*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini
Beberapa hari ini heboh soal buku Kamus Sejarah Indonesia. Apa pasal? Nama Hasyim Asy'ari, tokoh NU tidak ada dalam konteks yang proporsional (dalam berbagai laman). Bahkan nama (presiden) Soekarno juga tidak ada. Padahal bukunya berjudul kamus tentang sejarah Indonesia. Celakanya, buku ini sudah dicetak dan didistribusikan (sudah bisa dibaca publik). Heboh ini lalu ditanggapi oleh berbagai pihak termasuk dari kementerian (Pendidikan dan Kebudayaan). Satu alasan yang disebutkan tidak adanya nama tokoh Hasyim Asy'ari karena buku itu masih (bersifat) draf. Tapi, anehnya draft yang belum final sudah dipublikasikan. Kacau!
Lantas bagaimana sejarah ‘Kamus Sejarah Indonesia’ versi era Pemerintah Hindia Belanda? Nah, seperti disebut di atas, sejarah ‘Kamus Sejarah Indonesia’ yang menjadi heboh, lalu seperti apa sejarah penulisan buku atau kamus sejarah pada era Pemerintah Hindia Belanda. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*
Kamus Sejarah Indonesia: Era Pemerintah Hindia Belanda dan Era Pemerintah Republik Indonesia
Soal urusan tulis-menulis tentang topik Indonesia (baca: Hindia Timur dan Hindia Belanda), orang Portugis termasuk pionir, tetapi dalam perkembangannya penulis-penulis Inggris sangat menonjol dan banyak jumlahnya. Penulis-penulis Belanda pada era Pemerintah Hindia Belanda sangat terpesona dan juga galau terhadap sukses para penulis Inggris. Penulis-penulis Belanda terpesona kepada penulis-penulis Inggris karena banyak informasi yang dimanfaatkan oleh penulis-penulis Belanda, rasa galau muncul karena yang menulis Hindia Timur (Hindia Belanda) justru, yang seharusnya orang Belanda sendiri, malah yang aktif menulisnya adalah orang-orang Inggris. Namun sebelum muncul penulis-penulis Inggris sudah ada beberapa penulis Belanda pada era VOC).
Sejak kehadiran orang Eropa (Portugis dan Spanyol) di Hindia Timur (baca: Indonesia), penulis-penulis Portugus segera mengambil bagian dalam penulisan sejarahh Hindia Timur, sebut saja para pionir Tome Pires (1518), Barbosa dan Mendes Pinto (1537). Sejak wilayah Hindia Timur hampir semua dikuasai VOC (minus pulau Timor bagian timur, kini Timor Leste) dan setelah VOC menaklukkan Portugis di Malaka (1642), tidak ada lagi orang Portugis yang menulis Hindia Timur. Namun, orang Belanda meski belum menulis Hindia Timur, tetapi orang Belanda dengan sangat sadar menulis apapun yang terjadi di Hindia Timur dalam bentuk catatan harian (daghregister) di Kasteel Batavia yang dimulai tahun 1659. Seiring dengan tersenggaranya Daghregister, orang-orang Belanda baru mulai membuka mata dengan hadirnya sang pionir di Amboina, Georg Eberhard Rumphius tahun 1662. Perang Gowa antara VOC dan Soeltan Hasanoeddin 1667 juga menjadi perhatian Rumphius. Oleh karena Rumphius bermasalah dengan matanya (menjadi buta) posisinya digantikan oleh penulis muda Saint Martin (di Batavia). Namun Saint Martin yang juga pasih berbahasa Melayu ini berumur pendek meninggal muda pada tahun 1694. Untuk meneruskan tugas kedua pionir tersebut selanjutnya digantikan oleh Cornelis Chastelein (di Depok).
Riwayat Georg Eberhard Rumphius di Ambon begitu penting bagi orang-orang Belanda dalam penulisan Hindia Timur pada era VOC. Hal ini karena Georg Eberhard Rumphius adalah pionir, setelah berakhirnya era Portugis. Setelah meninggal Georg Eberhard Rumphius (1702) di Ambon muncul penulis brillian bernaa Francis Valentijn, yang besar dugaan terisnpirasi dari kerja Georg Eberhard Rumphius (mereka masih sempat hidup tahun-tahun yang sama di Ambonia).
Satu keutamaan dari Francis Valentijn adalah orang Belanda pertama di era VOC yang memanfaatkan tulisan-tulisan Portugis di era Portugis, Francis Valentijn juga adalah orang Belanda pertama yang memanfaatkan data Daghregister di Kasteel Batavia. Tentu saja Francis Valentijn atas biaya pemerintah VOC banyak melakukan perjalanan ke berbagai wilayah di Hindia Timur untuk mengumpulkan data, observasi dan wawancara. Seperti Georg Eberhard Rumphius, Saint Martin dan Cornelis Chastelein yang berhasil menulis buku tujuh volume, Francis Valentijn juga menghasilkan buku dua jilid yang diterbitkan pada tahun 1626. Buku ini dapat dikatakan sangat spektakuler. Saya sendiri banyak mengutip buku ini dalam berbagai artikel pada blog ini. Namun tidak lama bukunya terbit, Francis Valentijn dikabarkan meninggal tahun 1727. Catatan: Cornelis Chatelein meninggal tahun 1714; Daghregister telah disimpan, meski banyak lembar yang hilang (rusak dan tercecer) namun catatan harian itu menjadi semacam log terbaik di zaman kuno; Sisa daghregister ini kini disimpan di Perpustakaan ANRI, lembar-lembar yang sangat kaya tentang data-data tentang Hindia Timur.
Tunggu deskripsi lengkanya
Buku atau Kamus Sejarah Indonesia Seberapa Lengkap dan Akurat: Jangan Sampai Ada Terlewatkan
Buku Francois Valentijn, sudah menjadi kuno, penulis-penulis Belanda tentang Hindia Timur belum lahir. Sementara penulis-penulis Inggris yang sudah sejak lama menghasilkan karya di India, pelan tapi pasti meluber ke Hindia Timur. Satu penulis Inggris yang muncul kali pertama adalah Charles Miller yang menyelidiki dan menulis tentang Hindia Timur (di Sumatra). Charles Miller bahkan berani memasuki pedalaman Sumatra di Angkola (kini Tapanuli Selatan) pada tahun 1772. Bersamaan dengan Charles Miller ini pemerintah kerajaan Inggris mengirim James Cook yang tidak hanya mengulas tentang laut selatan (Australia dan Pasifik) tetapi juga Hindia Timur. Buku James Cook diterbitkan dan beredar di Eropa pada tahun 1777. Lalu kemudian muncul penulis yang sangat pasih berbahasa Melayu, William Marsden, yang melakukan penyilidikan di Sumatra dengan bukunya yang terkenal The History of Sumatra yang edisi pertama terbit tahun 1781. Buku ini sangat detail.
Sejak kehadiran pelaut-pelaut Belanda di Hindia Timur tahun 1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman, sudah ada tulisan-tulisan kecil yang muncul, yang merupakan laporan perjalanan para admiral (pelaut-pelaut), bahkan laporan itu sudah ada sejak Cornelis de Houtman yang sudah dibukukan dan dijualbelikan di Eropa (Belanda). Ini adalah sumber sejarah Hindia Timur yang penting. Namun buku yang bersifat analitis baru muncul pada era Francois Valentijn.
Bersamaan dengan buku-buku tentang Hindia Timur yang ditulis oleh orang-orang Inggris, muncul gagasan sejumlah pegiat ilmu pengetahuan di Batavia untuk mendirikan lembaga ilmu pengetahuan tahun 1778. Lembaga ini disebut Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang diinisiasi oleh Radermacher yang kali pertama menerbitkan publikasi pada tahun 1779 (Deel I tentang seputar Batavia, hingga Soekaboemi).
Tulisan-tulisan Belanda berikutnya yang dipublikasikan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang menggambarkan Hindia Timur ditulis oleh Radermacher dengan terbitnya jilid kedua dan ketiga. Buku jilid kempat berjudul Korte beschrijving van Celebes, Floris, Sumbawa, Lombok en Balie (Deel IV, 1782). Namun jika melihat isinya masih jauh dari isi (kedalaman) buku-buku yang ditulis oleh penulis-penulis Inggris.
Penulis-penulis Inggris tentang Indonesia tidak pernah putus. Tulisan-tilisan mereka tentang Indonesia (baca; Hindia Timur) kualitas isinya terus meningkat. Bahkan setingkat pimpinan orang-orang Inggris menulis. Ketika Thomas Stamford Raffles diangkat pimpinan tertinggi di Indonesia sebagai Letnan Gubernur Jenderal (1811-1816) masih menghasilkan karya, suatu karya besar dengan judul The History of Java (ini mengingatkan kepada William Marsden yang menulis The History of Sumatra. Indonesia yang sudah dikembali ke pihak Belanda (1816), orang-orang Inggris masih tekun menulis tentang Indonesia, sebut saja misalnya John Anderson (1823). Kelak, penulis-penulis Inggris tentang Indonesia ditutupoleh Alfred Russel Wallace (yang kemudian baru menyusul penulis-penulis hebat Belanda tentang Indonesia).
Tunggu deskripsi lengkanya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar