Jumat, 18 Januari 2019

Sejarah Jakarta (34): Perpindahan Ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta, 1946 Tidak Seperti Diceritakan; Ini Fakta Sebenarnya


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Semarang dalam blog ini Klik Disin

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia (RI) 17 Agustus 1945 ibukota negara ditetapkan di Djakarta. Namun dalam perkembangannya, karena alasan situasi ibukota Djakarta tidak aman lalu ibukota RI dipindahkan ke Djogjakarta pada awal Januari 1946. Ibukota RI di Djogjakarta berlangsung selama era perang hingga hingga terjadinya agresi militer Belanda kedua. Djogjakarta yang diduduki oleh militer Belanda sejak 19 Desember 1948 menyebabkan ibukota RI berakhir.

Het dagblad, 07-01-1946
Dalam berbagai media disebutkan bahwa pada tanggal 3 Januari 1946, diadakan rapat pemindahan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta. Disebutkan bahwa Soekarno mengatakan: ‘Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda. Aku juga tidak’. Juga disebutkan dalam berbagai media bahwa perpindahan dari Jakarta ke Yogyakarta tanpa diketahui NICA karena takut Soekarno dan seluruh pejabat RI akan dibunuh. Setelah gelap, sebuah gerbong kereta dan lokomotif yang dimatikan lampunya berhenti di belakang rumah Soekarno yang terletak di pinggir rel. ‘Dengan diam-diam, tanpa bernapas sedikit pun, kami menyusup ke gerbong. Orang-orang NICA menyangka gerbong itu kosong," kata Soekarno menggambarkan ketegangan saat itu. Lebih lanjut disebutkan Soekarno mengatakan bahwa ‘Seandainya kami ketahuan, seluruh negara dapat dihancurkan dengan satu granat. Dan kami sesungguhnya tidak berhenti berpikir apakah pekerjaan itu akan berlangsung dengan aman. Sudah tentu tidak. Tetapi republik dilahirkan dengan risiko. Setiap gerakan revolusioner menghendaki keberanian’. Masih dalam berbagai media disebutkan bahwa pada tanggal 4 Januari 1946, kereta api yang membawa Soekarno dan rombongan ke Yogyakarta di malam buta. Semua penumpang diliputi ketegangan. Tapi rupanya Tuhan memberikan kekuatan pada rombongan kecil itu mencapai Yogyakarta.  

Lantas apakah cerita tersebut sepenuhnya benar? Itu yang ingin diklarifikasi dengan membuka sumber-sumber lama. Pada saat itu sudah terdapat sejumlah media (surat kabar dan majalah Indonesia) tetapi baru ada satu surat kabar asing. Surat kabar asing tersebut terbit di Batavia yakni Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia. Oleh karena akses data artikel ini menelusuri berita hari demi hari di dalam surat kabar Het dagblad ditambah surat kabar lainnya. Mari kita telusuri.

Selasa, 15 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (5): Gunung Merapi dan Daftar Panjang Letusan; Ekspedisi Pertama 1820 oleh Nahuijs dan Merkus (Jung Huhn)


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Gunung Merapi di Yogyakarta (juga terlihat dari Solo) adalah salah satu gunung di Jawa yang terbilang aktif dari dulu hingga kini. Di era VOC/Belanda, letusan gunung Merapi kali pertama dicatat pada tahun 1760. Gunung Merapi yang berada di sekitar penduduk yang padat ini selalu menjadi menarik perhatian. Tidak hanya penduduk di sekitar gunung, juga orang-orang Eropa/Belanda.

Bataviasche courant, 14-10-1820
Pada tahun 1820 Residen Soeracarta HG Nahuijs penasaran dengan indahnya gunung Merapi tetapi selalu membuatnya was-was. HG Nahuijs lalu berkekuatan hati untuk ‘memanjat’ gunung Merapi. HG Nahuis yang berpangkat kolonel tersebut tidak sendiri tetapi juga mengajak tiga temannya untuk melihat langsung kawah gunung Merapi. Tiga temannya itu adalah S van de Graaf, P. Merkus en  H. Mac Gillavry. Pada pagi tanggal 9 September 1820 HG Nuhuijs bersama tiga temannya plus 76 orang Jawa untuk membantu memulai ekspedisi ke gunung tersebut. Mereka berhasil hingga ke puncak gunung.. Pieter Merkus kelak menjadi Gubernur Jenderal (1841–1844). Pieter Merkus pada tahun 1840 merekrut FW Jung Huhn untuk meneliti dan memetakan geologi dan botani di Tanah Batak. Setelah menyelesaikan bukunya berjudul Die Battaländer auf Sumatra, Jung Huhn melakukan pemetaan gunung-gunung di Jawa, termasuk gunung Merapi. Satu tanaman asli Indonesia pinus ditemukan Jung Huhn di Sipirok (Tapanuli Selatan). Nama tanaman ini lalu diabadikan namanya dengan Pinus merkusii Jungh, yang mengambil nama Pieter Merkus dan Jung Huhn. Pieter Merkus meninggal di Soerabaja (1844) yang diduga disebabkan malaria. FW Jung Huhn membawa pohon kina dari Brasil dan mengembangkannya di Preanger. Jung Huhn meninggal di Lembang (1864).

Lantas bagaimana sejarah gunung Merapi selanjutnya? Gunung Merapi nyaris tidak ada matinya. Gunung Merapi telah banyak menimbulkan korban, tetapi juga gunung Merapi telah memberi manfaat. Untuk melengkapi sejarah gunung Merapi, ada baiknya disusun daftar panjang letusan yang pernah terjadi. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo dulu.

Senin, 14 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (4): Fakta Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta dan Agresi Militer Belanda 19 Desember 1948


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Ada dua tanggal penting kejadian di Yogyakarta pada era perang kemerdekaan RI: Tanggal 19 Desember 1948 dan tanggal 1 Maret 1949. Kejadian-kejadian di seputar dua tanggal tersebut hingga kini masih menjadi perdebatan. Perdebatan yang muncul bukan di kalangan orang Belanda tetapi justru di kalangan orang Indonesia masa kini. Di kalangan Indonesia, duduk soal kejadian tanggal 1 Maret 1949 bukan pada peristiwa yang terjadi tetapi siapa yang menjadi inisiator serangan tersebut. Pada era Orde Baru, nama Suharto mengemuka dalam hal ini. Akan tetapi tidak semua orang sepakat. Kontroversi muncul di era Reformasi (termasuk reformasi sejarah).

Kontroversi lainnya adalah kejadian-kejadian pada tanggal 19 Desember 1948, tanggal kapan militer Belanda melakukan pendudukan di Yogyakarta. Kontroversi yang terjadi bukan di kalangan Indonesia, tetapi di dunia internasional. Salah satu peristiwa yang terjadi pada tanggal 19 Maret bahkan membuat Dewan Kemanaan PBB marah besar dan meminta Kerajaan Belanda melakukan investigasi sesegera mungkin. Seperti kita lihat nanti, Kerajaan Belanda di Den Haag menggelar segera pengadilan darurat. Lantas kontroversinya dimana? Peristiwa yang dibicarakan dunia internasional ini tidak dimasukkan dalam sejarah Indonesia masa kini.

Dua peristiwa tanggal 19 Maret 1948 (yang disebut Agresi Militer Belanda II) dan tanggal 1 Maret 1949 (Serangan Umum oleh Republiken), faktanya dapat diikuti di dalam pemberitaan surat kabar hari demi hari. Dalam penulisan sejarah Indonesia, berita-berita ini dapat dianggap lebih otentik karena diberitakan apa adanya (belum masuk angin). Lalu seperti apa duduk perkaranya? Mari kita sarikan dari berita-berita di seputar tanggal tersebut: bad news, good news.

Kamis, 10 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (3): Nama Jalan Tempo Dulu di Yogyakarta, Malioboro Paling Tua; Kini Ada Nama Pajajaran dan Siliwangi


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Pada masa kini, di Yogyakarta terdapat nama jalan hampir 500 buah. Itu semua bermula dari tiga nama jalan: Residentie, Petjinan dan Malioboro. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kota, nama-nama jalan baru terus bertambah. Namun nama-nama jalan itu diubah sejak pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Hanya satu nama jalan yang tetap abadi, yakni Jalan Malioboro.
.
Peta Yogyakarta (1903)
Sementara nama jalan terus bertambah, soal penggantian nama jalan di Yogyakarta tidak hanya berhenti pada tahun 1950. Baru-baru ini terdapat enam nama jalan yang diganti dengan nama jalan yang baru, yakni: Majapahit, Pajajaran, Siliwangi, Brawijaya, Ahmad Yani dan Wirjono Prodjodikoro. Lantas mengapa nama-nama jalan Majapahit, Pajajaran, Siliwangi dan Brawijaya baru sekarang? Jawabnya: Karena di Kota Bandung dan Kota Surabaya juga ada pergantian nama jalan,

Mengapa tidak ada daftar nama jalan tempo dulu di Yogyakarta yang dapat dibaca pada masa ini? Tentu saja bukan karena tidak tersedia data. Masalahnya adalah tidak ada yang tertarik untuk menulisnya. Padahal nama-nama jalan tempo dulu adalah suksesi nama jalan masa kini. Nama jalan tempo dulu lahir berproses secara alamiah. Sifat alamiah ini adalah filosofi (karakter) awal tumbuhnya sebuah kota. Untuk itu mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 05 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (2): Sejarah Asal Usul Nama Jalan Malioboro di Yogyakarta; Nama Gedung, Penamaan Jalan Braga Bandung


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Nama jalan Malioboro di Yogyakarta, bukanlah nama jalan kuno, tetapi juga bukan nama jalan baru. Nama Jalan Malioboro sudah eksis di era kolonial Belanda. Nama jalan Malioboro tidak hanya terkenal di Yogyakarta tetapi di seluruh Indonesia. Hal ini juga di Bandung, nama jalan yang juga sangat dikenal yakni Jalan Braga. Hanya dua nama jalan ini di Indonesia yang tetap populer sejak era kolonial Belanda hingga masa kini.

Nama jalan adalah penanda navigasi di dalam kota. Nama jalan terkenal selalu menjadi starting point. Nama jalan terkenal yang sudah eksis sejak tempo doeloe kerap dijadikan sebagai heritage. Sebagaimana jalan Braga di Bandung, nama jalan Maliboro di Yogyakarta juga suatu heritage. Memang ada nama jalan di sejumlah tempat yang menjadi heritage, seperti Jembatan Merah di Surabaya, jalan Multatuli di Medan dan jalan  Kramat dan jalan Salemba di Jakarta. Namun nama jalan Braga dan nama jalan Malioboro memiliki daya tarik sendiri. Karena itu, sebagaimana jalan Braga di Bandung, nama jalan Malioboro selalu lebih populer dibanding nama-nama jalan lainnya.

Lantas bagaimana asal usul nama Malioboro di Yogyakarta? Pertanyaan ini memang penting, tetapi yang lebih penting adalah mangapa nama jalan tersebut, terusan jalan utara Kraton Yogyakarta, disebut nama Malioboro? Lalu mengapa kita tetap mengusutnya. Hal itu karena masih banyak yang bertanya-tanya. Artikel ini mendeskripsikan asal usul mengapa nama jalan di Yogyakarta disebut Malioboro.

Jumat, 04 Januari 2019

Sejarah Menjadi Indonesia (14): Sejarah Hoax, Hoaks Indonesia; Dari Era Kolonial Tempo Dulu Hingga Merdeka Masa Kini


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disin
 

Akhir-akhir ini, di era ‘medsos’ zaman now teknologi komunikasi dan informasi, hoax atau hoals (kabar bohong)  menjadi hal yang banyak dibicarakan tetapi mengandung potensi laten perdebatan dan bahkan perseteruan. Isu hoax di zaman now sudah bersifat global. Namun hoax bukanlah hal baru, bahkan sudah menjadi perilaku kuno, tetapi di era teknologi digital zaman bow, hoax menjadi menguntungkan di satu pihak tetapi menghancurkan di pihak lain. Sebab hoax masa kini, daya gelindingnya sangat luas mulai dari ibukota hingga desa-desa terpencil dan penetrasinya juga sangat lebar mulai dari pejabat publik hingga ke orang yang bersahaja buta huruf.

Kamus Belanda, 1863
Ada perbedaan mendasar hoax di era kolonial Belanda dengan era masa kini. Pada era masa kini, zaman now, ada kecenderungan hoax sebagai sesuatu yang tidak ada atau sesuatu yang belum terjadi, lalu diada-adakan atau dijadi-jadikan. Pada era kolonial Belanda, hal seperti itu jarang dikomunikasikan, Hoax pada era itu, kecenderungannya adalah sesuatu yang ada atau yang terjadi lalu dibesar-besar. Perbedaan skala dalam hal membesar-besarkan dari hal yang kecil mengindikasikan luasnya permasalahan yang ingin dicapai si pembuat hoax. Si pembuat hoax dalam hal ini bisa seorang pejabat Belanda, maupun seorang pemimpin lokal yang berseberangan. Perbedaan mendasar lainnya, pada era tempo doeloe, zaman old dengan era masa kini, zaman now adalah bahwa tempo doeloe si pembuat hoax dapat diidentifikasi siapa, paling tidak menyebut nama samaran yang dapat dilacak, sedangkan pada zaman now si pembuat hoax menyembunyikan diri (alibi).    

Lantas bagaimana hoax disikapi oleh semua penduduk Indonesia yang semakin metropolitan. Itu satu hal. Hal lain yang juga penting diperhatikan adalah bagaimana hoax tempo doeloe di Indonesia telah bertransformasi sedemikian rupa menjadi hoax jenis baru yang menakutkan seluruh ummat, Lalu bagaimana perbedaan hoax pada masa doeloe zaman old dengan hoax pada masa kini zaman now. Hoaks pada tempo doeloe era kolonial Belanda cenderung searah antara orang Belanda/Eropa dengan pribumi, antara penjajah dengan penduduk yang terjajah. Tentu saja ada hoaks dari para oknum zending.