*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Gelar
pahlawan pada masa ini, apalagi gelar Pahlawan Nasional menjadi suatu
kebanggaan. Namun nilai kebanggaan itu menjadi hambar ketika ada pihak yang
menggugatnya. Syarat dan kriteria seharusnya sangat jelas untuk menghindari
kemungkinan adanya gugatan. Dalam hal ini munculnya gugatan karena sejumlah
butir persyaratan dan kriteria tidak jelas (abu-abu)..
Persyaratan pertama adalah ‘WNI atau seseorang yang
berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI’. Kata ‘atau’
mengindikasikan sebelum dan sesuah ada Negara Indonesia (1945). Kata WNI
berarti setelah terbentuk negara Indonesia. Sedangkan sebelum terbentuk negara
RI, adalah seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah
NKRI yang dapat diartikal di pulau Sumatra, pulau Jawa, Kalimantan (minis
Borneo Utara), pulau Sulawesi dan wilayah lainnya. Jika syarat ini yang dipakai
maka orang Eropa/Belanda juga dapat dimasukkan, asal mereka berjuang di wilayah
NKRI yang sekarang. Mengapa? Karena orang Eropa/Beland juga ada yang memenuhi
syarat kedua (memiliki integritas moral dan keteladanan). Persyaratan ketiga (berjasa
terhadap bangsa dan negara) membuat tidak jelas persyaratan pertama. Kata ‘dan’
dalam syarat ketiga ini harus berjasa terhadap negara, padahal sebelum 1945
belum ada negara. Persoalan juga ditemukan pada prosedur. Dalam prosedur, tahap
pertama dinyatakan: ‘masyarakat mengajukan usulan Calon Pahlawan Nasional yang
bersangkutan kepada Bupati/Walikota setempat. Bupati/Walikota mengajukan usulan
Calon Pahlawan Nasional yang bersangkutan kepada Gubernur, melalui instansi
Sosial Provinsi setempat’ lalu diikuti tahap berikunya: ‘Instansi Sosial
Provinsi menyerahkan usulan Calon Pahlawan Nasional yang bersangkutan tersebut
kepada Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) untuk diadakan penelitian
dan pengkajian (melalui Proses seminar, Diskusi maupun Sarasehan). Dalam hal
ini siapa yang dimaksud ‘masyarakat yang mengajukan’? Apakah individu,
keluarga, organisasi dan sebagainya? Pertanyaan yang muncul adalah apakah ‘masyarakat’
itu mengetahuinya semua rekam jejak orang yang diusulkan? Usulan ini bisa lolos
pada Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) tetapi tersandung pada Tim
Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP). Dalam hal ini yang diteliti, dikaji dan
dibahas TP2GP adalah yang diusulkan oleh ‘masyarakat’. Artinya TP2GP fungsinya
hanya sebagai penjaga gawang. Oleh karena itu Pahlawan Nasional kita hanya
tergantung pada usulan masyarakat. Apakah diperlukan lembaga baru yang tugasnya
mendaftar, menyelidiki, dan mempersiapkan usulan calon Pahlawan Nasional?
Lantas
bagaimana negara (pemerintah) seharusnya mandaftarkan dan meneliti lebih baik
daftar Pahlawan Indonesia yang diusulkan dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional?
Seperti disebut di atas, prosedur, syarat dan kriteria masih terkesan tidak
mencerminkan arti ketepatan dan ketelitian siapa yang seharunya menjadi
Pahlawan Nasional. Lantas mengapa pendaftaran dan penelitian calon Pahlawan
Nasional dipertanyakan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.