting dalam konteks kebahasaaan dalam teks prasasti teresebut yang terkait bahasa Batak: awalan ‘ma/mar’, pronominal ‘na’ dan sebutan bilangan sapulu dua sebagai angka dua belas serta suku kata sa pada saribu yang merupakan singkatan dari sada ribu (bandingkan dengan duaratus dan toluratus). Semua hal itu hanya ditemukan dalam bahasa Batak (tidak dalam bahasa Jawa maupun dalam bahasa Melayu). Apakah ini mengindikasikan bahasa Batak terbilang termasuk bahasa yang sudah tua (kuno)?

Salah satu ciri bahasa Austronesia -adalah tentang kosa kata elementer dalam bahasa-bahasa. Sejumlah kosa kata elementer bahasa Austronesia adalah ibu=ina, ayah=ama, kakek=ompu, lidah=dila, mata=mata, kepala=ulu, hidung=igung dan gigi=ipon. Sementara itu kosa kata elementer untuk bahasa Sanskerta antara lain ibu=mā́tṛ, ayah=pitṛ́, mata=ákṣi, hidung=nā́sā, mulut=múkha, gigi=dánta.


Sebutan bilangan bahasa Batak 1=sada, sementara dalam bahasa Sanskerta adalah 1=eka. Demikian seterusnya 2=dua/dvá, 3=tolu/trí, 4=opat/cátur dan 5=lima/páñcan. Lalu 6=onom/sat, 7=pitu/sapta, 8=walu/asta, 9=sia/nava, 10=pulu/dasa. Hanya angka dua yang memiliki kemiripan antara bahasa Austronesia dengan bahasa Sanskerta. Bagaimana dengan bahasa Sanskerta dengan bahasa lainya. Kosa kata elementer bahasa Sanskerta ibu=mā́tṛ, ayah=pitṛ́ memiliki kemiripan dengan bahasa-bahasa ke barat laut hingga ke Eropa yakni mother dan father. Sebaliknya bahasa Sanskerta ke arah barat daya berbeda seperti bahasa Arab. Dalam hal ini bahasa Batak memiliki kemiripan dengan bahasa-bahasa ke arah timur hingga Maluku/Filipina.

Lalu bagaimana terjadi dalam teks prasasti Kedukan Bukit yang berasal dari abad ke-7 terdapat dua bahasa (Sanskerta dan Batak)? Boleh jadi saat itu di pantai timur Sumatra kelompok populasi bersifat dua bahasa (dwibahasa) seperti masa ini dimanapun di Indonesia dwibahasa (bahasa Indonesia dan bahasa daerah). Bahasa Sanskerta dalam prasasti diduga adalah salah satu (bahasa) lingua franca suatu bahasa yang digunakan secara luas mulai dari barat laut India hingga timur (pulau) Sumatra.


Aksara yang digunakan di dalam prasasti Kedukan Bukit menggunakan aksara Pallawa. Lantas apakah sudah ada aksara Batak? Aksara Batak sudah sangat tua dan mirip dengan aksara Fenisia (lihat A Phoenician Alphabet on Sumatra by EEW Gs Schröder ini Journal of the American Oriental Society, Vol. 47, 1927). Demikian juga lambang (pola) bilangan Batak mirip dengan Sumeria dan Maya.

Dalam sejarah aksara sendiri diyakini bermula di Mesir (hieroglyphic) yang kemudian terbentuk aksara Abdjad (seperti aksara Fenesia yang menurunkan aksara Sumeria dan Arab) dan aksara abugida (seperti aksara Devanagari yang menurunkan aksara Pallawa). Lalu aksara Fenesia/Arab inilah yang menurunkan aksara Alphabet di Eropa (Greek, Latin). Aksara Batak lebih mirip dengan aksara Abdjad (suku kata) daripada aksara Devanagari/Pallawa yang bercorak abugida. Jadi sangat masuk akal kesimpulan Schroder bahasa aksara/lambang bilangan Batak ada kemiripan dengan aksara Fenesia dan lambang bilangan Sumeria. 


Tidak hanya bentuk aksara Batak (mirip Fenesia) yang khas di nusantara (berbeda dnegan Jawa) juga pola sebutan bilangan juga memiliki pola yang berbeda. Pola sebutan bilangan Batak bersifat biner. Dalam bahasa Jawa pola sebutan bilangan belasan berbeda dengan bahasa Batak. Pola sebutan bilangan Melayu tidak sepenuhnya mirip bahasa Jawa maupun bahasa Batak, tetapi merupakan kombinasi keduanya. Bagaimana dengan pola sebutan bahasa Tagalog? Secara umum mirip dengan pola sebutan bahasa Batak tetapi ada sedikit perbedaan dalam bilangan belasan. Pola sebutan bilangan Jawa mirip dengan pola sebutan bilangan Hindi, Sanskerta, Arab dan Greek (Yunani), sementara pola sebutan bilangan Batak mirip dengan pola sebutan bilangan Armenia, Uzbek, China dan Jepang. Pola sebutan bilang Hebrew dan Romawi ada beberapa yang memliki ciri tertentu. Pola sebutan bilangan Inggris lebih khas lagi (sangat beragam). Namun terkesan pola sebutan bilangan Batak dapat dikatakan terbilang yang paling konsisten. Tidak hanya konsisten dalam sebutan bilangan tetapi juga konsisten dalam lambang bilangan. 

Pada abad ke-7 aksara Abjad Batak seakan terisolasi, dikelilingi oleh ragam aksara Abugida Devanagari/Pallawa. Apakah ini yang menyebabkan dalam prasasti Kedukan Bukit tidak popular aksara Batak tetapi bahasa yang digunakan dwibahasa (bahasa Sanskerta dan bahasa Batak) dengan menggunakan aksara abugida? Dalam hal ini bahasa Batak adalah representasi bahasa-bahasa Austronesia khususnya di Sumatra (yang kini jika bahasa Indonesia sebagai lingua franca disandingkan dengan bahasa daerah).


Bagaimana dengan aksara Jawa? Terkesan lebih mirip aksara Devanagari/Pallawa. Sementara bahasa Jawa di satu sisi terutama sebutan bilangan memiliki kemiripan dengan bahasa Batak (Austronesia). Namun di sisi lain bahasa Jawa memiliki kemiripan dengan bahasa Sanskerta. Artinya, dalam hal ini dapat dikatakan bahasa Batak lebih murni sebagai bahasa Austronesia dibandingkan dengan bahasa Jawa. Besar dugaan aksara Jawa juga telah bertukar dengan aksara Devanagari/Pallawa. Artinya aksara abdjad Jawa telah ditinggalkan dan diganti dengan aksara baru abugida (mirip Pallawa), sementara aksara Batak yang bersifat abjad tetap lestari.

Lantas bagaimana dengan bahasa Melayu sendiri? Seperti disebut di atas, bahasa Melayu diduga merujuk pada bahasa Batak. Tidak hanya kosa kata juga aspek tata bahasa memiliki kemiripan. Bahasa Melayu berkembang kemudian seiring dengan penggunaan aksara Arab (aksara Jawi-Arab gundul) yang sejaman dengan perkembangan aksara alphabet di Eropa (Greek dan Latin). Lantas apakah dalam hal ini bahasa Melayu berkembang dari bahasa Batak yang kemudian diperkaya dengan aksara Sanskerta (lingua franca) sebagaimana dalam teks prasasti Kedukan Bukit abad ke-7 yang kemudian diperkaya lagi dengan bahasa-bahasa Austronesia seperti bahasa Jawa?


Wujud bahasa Melayu ini sudah hampir mapan pada abad ke-13 sebagaimana dapat diperhatikan dalam teks Tanjung Tanah (Kerinci) dan teks prasasti Trengganu. Lalu dalam perkembangannya bahasa Melayu inilah diduga yang menjadi lingua franca baru (menggantikan bahasa Sanskerta). Ibarat masa kini bahasa Indonesia sebagai lingua franca baru menggantikan bahasa Melayu.

Kehadiran pelaut-pelaut Eropa telah menambah pemahaman bahwa bahasa yang digunakan di berbagai wilayah di pantai timur Sumatra (yang kemudian disebut bahasa Melayu) sudah meluas, tidak lagi di wilayah Sumatra dan Semenanjung Malaya, tetapi juga di bahasa tersebut ditemukan di wilayah Maluku. Tidak diketahui secara tepat sejak kapan bahasa Melayu terbentuk di berbagai kota-kota pelabuhan di Hindia Timur, namun yang jelas Pigafetta (1522) mendaftarkan kosa kata (semacam kamus mini) yang digunakan di Maluku dan kosa kata yang digunakan di Maluku (baca: Ternate). Ada banyak kemiripan tetapi juga ada perbedaan. Pigafetta tidak ada menyebuy bahasa Melayu (hanya menyebut bahasa yang digunakan di Malaka dan bahasa yang digunakan di Maluku).


Sejak kapan bahasa Melayu menjadi lingua franca di Hindia Timur juga tidak diketahui secara tepat. Yang jelas bahasa Melayu terus eksis sebagai lingua franca sejak era Portugis hingga era VOC/Belanda di Hindia Timur. Dalam pelayaran pertama pelaut Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman Menyusun kamus kecil di Madagaskar sebagai bekal untuk pelayaran ke Hindia Timur khususnya Maluku pada tahun 1596 (lihat Journael vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt aengeteeckent, ...1598). Dalam kamus kecil ini juga ditemukan kosa kata beta yang hanya ditemukan di Amboina. Kamus de Houtman ini dapat dikatakan sebagai kamus kedua yang berisi bahasa Melayu. Dalam kamus de Houtman dinyatakan sebagai kamus bahasa Melayu (juga terdapat kamus bahasa Madagaskar). Banyak kemiripan antara bahasa Madagaskar dengan bahasa Melayu. 

Sejak kehadiraan Belanda/VOC kamus bahasa Melayu semakin diperkaya olejh sejumlah penulis-penulis Belanda. Meski demikian, kamus de Houtman tetap diterbiitkan terutama setelah Frederik de Houtman menyempurnakannya di Atjeh yang diterbitkan di Amsterdam pada tahun 1603. Pada masa ini di Jawa teks Pararaton (kisah para Ratu atau para penguasa) masih disalin dengan penambahan. Teks Pararaton yang menggunakan bahasa Kawi disebut penulisannya dimulai tahun 1481 dan masih ditambahkan hingga pada tahun 1600. Teks lainnya yang ditemukan di Jawa adalah teks Negarakertagama dengan menggunakan bahasa Kawi yang ditulis tahun 1365.


Pada awal kehadiran Belanda di Hindia Timur ditemukan teks dalam bahasa Melayu Sulalatu'l-Salatin yang ditulis tahun 1612 oleh Bendahara (lihat Wikipedia). Kemudian juga diketahui bahwa selepas penaklukan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda atas Johor tahun 1613, Sultan Johor kemudian ditawan dan dibawa ke Aceh. Pada salah satu bab dari Bustanus Salatin, Nuruddin al-Raniri menyebutkan bahwa Bendahara Paduka Raja yang mengarang Sulalatu'l-Salatin merupakan salah satu sumber rujukankannya. Sulalatu'l Salatin menguraikan silsilah dari para raja di kawasan Melayu, bermula dari kedatangan Sang Sapurba keturunan Iskandar Zulkarnain di bukit Siguntang, Palembang. Kemudian Sang Sapurba diminta untuk menjadi Maharajadiraja di Melayu, dan dari tokoh ini raja-raja di kawasan Melayu diturunkan. Selanjutnya terdapat kisah salah seorang putra Sang Sapurba dari perkawinannya dengan Wan Sundaria, putri Demang Lebar Daun, penguasa Palembang, yang bernama Sang Nila Utama bergelar Sri Tri Buana mendirikan Singapura dan putranya yang lain, Sang Mutiara disebutkan menjadi raja di Tanjungpura. Sementara gelar Sang Nila Utama tersebut mirip dengan gelar Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa dalam Prasasti Padang Roco yang bertarikh 1286, merupakan Maharaja di Bumi Melayu yang mendapat kiriman hadiah Arca Amoghapasa dari Kertanagara Maharajadiraja Singhasari. Kemudian pada tahun 1347, Adityawarman menambah pahatan aksara pada bagian belakang Arca Amoghapasa tersebut, dan menyebutkan memulihkan kerajaan sebelumnya kemudian dinamainya Malayapura, serta ia sendiri menyandang gelar maharajadiraja. Sulalatu'l Salatin juga menceritakan tentang sepeninggal Raja Majapahit, kemudian kedudukannya digantikan oleh anak perempuannya atas sokongan patihnya. Ratu Majapahit ini disebutkan menikah dengan putra Raja Tanjungpura. Secara rinci Sulalatu'l Salatin memberikan urutan nama-nama raja di Malaka, kemudian terdapat berita kedatangan Afonso de Albuquerque dari Goa atas perintah Raja Portugal untuk menaklukan Malaka tahun 1511 pada masa Sultan Mahmud Syah. Perang melawan penaklukan Portugal ini membuat Sultan Malaka terpaksa berpindah pindah, mulai dari Bintan terus ke Kampar, kemudian ke Johor. Sementara itu berdasarkan kronik Tiongkok masa Dinasti Ming disebutkan pendiri Malaka adalah Pai-li-mi-su-la (Parameswara) yang mengunjungi Kaisar Tiongkok tahun 1405 dan 1409, tetapi nama tersebut tidak dijumpai pada semua versi Sulalatu'l-Salatin, tetapi nama ini kemudian dirujuk kepada Raja Iskandar Syah. Kontroversi identifikasi tokoh ini masih diperdebatkan sampai sekarang. Selanjutnya, sebagaimana Sulalatu'l-Salatin, teks Hikayat Raja-raja Pasai juga ditulis dengan aksara Jawi menggunakan bahasa Melayu. Teks berasal dari Atjeh yang diduga ditulis pada abad ke-14 atau abad ke-15 menjadi pendahulu dari teks berbahasa Melayu Sulalatu'l-Salatin. Lalu kemudian muncul Hikayat Hang Tuah yang menveritakan kisah di Malaka yang berasal dari abad ke-14 yang ditulis di Johor antara tahun 1688 dan 1710.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Tata Bahasa Batak dan Sejarah Kodifikasi Bahasa Melayu Tempo Doeloe: Asal Usul Bahasa Sanskerta hingga Terbentuknya Bahasa Indonesia

Pada saat era Pemerintah Hindia Belanda (sejak 1800) sejumlah kota tumbuh dan berkembang seperti Semarang, Soerabaja, Padang dan Palembang serta Koepang dan Manado. Pada saat pertumbuhan kota-kota ini juga bahasa Melayu sebagai bahasa lingua franca, tetapi juga diantara penduduk kota yang beragam menggunakan bahasa-bahasanya sendiri (dwibahasa). Saling meminjam diantara bahasa-bahasa, termasuk bahasa Melayu terjadi, seperti bahasa Melayu di kota Semarang dan kota Soerabaja dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Tentu saja pengaruh-pengaruh bahasa asing juga terjadi seperti bahasa Belanda, bahasa Arab dan bahasa Cina. Dalam konteks inilah kemudian dibedakan bahasa Melayu di wilayah non Melayu sebagai bahasa Melayu Pasar dengan bahasa Melayu di wilayah Melayu seperti di Riau.


Bahasa Melayu di wilayah Melayu dapat dikatakan sebagai patokan untuk membedakan bahasa Melayu Pasar. Di wilayah Riau umumnya berbahasa Melayu sehingga bahasa Melayu di Riau dapat dikatakan sebagai bahasa Melayu Murni (lawan bahasa Melayu Pasar). Bahasa Melayu Riau dalam hal ini dapat dikatakan bahasa Melayu yang sudah lama tidak terpengaruh bahasa-bahasa lain, selain karena tetangganya juga berbahasa Melayu juga pengaruh asing tidak seintens di Jawa, Sumatra, Sulawesi dan Maluku. Hasl itulah mengapa bahasa Melayu di kota-kota besar seperti Batavia (sebagai bahasa Melayu Pasar) terus berkembang yang boleh jadi telah jauh meninggalkan bahasa-bahasa Melayu yang digunakan di wilayayh Riau. Batavia adalah pusat perdagangan utama di Indonesia sejak era Hindia Timur hingga Hindia Belanda (sebelumnya terbentuknya kota Singapoera).

Dalam fase perkembangan bahasa Melayu di wilayah Hindia Belanda (baca: Indonesia), kamus bahasa Melayu semakin tebal dan tata bahasa Melayu semakin dikembangkan, Dalam hal ini aksara yang digunakan oleh orang Belanda adalah aksara Latin (sementara di wilayah Melayu aksara yang digunakan aksara Jawi dan di berbagai daerah lainnya digunakan aksara asli seperti aksara Batak). Artinya kamus bahasa Melayu, bahkan sejak era Pigafetta (1522) dan era de Houtman (1596) hingga era Pemerintah Hindia Belanda, ditulis dalam aksara Latin (dengan terjemahan bahasa Belanda). Memang ada terjemahan dalam bahasa Inggris seperti karya William Marsden, tetapi terjemahan bahasa Belanda yang memiliki keberlanjutan yang dengan demikian dapat dibandingkan perkembangan bahasa Melayu Pasar tersebut dari waktu ke waktu.


Sementara kamus bahasa Melayu Pasar sudah lama beredar di Hindia Belanda, pencatatan bahasa-bahasa daerah mulai dilakukan. Radermarcher dkk setelah terbentuknya Bataviaasch Genootschap di Batavia tahun 1778 sudah mulai merintisnya antara lain bahasa Jawa dan bahasa Batak, dan upaya yang serius baru dilakukan setelah terbitnya jurnal pertama di Hindia Belanda tahun 1838. Satu yang paling serius adalah pada tahun 1850 yang mana HN van der Tuuk berangkat ke Tanah Batak untuk menyusun kamus dan tata bahasa Batak; Mattheus di Makassar dan yang lainnya di Jawa. Tata bahasa Batak yang dihasilkan van der Tuuk ini sangat penting karena kualitasnya yang memenuhi standar penulisan tata bahasa di Eropa.

Lantas bagaimana soal Wall, sebagaimana yang dikutip di atas Ahli Belanda Hubungi Raja Ali Haji yang mana pada 1857 Wall berkenalan Raja Ali Haji, pujangga kerajaan Riau, yang menyusun Kitab Pengetahuan Bahasa tetapi Wall meninggal 1872. Buku pertamanya direvisi HN van der Tuuk, lalu diterbitkan ulang versi ringkas.


Monsieur von de Wall menulis hasil studinya tentang bahasa Melayu yang diterbitkan pada jurnal Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde, yang kemudian Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen tahun 1852 mengusulkan agar karya itu bisa dipublikasikan karena sesuai degan studi bahasa Melayu (lihat Javasche courant, 24-06-1864). Disebutkan untuk mempromosikan praktek bahasa Melayu sebanyak mungkin dengan cara lain, manajemen (Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen) mengarahkan permintaan kepada Monsieur von de Wall, baik untuk kepentingan masyarakat dan dalam publikasi yang cepat dari pekerjaan, ketika kamus Melayu dipresentasikan kepada pemerintah, yang sedang disusun olehnya, sekaligus mengusulkan agar penerbitannya dilakukan melalui perantara Perhimpunan (Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen).

Elisa Netsher sebelum menjadi Residen Riaou (1862), sudah terlebih mengunjungi wilayah Riaow dan memiliki kesempatan mempelajari bahasa Melayu (Riaouw) dan sastra Riaouw. NH Neubronner van der Tuuk telah menyelesaikan kamus Bataksch dan tata bahasanya hampir selesai (lihat Javasche courant, 26-09-1863). Menurut HA Klinkert dalam tulisannya Het Criterium voor Geschriften in de Maleische Taal: Iets over de Maleische School en Volksleesboeken, Neubronner van der Tuuk adalah orang pertama yang mengkritik sejumlah penulis (termasuk penerjemah Injil dalam bahasa Melayu) yang kurang memperhatikan kriteria untuk bahasa Melayu (termasuk perbedaan dalam ejaan).


Mengapa NH Neubronner van der Tuuk kompeten mengomentasri tentang tidak adanya standar dalam penulisan menggunakan bahasa Melayu? NH Neubronner van der Tuuk adalah ahli bahasa pertama yang menyusun kamus dan tata bahasa salah satu bahasa di Hindia Belanda (bahasa Batak). NH Neubronner van der Tuuk telah membuat standarisasi pada bahasa Batak. Sementara bahasa Melayu yang digunakan di berbagai daerah di Hindia Belanda ditulis dengan caranya sendiri-sendiri alias belum ada standarisasi. Komentar van derTuuk dalam artikel berjudul ‘Iets over de Hoog-Maleisehe bijbelvertaling, door H. Neubronner van der Tuuk yang dimuat dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1856).  

NH Neubronner van der Tuuk dan HC Klinkert dapat dikatakan dua yang pertama, pegiat bahasa di Hindia Belanda yang sepenuhnya sadar bahwa tidak ada standar dalam bahasa Melayu dan berupaya mengangkat isu untuk mulai memperhatikan arti penting pembakuan (standarisasi) bahasa Melayu di Hindia Belanda. Kebutuhan ini semakin penting di Hindia Belanda yang mana sejak 1848 sekolah-sekolah pribumi di berbagai tempat mulai tumbuh dengan cepat, terutama di Jawa dan wilayah Maluku, Timor dan Manado. Di Sumatra pertumbuhannya hanya terbatas di Padang (termasuk Minangkabau), Tapanuli (bagian selatan) dan Riau (kepulauan) serta Bengkulu.


Kebutuhan ini juga ada kaitannya dengan mempercepat perluasan sekolah-sekolah pribumi yang mana pada tahun 1852 sekolah guru pribumi (kweekschool) pertama dibuka di Soerakarta. Di sekolah guru di Soerakarta bahasa pengantar dalam bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Sekolah guru yang kedua didirikan di Fort de Kock tahun 1856 dan sekolah guru yang ketiga di Tapanoeli tahun 1862.

Dalam konteks inilah HC Klinkert (1864?) melontarkan kritik kepada penulis-penulis bahasa Melayu yang kemudian menimbulkan polemik bahasa antara Klinkert di satu sisi dengan GRPF Gonggrijp, JGF Riedel dan N Graafland serta lainnya di sisi lain. Meski tidak langsung, yang sehaluan dengan Klinkert ini antara lain adalah HN van der Tuuk (ahli bahasa) dan PJ Veth (ahli geografi). Karya dan upaya dari Wall juga termasuk yang dibicarakan dalam polemik. HC Klinkert juga mengkritik de Wall.


M von de Wall bersama E Netcher menulis Lid der Natuurkundige Kommissie in N. Indie (lihat Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- cn Volkenkunde, 1853). Keduanya kebetulan pada tahun 1862 berada di tempat yang sama. E Netscher sebagai Resident di Riouw en H von de Wall, di Riouw bertindak sebagai vermits de beoefening van de Maleische taal hier te lande nog steeds gebrekkig is, vooral door de weinige kennis van de eigenlijke spreektaal, te willen bezorgen eenige gesprekken in de aldaar gebruikelijke echt Maleische spreektaal, met vertalingen in het Hollandsch (lihat Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, Deel 7, 1864). Dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, Deel, 1864) dinyatakan: ‘H van de Wall, di Riouw, bertanggal. tanggal 16 April yang lalu, menyatakan dirinya siap untuk memenuhi permintaan Pemerintah untuk melakukan beberapa pembahasan dalam bahasa Melayu yang sebenarnya, sejauh yang digunakan di Riouw, dan daftar pangkat dan gelar kepala-kepala Melayu dengan uraian yang akurat dan khas, sejauh ini. seperti halnya bekas kerajaan Djohorsche dan negara-negara sekitarnya’. Ambtenaren en personen, in slands dienst werkzaam, doch bij geen vast dienstvak ingedeeld: (1) untuk menyusun kamus bahasa Jawa bahasa Belanda JA Wilkens, 19 Januari 1844; (2) untuk bahasa dan sastra Jawa. AB Cohen Stnart, 9 Desember 1851; (3) untuk penyusunan kamus Melayu-Belanda dan Belanda-Melayu, serta tata bahasa Melayu. H von de Wall, 2 November. 1855 (lihat Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indië, 1865).

Pada tahun 1865 mulai ada kesadaran untuk kodifikasi bahasa Melayu di Hindia di lingkungan Bataviaasch Genootschap di Batavia. Upaya pertama yang dilakukan adalah melakukan studi perbandingan bahasa-bahasa yang ada di Hindia Belanda atas usul KF Holle dari Bandoeng. Pengurus kemudian membuat daftar kosa kata (dalam bahasa Belanda) yang kemudian diminta kepada sejumlah anggotanya di berbagai daerah termasuk H von de Wall di Riau dalam bahasa Melayu (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indië, 1865).


Juga disebutkan antara lain Dr W. Palmer van den Broek, untuk bahasa Jawa di Soerakatya; HN van der Tuuk, untuk bahasa Batak dan bahasa terkait; Dr BF Matthes untuk bahasa Bugis, Makasar dan bahasa Sulawesi lainnya yang dikenalnya; JGF Riedel, untuk bahasa Alfurian dan bahasa Minahasa lain yang dikenalnya. Namun van der Tuuk sedang berangkat ke Belanda karena sakit, Lalu Dr Matthes telah mengirimkan hasilnya ke Batavia yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Makassar, Bugis, Bima, Boetonsch, Turidjenese dan Torodjahs, sedangkan Riedel telah mengiorimkan dalam bahasa Sangirsch, Tuoenboeloesch, Bantiksch, Mangondooesch, Bolaangukisch, Kaidipansch dan Molontaloosch. Juga telah menerima dari asisten residen Boeleling AHG BJokzeijl yang diterjemahkan ke dalam bahasa Bali tingkat tinggi dan rendah. Juga telah diterima dari Pruijs van der Hoeven, asisten residen Angkola en Mandhéling dalam terjemahan bahasa Angkola Mandailing yang dibuat oleh Sati Nasoetion alias W Iskander, guru di sekolah guru pribumi di Tanobato. Upaya tersebut di atas juga termasuk, juga atas usulan KF Holle tentang aksara-aksara yang digunakan di berbagai daerah.   

Meski aksara Latin dan bahasa Melayu telah menjadi umum di Hindia Belanda, dan diajarkan di sekolah-sekolah pribumi, pengetahuan bahasa dan aksara-aksara daerah diperlukan yang di satu sisi untuk pelestarian bahasa dan aksara daerah dan di sisi lain dimaksudkan untuk memperkaya bahasa Melayu yang akan digunakan dan mengembangkan aksara Latin dalam hubungannya dengan ejaan yang digunakan. Upaya dari Bataviaasch Genootschap diduga juga, selain usulan dari KF Holle juga karena kririkan dari HN van der Tuuk tentang penulisan berbafai teks yang menggunakan bahasa Melayu yang belum memiliki kriteria (standarisasi). Tentu saja dalam hal ini yang belum lama berselang Klinkert melakukan kritikan sebagaimana van der Tuuk satu dasa warsa yang lalu. Seperti disebut di atas, Klinkert juga mengkritik upaya H von de Wall yang justru masih berada di Riau.


Pada tahun 1847 Radja Ali Hadji di Riouw telah mengirimkan karyanya yang ditulis dengan bahasa Melayu dalam aksara Jawi yang kemudian dimuat dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië, 1865. Yang menjadi perhatian para editor tentang tulisan Radja Ali Hadji bukan pada isinya tetapi sejumlah kosa kata yang digunakan termasuk soal ejaannya yang berbeda dengan yang dipahami para penulis Belanda selama ini, misalnya ditulis lagham sementara yang dipahami selama ini adalah ragam. Kosa kata yang digunakan tidak dapat dikatakan murni karena Rajda Ali Hadji juga menggunakan kosa kata yang berasal dari Portugis dan Minangkabau, Persia dan Sanskerta serta cukup banyak yang berasal dari bahasa Arab yang tidak umum diantara orang Belanda. Catatan: yang menjadi residen Riuow adalah AL Andriesse. Dua tahun setelah tulisan Radja Ali Hadji diterbitkan pada tahun 1849 Elisa Netscher berkunjung ke Riouw tahun 1849 seorang pegawai kantor secretariat di Batavia yang belum lama diangkat pemerintah. E Netscher dengan kapal ss Batavia dari Batavia berangkat dengan tujuan akhir Singapoera (lihat Javasche courant, 01-08-1849). Apa yang menjadi tujuan Netscher ke Riouw tidak diketahui secara pasti. Yang jelas E Netscher diberitakan telah diangkat sebagai PNS di kantor secretariat yang telah memulai pekerjaan di kantor itu pada tahun 1848 (lihat Javasche courantm 26-01-1850). Satu yang penting hasil terjemahan E Netscher dari bahasa Melayu ke bahasa Belanda diterbitkan pada bulan April dengan judul Verzameling van overleveringen van het rijk van Manangkubou (lihat Javasche courant, 13-04-1850). Sebagaimana diketahui seorang sarjana baru bergelar doctor (PhD) dalam bidang linguistic baru tiba dari Belanda dan memulai tugas linguistic ke Tanah Batak.

Apa yang menjadi isu linguistic bagi Klinkert dan HN van der Tuuk tentu saja tidak sepenuhnya dialamatkan kepada penulis-penulis Belanda. Dalam hubungannya dengan bahasa Melayu tampaknya Radja Ali Hadji juga termasuk yang menjadi sasaran perhatian, Sebagaimana disebut di atas Radja Ali Hadji dari wilayah Melayu juga belum memiliki kriteria penulisan bahasa Melayu sendiri. Sebagaimana diketahui sejauh ini kamus bahasa Melayu yang terbaru di Hindia Belanda disusun oleh Prof PP Rooda van Eysinga dengan judul Nederduitsch-Maleisch Woordenboek yang diterbitkan tahun 1856. Lantas apakah dalam hal ini pengurus Bataviaasch Genootschap pada tahun 1865 memandang perlu untuk mengirimkan daftar kosa kata yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dikirim ke H van der Wall yang tengah bekerja untuk bahasa di Riouw?


Dalam upaya kodifikasi bahasa Melayu yang dilakukan oleh Bataviaasch Genootschap yang memberikan kontribusi semuanya Belanda termasuk H von de Wall di Riouw kecuali satu orang pribumi yakni Willem Iskander. Bagaimana dengan Radja Ali Hadji di Riouw? Apakah lebih mumpuni H van der Wall dibandingkan dengan Radja Ali Hadji? Yang jelas di Angkola Mandailing Pruijs van der Hoevwel yang tidak terlalu mengerti bahasa-bahasa asli telah meminta Willem Iskander untuk menerjemahkannya. Willem Iskander memiliki kemampuan yang mumpuni dalam bahasa Belanda. Sati Nasution alias Willem Iskandar pada tahun 1857 berangkat studi ke Belanda untuk mendapatkan akta guru. Pada tahun 1860 Willem Iskander lulus di Haarlem dan kemudian pada tahun 1861 kembali ke tanah air. Pada tahun 1962 Willem Iskander mendirikan sekolah guru di kampongnya di Tanobato, afdeeling Angkola Mandailing residentie Tapanoeli. Pada tahun 1864 Inspektur Pendidikan Pribumi Mr CA van der Chjis mengunjungi sekolah guru di Tanobato dan menyatakan kepuasannya, sebagai sekolah guru terbaik di Hindia Belanda (mengalahkan sekolah guru di Soerakarta dan di Fort de Kock). Willem Iskander pada tahun 1865 diketahui sudah menjadi anggota Bataviaasch Genootschap. Catatan: Radja Ali Hadji berdasarkan keterangan E Netscher adalah putra Radja Ahmad dan cucu Radja Hadji (Raja Muda Riouw). Raja Muda saat ini merupakan anak dari Raja Muda Radja Djafar dan juga cucu dari Radja Hadji (lihat Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1856).

Dalam narasi sejarah bahasa masa kini disebut Radja Ali Hadji terkenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar (juga disebut bahasa Melayu baku) itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia. Narasi ini sebenarnya sangat berlebihan.


Radja Ali Hadji adalah satu hal, kongres pemuda adalah hal lain dan soal bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia adalah hal lain lagi. Radja Ali Hadji dapat dikatakan sastrawan Melayu di Riouw. Radja Ali Hadji bukan pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu. Kegiatan sastra dan penulisan tata bahasa adalah dua hal yang berbeda. Radja Ali Hadji belum memiliki kemampuan pemahaman tata bahasa, yang sudah ada sejak lama bahkan sejak era VOC sudah dilakukan orang-orang Belanda sendiri.

Dalam hal ini proses kodifikasi bahasa Melayu (tata bahasa) sendiri sudah lama berlangsung. Dalam hubungan ini karya sastra adalah salah satu sumber bahasa bagi penulis tatabahasa (ahli linguistic). Sumber lainnya adalah hasil observasi para penulis bahasa apakah di pasar, di perkantoran maupun di dalam suatu komunitas tertentu sekalipun itu jauh terpencil. Sumber-sumber bahasa juga ditemukan dalam arsip pemerintah sebagai surat-surat para pemimpin local di berbagai wilayah di Hindia Belanda yang diterima di Batavia. Dengan demikian proses kodifikasi bahasa Melayu sejauh ini tidak pernah berhenti, karena tergantung situasi dan kondisi setiap masanya. Yang jelas polemik bahasa yang terjadi tahun1865 dapat dikatakan sebagai polemik bahasa yang sangat serius tentang kodifikasi bahasa diantara para pegiat bahasa terutama bahasa Melayu seperti Klinkert dan tentu saja dapat ditambahkan di sini nama NH van der Tuuk.


Dalam soal kebahasaan di Hindia Belanda, nama NH van der Tuuk adalah sangat unik. Nama Dr Rooda van Eysinga sudah lama malang melintang di Hindia Belanda terkait kebahasaan, sementara van der Tuuk doctor linguistic yang memiliki dasar-dasar pemahaman bahasa yang sangat kuat yang kebetulan tugas pertamanya di Hindia Belanda melakukan penyelidikan bahasa dan sastra di Tanah Batak. Buku kamus dan buku tata bahasa Batak karya van der Tuuk adalah karya paling berkualitas di Hindia Belanda. Tentu saja itu tidak mengagetkan semua koleganya dalam bidang kebahasaam baik di Belanda maupun di Hindia. Hal itulah sebabnya van der Tuuk sejak 1856 melakukan kritik terhadap pekerjaan para pegiat bahasa Melayu. Seperti kita lihat nanti kapasitas van der Tuuk dan hasil daro Tanah Batak memberinya jalan yang ditugaskan pemerintah dalam penyelidkan bahasa Lampung. Dalam studinya tentang bahasa Bali memberi kontribusi besar bagi Prog Kern yang selama ini kesulitan dalam penerjemahan teks Jawa kuno (bahsa Kawi) termasuk teks Negarakertgama (1365).

Polemik kodifikasi bahasa yang dimaksud adalah kodifikasi bahasa Melayu, bahasa Melayu di Hindia Belanda. Mengapa? Karena bahasa daerah seperti bahasa Batak dan bahasa Jawa bukan lingua franca di Hindia Belanda. Yang menjadi lingua franca sejak jaman kuno adalah bahasa Melayu itu sendiri. Oleh karena itu dalam polemic kodifikasi bahasa ini semua pegiat dan ahli bahasa terlibat termasuk ahli bahasa daerah seperti HN van der Tuuk. Artinya dalam urusan bahasa Melayu yang menjadi sebab timbulnya polemik karena semata-mata dasar kepentingan bersama sebagai warga Hindia Belanda dimana bahasa Melayu sebagai lingua franca.


Mengapa bahasa Melayu di Hindia Belanda? Tentu saja itu karena terkait urusan negara, urusan yang terkait dengan Pemerintah Hindia Belanda. Sebagaimana diketahui sejak 1824 (traktat London) wilayah yurisdiksi Belanda dan wilayah yurisdiksi Inggris sudah dipisahkan dengan menarik batas-batas negara. Artinya wewenang negara dalam konteks wilayah sudah jelas yang mana pulau Singapoera dan pulau Bintan (Riau) sudah tidak terhubung lagi secara ketatanegaraan, termasuk ketatanegaraan dalam urusan bahasa. Hal itulah yang menyebabkan dalam polemic kodifikasi bahasa Melayu yang dibicarakan di atas hanya terbatas wilayah-wilayah bahasa, yang fokusnya wilayah bahasa Melayu di wilayah Hindia Belanda. Jadi dalam polemic kodifikasi bahasa Melayu tersebut tidak menyertakan pegiat dan ahli bahasa Melayu di wilayah yurisdiksi Inggris seperti di Singapoera dan Penang. Ini dengan sendirinya ke depan, soal kamus dan tata bahasa Melayu sudah terpisah perkembangan kebahasaannya sejak lama antara Indonesia dan Malaysia sehingga kita bisa bedakan pada masa kini. Polemik bahasa Melayu tahun 1865 di Hindia Belanda dapat dikatakan awal dari kesadaran para pegiat bahasa Melayu di Hindia Belanda untuk membangun dan mengembangkan kebahasaan di Hindia Belanda, yakni bahasa Melayu sebagai lingua franca (yang kini bahasa Indonesia menjadi lingua franca).

Lantas bagaimana selanjutnya setelah terjadi polemic kodifikasi bahasa Melayu yang memakan waktu hampir tiga tahun? Yang jelas para pegiat bahasa dan ahli bahasa di wilayah Hindia Belanda terus bekerja yang jumlahnya semakin bertambah dari waktu ke waktu. Penyelidikan bahasa-bahasa adalah satu hal, soal kebutuhan kodifikasi bahasa khususnya bahasa Melayu adalah hal lain. Para ahli lain yang bekerja di Hindia Belanda seperti ahli geologi, atropologi dan sebagainya termasuk yang bekerja di bidang pendidikan juga membutuhkan pengetahuan bahasa. Pers berbahasa Melayu juga semakin merasakan perlunya pengetahuan bahasa.


Menteri Koloni di Belanda secara periodic mengangkat pegawai baru (PNS) untuk dikirim ke Hindi Belanda. Salah satu yang diangkat pada tahun 1848 adalah Elisa Netscher (lahir di Rotterdam Desember 1825). Netscher ditempatkan GG di kantor sekretaruat umum di Batavia. Pada tahun 1849 Netscher melakukan kunjungan daerah ke Riorw, Pada tahun 1849 ini salah satu diantara yang diangkat Menteri Koloni adalah JAW van Ophuijsen yang kemudian ditempatkan di Solok. Pada tahun 1852 JAW van Opuijsen diangkat sebagai controleur di Natal (Tapanoeli). Belum genap dua tahun di Natal, JAW van Opuijsen dipromosikan sebagai assiten residen di Solok pada tahun 1854. Pada tahun ini juga dua siswa asal Angkola Mandailing bernama Si Asta dan Si Angan diterima di sekolah kedokteran di Batavia (dua siswa pertama dari luar Jawa). Pada akhir tahun ini anak kedua JAW van Ophuisen lahir di Solok (lihat Javasche courant, 21-02-1855). Anak kedua van Ophuijsen ini kemudian dikenal sebagai Charles Adrian van Ophuijsen. Pada tahun 1856 JAW dipindahkan sebagai asisren residen Agam di Fort de Kock. Selain kesehatan program utamanya juga di bidang Pendidikan yang pada tahun ini JAW van Ophuijsen mendirikan sekolah gutu (kweekschool) di Fort de Kock. Pada tahun 1857 teman satu angkatan Si Asta dan Si Angan bernama Si Sati berangkat studi ke Belanda untuk mendapatkan akta guru. Pada tahun 1860 Su Sati Nasution alias Willem Iskander lulus ujian akta guru di Haarlem dan kembali ke tanah air pada tahun 1861. Pada tahun ini Elisa Netscher dipromosikan menjadi Resident Riouw. Sementara JA van Ophuijsen sebagai asisten residen Bengkoelen dipindahkan sebagai asisten residen Lampoeng. Pada tahun 1862 Willem Iskander mendirikan sekolah guru di Tanobato (antara Panjaboengan dan Natal). Pada tahun ini JAW dipromosikan sebagai Residen Palembang. Salah satu program van Ophuijsen di Palembang adalah mendirikan sekolah pribumi (bandingkan dengan di Fort de Kock dan di Tanobato bahkan sudah eksis sekolah guru). Pada tahun 1864 Inspektur Pendidikan Pribumi CA van der Chjis meninjau sekolah guru di Tanobato. Dari kunjungan ini van der Chijs menilai sekolah guru Tanobato terbaik jauh mengungguli sekolah yang sama di Soerakarta dan di Fort de Kock. Pada tahun 1870 E Netscher dipromosikan menjadi gubernur di province Sumatra’s Wesrkust di Padang (sementara JAW van Ophuijsen masih sebagai Reisden Palembang). CA van Ophuijsen, putra JAW van Ophuijsen setelah lulus ELS di Palembang disekolahkan ke Belanda. Pada tahun 1872 lulus HBS di Utrecht bagian Litterasch (lihat Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 12-09-1872). CA van Ophuijsen tidak lekas kembali ke tanah air di Sumatra tetapi meengikuti program pendidikan Indologi. Pada tahun ini juga Willem Iskander diminta untuk mendampingi tiga guri muda untuk sekolah guru ke Belanda dalam rangka program pemerintah untuk meningkatkan kulaitas guru pribumi, sementara Willem Iskander diberi beasiswa untuk meningkatkan pendidikannya di Belanda (akta setara LO). Itu berarti sekolah guru Tanobato akan ditutup dan sebagai gantinya akan dibuka sekolah guru yang lebih besar di Padang Sidempoean tahun 1879. Pada bulan April 1874 Willem Iskander melapor ke Residen Tapanoeli di Sibolga dan Gibernur Netscher di Padang. Lalu dari Padang Willem Iskander berangkat ke Batavia untuk berangkat dengan tiga guru muda yakni Raden Soerono dari Soerakarta dan Raden Sasmita dari Bandoeng serta Barnas Lubis dari Tapanoeli. Sehubungan dengan wisuda CA van Ophuijsen, JAW van Ophuijsen dan istri berangkat ke Belanda (lihat Java Bode, 20-01-1875). Pada bulan Maret diketahui JAW van Ophuijsen dan istri kembali dan tiba di Batavia (lihat Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 09-03-1875). Dalam pelayaran ini turut CA van Ophuijsen. Lantas bagaimana dengan CA van Ophuijsen sementara sang ayah belum lama pensiun sebagai Residen Lampong? CA van Ophuijsen memulai dari bawah mengikuti jejak sang ayah dengan mengikuti ujian klein-ambtenaar di Padang (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 26-07-1876). CA van Ophuijsen lulus dengan nilai terbaik. CA van Ophuijsen kemudian ditempatkan di Panjaboengan (dulu ayahnya pertama kali ditempatkan di Solok). Sementara itu Elisa Netscher pada tahun 1878 dibebaskan dari Gubernur karena sakit dan memilih istirahat di Fort de Kock yang berhawa sejuk. 

Lantas bagaimana dengan perkembangan kodifikasi bahasa Melayu di Hindia Belanda? Yang jelas seorang pemuda yang memulai karir di pemerintahan, CA van Ophuijsen yang ditempatkan di Panjaboengan (afdeeling Angkola Mandailing residentie Tapanoeli). CA van Ophuijsen di Panjaboengan mendapat kabar bahasa Willem Iskander telah meninggal di Amsterdam beberapa waktu lalu 8 Mei 1876 pada umur 36 tahun. Penduduk Mandailing tampakanya masih berkabung karena seorang guru terkenal telah tiada.


Tampaknya Charles tidak terlalu senang dengan pekerjaannya, tetapi karena minatnya. Charles justru lebih bersemangat mempelajari bahasa Batak dialek Mandailing ketimbang menjiwai tugas-tugas utamanya. Di sela-sela berdinas, Charles banyak mempelajari cerita rakyat dan menuliskannya dalam bahasa Batak atau bahasa Melayu. Charles adalah orang Belanda kedua yang fasih berbahasa Batak (setelah N. van der Tuuk). Mengapa hal ini terjadi? Dengan latar belakang bahasa dan sastra di Belanda, besar kemungkinan Charles terbius dengan kegiatan sastra lokal di Mandailing (kampong halaman Willem Iskander). Seperti disebut di atas dulu Willem Iskander tidak lama setelah guru didirikannya menjadi anggota Bataviaasch Genootschap (suatu yang langka seorang guru apalagi seorang pribumi menjadi perhimpunan ilmu pengetahuan). 

Rupanya perilaku dan kemampuan belajar otodidak Charles ini diketahui oleh Menteri Buijs yang tengah berkunjung ke Panjaboengan lalu menawarkan apakah Charles dengan bakat dan kemampuannya itu bersedia untuk menjadi guru di sekolah guru kweekschool. Sekolah yang dimaksud Pak Menteri membutuhkan guru Eropa yang akrab dengan satu atau lebih bahasa asli dan etnologi di Hindia Belanda. Profesi ini sangat jarang dan Charles tidak keberatan, malah sangat bersemangat. Jalan hidup Charles yang sebenarnya kini muncul ke permukaan di daerah terpencil di Ankola Mandheling. Meski Charles sudah fasih berbahasa Batak dan berbahasa Melayu, namun untuk menjadi guru harus melalui pelatihan. Charles berhasil mendapat diploma guru di Padang pada Mei 1879. Pada bulan ini juga, Kweekschool Padang Sidempoean dibuka (menggantikan Kweekschool Tanobato yang ditutup 1874, karena Willem Iskander melanjutkan pendidikan ke Belanda. Charles tampaknya kecele, ingin ke Padang Sidempoean, malah pada bulan Desember tahun itu juga justru ditempatkan ke Kweekschool Probolinggo untuk mengajar bahasa Melayu.

 

Pemahaman Charles tentang bahasa Melayu dan fasih menggunakannya diperoleh di Mandailing. Tulisannya yang berjudul 'Kijkjes in Het Huiselijk Leven Volkdicht (Pengamatan Kehidupan Kekeluargaan Orang Batak) dipublikasikan pada tahun 1879. Catatan: Elisa Netscher dikabarkan telah meninggal di Batavia pada tanggal 2 April 1880 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-04-1880). 

Walau begitu Charles tetap respek, malah pada Mei 1880 Charles diangkat sebagai anggota Bataviaasch Genootschap di Batavia. Lembaga ini menemukan seorang yang berprofesi guru sebagai peneliti muda yang paling menjanjikan. Sementara sebagai guru permanen, baru diperolehnya pada bulan Oktober 1881 setelah mengikuti dan lulus ujian di Djawa pada bulan Mei sebelumnya. Sejak November 1881, Charles atas pertimbangan karena bakat yang luar biasa, dia dibebaskan dari uang iuran anggota Bataviaasch Genootschap.


Setelah bertugas di Kweekschool Probolinggo selama dua tahun, kemudian Charles dipindahkan ke Kweekschool Padang Sidempoean (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 02-12-1881). Padang Sidempoean adalah ibukota Afdeeling Mandheling en Ankola. Ini berarti, Charles akan kembali ke daerah dimana dia pertama kali bekerja sebagai PNS selama tiga tahun di kantor Controleur di Panjaboengan, Groot Mandheling—situs dimana dia pertama kali melakukan studi bahasa dan masyarakat dan tempat dimana Charles menjadi fasih berbahasa Batak dan bahasa Melayu.

Apa pentingnya wilayah (afdeeling) Angkola Mandailing bagi Charles Adrian van Ophuijsen? Pertanyaan yang sama juga bahwa tempo hari, tiga dekade yang lalu: Apa pentingnya bagi Dr HN van der Tuuk wilayah Angkola Mandailing? Apakah keduanya hanya kebetulan saja? Lantas mengapa mereka berdua dalam masa yang berbeda tertarik dengan sastra dan bahasa Batak? Dalam konteks itu, apakah penduduk Batak di pedalaman Sumatra buta terhadap bahasa Melayu? Yang jelas penduduk Batak memiliki bahasa, aksara dan lambang bilangan sendiri. Artinya orang Batak bisa berbicara (baca: mengkobar), menulis dan berhitung.


Secara geografis wilayah Angkola Mandailing tepat berada di ‘tanah genting’ Sumatra, wilayah yang terpendek jarak antara pantai barat dan pantai timur Sumatra. Di pantai barat pelabuhan terletak di Barus dan pelabuhan di timur terletak di Binanga. Nama Barus sudah disebut dalam catatan Ptolomeus pada abad ke-2 dan nama Barus disebut dalam catatan Eropa pada abad ke-5 sebagai tempat kamper (baca: kapur barus) diimpor. Lalu nama Binanga apakah nama yang sama dengan yang disebut di dalam teks prasasti Kedukan Bukit pada abad ke-7? Seperti disebut di atas, teks prasasti menggunakan aksara Pallawa dengan menggunakan bahasa Sanskerta dan bahasa Batak (dwi bahasa). Di tengah dua pelabuhan barat dan timur itu terdapat candi kuno di Simangambat (candi yang sejaman dengan candi Sewu di selatan Jawa). Pada masa kini di Barus masih eksis batu nisan orang Arab yang berasal dari abad ke-7 dan di Binanga masih eksis puluhan candi yang berasal dari abad ke-11 (wilayah percandian terluas di Indonesia setelah di Jawa). Apakah prakondisi ini kemudian, seperti disebut di atas yang menyebabkan bahasa Melayu mirip bahasa Batak? Sebagaimana umumnya orang Batak mudah mengenal bahasa Melayu, tetapi tidak sebaliknya (orang Melayu sulit mengenal bahasa Batak). Charles Miller, seorang botanis Inggris pada tahun 1772 ketika berada di wilayah Angkola merasa kaget karena hampir semua orang bisa menulis, yang membuatnya lebih kaget karena angka literasi orang Batak (baca dan tulis) jauh lebih tinggi dibandingkan semua bangsa-bangsa di Eropa. Apakah situasi dan kondisi serupa ini kemudian menyebabkan HN van der Tuuk dengan nyaman dan tanpa kesulitan mempelajari bahasa Batak dalam rangka menulis kamus dan tatabahasa Batak? Salah satu, jika tidak dapat dikatakan yang pertama, narasumber utama van der Tuuk adalah Sati Nasution. Mengapa?

Wilayah Angkola Mandailing termasuk salah satu wilayah di Hindia Belanda introduksi pendidikan modern (dengan menggunakan aksara Latin) diberlakukan. Siswa-siswa sekolah dasar di Angkola Mandailing cepat beradaptasi dengan aksara Latin. Boleh jadi itu karena adanya kebiasaan menulis (dalam aksara Batak) yang berlaku umum di masyarakat (tidak hanya terbatas di kalangan atas/elit). Pada tahun 1854 dua siswa lulusan sekolah di Angkola Mandailing (Si Asta/Nasution) dan Si Angan/Harahap) diterima di sekolah kedokteran di Batavia (siswa pertama yang diterima dari luar Jawa). Pada tahun 1856 dua siswa lagi dari Angkola Mandailing di sekolah kedokteran di Batavia.


Sebagaimana di Jawa, untuk memperluas pendidikan di Sumatra, pada tahun 1856 didirikan sekolah guru di Fort de Kock. Sekolah guru ini merupakan yang kedua setelah yang pertama didirikan di Soerakarta pada tahun 1851. Pada tahun 1856 ini salah satu lulusan sekolah di Mandailing, Si Sati bersiap-siap untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda. Si Sati pada pertengahan tahun 1857 berangkat studi ke Belanda untuk mendapatkan akta guru. Seperti rekannya ke sekolah kedokteran di Batavia, Si Sati dalam hal ini adalah pribumi pertama yang studi ke Belanda. Seperti halnya Si Asta dan Si Angan berhasil meraih gelar dokter pribumi di Batavia, Si Sati alias Willem Iskander juga terbukti berhasil dan lulus mendapat akta guru di Haarlem pada tahun 1860. Setelah mempelahari banyak hal di Belanda seperti percetakan dan persuratkabaran, pada tahun 1861 Willem Iskander kembali ke tanah air. Sebagai guru, Willem Iskander mendirikan sekolah guru di Tanobato, afdeeling Angkola Mandailing pada tahun 1862. Sekolah guru Tanobato menjadi sekolah guru ketiga di Hindia Belanda. Di sekolah ini Willem Iskander menulis buku pelajaran sendiri, menulis buku umum dan demikian juga para lulusan sekolah guru Tanobato menulis buku. Buku-buku tersebut semua ditulis dalam aksara Latin. Apakah ini telah membuktikan tradisi baca tulis sejak lama di wilayah Tanah Batak masih tetap berlanjut? Bandingkan dengan di Riouw yang mana Radja Ali Handji telah mempublikasikan karya sastranya pada tahun 1847 dalam aksara Jawi dengan menggunakan bahasa Melayu. Fakta bahwa pada tahun 1862 di (residentie) Riouw belum ada sekolah yang didirikan sementara di (afdeeling) Angkola Mandailing sudah ada empat sekolah pemerintah (dari mana Willem Iskander merekrut para lulusan untuk mengikuti pendidikan guru di sekolah guru Tanobato).

Sebagai pionir, apakah Si Asta, Si Angan dan Si Sati dari wilayah pedalaman di Sumatra serba kebetulan dalam dunia pendidikan mampu menjangkau tempat yang jauh dalam urusan pendidikan bahkan hingga ke Belanda? Dalam konteks inilah kemudian Charles Adrian van Ophuijsen pada tahun 1876 tepat berada diantara penduduk yang memiliki angka literasi tinggi. Charles Adrian van Ophuijsen di sela-sela tugas dan fungsinya mulai menulis tentang kehidupan penduduk Angkola Mandailing. Lalu Charles Adrian van Ophuijsen di Panjaboengan dengan sadar meninggalkan jabatannya di pemerintahan dan lebih memilih untuk menjadi guru. Calon guru berada diantara murid-murid yang sangat banyak. Lalu setelah mendapat akta guru tahun 1879, pada tahun 1881 Charles Adrian van Ophuijsen menjadi guru di sekolah guru di Padang Sidempoean (ibu kota afdeeling Angkola Mandailing). Guru bahasa Melayu di wilayah penduduk non Melayu.


Sebagai guru bahasa Melayu di sekolah guru Padang Sidempoean, Charles Adrian van Ophuijsen semakin intens mempelajari sastra dan bahasa Batak. Tentu saja Charles Adrian van Ophuijsen tidak kekurangan bahan. Penduduk Batak adalah bagai laboratorium bahasa bagi Charles Adrian van Ophuijsen (sebab siswa dan masyarakat umum aktif baca tulis), dan buku kamus bahasa dan tata bahasa Batak yang telah disusun oleh Dr NH van der Tuuk sebagai panduan yang sangat tepat (sebagai kamus dan tata bahasa terbaik di Hindia Belanda). Charles Adrian van Ophuijsen yang menyelesaikan pendidikan bahasa dan sastra di Belanda seolah-olah kini berada di tempat yang tepat. Sebagai anggota Bataviashe Genootschap di Batavia, produktivitas karya Charles Adrian van Ophuijsen di kota Padang Sidempoean terbilang tinggi. Bagi Charles Adrian van Ophuijsen pendidikan (pengajaran bahasa dan sastra) adalah sejalan dengan riset bahasa dan sastra.

Banyak karya sastra dan bahasa yang dihasilkan Charles Adrian van Ophuijsen di Padang Sidempoean yang dipublikasikan. Charles Adrian van Ophuijsen berada di sekolah guru Padang Sidempoean selama delapan tahun yang mana lima tahun terakhir sebagai direktur sekolah. Diantara mantan-mantan siswanya lulusan sekolah guru Padang Sidempoean adalah Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, Hasan Nasoetion gekar Mangaradja Salamboewe dan Si Julius gelar Soetan Martoea Radja.


Charles Adrian van Ophuijsen semasa di sekolah guru Padang Sidempoean, sebagai guru bahasa Melayu terus mengembangkan metodologi pengajarannya, dan sebagai peneliti terus melakukan penelitian tentang sastra dan bahasa Batak, Tentu saja Charles Adrian van Ophuijsen tidak akan membuat buku kamus dan tatabahasa Batak karena itu sudah selesai dilakukan NH van der Tuuk, tetapi untuk membuat kamus dan tata bahasa Melayu menjadi visi misinya. Riset dan penulisan bahasa Batak dan bahasa Melayu, Charles Adrian van Ophuijsen melibatkan para siswa-siswanya sebagai asisten.

Charles Adrian van Ophuijsen mengundurkan diri dari sekolah guru Padang Sidempoean karena telah dipromosiklan sebagai Inspektur Pendidikan Pribumi di province Sumatra’s Westkust (Provinsi Pantai Barat Sumatra) yang berkedukan di Padang. Province Sumatra’s Westkust terdiri tiga residentie: Padangsche Benelanden (ibu kota di Padang), Padangsche Bovenlanden (ibu kota di Fort de Kock) dan Tapanoeli (ibu kota di Padang Sidempoean). Sementara itu, Dja Endar Moeda setelah mengajar di berbagai tempat dan pensiun di Singkil lalu berangkat menuaikan haji ke Mekah. Sepulang dari Mekah, Dja Endar Moeda memilih domisili di ibu kota provinsi di Padang pada tahun 1894 untuk mendirikan sekolah swasta (sebab banyak anak usia sekolah tidak tertampung di sekolah pemerintah di Padang). Pada tahun inilah Dja Endar Moeda bertemu kembali mantan gurunya Charles Adrian van Ophuijsen di Padang. Keduanya di Padang berposisi sebagai kepala sekolah swasta dan sebagai Inspektur Pendidukan Pribumi. Sudah barang tentu keduanya tidak hanya saling kenal juga tentu saja akrab (ingat bahwa Charles Adrian van Ophuijsen adalah ahli sastra dan bahasa Batak). Pada tahun 1895 Dja Endar Moeda menjadi editor surat kabar berbahasa Melayu yang baru Pertja Barat di Padang. Dja Endar Moeda dalam hal ini menjadi editor pribumi dalam bidang persuratkabaran (pers).


Surat kabar berbahasa Melayu sudah sejak 1850an muncul. Para editornya adalah jurnalis-jurnalis Eropa/Belanda. Dalam perkembangannya direkrut editor dari kalangan Cina. Lalu kemudian muncul yang pertama dari kalangan pribumi yakni Dja Endar Moeda di Padang sejak tahun 1895. Bagaimana dengan Charles Adrian van Ophuijsen? Setelah menjadi Inspektur Pendidikan Pribumi apakah masih mendalami bahasa Melayu? Tentu saja Charles Adrian van Ophuijsen tidak kekurangan kolega untuk membahas dan membicarakannya, misalnya seperti Dja Endar Moeda yang berperan sebagai pengaran maupun penulis di surat kabar berbahasa Melayu di Padang.

Pada tahun 1900 Dja Endar Moeda mengakuisisi surat kabar Pertja Barat sekaligus percertakannya. Ini satu lompatan diantara para jurnalis pribumi. Pada tahun 1900 ini juga Dja Endar Moeda menerbitkan satu surat kabar baru berbahasa Melayu dan Batak di Padang yang diberi nama Tapian Na Oeli. Surat kabar ini diidarkan di wilayah (residentie) Tapanoeli. Pada tahun ini juga Dja Endar Moeda menggagas organisasi kebangsaan di Padang yang diberi nama Medan Perdamaian. Sebagai organisasi kebangsaan pribumi pertama, Dja Endar Moeda ingin mempersatukan berbagai bangsa (pribumi) untuk bangkit dan maju. Pada tahun 1901 dengan percetakannya, menerbitkan majalah bulanan yang diberi nama Insulinde.


Dja Endar Moeda di Padang adalah pemilik portofolio tertinggi diantara orang-orang pribumi di Padang. Dja Endar banyak peran: kepala sekolah swasta, pemilik percetakan, penulis, pengarang, editor surat kabar Pertja Barat dan Tapian Na Oeli dan presiden organisasi kebangsaan Medan Perdamaian. Dja Endar Moeda juga sebagai editor majalah Insulinde. Yang menjadi asisten editor Insulinde adalah Djamaloedin Rasad seorang guru muda lulusan sekolah guru di Fort de Kock.

Lantas bagaimana dengan katya-karya Charles Adrian van Ophuijsen? Sejatinya, meski sudah menjadi Inspektur Pendidikan Pribumi, Charles Adrian van Ophuijsen tidak pernah berhenti meneliti dan menulis tentang bahasa dan sastra Batak maupun bahasa Melayu.

 

Sejumlah artikel dan buku yang ditulis Charles Adrian van Ophuijsen adalah: Bataksche raadsels. (TTLV Deel XXVIII, bl. 201-15, 1883, en Deel XXX, bl. 459-472, 1885); De Loeboe's. (Deel XXIX, bl. 88-100 en 526-554, 1884); De poezie in het Bataksche volksleven. (Volgr. 5, I, bl. 402-32, 1886); Over de afleiding en beteekenis van sapala-pala (Volgr. 5, I, bl. 98-100, 1886). Bataksche spreekwoorden en spreekwijzen (1890); Maleische taalstudiën: Verbaalstammen en hunne derivation (TBG. XLVI); Bataksche spreekwoorden en spreekwijzen. (TTLV Deel XXXIV, bl. 72-99, 1891, en Deel XXXV, bl. 613-638, 1892).

Buku Charles Adrian van Ophuijsen yang terbit tahun 1901 berjudul Kitab Logat Melajoe: Woordenlijst voor de spelling der Maleische taal met Latijnsch karakter menjadi segera menjadi perhatian umum, lebih-lebih para pegiat bahasa-bahasa khususnya bahasa Melayu. Ini seakan mengingatkan kita tentang polemic kodifikasi bahasa Melayu yang terjadi pada tahun 1865. Setelah polemic tersebut, tidak ada buku tentang bahasa Melayu yang terkait kodifikasi. Polemik juga mereda setelah berlangsung tiga tahun. Lantas apakah buku Charles Adrian van Ophuijsen akan mengundang polemic?


Dja Endar Moeda telah melihat jauh ke depan sebagai anak bangsa. Dja Endar Moeda ingin mendorong bangsa pribumi terutama dalam pendidikan. Pers sendiri juga bagi Dja Endar Moeda upaya untuk mencerdaskan bangsa. Sebagai presiden Medan Perdamaian, Dja Endar Moeda pada tahun 1902 membantu peningkatan pendidikan di Semarang sebesar f14.000. Sumbangan ini oleh Dja Endar Moeda disampaikan melalui Inspektur Pendidikan Pribumi Charles Adrian van Ophuijsen. Murid dan guru tetaplah sama-sama guru, yang sama-sama untuk meningkatkan mutu pendidikan orang pribumi. Charles Adrian van Ophuijsen dan Dja Endar Moeda tiadalah duanya.

Seperti dikutip di atas, disebut salah satu yang menyambut buku hasil pekerjaan CA van Ophuijsen adalah Djamaloedin (April 1902) sebagai berikut: “Paedah kitab itoe ialah tempat bertanja, tjara bagaimana tiap-tiap kata jang terseboet, haroes ditoetoerkan dan bagaimana atoeran toelisannja dengan hoeroef olanda”.


Dari mana kutipan ini tidak disebutkan. Boleh jadi Djamaloedin Rasad di Padang telah membacanya yang kemudian menulis artikel berjudul Kitab Logat Melajoe dan Kawan Sedjolinja yang dimuat dalam majalah bulanan Insulinde tahun 1902 di Padang. Seperti disebut di atas, Djamaloedin Rasad adalah asisten editor majalah bulanan Insulinde di Padang yang dipimpin oleh Dja Endar Moeda. Dalam hal ini Djamaloedin Rasad juga adalah pendukung karya-karya Charles Adrian van Ophuijsen.

Buku Kitab Logat Melajoe karya Charles Adrian van Ophuijsen yang diterbitkan pada tahun 1901 kemudian diakui pemerintah pada tahun 1902.

 

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 09-10-1902: ‘Bahasa Malayu.

Berdasarkan surat edaran dari Direktur O.E. dan N. tanggal 20 September yang lalu No. 16951b, mulai sekarang di sekolah-sekolah pribumi (negeri dan swasta), pendidikan bahasa Melayu harus mengikuti ejaan yang tertera pada daftar kata yang dibuat oleh Inspektur Pendidikan Pribumi di Afdeeling 4. Ch. A van Ophujsen yang berjudul Kitab Logat Melajoe, yang karyanya tersedia di depot bahan pembelajaran pemerintah di Weltevreden’ 

Karya-karya Charles Adrian van Ophuijsen terus bermunculan. Buku baru Charles Adrian van Ophuijsen ada berjudul Handleiding bij de beoefening van het Maleische letterschrift (1902).


 Fakta bahwa buku berjudul Kitab logat melajoe: Woordenlijst voor de spelling der Maleische taal met Latijnsch karakter kembali diterbitkan sebagai cetakan kedua (1903).

Kehadiran buku Charles Adrian van Ophuijsen berjudul Kitab Logat Melajoe dipandang positif. Charles Adrian van Ophuijsen tampaknya telah mengadirkan sesuatu yang belum ada selama ini dan sekaligus menyelesaikan sesuatu yang dulu menjadi topik polemic (tentang kriteria bahasa Melayu). Beberapa pegiat bahasa yang menanggapi buku Charles Adrian van Ophuijsen adalah sebagai berikut:  Eenige opmerkingen over de Maleische taalstudiën van den Heer Ch. A. van Ophüijsen. T. B. G. XLVIII, 57; Kiliaan (HN.). Eene nieuwe theorie omtrent ’t Maleisch besproken. (Naar aanleiding vaneen artikel van Ch. A. van Ophuijsen over verbaalstammen en hunne derivatiën). I. G. 1904.

 

Sementara itu, Charles Adrian van Ophuijsen tetap melakukan riset dan penulisan. Sebagai guru bahasa Melayu dan peneliti sastra dan bahasa Batak, Charles Adrian van Ophuijsen terus menghasilkan karya antara lain: Het Maleische volksdicht (1904); Eenige dagen inde Bataklanden (Buil. Kol. Museum. Np, 40); Toloe Sampagoel (leesboekje voor de Bataksche scholen in drie stukjes). Leiden, P.W.M. Trap, 1904. Sebelumnya Charles Adrian van Ophuijsen juga menulis buku berjudul Handleiding bij de beoefening van het Maleische letterschrift (terbit 1902). Buku ini membahas tentang standarisasi aksara Jawi dalam bahasa Melayu (bandingkan dengan buku terbaru Kitab Logat Melajoe tentang standarisasi bahasa Melayu yang terkait dengan kosa kata dalam penulisan dengan menggunakan aksara Latin).

Setelah terbitnya buku Kitab Logat Melajoe, Charles Adrian van Ophuijsen sendiri tidak ada lagi tandingannya diantara para pegiat dan penulis bahasa Melayu di Hindia Belanda. Charles Adrian van Ophuijsen telah mempelopori kodifikasi bahasa Melayu yang sebenarnya. Apakah Charles Adrian van Ophuijsen akan melompot tinggi ke atas? Yang jelas, mantan muridnya di Padang, Dja Endar Moeda mengirim dua guru untuk melanjutkan studi ke Belanda pada tahun 1903. Kedua guru tersebut adalah Soetan Casajangan, guru di Padang Sidempoean yang juga sebagai adik kelas Dja Endar Moeda dulu di sekolah giuru Padang Sidempoean. Sebagaimana Dja Endar Moeda, dalam gal ini Soetan Casajangan juga adalah mantan murid dari Charles Adrian van Ophuijsen; dan guru Djamaloedin Rasad di Padang (asisten editor Insulinde). Tidak lama kemudian pada tahun 1904 Charles Adrian van Ophuijsen di Padang diangkat sebagai guru besar bahasa Melayu di Fuculteit der Letteren en Wijsbergeerte, Universiteit te Leiden. Ini berarti Charles Adrian van Ophuijsen akan melepaskan posisinya sebagai Inspektur Pendidikan Pribumi diu Padang dan juga akan meninggalkan murid kesangannnya Dja Endar Moeda. Tapi toch, bagi Dja Endar Moeda sudah terwakili di Belanda melalui Soetan Casajangan dan Djamaloedin Rasad.


Di Belanda, Soetan Casajangan melanjutkan sekolah keguruan di Haarlem sementara Djamaloedin Rasad melanjutkan sekolah pertanian di Wageningen. Soetan Casajangan menjadi asisten dosen untuk membantu Prof Charles Adrian van Ophuijsen dalam pengajaran bahasa Melayu di Univ. Leiden. Soetan Casajangan adalah satu-satu mahasiswa asal Hindia di Belanda yang mengambil program Pendidikan (keguruan). Pada tahun 1908 saat jumlah mahasiswa pribumi sekitar 20an, Soetan Casajangan menggagas pendirian organisaasi mahasiswa sebagai organisasi kebangsaan yang diberi nama Indische Vereeniging (Perhimpoenan Hindia).

Soetan Casajangan dan Charles Adrian van Ophuijsen saling mendukung untuk suksesnya para mahasiswa asal Hindia baik yang baru maupun yang baru datang. Soetan Casajangan lulus akta LO (setara akademi) pada tahun 1909 dan kemudian melajutkan studinya untuk menadapatkan akta MO (setara sarjana). Pada tahun 1910 buku Charles Adrian van Ophuijsen diterbitkan dengan judul Maleische spraakkunst, suatu buku tata bahasa Melayu.


Seperti juga dikutip di atas disebukan Kitab Logat Melayu (buku ejaan bahasa Melayu) sebagai hasil kerja Ophuijsen melanjutkan pekerjaan Wall. Pada 1910, Ophuijsen menerbitkan buku Maleische spraakkunst (buku tata bahasa Melayu). Kutipan itu tampaknya terkesan mengada-ada, Fakta bahwa tidak ada kaitan antara Wall dan Charles Adrian van Ophuijsen. Mereka hidup di dua zaman yang berbeda. Antara zaman itu banyak buku yang ditulis dengan topik bahasa Melayu oleh berbagai penulis. Di dalam dua buku Charles Adrian van Ophuijsen tidak ada disebutkan nama M von de Wall.

Soetan Casajangan dan Charles Adrian van Ophuijsen tetap berinteraksi satu sama lain di Belanda. Soetan Casajangan lulus studi dengan mendapat akta guru MO pada tahun 1911. Sudah barang tentu Charles Adrian van Ophuijsen sumringah mendengar kabar itu. Soetan Casajangan dan Charles Adrian van Ophuijsen dari Padang Sidempoean sudah mencapai mimpi masing-masing. Charles Adrian van Ophuijsen menjadi guru besar dan Soetan Casajangan menjadi sarjana pendidikan pertama pribumi.


 Kedekatan Soetan Casajangan dan Charles Adrian van Ophuijsen tidak hanya karena hubungan lama antara murid dan guru di sekolah guru di Padang Sidempoean, juga karena kedekatan Charles Adrian van Ophuijsen dalam sastra dan bahasa Batak yang terus menjadi perhatiannya di Belanda. Prof Charles Adrian van Ophuijsen di Belanda adalah salah satu pengurus inti Batak Instituut. Di Leiden, pada tahun 1908 Charles van Ophuijsen bersama Dr CW Janssen dan kawan-kawan mendirikan Batak Institute. Pada tahun ini juga di Belanda Soetan Casajangan mendirikan organisasi mahasiswa pribumi (Indische Vereeniging).

Oleh karena Soetan Casajangan bukan mahasiswa lagi, pada tahun 1911 kepengurusan Indische Vereeniging digantikan oleh Noto Soeroto. Soetan Casajangan tidak segera kembali ke tanah air, sementara Djamaloedin Rasad telah kembali ke tanah air. Di Belanda Soetan Casajangan mengajar di berbagai sekolah menengah perdagangan (Handelschool). Sambil mengajar, Soetan Casajangan membentul dana pendidikan (Studiefond) untuk membantu para mahasiswa yang kesulitan keuangan dan juga membantu para siswa yang hendak kuliah ke Belanda tetapi kesulitan dana.


Charles Adrian van Ophuijsen meski sudah jauh di Belanda dan tak pernah kembali lagi ke Sumatra, tetapi kajiannya tentang bahasa Melayu dan sastra/bahasa Batak tidak pernah berhenti. Beberapa karya Charles Adrian van Ophuijsen di Belanada adalah: Kijkjes in het huiselijk leven der Bataks. Uitgaven van het Bataksch Instituut, No. 4. Leiden, S.C. Van Doesburgh, 1910; Der Bataksche Zauberstab. (Band XX, S. 82-103, 1911); Internationales Archiv für Ethnographie Der Bataksche Zauberstab. (Band XX, S. 82-103, 1911).

Pada tahun 1913 Soetan Casajangan kembali ke tanah air. Sebelum pulang dalam rapat tahunan Indische Vereeniging, Soetan Casajangan meminta Studiefond yang didirikannya bersama Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon untuk diintegrasikan ke Indische Vereeniging. Gayung bersambut dari pengurus Indische Vereeniging yang dipimpin oleh Noto Soeroto.


Sementara itu Charles Adrian van Ophuijsen masih menghasilkan karya-karya antara lain Bataksche teksten (Mandailingsch dialect). Eerste reeks. Leiden, S.C. Van Doesburgh, 1914 dan (edisi kedua buku) Maleische spraakkunst. 2e dr. Leid. 1915.

Hasil-hasil karya Charles Adriaan van Ophuijsen telah diakui oleh pemerintah menjadi pedoman tata bahasa Melayu di Hindia Belanda. Ejaan yang digunakan dalam buku-bukunya kemudian dikenal sebagai ejaan van Ophuijsen. Para guru-guru juga, yang mengajar bahasa Melayu mengikuti ejaan van Ophuijsen seperti guru D Iken dan guru Emir Harahap di Depok sebagaimana buku yang mereka terbitkan dengan judul Kitab Arti Logat Melajoe (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 31-01-1916).


Hasil manis buku tata bahasa Melayu van Ophuijsen itu, dalam hal ini semua bermula dari kamampuan otodidak Charles Adriaan van Ophuijsen yang mempelajari bahasa Batak dan bahasa Melayu pertamakali di Mandheling en Ankola (Panjaboengan dan Padang Sidempoean). Padang Sidempoean, ibukota Afdeeling Angkola Mandailing, suatu daerah yang menurut C Snouck Hurgronje yang paling dicintai oleh Charles Adrian van Ophuijsen. Snouck Hurgronje sendiri adalah ahli pribumi, juga seperti van Ophuijsen telah menjadi professor di Leiden. Snouck Hurgronje kerap berkorespondensi dengan Dja Endar Moeda, seorang mantan guru yang menjadi editor surat kabar Pertja Barat di Padang.

Charles Adrian van Ophuijsen tidak berumur panjang. Pada pagi hari 15 Februari 1917 di Leiden, setelah tiga belas tahun menjadi professor, Charles Adrian van Ophuijsen menutup matanya untuk selamanya. Dia adalah seorang guru sepenuh hati, sebagaimana murid-muridnya di Padang Sidempoean membantunya sepenuh hati. Di Leiden, Prof. Charles Adrian van Ophuijsen ketika mengajar Bahasa Melayu juga dibantu seorang asisten yang dulu mantan muridnya di Padang Sidempoean yang tengah kuliah di Negeri Belanda. Mantan murid dan asisten itu adalah Radjiun Harahap gelar Soetan Casajangan Soripada (pendiri perhimpunan mahasiswa Indonesia di Eropa, Indische Vereneeging).


Prof. Charles Adrian van Ophuijsen adalah salah satu akademisi terbaik di Hindia Belanda (kelahiran Hindia) yang memulai karir dari bawah dan minat bahasa dan sastra yang terbentuk di Angkola Mandailing dan menjadi guru teladan di Padang Sidempoean. Seperti dikatakan Snouck Hurgronje, wilayah (afdeeling) Angkola Mandailing adalah suatu daerah yang paling dicintai oleh Charles Adrian van Ophuijsen. Dimana dulunya Charles Adrian van Ophuijsen sebagai guru bahasa Melayu dan meneliti sastra dan bahasa Batak, perhatikan foto bangunan sekolah guru Padang Sidempoean. Wujud bangunan tua yang pertama kali digunakan tahun 1879 ini hingga kini masih eksis sebagai bagian depan SMA N 1 Padang Sidempoean. Di tempat inilah Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan pernah sekolah, di tempat inilah ayah Sanoesi Pane pernah bersekolah, di tempat inilah Emir Harahap, Sorip Tagor dan Soetan Goenoeng Moelia pernah bersekolah, di tempat inilah Madong Loebis pernah bersekolah, di tempat ini pula Ashadi Siregar pernah bersekolah. Last but not least: di tempat inilah saya pernah bersekolah.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar