Kamis, 26 Desember 2019

Sejarah Jakarta (68): Sejarah Pasar Baru, Kampong Noordwijk Menjadi Wijk Pasar Baroe; Komunitas India di Pasar Baru


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Namanya Pasar Baroe jelas pasar yang baru. Pasar lamanya adalah Pasar Senen. Pertanyaannya mengapa dibangun pasar yang baru di kawasan (area) Noordwijk sementara sudah ada pasar di area Weltevreden (Sebelumnya disebut Pasar Vinke atau Pasar Snees). Jarak antara Pasar Senen dengan Pasar Baroe tidak begitu jauh. Tentu saja ada sebabnya yang menjadi sejarah Pasar Baroe penting diketahui. Pada masa ini Pasar Baroe ini berada di kelurahan Pasar Baru, kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Pasar Baru (Peta 1860)
Pada tahun 1865 Residentie Batavia terdiri dari tujuh afdeeling (semacam kabupaten): Tangerang, Batavia, Weltevreden, Meester Cornelis, Tandjong, Tjibinoeng dan Buitenzorg  (lihat Dr. Hollander, 1869). Afdeeling Stad en voorsteden (Batavia dan Weltevreden) terdiri dari area-area Molenvliet; Noordwijk, Rijswijk, Batoe Toelis; Pasar Baroe, Parapattan, Tanah-abang, Weltevreden, Kramat, Struiswijk, Goenoeng Sari, Tanah Njonja. Jumlah penduduk sekitar 63.000 jiwa yang mana diantaranya terdapat sekitar 3.000 Europeanen en 17.000 Chinezen. Pada tahun 1900, Batavia (Afd. Stad en voorsteden: District Batavia dan District Weltevreden) terdiri dari enam onderdistrict, yakni: Manggabesar, Pendjaringan, Tandjong Priok, Gambir, Tanahabang dan Senen (lihat W. J. van Gorkom, 1912). Nama-nama kampong di onderdistrict Manggabesar adalah Klenteng, Kebondjeroek, Patjebokan, Sawah Besar, Djawa, Kroekoet, Petodjo Ilir, Petodjo Sawah, Doeri, Tanah Sreal, Tandjong Kramat, Angke, Djembatan 5 Koelon, Djembatan 5 Wetan, Blandongan dan Pintoe Besie.

Berdasar Sensus 1930 Sawah Besar dikategorikan sebagai kampong sementara Pasar Baroe dikategorikan sebagai wijk [lihat Alphabetisch Register van de Administratieve-(Bestuurs-) en Adatrechtelijk Indeeling van Nederlandsch-Indie. Deel I: Java en Madoera. Door W. F. Schoel. Landsdrukkerij, Batavia, 1931].

Rabu, 25 Desember 2019

Sejarah Menjadi Indonesia (28): Organisasi Mahasiswa Indonesia; Indische Vereeniging (1908) Hingga Dewan Mahasiswa UI (1952)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
 

Organisasi mahasiswa telah memainkan peran yang sangat berarti dalam tiga fase: (1) Gerakan keabangsaan dalam pembentukan Indonesia hingga merdeka (1908-1945). Organisasi mahasiswa juga terus aktif mempertahankan kemerdekaan Indonesia (1947-1949). Organisasi mahasiswa tetap aktif mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa (1952-1953). Tiga fase ini bersifat continuum.

Sejarah Organisasi Mahasiswa Indonesia, 1908-1952
Organisasi mahasiswa pertama Indonesia dengan nama Indische Vereeniging  didirikan pada tahun 1908 di Leiden, Belanda. Organisasi ini digagas dan dipimpin oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan. Organisasi ini tetap eksis yang diantara pemimpinnya yang terkenal antara lain Dr. Soetomo (1921), Mohamad Hattta (1924) dan Parlindungan Lubis (1938). Pimpinan terakhir pada tahun 1945 adalah FKN Harahap. Pada perang kemerdekaan Indonesia terbentuk dua organisasi mahasiswa. Di Jogjakarta didirikan organisasi Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) yang dipimpin oleh Lafran Pane dan di Djakarta dibentuk organisasi Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia (PMUI) yang dipimpin oleh Ida Nasution. Lalu pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda dalam rangka untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa pada tahun 1952 didirikan dewan mahasiswa Universitas Indonesia di dua wilayah: Di Djakarta ketua terpilih adalah Widjojo Nitisastro (dari fakultas ekonomi) dan di Bandung ketua terpilih adalah Januar Hakim Harahap (dari fakultas teknik). Pada tahun 1953 ketua dewan mahasiswa Akademi Wartawan, AM Hoetasoehoet diangkat menjadi ketua Panitia Peringatan Sumpah Pemuda di Djakarta.

Kesinambungan organisasi-organisasi mahasiswa sejak pembentukannya yang pertama menunjukkan peran mahsiswa cukup besar mulai dari membangunan kesadaran bebangsa, aktif dalam pergerakan politik hingga ikut berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan. Bagaimana organisasi-organisasi mahasiswa ini terbentuk menarik untuk diketahui. Tentu saja juga menarik untuk mengetahui mengapa semua inisiator organisasi mahasiswa (Soetan Casajangan, Lafran Pane, Ida Nasution dan Januar Hakim Harahap) berasal dari Kota Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan)? Untuk tidak lupa sejarah organisasi mahasiswa Indonesia, mari kita telusuri sumber-sumber (tertulis) tempo doeloe.

Selasa, 24 Desember 2019

Sejarah Jakarta (67): Sejarah Pacenongan, Awalnya Bernama Moordenaarslaan (Gang Pembunuh); Pusat Percetakan Tempo Dulu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Di Jakarta, dekat Monas terdapat satu kawasan (area) yang disebut Pacenongan. Kawasan Pacenongan ini berpusat di Jalan Pacenongan. Dengan memperhatikan namanya, kawasan ini dapat dibilang sebagai kawasan tertua di Indonesia. Kawasan ini awalnya disebut kawasan para Pembunuh (Moordenaars), namun dalam perkembangannya diperhalus menjadi hanya Pacenongan. Apa arti pacenongan? Kita lihat nanti.

Javasche courant, 21-08-1841
Pada awal pemerintahan Hindia Belanda Jalan Pacenongan adalah batas wijk (kelurahan) yakni Wijk 19. Wijk 19 meliputi area yang dibatasi oleh kanal Riswijk di selatan, jalan Molenvliet di barat, jalan Prinsen di utara dan jalan Moordenaars di timur. Dengan memperhatikan peta masa kini, Wijk 19 ini termasuk kawasan Sawah Besar, kampong halaman Ridwan Saidi. Apakah Ridwan Saidi mengetahui riwayat ini?  

Tentu saja sejauh ini sejarah Pacenongan belum pernah ditulis. Oleh karena di Pacenongan tempo doeloe terdapat situs-situs penting dan kejadian-kejadian penting, maka oada ini hari perlu kiranya didokumentasikan kembali agar tidak gagal paham tentang Kawsan Pacenongan. Untuk memahami sejarah Paconangan lebih jauh, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 23 Desember 2019

Sejarah Jakarta (66): Jalan Lautze, Doeloe Namanya Chinese Kerkweg (Jln Klenteng); Siapa Lautze, Mengapa Ada Masjid Lautze


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Di Jakarta ada namanya jalan Luutze. Nama jalan ini unik karena tidak ada di kota lain. Nama Lautze ditabalkan sebagai nama jalan untuk menggantikan Chinese Kerkweg terjadi pada tahun 1950 (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 17-10-1950). Ruas jalan Lautze ini berada di antara jalan Taman Sari dan jalan Kartini di Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Java-bode, 17-10-1950
Di Bandung ada namanya jalan Pasteur, tidak ada di tempat lain. Di Medan ada jalan Multatuli. Di Surabaya, di Semarang dan di Jogjakarta tidak ada nama siapa-siapa. Ini menunjukkan setiap kota memiliki caranya sendiri-sendiri memandang sejarah masa lampaunya dan sadar menabalkan nama jalan untuk memberi inspirasi ke masa depan. Di Semarang dan Soerabaua nama-nama jalan berbau Belanda dan Cina telah dihapus. Di Jogjakarta tidak ada yang dihapus karena dari doeloe memang tidak ada yang berbau Belanda dan Cina.

Apa hebatnya Lautze sehingga harus ditabalkan menjadi nama jalan menggantikan Chinese Kerkweg? Itu die pertanyaannya. Lantas siapa Lautze? Satu yang terpenting pada masa ini di jalan Lautze terdapat masjid Tionghoa yang diberi nama masjid Lautze. Masjid ini unik karena berbau Tionghoa. Nah, utuk menghindari gagal paham, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Jakarta (65):' Kali Gresik' Menteng Bukan Sungai; Selokan Drainase Eks Jalur Rel Kereta Api yang Membuat Gagal Paham


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Di Menteng tidak ada Kali Gresik, yang ada adalah Kali Cideng. Lho, kok! Sungai atau kali secara alamiah mengalir dari arah hulu (atas) ke hilir (bawah) seperti Kali Cideng. Kali Gresik di Menteng arahnya melintang. Kali Cideng berhulu di Depok (atas) dan bermuara ke Kali Kroekoet (bawah). Lantas, Kali Gresik berhulu dimana? Nah, lho! Pertanyaan ini membuat kita gagal paham.

'Kali Gresik' di Menteng (Old en Now)
Air mengalir yang arahnya melintang di Jakarta cukup banyak. Yang paling besar adalah Banjir Kanal Barat, suatu kanal pengendali banjir (sungai Ciliwung) yang dialirkan ke arah barat. Kanal ini dibangun pada tahun 1918. Pada masa ini pasangan Banjir Kanal Barat adalah Banjir Kanal Timur (BKT). Dalam konstruksi BKT diintegrasikan dengan Kalimalang. Seperti halnya Kali Gresik, Kalimalang juga bukan sungai karena arahnya juga melintang. Ringkasnya: jika bukan sungai (secara alamiah bersumber dari mata air) berarti yang dimaksud adalah kanal (secara buatan yang bersumber dari sungai). Jadi, Kali Gresik adalah selokan atau kanal, namun bukan kanal pengendali banjir, tetapi kanal drainase. Sedangkan kanal Kalimalang dibangun tidak hanya untuk tujuan pengendali banjir, tetapi juga untuk kebutuhan irigasi (sawah) dan kebutuhan air bersih. Kanal Kalimalang bersumber dari sungai Citarum (di Purwakarta). Untuk sekadar catatnn: Kanal Kalimalang tidak ditulis sebagai Kali Malang, sebab Kalimalang adalah singkatan dari (Kali) Bekasi dan Setu (Malang).    

Yang disebut Kali Gresik di Menteng yang berada diantara Jalan Sutan Syahrir (dulu disebut Madoeraweg) dan Jalan Mohamad Yamin (dulu disebut Greiseeweg), pada awalya adalah lintasan jalur kereta api (Paseban-Tanah Abang). Jalur ini dilikuidasi sehubungan dengan dibangunnya jalur kereta api sejajar Banjir Kanal Barat tahun 1921. Eks jalur kereta api di jantung Perumahan Menteng inilah kemudian dibangun kanal drainase. Kanal drainase yang kini disebut salah kaprah sebagai Kali Gresik sangatlah lebar dan tetapi pendek, Lalu untuk membuat lingkungan (perumahan) Menteng terkesan indah, diperlukan sumber air baru untuk mengaliri kanal agar tampak bersih. Bagaiamana itu semua terjadi? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 21 Desember 2019

Sejarah Jakarta (64): Sejarah Sawah Besar, Kampung Ridwan Saidi; Baheula di Pinggir Kali Ciliwung, Kini Lintasan Kereta Api


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Sawah Besar, dari namanya, tidak hanya soal sawah yang sangat luas, tetapi juga tergolong area yang terbilang relatif masih baru (sawah luas terbentuk karena dibangunnya irigasi). Menurut Ridwan Saidi di area inilah beliau dilahirkan. Dalam bahasa sekarang: ‘Anak Sawah Besar’. Kini, area sawah yang luas itu berada di tengah kota yang sangat sibuk dan padat penduduknya, Begitu padatnya wilayah area Sawah Besar, lintasan rel kereta api harus diangkat ke atas (menjadi jalur layang kereta) dan mulai dioperasikan pada pertengahan tahun 1992.

Area Sawah Besar (Peta 1682)
Pada era kolonial Belanda nama area Sawah Besar ditabalkan menjadi nama onderdistrict. Pada era Republik Indonesia, onderdistrict Sawah Besar ditabalkan sebagai nama kecamatan di wilayah Jakarta Pusat. Salah satu nama kelurahan di kecamatan Sawah Besar adalah Karang Anyar dimana saya pernah memimpin survei rumahtangga pada tahun 1997 dan 1999 (dalam rangka mengumpulkan data untuk analisis pengukuran dampak krisis ekonomi). Saya sendiri ketika itu masih tinggal di Sawo Kecik. Begitu cintanya Ridwan Saidi terhadap kampong halamannya di Sawah Besar, dengan sepenuh hati beliau telah menulis sejarah Sawah Besar tahun 2011 dengan judul: ‘Riwayat Sawah Besar’. Sayang saya tidak bisa mengakses buku tersebut ketika menulis artikel ini.

Satu hal yang paling menarik dari warisan sejarah masa lalu adalah bahwa tempo doeloe (baheula) di tengah area yang menjadi sawah luas itu (terbentuknya kampong Sawah Besar) mengalir kali Ciluwung, air yang tenang tetapi menhanyutkan. Untuk mewujudkan perluasan kota, mengedalikan banjir dan mengoptimalkan pengaturan ketinggian air di pelabuhan (yang berpusat di Kali Besar) lalu ruas sungai Tjiliwong antara benteng Noordwijk (kini stasion Juanda) dan Manggadoea (kini stasion Mangga Dua) ‘dilikuidasi’. Lalu pada tahun 1869 di bekas kali Tjiliwong itu dibangnn rel kereta api (ruas stasion Juanda dan stasion Mangga Dua). Bagaimana itu semua terjadi dan terhubung? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.