Kota Padang adalah ibukota Provinsi Pantai
Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust). Kota Padang baru dikenal sebagai sebuah pos
perdagangan di era VOC (1660) dan baru tumbuh dan berkembang pada Pemerintah
Hindia Belanda (pasca Traktat London, 1824). Lalu pertumbuhan dan
perkembangannya semakin cepat pada saat Pantai Barat Sumatra ditetapkan sebagai
Provinsi dengan menaikkan status Residen yang berkedudukan di Kota Padang
menjadi Gubernur.
Monumen AV Michiels di Kota Padang (foto 1910) |
Perubahan administrasi pemerintahan di
Sumatra’s Westkust (Pantai Barat Sumatra) terjadi secara gradual sesuai dengan
perkembangan geopolitik dan penetapan suatu wilayah sebagai region ekonomi kolonial.
Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut berdampak langsung pada pasang surut
pertumbuhan dan perkembangan Kota Padang sebagai pusat pengembangsan sosial,
ekonomi dan budaya yang utama di Pantai Barat Sumatra. Sementara itu, perubahan
yang terjadi di Pantai Timur Sumatra (Sumatra’s Ooskust) juga memberi kejutan
terhadap dinamika perkembangan Kota Padang. Semakin intensnya industry
perkebunan kolonial di Sumatra Timur,
kota Padang secara perlahan perkembangannya melambat dan kemudian
tertinggal jauh dari Kota Medan, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi kolonial
yang baru. Dalam hubungan ini, sebagaimana agen-agen pembangunan dari
Tapanoeli, agen-agen pembangunan kota Padang juga melakukan eksodus ke Kota
Medan. Aset-aset pengusaha, baik orang-orang Eropa, Tionghoa atau pribumi juga
turut direlokasi dari Kota Padang ke Kota Medan.
Tiga tokoh utama yang berpengaruh dalam awal pemerintahan
di Province Sumatra’s Westkust yang secara langsung telah memberi pengaruh
besar pada awal pertumbuhan dan perkembangan Kota Padang adalah Gubernur
pertama Province Sumatra’s Westkust, Andreas Victor Michiels, Resident Pertama
Tapanoeli, Alexander van der Hart dan Asisten Residen Afdeeling Mandailing dan
Angkola, Alexander Philippus Godon.
Geopolitik di Pantai Barat Sumatra
Kesulitan Belanda (VOC) untuk melakukan ekspansi
ke pulau Sumatra adalah karena faktor Atjeh. Dalam buku ‘De nieuwe reisiger; of
Beschryving van de oude en nieuwe waerelt’ (1766) disebutkan sebagian besar
pulau Sumatra di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh (De Koning van Achem), Kota-kota
terkemuka yang berada dibawah pengaruhnya adalah Hooftstad, Pedir, Pacem, Dely,
Daya, Labou (Meulaboh), Cirkel (Singkel), Barros, Batahan, Paffaman (Air
Bangis?), Ticou, Priaman en Padang, Begitu besar kekuasaan kerajaan Atjeh ini
sehingga rajanya disebut Koning der Koningen (King of Kings).
Dari deretan nama-nama tersebut pada masa ini kota-kota
besar di Sumatra terdapat di Aceh (Hooftstad, Pedir, Pacem, Daya, Labou dan
Cirkel), di Tapanoeli (Barros, Batahan), Sumatra Barat (Paffaman, Ticou,
Priaman en Padang) dan Sumatra Timur (Dely).
Dalam buku ‘Hollands rijkdom, behelzende den
oorsprong van den koophandel, en van de magt van dezen staat’ (1780), Belanda
tidak mudah untuk melakukan kerjasama perdagangan dengan Atjeh. Namun demikian
Belanda masih bisa membangun maskapai di tempat yang terbatas di pantai timur
Sumatra seperti di Siak dan Palembang. Sejauh ini (tahun terbit buku) maskapai
(maschappij) yang masih mampu bertahan di pantai barat Sumatra adalah yang
berada di Padang yang meliputi pulau-pulau Chinko dan Banes. Komoditi
perdagangan terbesar Belanda (VOC) yang berbasis di Padang tersebut adalah benjouin
(kemenyan), emas dan campher.
Kemenyan dan kamper adalah produk alami yang bersumber di
Angkola dengan pelabuhan tradisional Baros via Loemoet. Emas adalah produk
alami di Mandailing yang diperdagangankan di Batahan dan produk alami di Pasaman
yang diperdagangkan di pelabuhan Pasaman (Air Bangis?).
Mengapa pelabuhan Padang masih bisa
dipertahankan di pantai barat Sumatra dapat dipahami karena secara geopolitik
dalam hubungannya dengan perdagangan Belanda pada waktu itu posisi strategis
kota Padang lebih aman jika dibandingkan kota-kota lain yang letaknya di arah
utara. Kota Padang secara spasial menjadi relatif lebih jauh dari Atjeh tetapi menjadi
relatif lebih dekat dengan Batavia. Padahal secara ekonomi, posisi pelabuhan
Padang tidak terlalu potensial.
Ibukota Pantai Barat Sumatra
Pantai barat Sumatra di bawah pengaruh Eropa
tampaknya telah silih berganti sejak 1644: Belanda, Inggris dan Perancis.
Posisi pelabuhan Padang lambat laun menjadi tidak tergantikan. Ketika Padang
berada dibawah kekuasaan Belanda, Inggris memperkuat kekuasaannya di Bengkulu
dan Tapanoeli (Telok Tapanoeli). Sementara kekuatan Perancis secara bertahap
diperlonggar dan akhirnya lebih memperkuat di Indo China. Belanda dan Inggris
terus saling mengancam hingga pada akhirnya terjadi Traktat London pada tahun
1824.
Keberadaan kota Padang di era VOC, bahkan sejak 1644,
hingga 1824 tetaplah sebagai post perdagangan. Suatu tempat dimana dibangun
gudang-gudang pengumpulan komoditi untuk diteruskan ke Eropa. Tempat ini hanya dilengkapi
dengan benteng (semacam brikade) dan garnisun di bawah komandan militer. Area
yang berada di muara sungai Batang Arau lebih mirip sebagai suatu benteng dari
pada sebuah kota. Pemerintahan juga tidak eksis, bahkan pemerintahan militer
sekalipun. Fungsi militer lebih pada upaya uantuk menjaga keamanan gudang dan
tidak melakukan upaya memperluas teritori (pertahanan territorial). Oleh
karenanya area post perdagangan tersebut tidak bisa dikatakan representai
sebuah kota (seperti halnya Batavia, Semarang dan Soerabaja).
Post perdagangan (pelabuhan) Padang
sesungguhnya baru muncul sebagai kota segera setelah perjanjian Traktat London
(1824). Hal ini terkait dengan ibukota pantai barat Sumatra yang dipilih adalah
Padang (bukan Bengkulu, yang baru ditinggalkan Inggris). Pilihan Padang sebagai
ibukota, secara historis merupakan koloni pertama Belanda di pantai barat
Sumatra (1644) dan secara spatial (ekonomi dan social) Padang berada di pangkal
jalur ekonomi tersibuk yang selama ini berada di bawah bayang-bayang kekuasaan
Kerajaan Atjeh (mulai dari Pulau Chinko hingga Singel).
Bentuk pemerintah yang dibentuk masih sangat
sederhana dan dilakukan secara bertahap dan dimulai dari Padang. Residen
pertama Sumatra’s Wetskust adalah Luitenant Kolonel AT Raаff. Pada tahun 1829
(lihat Almanak 1829) struktur pemerintahan di Pantai barat Sumatra sudah
semakin lengkap. Residen kedua Sumatra’s Westkust (Pantai Barat Sumatra) adalah
W. Mac Gilavrij. Residen dibantu dua asisten residen: Asisten Residen yang
merangkap sekretatis dan Asisten Residen Zuidelij Afdeeling yang berkedudukan
di Padang. Selain itu beberapa pejabat ditempatkan di Padang. Salah satu pejabat
khusus adalah pakhuismeester (yang berfungsi di bidang perdagangan). Untuk
menjaga keamanan territorial yang baru Civiel en Militair Komanndant ditempat
di Padangsche Bovenlanden (Padang Pandjang?), di Pariaman, di Agam dan di Air
Bangies. Di Pulau Chinco sendiri hanya menempatkan seorang posthouder (petugas
perdagangan). Untuk wilayah Bengkulu diangkat seorang Asisten Residen. Dalam
struktur pemerintahan yang baru ini tampak pemimpin lokal diangkat dan disertakan
di Bengukulu yakni Radja Daim Mabelah (hoofd regent di Bengkulu), Pangeran
Linggang (regent Soengia Lammoe) dan Pangeran Radja Chalippa (regent Soengia
Itam).
Regent dalam hal ini semacam Bupati di Jawa. Pada tahun
1829 di Preanger para bupati dimasukkan dalam struktur pemerintahan Hindia
Belanda yakni Bupati Bandoeng, Bupati Soekapoera (Garoet), Bupati Sumedang dan
Bupati Tjiandjoer. Bupati Bandoeng adalah hoofd regent.
Pada tahun 1830, selain di Bengkulu, juga
diangkat dan disertakan regent, yakni
Toeankoe Soetan Mansoer Alam Shah di Padang (hoofd regent), Soetan Alam
Bagagar Shah (regent van Pagar Roejoeng). Ini mengindikasikan bahwa di wilayah
masing-masing terdapat regent yakni Padangsche Benelanden dan Padangsch
Bovenlandan. Dua regent inilah yang di satu sisi akan memerintah bagi penduduk
pribumi dan di sisi lain untuk melayani pemerintah (dalam hal ini Residen).
Pada tahun 1830 ini juga wilayah pemerintahan diperluas
ke utara yakni dengan menempatkan masing-masing seorang posthouder di Natal, di
Tapanoeli (Sibolga) dan di Poelo Batoe serta seorang Civiel Commandant di Aijer Bangies
Dengan terbentuknya pemerintah Hindia Belanda
di Pantai Barat Sumatra yang beribukota di Padang, maka kota Padang lambat laun
tumbuh dan berkembang menjadi suatu kota. Benar-benar kota. Kota tumbuh dan
berkembang dari origin, suatu area pos perdagangan di sisi barat muara sungai
Batang Arau yang selama ini bertumpu pada loge (gudang) dan
perumahan-perumahan.
Pada saat mulai terbentuknya kota Padang (eks post
perdagangan) di seluruh area Kota Padang yang sekarang tidak terdapat sebuah
kampong, kecuali perkampungan migran orang-orang Nias yang kini berada di
belakang loge. Hal ini karena lanskapnya penuh rawa-rawa dan kurang kondusif
bagi penduduk terdekat untuk membangun lahan pertanian. Hal serupa ini
ditemukan ketika pemerintah Hindia Belanda memulai membentuk pemerintahan di
Regentshap Bandoeng dengan ibukota Bandoeng (baru) pada tahun 1829. Meski
Padang dan Bandoeng bersamaan, namun ibukota Bandoeng benar-benar dimulai dari
nol, sementara Padang sudah menjadi basis perdagangan sejak 1644.
Di kota Padang dengan sendirinya akan
bertambah para pejabat pemerintahan baik orang-orang Eropa/Belanda maupun
pribumi. Penambahan pejabat ini ke depan akan semakin membengkak. Pada tahun
1831 terjadi perubahan radikal dimana status Residen yang dalam beberapa tahun
terakhir ini dipegang orang sipil diganti dengan seorang militer. Nama jabatan
Residen berubah menjadi Residen en Militair Kommandant. Residen Militer yang
ditunjuk adalah Luitenent Kolonel Mr CPJ Elout. Jabatan ini seakan kembali ke
awal ketika pertama kali residen Sumatra’s Wetskust diangkkat pada tahun 1824
yakni Luitenant Kolonel AT Raаff.
Perubahan ini dimaksudkan untuk merespon
dengan semakin meningkatkanya ekskalasi politik di pedalaman di Padangsche
Bovenlanden yakni manuver yang dilancarkan oleh kaum Padri. Boleh jadi manuver
kaum Padri ini muncul sebagai respon keterlibatan pihak kerajaan (Pagaroejoeng)
menjadi bagian dari pemerintahan (colonial) Hindia Belanda. Perubahan struktur
pemerintahan yang kini bersifat militer juga terlihat dengan adanya penempatan
seorang Civiel Kommandant di utara kota Padang yakni di Pariaman dan di selatan
kota Padang seorang post houder di Poelo Chinko dan pengangkatan seorang regent
di Indrapoera (Soetan Achmad Shah).
Pada tahun 1832 perubahan terus terjadi. Nama
jabatan Residen dari Residen en Militair Kommandant menjadi Komamandant der
Troepen en Resident dan pengangkatan seorang ajudant dengan pengkat Letnan.
Demikian juga di Pariaman dari Civiel Kommandant menjadi Civiel en Militair
Kommandant. Perubahan yang radikal juga terjadi yakni mengganti jabatan hoofd
regent (Toeankoe Soetan Mansoer Alam Shah) menjadi jabatan Toeankoe Panglima
(Mara Indra) ditambah dengan jabatan Toeankoe Bandahara (Soetan Iskandar).
Javasche courant, 18-04-1833: Kabar terakhir yang
diterima dari Padang, 8 Maret situasi cukup menguntungkan dan kepercayaan
antara masyarakat dan Pemerintah semakin kuat, khususnya bukti yang diterima
dari Lima Poeloeh Kotta, Lintou, Boa, Tujuh Kotta dan Doeapoeloeh Kotta. Sementara
itu di Priamansche dan daratan rendah di divisi sebelah utara Bonjolsche (Rao?)
situasi juga sangat memuaskan. Sedangkan di bagian dari Bonjol, dimana kematian
Toeankoe Moeda, pemerintahan mengalami ketakutan yang besar, ada sedikit
kemungkinan permusuhan baru. Untuk itu, Kolonel Elout dari Tikoe akan
memperkuat pertahanan di Fort van der Capellen (kini Batu Sangkar?). Overste
Elout adalah otoritas sipil baru sejak kembali dari Jawa di pedalaman
(Padangsche Bovenlanden?)'.
Di wilayah utara bahkan terjadi reposisi: di
Natal yang sebelumnya hanya menempatkan seorang post houder kini ditempati oleh
seorang Civiel en Militair Kommandant berpangkat 1ste Luitenant dan di Air
Bangies sendiri dari Civeel Kommandant diubah menjadi Civiel en Militair
Kommandant.
Perubahan struktur pemerintahan yang condong
pemerintahan militer ini boleh jadi merupakan langkah tindakan pengamanan yang
lebih optimal untuk merespon pergerakan (manuver) kaoem Padri atau boleh jadi
merupakan suatu prakondisi untuk memulai kembali perang terbuka dengan kaoem
Padri. Perubahan tidak berhenti di situ, pada tahun 1836 wilayah-wilayah yang
terpisah-pisah di utara (noordelijke afdeeling) disatukan menjadi satu sistem
pemerintahan dengan menempatkan seorang Asisten Residen di Natal (JA Moser).
Pada tahun-tahun ini situasi dan kondisi di Pantai Barat
Sumatra diduga dalam situasi ketegangan yang mengakibatkan perekonomian lumpuh.
Untuk memenuhi kebutuhan beras di wilayah-wilayah pemerintahan baru itu,
terutama untuk mendukung ketersediaan pangan bagi pemerintah sipil dan militer didatangkan
pasokan beras dari Jawa. Daerah Padangsche Benelanden di Padang sebanyak
425.000 pound. Priaman 45.000, Tikoe 80.000, Aijer Bangies 20.000, Natal 70.000,
Tappanolie, 20.000, Bencoelen, 170.000. Untuk Padangtche Bovenlanden di Bondjo1
sebanyak 2.500,000, Kotta Nopan di Mandailing dan Rao sebanyak 300.000 pound. Wilayah-wilayah
tersebut dibagi ke dalam empat spot: 1. Bencoelen, 2. Padangsch Benelanden, 3.
Padangsche Bovenlanden, 4. Mandailing dan Rau (lihat Javasche courant, 22-10-1836).
Volume yang tinggi di Bondjol yang mencapai 2.5 juta pound menggambarkan di
daerah itu tengah terkonsentrasi kekuatan Pemerintah Hindia Belanda yang dapat
dikaitkan dengan situasi dan kondisi sebelum terjadinya Perang Bondjol.
Pada tahun berikutnya, 1837, status Resident
Sumatra’s Westkust ditingkatkan menjadi Province. Sehubungan dengan itu wilayah
pemerintah semakin diperluas ke utara dengan menempatkan pejabat civiel en
militair di Mandailing dan di Rao. Ini berarti Residen sebelumnya yang
berpangkat Luitenant Kolonel (Elout) digantikan oleh seorang gubernur dengan
pangkat Kolonel yakni AV Michiels. Dalam struktur pemerintahan ini sesungguhnya
mengindikasikan bahwa targetnya adalah wilayah Bondjol (pusat kekuatan kaoem
Padri).
Sebelumnya Luitenant Kolonel AV Michiels tahun 1833 telah
berpengalaman dalam ekspedisi di Djambi. Atas prestasinya di Djambi pangkatnya
dinaikkan menjadi Kolonel. Dengan semakin meningkatnya eskalasi politik di
Padangsche Bovenlanden maka portofolio tertinggi dan yang sesuai dengan
kebutuhan komandan militer di Sumatra, pilihannya hanya satu yakni Kolonel AV
Michiels.
Benar bahwa pada tahun 1837 telah terjadi
pengepungan terhadap kekuatan bersenjata kaoem Padri di Bondjol. Toeankoe Imam
Bondjol ditangkap dan diasingkan. Sementara itu pemimpin kaoem Padri yang lain
Toeankoe Tambusai menghindar dan menjauh ke Angkola (dan Padang Lawas), namun
di Angkola para pengikut Toeankoe Tambusai ini melakukan terror terhadap
penduduk.
Setelah Bondjol dapat ditaklukkan, Pemerintah Hindia
Belanda dengan para pemimpin lokal mulai melakukan konsolidasi dan membuat
kesepakatan-kesepakatan yang ditindaklanjuti dengan dimulainya program pengembangan ekonomi kolonial
di Padangsche Bovenlandan.
Pada tahun 1838 Pemerintah Hindia Belanda
terus merangksek lebih ke utara lagi untuk membebaskan Angkola dari terror yang
dilakukan oleh pengikut Toeankoe Tambusai. Dalam pembebasan Angkola ini,
militer Belanda dibantu oleh para hulubalang Mandailing dibawah pimpinan Radja
Gadoembang. Lalu kemudian, kekuatan Toeankoe Tambusai yang telah bergeser ke
Daloe-Daloe dianggap tetap menjadi ancaman kehadiran Belanda dan ketenangan
penduduk Mandailing dan Angkola (termasuk Padang Lawas). Pada tahun ini juga
terjadi konsolidasi kekuatan untuk melumpuhkan Toeankoe Tambusai di
Daloe-Daloe.
Secara keseluruhan penduduk Sumatra’s Westkust adalah
bagian dari penduduk Sumatra. Jumlah penduduk Sumatra pada awal pembentukan
provinsi Sumatra’s Westkust diperkirakan sebanyak 4.550.000 jiwa yang terdiri
dari Atjeh 600.000, Batak (antara Atjeh dan Rao) 1.200.000, Melayu, antara
Baros dan Indrapoera di Pantai Barat Sumatra dan antara Siak dan Palembang di
Pantai Timur Sumatra, 2.000.000; Redjang dan Passawah di Kerajaan Palembang dan
antara Bengkulu dan Cawor sebanyak 600.000 serta Lampoeng sebanyak 150.000
{lihat Tijdschrift voor Neerland`s Indië jrg 2, 1839 (1e deel) [volgno 2]}. Di
Pantai Barat Sumatra sendiri populasi tersebar antara lain di Baros sebanyak
3.000 jiwa termasuk 200 Atjeh; Sorkam (1.000 jiwa), Sibolga sebanyak 300 jiwa
Batak; Toeka 3.000 Batak; Siboeloean 1.000 Batak, Kalangan 300 Melayu,
Singkoewang 3.000 jiwa Mandailing, Angkola dan Melayu, Batoemondong 2.000
Mandailing; Taboejoen 2.000 jiwa sebagian besar Angkola, Koenkoen 500 jiwa;
Natal 3.000 jiwa; Linggabajoe 3.000 Mandailing; Batahan 2.500 Mandailing, Ajer
Bangies 3.000 jiwa; Siekalang 3.000 jiwa; Pasaman 200 jiwa; Kinali 3.000 jiwa;
Mandailing dengan populasi besar sebanyak 40.000 jiwa yang terbagi ke dalam 38 kampung
besar; Loeboe 10.000 jiwa termasuk Batak; Angkola 10 kampung besar dengan
populasi 10.000 jiwa; Padang Lawas delapan kampong besar dengan penduduk 8.000
jiwa; Rao memiliki 20 kampung besar dengan populasi 25.000 jiwa; Tapboese yang
menjadi otritas Toeakoe Tambuse tidak ada data populasi; Bondjol yang kemudian
berada di bawah otritas Padri dengan dipimpin empat iman yang pada tahun 1832
mengakui Belanda tetapi tahun 1833 memberontak yang berpopulasi 8.000 jiwa;
Tikoe 4.000 jiwa; Danau (Maninjau?) sebanyak 10.000 jiwa; Doeabelas Kota 8.000
jiwa; Lima Kota 4.000 jiwa; Siekara (Singkarak?) sebanyak 1.000 jiwa; Priaman
2.000 jiwa; Toejoeh Kota 7.000 jiwa; Oelakan 1.500 jiwa; Loeboe Aloeng 2.000
jiwa; Padang sebanyak 1.400 jiwa (yang meliputi Nanggalo, Nan Doepoeloeh, Limau
Manis, Loeboe Kilangan, Boengoes, Tjiendakie, Telok Kakang); Pauw sebanyak
4.000 jiwa; Kota Tangah, termasuk Gassang 3.000 jiwa; Troessan 4.000 jiwa;
Baijang 2.500 jiwa; Salida 2.000 jiwa dan Indrapoera 2.500 jiw; Loehak Tanah
Datar 80.000 jiwa; Agam sebanyak 80.000 jiwa; Sembilan Kota 20.000 jiwa; Lima
Poeloeh Kota sebanyak 50.000 jiwa; Alaban 10.000; Lintau 4.000 jiwa; Tandjong
Alam 15.000; Doeapoeloeh Kota sebanyak 100.000 jiwa; Batipoe 12.000; Doeabelas
Kota 12.000; Toejoeh Laras 6.000; Moco-moco sebanyak 9.000; Soengie Lammau
12.000; Soengi Jetam 4.000 jiwa; Silebar 6.000; Saloema 7.000; Manna 13.000;
Cawor 5.000; Croe 10.000; Ampat Lawang 11.000; Redjang 10.000; Poeloe Nias
sebanyak 200.000 dan Poeloe Batoe 30.000.
Peta militer (pengepungan T. Tamboesei), 1838 |
Algemeen Handelsblad, 07-09-1838: oleh suku-suku yang
berbeda di selatan dan tenggara Bataklanden dilaporkan pemerintah telah memulai
negosiasi untuk penyerahan yang akan datang. Setelah mengambil alih Fort
Pertibie telah benar-benar Padang Lawas dan Kotta Pinang dikuasai. Setelah dari
Ankola dan Kotta Nopan di Mandheling untuk Pertibie tentara kami melakukan
pengepungan setengah lingkaran terhadap kafir, tanah dan kepala asli Tamboesy
menjadi terkepung, dengan demikian tujuan menjadi mencapai untuk membebaskan
Ankola dan Sipirok di utara Negara Batta. Setelah itu, baru mereka harus
menghela napas setelah begitu lama direcokin oleh Tamboesy. Kampong Daloedaloe
terletak liama hari di tenggara dari Pertibie masih kuat dikelilingi oleh
pengikut yang bersenjata. Namun Tamboesy sendiri harus telah keluar dari Padang
Lawas dan kini di lanskap lain, seperti ia sudah akan memiliki isyarat penampungan
dan kesiapan disana’.
Setelah Daloe-Daloe dapat ditaklukkan, pada
tahun 1839 Pemerintah Hindia Belanda dengan para pemimpin lokal di Mandailing
dan Angkola mulai melakukan konsolidasi dan membuat kesepakatan-kesepakatan
(MoU) yang ditindaklajuti dengan dimulainya program pengembangan ekonomi
kolonial di Mandailing dan Angkola. Untuk mengakomodasi kesepakatan-kesepakatan
tersebut juga mulai dibentuk pemerintahan sipil.
Pembentukan pemerintahan di Mandailing dan
Angkola dengan sendirinya mengubah struktur pemerintahan yang lama di Sumatra’s
Westkust. Dalam hal ini pada tahun 1840 afdeeling-fadeeling yang berada di
utara (Noordelijke Afdeeling) direstrukturisasi dengan meniadakan Asisten
Residen di Natal dan membentuk satu residentie yang baru yakni Residentie Air
Bangies dengan ibukota di Air Bangies (menggantikan Natal).
Resident yang berkedudukan di Air Bangies dibantu oleh dua
orang Asisten Residen di afdeeling Mandailing en Angkola yang beribukota di
Panjaboengan dan di afdeelin Rao yang berkedudukan di Rao. Di Natal sendiri,
yang sebelumnya asisten berkedudukan hanya menempatkan seorang controleur. Pada
fase ini wilayah pemerintah diperluas lagi ke utara dengan menempatkan seorang
pejabat sipil di Baros. Sementara di Tapanoeli tetap menempatkan seorang
posthouder.
Dengan demikian Province Sumatra’s Westkust
tetap terdiri dari tiga residentie. Hanya saja dalam hal ini Residentie
Bencoelen dipisahkan (pada nantitinya menjadi bagian dari Zuid Sumatra) dan
sebagai gantinya adalah Residentie Air Bangies. Tiga residentie yang berada di dalam satu
province Sumatra’s Westkust adalah Residentie Padangsche Benelanden (di
Padang). Residentie Padangsche Bovenlanden (di Fort de Kock) dan Residentie Air
Bangier di Air Bangies.
Setelah dimulainya program pengembangan ekonomi colonial
di Padangsche (Benelanden dan Bovenlanden) dan Mandailing en Angkola, fungsi
pemerintahan di Padang makin mekar dan pejabat-pejabat baru terus didatangkan
dari Batavia ke Padang. Hal ini juga terjadi di Fort de Kock, Air Bangies dan
Panjaboengan.
Pada tahun 1841 di Province Sumatra’s
Westkust dua institusi baru dibentuk untuk mendampingi institusi pemerintahan
yang selama ini (Governoer, Resident, Asisten Residen dan Controleur). Meski ada tiga residentie tetapi jumlah
Residen hanya ada dua yakni di Residentie Padangsche Bovenlanden dan di
Residentie Air Bangier. Di Residentie Padangsche Benelanden yang juga
berkedudukan di Padang hanya setingkat asisten residen namun dibantu oleh
seorang pemimpin lokal yang disebut hoofd regent (yang dipegang oleh Soetan
Iskandar). Institusi baru tersebut adalah Raad van Justitie dan Wees en
Boedelkamer.
Pada tahun 1842 dibentuk lagi satu
residentie, yakni Residentie Bataklanden yang terdiri dari dua afdeeling:
Tapanoeli dan Pertibie. Meski sebuah residentie tetapi secara definitive belum
ada Resident, tetapi dirangkap oleh Residen Air Bangies. Di Tapanoeli
ditempatkan seorang asisten residen yang berkedudukan di Sibolga yang dibantu
dua controleur yakni di Baros dan di Singkel. Sementara di Nias yang
berkedudukan di Goenoeng Sitoli ditempatkan seorang posthouder. Sedangkan di
afdeeling Pertibie ditempatkan seorang pejabat dengan wilayah kerja Padang
Lawas, Tamboesai, Panel dan Bila yang mana di di Bila ditempatkan seorang
Controleur. Bersamaan dengan pembentukan residentie Bataklanden ini, di
afdeeling Mandailing en Angkola diangkat dua controleur yakni di Angkola dan di
Pakantan.
Pada tahun 1844 nama Residentie Bataklanden diubah
menjadi nama baru, menjadi Residentie Tapanoeli. Sementara afdeeling Pertibie
dilikuidasi. Hal ini boleh jadi wilayah Padang Lawas belum aman sepenuhnya,
namun diduga karena alasan potensi ekonomi yang tidak kondusif, sementara belum
seaman di Mandailing dan Angkola yang secara ekonomi sangat potensial. Nama
Bataklanden tampaknya akan dipersiapkan sebagai nama afdeeling baru yakni yang
meliputi Silindoeng en Toba.
Pada tahun 1845 terjadi lagi restrukturisasi
pemerintahan di Province Sumatra’s Westkust. Afdeeling Mandailing en Angkola
dipisahkan dari Residentie Air Bangis dan kemudian dimasukkan ke Residentie
Tapanoeli. Sedangkan afdeeling Rao dimasukkan ke Residentie Padangsche
Bovenlanden. Akibatnya Residentie Air Bangies dilikuidasi dan dimasukkan ke
Residentie Padangsche Benelanden dengan hanya menempatkan asisten residen di
Air Bangies.
Setelah Residentie Tapenoeli diperkuat dengan masuknya
afdeeling Mandailing en Ankola, maka status asisten residen ditingkatkan
menjadi Residen yang berkedudukan di Sibolga. Residen yang diangkat adalah
Alexander van der Harta, sedangkan asisten residen sebelumnya (Galle)
diposisikan sebagai sekretaris Resident. Di afdeeling Mandailing en Ankola
sendiri tetap dijabat oleh seorang asisten Residen (tetap dijabat TJ Willer).
Jabatan Gubernur sendiri pada tahun 1845
masih tetap dijabat oleh AV Michiels. Ini berarti AV Michiels yang merupakan
gubernur pertama Province Sumatra’s Westkust yang dimulai sejak 1837 telah
menjabat selama delapan tahun. Sementara Residen Padangsch Bovenlanden,
Steinmeez yang berkedudukan di Fort de Kock tetap dibantu oleh dua asisten
residen (di afdeeling Tanah Datar dan di afdeeling Agam) ditambah satu asisten
residen baru di afdeeling Lima Poeloeh Kota.
Yang menarik adalah Residen pertama Tapanoeli, yang baru difungsikan
pada tahun 1845, pejabat yang diangkat tersebut adalah Alexander van der Hart,
seorang mantan ‘anak kesayangan’ Kolonel AV Michiel dalam Perang Bondjol tahun
1837. Saat itu pangkat van der Hart masih Kapten. Alexander van der Hart adalah
seorang pahlawan Belanda, seorang pemberani yang berhasil naik dan memasuki
bagian dalam Benteng Bonjol yang menyebabkan pasukan inti Toeankoe Imam Bonjol
dapat ditaklukkan. Kini, Alexander van der Hart yang telah mendapat kenaikan
pangkat menjadi Mayor. Ketika Residentie Tapanoeli membutuhkan seorang Residen
maka pilihan AV Mischiels jatuh pada mantan anak buah kesayangan ini. Namun demikian,
tidak hanya semata karena itu, tetapi karena pada tahun 1845 terjadi beberapa
pemberontakan di Tapanoeli seperti di Loemoet dan juga pengikut Toeankoe
Tambusai melancarkan kembali terror di Padang Lawas (juga bersamaan dengan
pemberontakan di Batipoe di Padangsche Bovenlanden), AV Michiels membutuhkan
tentara yang tangguh untuk memimpin wilayah baru. Tentara yang memiliki
portofolio tertinggi boleh jadi Alexander van der Hart (yang lagi ‘nganggur’ di
Batavia). Ini seakan kisah AV Michiels sendiri berulang, ketika Province
Sumatra’s Westkust membutuhkan seorang Gubernur (1837), pilihannya hanya satu,
yang memiliki portofolio tinggi yakni Luitenan Kolonel AV Michiels yang
sebelumnya sukses memimpin ekspedisi militer di Djambi.
Pada tahun 1846 hanya sedikit perubahan
arsitektur pemerintahan di Sumatra’s Westkust. Afdeeling Natal yang sebelumnya masih
berada di Residentie Air Bangies, dan karena dilikuidasi, lalu afdeeling Air
Bangies dan afdeeling Natal dimasukkan ke Residentie Padangsche Benelanden,
kemudian Natal dipisahkan dan dimasukkan ke Residentie Tapanoeli. Pada tahun
1846 ini pangkat militer Residen Alexander van der Hart dinaikkan setingkat
menjadi Luitenan Kolonel (sehubungan dengan dirinya memimpin ekspedisi ke Nias).
Sementara pangkat militer AV Michiels yang juga telah dinaikkan sebagai Majoor
Generaal kini nyaris disusul oleh anak buah kesayangannya yakni Alexander van
der Hart yang sudah berpangkat Luitenan Kolonel. Oleh karena itu, di Provinsi
Sumatra’s Westkust ‘ayah-anak’ inilah yang memiliki pangkat militer tertinggi
di dalam pemerintahan.
AV Michiels (lukisan 1850) |
Saat kepergian AV Mischiels, Luitenant
Kolonel van der Hart untuk sementara dipersepsikan sebagai orang yang memiliki
otoritas sipil dan militer di Sumatra’s Westkust. Tugas penting van der Hart
selama menjadi otoritas itu adalah untuk meredakan kerusuhan kecil di Priaman
karena otoritas setempat mengenakan pajak hampir setahun. A. van der Hart
melakukan tindakan segera dan tepat. Akhirnya dapat dieselesaikan oleh van der
Hart. Masih pada tahun yang sama, 1848 Alexander van der Hart merekomendasikan
bawahan kesayangannya, AP Godon yang menjabat Controleur di Singkel untuk
diangkat menjadi Asisten Residen di afdeeling Mandailing dan Angkola padahal
pangkat AP Godon masih controleur kelas-3.
AP Godon belum lama bertugas sebagai controleur di
Singkel sudah dimutasi oleh Alexander van der Hart ke afdeeling Mandailing en
Angkola, tidak sebagai controleur tetapi memegang jabatan Asisten Residen. AP
Godon sebelum menjadi controleur di Singkel adalah controleur yang cukup sukses
di Bondjol (dari tahun 1845 hingga 1848).
Boleh jadi, Alexander van der Hart
berpendapat jika seorang yang baru pertama kali diangkat sebagai controleur
terutama di daerah yang pernah menjadi pusat pergolakan (di Bonjol) dan
bertahan cukup lama maka controleur tersebut sudah tentu sangat berhasil yang mampu
mengambil hati penduduk dengan baik. Ini berbeda dengan asisten residen
Mandailing en Angkola sebelum kedatangan AP Godon yang sering gonta-ganti
karena tingkat penerimaan penduduk yang rendah alias ada penolakan.
Nederlandsche staatscourant, 01-10-1847: ‘dalam bagian
North-Eastern Sub Kerajaan Sumatra’s Westkust di afdeeling Mandheling en Ankola,
pada bulan Mei tahun ini terjadi satu gangguan yang meletus, didorong oleh
mengamankan Rangar Laoet, dan mulai dengan kehancuran beberapa jembatan,
termasuk jembatan baru Batang Taro, merampok dan melakukan pembakaran sejumlah
bangunan dan pembunuhan terhadap sersan Luksemburg. Dengan langkah-langkah
otoritas sipil dan militer yang dimiliki dapat dilakukan perdamaian dan mereka
segera dipulihkan. Rangar Laoet dan beberapa pemimpin lainnya telah datang ke
dalam penyerahan. Pada kesempatan itu, Jang di Pertoean dari Mandheling
terbukti penting dengan menyediakan layanan pasukan tambahan, bahkan lebih dari
yang diperlukan atau diperlukan. Sebuah penyelidikan penyebab apa yang terjadi
adalah tidak diketahui jelas. Namun beberapa rumor telah dikaitkan dengan
keinginan dalam penyebaran vaksinasi anak-anak atas perintah pemerintah, yang
mana vaksinasi ini akan meninggalkan tanda abadi di lengannya. Bersamaan gerakan
gelisahnya ini juga terdeteksi di Padang Lawas, timur dari Mandheling sebuah
lanskap wilayah Belanda berada. Antara gerakan-gerakan di wilayah ini dengan
pemberontakan di Mandheling tampaknya telah ada’
Alexander van der Hart melihat AP Godon
adalah solusi untuk memecahkan permasalahan di Mandailing en Angkola. Sebab di
tahun 1843, Gubernur AV Michiels sempat kewalahan menghadapi pemberontakan yang
dilakukan penduduk Mandailing en Ankola akibat adanya koffie-kultuur stelsel. Baru-baru
ini juga terjadi pemberontakan di Angkola. Jangan sampai terjadi kerusuhan yang
lebih luas lagi di Mandailing en Ankola demikian pesan dari Batavia yang
diterima AP Godon ketika memulai tugas di Mandailing en Ankola.
Nederlandsche staatscourant, 28-07-1848: ‘di Sumatra’s
Westkust, Asisten-Residen Mandheling en Ankola, Controleur kelas-1, A.P. Godon,
yang diminta melibatkan kepada siapa, Radja, persepsi yang sudah ditetapkan’.
Michiels plein (Peta Kota Padang 1879) |
Monumen AV Michiels (foto 1890) |
Bersambung:
Sejarah
Kota Padang (3): Kota Padang, Kota Tiga Lurah, Kota Melting Pot; Berkembang
Pesat Selama Periode ‘Booming’ Kopi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar