Kamis, 22 April 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (51): Rupa Bumi Berubah; Memorylapse Peta Zaman Kuno hingga Timelapse Google Earth Zaman Now

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini  

Untuk memahami sejarah, tidak cukup hanya teks atau benda berdasarkan sumber-sumber lama dari zaman kuno seperti surat kabar, majalah, peta dan foto atau benda-benda purbakala atau benda-benda historis lainnya. Teknologi masa kini juga dapat digunakan sebagai sarana untuk mendapat data (dan fakta baru) tentang suatu aspek yang dihubungkan dengan kejadian yang bersifat historis. Itulah analisis sejarah masa kini, narasi sejarah yang membutuhkan banyak data dan banyak sumber apapun teknologinya (mulai dari teknologi megalitikum hingga teknologi digital zaman Now). Para peneliti di Google belakangan ini sudah mulai memperkenal Timelapse Google Earth.

Dalam analisis sejarah, adakalanya pertanyaan muncul namun sulit mendapatkan data pendukung. Kejadian ini disebut memorylapse. Oleh karena data yang dibutuhkan sangat penting, nama data yang tersedia di msa lampau tidak ada maka diperlukan data alternatif. Meski penggunaan data alternatif ini sangat terbatas untuk aspek tertentu, tetapi jika dimanfaatkan secara maksimal untuk aspek yang tepat sangatlah berguna. Dalam penulisan artikel di dalam blog ini saya kerap menggunakan data alternatif. Misalnya membandingkan peta zaman kuno (era Portugis dan era VOC) dengan situasi dan kondisi sekarang saya memerlukan data satelit (digital) googlemaps. Tentu saja kini ada data googleearth yang lebih baik. Sebelumnya, saya juga kerap membangidngkan data teks (deskripsi) dengan data-data yang dihasilkan zaman Now berupa video-video yang diupload di Youtube, apakah hasil pemotretan, atudio-visul maupun yang terbaru data yang direkam dengan teknologi drone. Semua yang disebut yang terakhir bersifat data alternatif, tidak berdiri sendiri memang tetapi harus disandingkan dengan data lama zaman doeloe. Praktek inilah yang diperkenalkan para peneliti google sebagai Timelapse Google Earth.

Lantas bagaimana sejarah rupa bumi Indonesia? Yang jelas sebelum era staelit (teknologi digital) kita hanya tergantung pada peta-peta yang berhasil dikumpulkan. Semakin banyak peta (dan versinya) semakin baik untuk membangun akurasi (data yang lebih valid). Satu hal yang pasti dalam sejarah rupa bumi Indonesia telah banyak berubah sejak era VOC (yang dapat diperbandingkan dengan masa kini). Masih banyak penulis-penulis masa kini yang berasumsi kota Palembang berada di daerah aliran sungai Musi pada zaman kuno, tetapi dengan bantuan data satelit bisa diinterpretasi justru berada di pantai. Hal serupa juga dengan wilayah kota Jakarta yang sekarang, jangan bayangkan itu dari zaman kuno sebagai daratan. Dalam hal inilah arti penting memorylapse dan timelapse. Nah, untuk lebih memahami sejarah Indonesia, seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional hingga terbentuk Indonesia masa kini, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe dan sumber-sumber zaman Now.

Rabu, 21 April 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (50): Kamus Sejarah Indonesia, Seberapa Lengkap dan Akurat; Jangan Sampai Ada Terlewatkan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini 

Beberapa hari ini heboh soal buku Kamus Sejarah Indonesia. Apa pasal? Nama Hasyim Asy'ari, tokoh NU tidak ada dalam konteks yang proporsional (dalam berbagai laman). Bahkan nama (presiden) Soekarno juga tidak ada. Padahal bukunya berjudul kamus tentang sejarah Indonesia. Celakanya, buku ini sudah dicetak dan didistribusikan (sudah bisa dibaca publik). Heboh ini lalu ditanggapi oleh berbagai pihak termasuk dari kementerian (Pendidikan dan Kebudayaan). Satu alasan yang disebutkan tidak adanya nama tokoh Hasyim Asy'ari karena buku itu masih (bersifat) draf. Tapi, anehnya draft yang belum final sudah dipublikasikan. Kacau!

Sejarah ‘Kamus Sejarah Indonesia’ sebenarnya sudah beberapa buku ditulis pada era Pemerintah Hindia Belanda dalam berbagai versi yang dikemas sebagai kamus geografi, kamus sejarah dan sebagainya. Tentu saja dalam kamus-kamus era Hindia Belanda itu lebih menonjol peran orang-orang Belanda daripada orang-orang pribumi. Meski demikian, buku-buku itu, meski minim narasinya, tetapi juga mencatat nama-nama pribumi yang pernah berselisih atau secara terang-terangan melawan pemerintah VOC maupun Pemerintah Hindia Belanda. Buku ‘Kamus Sejarah Indonesia’ yang kini dipersoalkan, pada era Republik Indonesia, baru kali ini ditulis, sebagai buku pertama. Namun seperti disebut di atas, buku ‘Kamus Sejarah Indonesia’ menjadi heboh.

Lantas bagaimana sejarah ‘Kamus Sejarah Indonesia’ versi era Pemerintah Hindia Belanda? Nah, seperti disebut di atas, sejarah ‘Kamus Sejarah Indonesia’ yang menjadi heboh, lalu seperti apa sejarah penulisan buku atau kamus sejarah pada era Pemerintah Hindia Belanda. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Filipina (14): Sejarah Awal Agama di Hindia Timur; Islam, Katolik di Filipina, di Manado Katolik Digantikan Protestan?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Filipina dalam blog ini Klik Disini 

Penyebaran agama-agama besar (dunia) terjadi di seluruh penjuru bumi. Itu terjadi sejak zaman kuno. Agama Hindoe dan agama Boedha oleh pedagang-pedagang India diperkenalkan di Hindia Timur yang menggantikan agama atau kepecayaan penduduk asli (animisme dan dinamisme). Sejak kehadiran pedagang-pedagang Islam (Arab, Persia, Moor, Tiongkok) penganut agama Hindoe dan agama Boedha berkurang drastis. Dapat di bilang penganut agama Hindoe yang tersisa di Hindia Timur (terbatas) di Bali. Lalu kemudian sejak kehadiran pelaut-pelaut Eropa (Portgus dan Spanyol) penduduk yang masih pagan menjadi Katolik (penyiar Agama Islam juga masih bekerja untuk penduduk yang masih pagan). Lalu agama Protestan (sejak era VOC) para misionaris Belanda dan belakangan Jerman sangat aktif menyiarkan agama Protestan.

Pada masa ini penduduk Indonesia yang berjumlah 270 Juta jiwa yang beragama Islam sebesar 86, 7 petrsen. Sebesar 7.6 persen agama Protestan terkonsentrasi di Tapanuli, Minahasa, Maluku bagian selatan dan Papua dan agama Katolig sebesar 3,1 persen terkonsentrasi di Nusa Tenggara Timur dan Pupua. Agama lainnya masing-masing kurang dari satu persen. Filipina yang berjumlah penduduk 100 Juta jiwa sebesar 79.5 persen menganut agama Katolik, sebanyak 9.1 persen Protestan dan agama Islam sebesar 6,1 persen. Penganut agama Islam di Filipina terkonsentrasi di provinsi-provinsi Bangsa Moro (pulau Mindanao sebelah barat dan pulau-pulau di barat daya dekat Indonesia dan Sabah (Malaysia). Di Timor Leste (bagian timur Pulau Timor) berjumlah penduduk sebanyak 1.2 Juta jiwa yang mana sebesar 97.6 persen agama Katolik. Tetangga negara kecil ini yakni provinsi Nusa Tenggara Timur (Indonesia) memiliki jumlah penduduk sebanyak 5.3 Juta jiwa yang mana penganut agama Katolik sebesar 53,6 persen, agama Protestan sebesar 36,2 persen dan agama Isla sebesar 9,5 persen.

Lantas bagaimana sejarah awal penyebaran agama di Filipina? Tentu saja sudah ada yang menulis, namun sejauh data baru ditemukan narasi sejarah awal agama di Filipina perlu diperkaya. Yang jelas bahwa sebelum masuknya agama Katolik di Filipina, sebagian penduduk asli sudah beragama Islam (dan masih banyak yang pagan). Agama Protestan juga menysul ke Filipina. Sementara di wilayah tetangganya (Residentie Manado) awalnya sudah ada penduduk yang beragama Katolik, tetapi kemudian beralih menjadi Protestan. Mengapa? Lalu mengapa perkembangan agama Islam di Filipina hanya terbatas di provinsi-provinsi Bangsa Moro? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Filipina (13): Bahasa Tagalog dan Lingua Franca Nusantara (Bahasa Melayu); Bahasa Tagalog Jadi Bahasa Resmi Filipina

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Filipina dalam blog ini Klik Disini 

Di Hindia Timur seperti di Indonesia dan Filipina eksis berbagai bahasa. Penutur bahasa Jawa terbanyak di Indonesia dan bahasa Tagalog di Filipina. Namun yang menjadi lingua franca di Hindia Timur (Indonesia, Malaysia dan Filipina), terutama awalnya dalam dunia navigasi pelayaran (perdagangan) adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia yang sekarang. Sedangkan lingua franca di Filipina yang awalnya bahasa Melayu bergeser menjadi Bahasa Tagalog (kini lebih dikenal sebagai bahasa Filipino). Mengapa bisa?

Sejak zaman kuno, sudah terbentuk berbagai bahasa di Hindia Timur. Sehubungan dengan kehadiran pedagang-pedagang India (pada era Hindoe-Boedha) yang menjadi lingua franca adalah bahasa Sanskerta. Penggunaan bahasa Sanskerta ini dapat diperhatikan pada berbagai prasasti, seperti prasasti Kedukan Bukit (682 M). Lalu bahasa Sanskerta ini terus berkembang (seiring dengan penyerapan bahasa lainnya), maka lingua franca ini digunakan di berbagai kota pelabuhan seperti di Tapanuli (Barus), di Atjeh (Pasai) di Semenanjung Malaya (Malaka), di Palembang, Banten, Demak, Banjarmasin, Makassar, Ternate, Amboina, Brunai, Manado, Mindanao, Manila dan sebagainya. Penggunaan lingua franca ini mencapai Madagaskar di barat, Makao di utara, Papua di timur dan Maori (Selandia Baru) di selatan. Wilayah-wilayah atau kota-kota yang tidak memiliki bahasa sendiri (atau awalnya memiliki tetapi tergerus oleh lingua franca), bahasa lingua franca ini disebut Bahasa Melayu. Bahasa Melayu menjadi bahasa internasional (ibarat bahasa Inggris masa kini). Sebagai bahasa internasional, banyak kosa kata bahasa Melayu diserap ke dalam bahasa etnik seperti bahasa Jawa dan bahasa Batak. Baru dalam perkembangannya masuk unsur bahasa asing dari Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris) ke dalam bahasa Melayu yang menjadi cikal bahasa Indonesia (sejak diproklamirkan tahun 1928). Pada masa kini, selain bahasa asing, bahasa-bahasa etnik juga banyak diserap ke dalam bahasa Indonesia.

Sejarah bahasa Tagalog menjadi lingua franca di Filipina pada masa ini tentulah sangat menarik diperhatikan. Sebab mengapa lingua franca bahasa Melayu menghilang (terdegradasi) di Filipina, yang lalu kemudian muncul (promosi) bahasa Tagalog. Yang jelas bahasa Melayu menjadi bahasa resmi (dan juga bahasa nasional) di Brunai dan Federasi (negara) Malaysia. Sedangkan di Filipina yang menjadi bahasa resmi tidak hanya bahasa Filipino tetapi juga bahasa Inggris. Lain lagi di Singapoera, bahasa resmi adalah Inggris, Melayu, Mandarin dan Tamil tetapi yang diakui sebagai bahasa nasional adalah bahasa Melayu. Lain pula di Timor Leste yang sekarang, bahasa resmi bahasa Tetum dan Portugis (mirip dengan di Filipina). Lalu apa yang menyebabkan bahasa Tagalog sebagai bahasa resmi di Filipina? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 20 April 2021

Sejarah Filipina (12): Etnik Aeta, Penduduk Asli Manila Mirip Etnik Batak Pulau Panay, Pulau Palawan; Asal Usul dari Tanah Batak?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Filipina dalam blog ini Klik Disini 

Dalam sejarah zaman kuno, banyak pertanyaan yang sulit dijawab? Sebab data yang tersedia sangat minim. Okelah itu satu hal. Namun keterbatasan data masa lampau dapat digunakan data masa kini. Proses memahami masa lampau berdasarkan data masa kini disebut pendekatan retrospektif. Data masa lalu digabung dengan data masa kini (data retrospektif) diharapkan dapat lebih memperkaya pemahaman. Dalam hal ini pemahaman (understanding) tentang penduduk asli Filipina.

Ada yang menulis bahwa penduduk asli Filipina adalah penduduk asli Aeta di teluk Manila, pulau Luzon. Tapi itu sangat naif, karena Filipinan terdiri dari banyak pulau. Pulau-pulau besar di Filipina, selain pulau Luzon adalah pulau Mindanao, pulau Panay, pulau Mindoro dan pulau Palawan serta pula Zebu. Hal serupa itu juga di Indonesia adalah pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Oleh  karena penduduk asli ada di berbagai pulau-pulau di Hindia Timur (Indonesia dan Filipina), tetapi tidak dengan sendirinya penduduk asli Aeta di teluk Manila (dan juga penduduk Betawi di teluk Jakarta) sebagai penduduk asli Filipina dan penduduk asli Indonesia yang paling tua. Yang jelas penduduk asli Indonesia yang berbahasa Melayu dapat dianggap penduduk muda, karena komunitasnya cenderuung di kota-kota pantai dan komunitas penduduk di pantai cenderung bersifat bauran (mix population).

Lantas bagaimana sejarah awal etnik Aeta, yang kerap disebut penduduk asli di teluk Manila? Penduduk asli Aeta dalam berbagai tulisan antropologis disebut mirip etnik Batak, penduduk asli pulau Palawan dan di pulau Panay. Lalu, dari namanya, apakah etnik Aeta dan etnik Batak di Filipina memiliki asal usul dari Tanah Batak di pulau Sumatra? Dalam hal inilah data zaman kuno dapat digabungkan dengan data masa kini (data retrospektif) untuk digunakan memahaminya. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Filipina (11): Danau Lanao, Danau Laguna di Filipina, Seberapa Penting Danau Zaman Kuno? Danau Siais, Toba di Tapanuli

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Filipina dalam blog ini Klik Disini

Pada zaman kuno, dalam navigasi pelayaran di laut hanya penting nama-nama geografis seperti nama pulau, nama (muara) sungai dan nama tempat. Nama tanjung dan nama teluk serta nama selat baru penting setelah kehadiran pelaut-pelaut Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris). Pada zaman kuno era Hindoe Boedha, nama-nama geografis di daratan mulai dianggap penting seperti nama gunung dan nama danau. Di pulau Jawa tidak banyak danau tetapi banyak gunung. Danau banyak ditemukan di Sumatra, Semenanjung dan Celebes dan pulau-pulau kecil seperti di kepulauan Soenda Kecil (Nuisa Tenggara), Maluku dan Filipinan. Danau besar di Filipina yang sekarang terdapat provinsi Lanao del Sur di pulau Mindanao yang diberi nama danau Lanao.

Di pulau-pulau di Filipina sangat banyak danau. Dua danau terbesar di Filipina adalah danao Lanao di pulau Mindanao dan danau Laguna de Bay di pulau Luzon. Danau besar lainnya adalah danau (tasik) Taal di Bulkang Taal, Talisay; Danau Kayangan di pulau  Coron, Calamian, Palawan; danau Pinatubo di Botolan, provinsi Zambeles; Danau Laguna de Bay berada di provinsi Laguna Timur, Metro Manila.  Air dari danau Laguna de Bay mengalir ke teluk Manila melalui sungai Pasig. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau yang diberi nama pulau Talim. Disebutkan beberapa waktu yang lalu di kawasan danau ini terdapat prasasti lempeng tembaga yang mana penanggalan yang tertera menunjukkan tahun 822 Saka atau 900 M. Prasasti ini memakai bahasa Melayu Kuna walaupun banyak kata-kata dari bahasa Sanskerta, bahasa Jawa Kuna, dan bahasa Tagalog Kuna serta ditulis dengan aksara Kawi. Danau Laguna de Bay adalah danau terbesar kedua di Asia Tenggara setelah danau Toba di Tapanuli (Sumatra).

Lantas bagaimana sejarah danau-danau utama di Filipina? Tentu saja topik ini tidak pernah ditulis. Mengapa? Pertanyaan inilah yang akan dijawab melalui penelusuran data di dalam berbagai sumber. Namun yang pasti, seperti disebut di atas dua nama danau terpenting di Filipina adalah danau Laguna di pulau Luzon dan danau Lanao di pulau Mindanao. Lalu bagaimana sejarah danau penting dalam sejarah awal Filipina? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.