Minggu, 26 Maret 2017

Sejarah Kota Padang (3): Kota Padang, Kota Tiga Lurah, Kota Melting Pot; Berkembang Pesat Selama Periode ‘Booming’ Kopi

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Kota Padang adalah rantau orang Minangkabau, juga rantau orang Kerinci dan rantau orang Bengkulu. Kota Padang juga adalah rantau orang-orang Mentawai dan orang-orang Nias. Tentu saja jangan lupa, Kota Padang juga adalah rantau orang-orang Tapanuli, Baros, Singkel, Mandailing dan Angkola.

Muaro, cikal bakal Kota Padang
Sebagaimana diketahui, pada tahun 1837 Kota Padang adalah ibukota Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust). Ibukota dari pusat-pusat perdagangan di pantai barat Sumatra dari kota-kota pantai mulai dari Bengkulu hingga Singkel seperti Moco-moco, Indrapoera, Priaman, Air Bangies, Natal, Tapanoeli dan Baros.

Kota Padang juga ibukota dari sentra-sentra produksi pertanian dan kehutanan mulai dari Komering hingga Alas seperti Kerintji, Solok, Fort de Kock, Bondjol, Rao, Mandailing, Angkola, Silindoeng, Toba dan Dairi.

Orang Minangkabau dan Orang Batak Bukan Pelaut

Orang Minangkabau bukanlah pelaut, demikian juga orang Batak bukan juga pelaut. Orang Minangkabau adalah petani yang ulet; dan orang Batak juga adalah petani yang ulet.

Yang menjadi pelaut adalah orang-orang Melayu (berpusat di Riaou). Di dalam aktivitas perdagangan di pesisir pantai yang cukup mononjol perannya adalah orang-orang Tionghoa dan orang-orang Atjeh. Sementara orang-orang kepulauan di pantai barat Sumatra seperti Mentawai dan Nias, secara tradisi bukan pelaut tetapi ketika mereka melakukan migrasi ke darat lebih memilih hidup di pantai. Salah satu komunitas para migran Nias di pantai daratan adalah di Telok Tapanoeli dan di muara sungai Batang Arau (yang menjadi cikal bakal Kota Padang).   

Kota Padang adalah kota pantai, kota melting pot, seperti halnya Batavia, Soerabaja dan Medan. Sebagai sebuah kota pantai, Kota Padang adalah kota yang penduduknya bersifat mix population. Suatu kota kombinasi antara orang-orang pantai dan orang-orang pegunungan, paduan antara pelaut dan petani.

Kegiatan penduduk pantai juga ada yang berdagang, demikian juga penduduk pegunungan ada yang berdagang. Penduduk pantai berdagang ke pegunungan, penduduk pegunungan berdagang ke pantai. Bedanya, penduduk pantai ada yang melakukan eksplorasi ke laut lepas untuk menangkap ikan sebagai nelayan, sementara penduduk pedalaman ada yang melakukan eksplorasi ke hutan belantara untuk mengumpulkan hasil-hasil hutan.

Kota Padang adalah rantau orang-orang pedalaman, tetapi juga rantau orang-orang pantai di kota lain. Kota Padang juga adalah rantau dari penduduk di pulau-pulau lainnya. Oleh karenanya, Kota Padang pada awalnya tumbuh dan berkembang sesuai dengan perubahan geopolitik dan perubahan tata ruang ekonomi di era kolonial Belanda.

Kota Padang baru popular setelah orang-orang Eropa saling silih berganti memperebutkannya sebagai pos perdagangan dari tangan orang-orang Atjeh. Kota Padang sebagai post perdagangan yang baru di era persaingan Eropa (Portugis, Inggris, Perancis dan Belanda) adalah sama pentingnya dengan kota-kota pelabuhan lainnya yang lebih dulu eksis di Pantai Barat Sumatra seperti Bencoolen, Moco-moco, Priaman, Passaman (Air Bangies), Batahan, Natal, Tapanoeli, Baros dan Singkel. Dalam perkembangannya, Baros dan Singkel digantikan Tapanoeli (Sibolga), Batahan digantikan oleh Natal, lalu Priaman dan Air Bangies digantikan oleh Padang. Dalam perkembangan lebih lanjut semua pelabuhan-pelabuhan lama tereliminasi oleh dua kubu Eropa (Inggris dan Belanda) yang mengangkat Padang dan Bengkulu. Pada akhirnya dengan traktat London, pelabuhan yang menjadi finish adalah Padang. Dalam hal ini Padang (kini) kontras Baros (kuno)   

Berbeda dengan pantai barat Sumatra, di Pantai Timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust) ibukota awalnya di Siak Indrapoera. Pantai Timur Sumatra dimulai dari Indragiri hingga Tamiang meliputi Siak, Rokan, Labuhan Batoe, Asahan, Batoebara, Serdang, Deli dan Langkat. Dalam perkembangannya, ibukota dipindahkan ke Selat Panjang (Bengkalis) dan akhirnya ke Medan (Deli).

Sistem Pemerintahan di Padang

Sebelum Belanda membentuk pemerintahan di Sumatra’s Wetskust, pemerintahan tradisional sudah eksis sejak lama. Oleh karena Sumatra’s Westkust yang begitu luas dan terdiri dari etnik yang berbeda, maka sistem pemerintahan tradisional masing-masing juga berbeda. Setelah Belanda membentuk pemerintahan, pemerintahan tradisional diintegrasikan dengan pemerintahan Hindia Belanda. Tata ulang pemerintahan tradisional juga terjadi.

Bentuk pemerintahan provinsi dikepalai oleh seorang gubernur dan membawahi residen, asisten residen dan Controleur. Di Padangsche Benelanden dan Padangsche Bovenlanden pemimpin lokal disertakan pada pemerintahan yang lebih tinggi. Hal ini boleh jadi mengikuti pola lama kerajaan (Pagaroejoeng). Sebaliknya tidak dilakukan di Tapanoeli karena kerajaan sudah sejak lama tidak ada. Pemimpin local di Tapanoeli hanya disertakan dalam pemerintahan di bawah koordinasi seorang Controleur. Pemimpin local di Tapanoeli disebut koeria (berbasis genealogis dan territorial). Sedangkan di Padangsche pemimpin local berbasis pada suku. Setiap orang dapat mengidentifikasi sukunya dan hanya bersedia mengikuti perintah dari kepala soekoenya (penghoeloe). 

Di Padang, terdapat kekecualiaan, Pemerintah Hindia Belanda menghilangkan peran penghoeloe dan kewenangan pemimpin local dibentuk sebagai distrik dan kampong yang ditunjuk oleh pemerintah. Nama wilayah di Padang disebut Laras yang dikepalai seorang Lurah. Terdapat tiga lurah yakni Lurah Padang, Lurah Pauh dan Lurah Koto Tangah. Ketiga lurah ini disebut Tiga Lurah. Untuk pemimpin lokal diangkat seorang regent (bupati) dimana membawahi Kepala Laras. Kepala Laras dan Kepala Kampong ditentukan oleh pemerintah.

Pada awal pembentukan pemerintahan, pemimpin local yang disertakan di Padangsch Benelanden sebagai Hoofd Regent yang berkedudukan di Padang. Sedangkan Regent sendiri  ada dua yakni Regent Pagaroejoeng di Padangsch Bovenlanden dan regent di Indrapoera. Dalam perkembangannya regent di Padang pada tahun 1832 disebut Toeankoe Panglima dan dibantu Toeankoe Bandahara. Regent van Padang kemudian dijabat oleh Soetan Iskandar yang sebelumnya sebagai Toeankoe Bandahara. Soetan Iskandar cukup lama sebagai regent hingga akhirnya jabatan regent dihilangkan. Pola pemerintahan kemudian menjadi kurang lebih sama baik di Tapanoeli maupun di Padangsch Bovenlanden dan Padangsch Benelanden.

Perbedaan penerapan pemimpin local ini di dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda tidak seragam dan disesuaikan dengan alam setempat. Di Batavia tidak terdapat regent tetapi di dalam pemerintahan disertakan pemimpin komunitas (yang disebut kapten). Di Preanger pemimpin local yang disertakan dalam pemerintahan disebut regent (bupati) yang masing-masing terdapat di Bandoeng, Sumedang, Soekapoera (Garoet) dan Tjiandjoer. Sedangkan di Buitenzorg (Bogor) tidak ditetapkan adanya regent tetapi disebut Demang dan diangkat oleh pemerintah. Pada nantinya di Deli pemerintahan local diwakili oleh Sultan.

Padang sebagai ibukota pemerintahan di Sumatra’s Westkust dengan sendirinya tidak mengikuti system pemerintahan tradisional, melainkan sistem pemerintahan sendiri.

Padang pada awal pembentukan Provinsi (1837), Residen didampingi pemimpin lokal Toeankoe Panglima (regent) yang dijabat oleh Soetan Iskandar dan Toeankoe Bandahara dan tujuh penghoeloe yang meliputi Nangallo yang terdiri dari enam panghoeloes, Nan Doepoeloe terdiri dua puluh panghoeloes, Limau Manis terdiri lima panghoeloe, Loeboe Kielangan terdiri enam panghoeloes, Boengoes sebanyak sepuluh panghoeloes, Tjiendakie sebanyak empat panghoeloes dan Tellok Kahang terdiri empat panghoeloes. Keseluruhan wilayah ini, termasuk ibukota (Muaro) memiliki populasi sebanyak 1.400 jiwa.

Perkembangan Kota

Kota Padang adalah ibukota (hoofdplaats) yang pada awalnya bermula di muara sungai Batang Arau (kini disebut Muaro). Ibukota ini jauh dari Nanggalo dan Limau Manis dan tentu saja sangat jauh dari Pauh dan Kota Tangah. Ibukota hanya sebuah area yang sangat kecil yang berada di sisi barat sungai Batang Arau dengan garis pantai.

Kota ini bermula dari suatu lokasi dimana loge di era VOC dibangun sebagai gudang komoditi perdagangan. Pada tahun 1870 replika dari beberapa loge ini masih terlihat jelas berada di sisi sungai Batang Arau tidak jauh dari muara sungai. Sebelum pedagang VOC membangun loge ini pada tahun 1664, area ini merupakan perkampungan migran orang-orang Nias. Dengan semakin banyaknya bangunan di sekitar loge ini, orang-orang Nias mundur ke belakang membangun kampong-kampong yang baru. Tampaknya mereka tidak keberatan karena kehadiran VOC ini mereka mendapat pekerjaan.

Kampong-kampong baru orang Nias yang terbentuk antara lain Kampong Berok dan Kampong Seblah. Dua kampong ini diduga kampong tertua di Kota Padang. Kampung lama sendiri yakni Muaro menjadi hilang tetapi nama itu masih eksis tetapi sebagai nama area. Perkembangan kota secara perlahan meluas hingga ke arah hulu sungai seiring dengan terbentuknya jalan poros yang sejajar dengan sungai.

Situs-situs yang berada di jalan poros (sungai) ini adalah loge (gudang), bangunan militer, bangunan persenjataan, bangunan kantor perdagangan, bangunan bank (Java Bank), bangunan perusahaan-perusahaan swasta, bangunan pabean, rumah kepala pelabuhan, bangunan biro ketenagakerjaan, tempat penjemuran komoditi, kantor pelayaran dan pabrik. Yang paling ujung dari jalan poros ini adalah kompleks kantor pemerintah seperti Biro Gubernur, kantor Residen dan kantor lainnya. Lalu paling ujung dari jalan poros ini adalah Klenteng Tionghoa.

Pada tahap perkembangan berikutnya (fase kedua) yang diduga terjadi setelah Sumatra’s Westkust statusnya menjadi province (1837) dan Kolonel AV Michiels sebagai Gubernur dibangun markas militer di dekat kampong Sabrang Padang (kini di sekitar Jalan Jati). Pembangunan markas militer ini bersamaan dengan pembangunan rumah Gubernur dan kantin militer. Kompleks militer ini saat itu merupakan sisi terluar dari Kota Padang yang berbatasan (menghadap) ke bagian pedalamanan sepanjang sungai Batang Arau.

Pada tahap perkembangan berikutnya lagi (fase ketiga) yang diduga terjadi (sekitar tahun 1850an) kota mulai bergeser ke sisi pantai. Salah satu situs utama di area garis pantai dari muara sungai Batang Arau adalah dibangunnya sebuah hotel. Pembangunan hotel ini mengindikasikan situasi kondisi keamanan di Pantai Barat Sumatra sudah mulai kondusif khususnya di Padangsche (Benelanden dan Bovenlanden). Pembangunan hotel ini juga diduga terkait dengan semakin meningkatnya arus wisatawan yang datang ke Province Sumatra’s Westkust. Hotel ini pertama di Kota Padang ini kemudian dikenal sebagai Hotel Sumatra.

Hotel pertama Kota Padang ini (kelak disebut Hotel Sumatra) posisinya membelakangi pantai. Jalan yang berada di depan hotel (yang berpangkal di muara sungai Batang Arau) lambat laun menjadi jalan poros kota yang kedua. Jalan ini pada masa kini disebut Jalan Muara.

Pada tahap perkembangan berikutnya lagi (fase keempat) yang dimulai dengan pembangunan pelabuhan Telok Bayur (1887) yang diintegrasikan dengan pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan pedalaman (utamanya Ombilin) dengan pelabuhan pada dekade tahun 1870an. Pada saat ini pembangunan di Kota Padang semakin masif dan semakin meluas ke berbagai area. Perencanaan tata kota Kota Padang yang lebih komprehensif pun mulai dilakukan.

Pada fase ini pembangunan infrastruktur sangat intens. Untuk mendukung tata kota baru (yang semakin diperluas) area Kota Padang yang sebelumnya banyak ditemukan rawa-rawa mulai ‘dikeringkan’ dengan membuat kanal besar dengan menyodet sungai Batang Arau. Perencanaan kanal ini pada dasarnya berfungsi ganda, di satu sisi untuk mengurangi dampak banjir dari luapan sungai Batang Arau dan di sisi lain kanal yang dibuat sangat besar (lebar dan dalam) akan menjadi tempat jatuhan air di area baru pengembangan kota. Praktisnya untuk mengoptimalkan proses drainase. Kanal ini dengan menyodet sungai Batang Arau di area Goenoeng Lawas lalu dialirkan ke arah utara (tengah kota yang sekarang) dan selanjutnya berbelok ke barat melalui belakang GOR Agus Salim yang sekarang menuju pantai. Proses serupa ini sudah pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya di Batavia. Semarang dan Soerabaja.

Pada tahap perkembangan berikutnya lagi (fase kelima) merupakan proses pengembangan kota yang mana proses urbanisasi di Kota Padang semakin intens seiring dengan semakin derasnya arus migrasi (jauh) maupun arus sirkulasi (dekat) oleh penduduk di Province Sumatra’s Westkust.

Sejak fase ini, proses pembangunan di Kota Padang mulai mengendor. Keutamaan Kota Padang sebagai ibukota Province Sumatra’s Westkust mulai memudar. Pertama, perkembangan industri perkebunan di Sumatra’s Oostkust khususnya di Deli dan sekitarnya sejak 1887 semakit kencang. Arus pelayaran antara Batavia ke Eropa/Belanda) yang dulunya melalui Pantai Barat Sumatra secara perlahan bergeser ke Pnatai Timur Sumatra khususnya sejak dibukanya terusan Suez yang bersamaan dengan semakin pentingnya posisi Pantai Timur Sumatra. Kedua, mulai dibukanya perkebunan di Tapanoeli (ekses dari Deli dan sekitar) yang kurang lebih satu era dengan dipisahkannya Residentie Tapenoeli dari Province Sumatra’s Westkust. Sejalan dengan perubahan yang terjadi di Tapenoeli, pelabuhan Sibolga yang semakin dioptimalkan menyebabkan arus komoditas dari dan ke Padang semakin berkurang.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama dalam artikel ini adalah surat kabar namun tidak saya sebutkan lagi di artikel ini karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar