*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
Banjir, banjir, banjir lagi. Ungkapan ini akan terus
ada. Rancangan pengendali banjir di Jakarta sudah sejak lama final. Tidak butuh
lagi rancangan baru. Rancangan baru di era Presiden Soekarno dengan membangun
kanal Kali Malang sejatinya telah menabrak rancangan banjir yang sudah ada
(sejak era Hindia Belanda). Alih-alih membangun banjir kanal timur (BKT), kanal
Kali Malang justru kini telah menjadi beban dan menjadi satu faktor penyebab
banjir masa kini. Pembangunan kanal BKT seakan hanya untuk melayani kanal Kali
Malang (membuang anggaran dua kali).
Kanal Kali
Malang dibangun pada tahun 1960an. Kanal ini dibangun sejatinya
bukan untuk mengatas banjir besar yang terjadi beberapa tahun sebelumnya,
tetapi hanya sekadar untuk menyediakan air bersih untuk Jakarta. Celakanya,
Kanal Kali Malang telah membebani dalam penanganan banjir di Bekasi dan
Jakarta. Kanal Kali Malang ingin menandingi kanal Banjir Kanal Barat (BKB) dari
Manggarai ke Pejompongan, tetapi cara berpikirnya salah. Kanal BKB mengalihkan
air dari dalam kota ke luar kota (ke Angke); sebaliknya kanal Kali Malang
membawa air dari luar kota ke dalam kota. Celakanya lagi, kanal BKB dibangun
dengan azas kanal di bawah permukaan air, sebaliknya kanal Kali Malang dibangun
di atas permukaan air. Kanal BKB menjadi fungsi drainase, sedangkan kanal Kali Malang
telah menghambat arus mata air (sungai) dari hulu ke hilir. Artikel ini adalah
artikel lanjutan dari artikel Sejarah Jakarta (76): ‘Naturalisasi ala Anies
Baswedan Solusi Banjir Jakarta? Pengendali Banjir Tempo Dulu, Kini Butuh
Normalisasi’.
Kanal Kali Malang adalah satu hal.
Hal lain soal banjir Jakarta adalah telah terjadi pelanggaran terhadap
rancangan (desain) pengendali banjir yang sudah final dibangun di era Hindia
Belanda. Pelanggaran yang terjadi sekarang bukan soal pembangunan BKT, tetapi abai
terhadap pelestarian sistem pengendalian banjir yang sudah final tersebut.
Solusi banjir pada masa kini bukan lagi model pembangunan kanal BKT yang mahal,
tetapi dapat dilakukan dengan biaya murah dengan metode normalisasi yakni normalisasi terhadap desain banjir yang sudah ada. Kesimpulan ini sudah diakumulasi
pada artikel Sejarah Jakarta (102): Banjir, Banjir, Banjir Lagi; Rancangan
Pengendali Banjir Jakarta Sudah Lama Final, Hanya Perlu Normalisasi. Namun hasil
analisis data sejarah terbaru, normalisasi tidak cukup tetapi juga perlu
mempertanyakan apakah rancangan banjir di Jakarta yang dianggap final selama
ini masih valid untuk masa kini. Bagaimana bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada
permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.