Cikal bakal Kota Padang berawal dari suatu tempat yangt berada pada sisi barat muara sungai Batang Arau, suatu perkampuangan yang diduga dihuni oleh para migran orang-orang Nias. Di tempat inilah pelaut-pelaut Eropa mulai membangun pos perdagangan karena posisinya yang strategis terlindung dari lautan India. Seiring dengan perkembangan pos perdagangan tersebut dan kebutuhan bangunan yang semakin banyak, lambat-laun areal permukiman orang-orang Nias tersebut terokupasi dan para pemukim menyingkir ke area kosong di belakang. Para migran ini tidak merasa dirugikan karena dengan kehadiran pos perdagangan tersebut mereka juga mendapat pekerjaan.
Foto Hoofd uit Nias te Padang1865 |
Bagaimana asal mula adanya orang-orang Nias
di muara Batang Arau tersebut adalah suatu hal, bagaimana orang-orang Eropa
memulai okupasi adalah hal yang akan ditelusuri lebih lanjut. Sebab awal
okupasi orang-orang Eropa inilah yang dapat dijadikan sebagai starting point
untuk mengidentifikasi kapan Kota Padang yang sekarang mulai terbentuk di masa
lampau.
Penelusuran ini akan dapat memperjelas asal-usul Kota
Padang yang sekarang. Agak sedikit membingungkan mengapa hari jadi Kota Padang
ditabalkan sebagai hari yang mana terjadi penyerangan yang dilakukan penduduk
Pauh dan Kota Tengah terhadap VOC pada 7 Agustus 1669. Hal serupa ini tidak
hanya Kota Padang, juga ditemukan dalam penetapan hari jadi Kota Medan, hari
jadi Jakarta, hari jadi Kota Bogor, hari jadi Kota Bandung dan beberapa kota
utama lainnya.
Serial artikel Sejarah Kota Padang ditulis
atas permintaan seorang kawan yang ingin mendapatkan gambaran sejarah kota
tempat kelahirannya dengan seutuhnya, karena dirasakannya kronologis dan
deskripsi sejarah yang ada dirasakannya kurang mengena. Permintaan beliau ini
terdorong karea beliau sudah lama mengetahui saya menulis artikel-artikel
tentang perkembangan awal sejarah kota. Awalnya saya enggan, karena saya tahu
kawan-kawan dari Kota Padang banyak yang lebih paham dari saya tentang sejarah,
dan saya sendiri bukan ahli sejarah, melainkan seorang ekonom yang membutuhkan
aspek sejarah dalam pemahaman ekonomi dan bisnis Indonesia.
Untuk memenuhi permintaan kawan ini, saya coba semampu
saja saja. Lagi pula memahami sejarah Kota Padang akan dengan sendirinya lebih
memperluas dan memperkaya pemahaman saya tentang kota-kota utama di Indonesia.
Namun demikian, artikel-artikel serial Sejarah Kota Padang ini tidak akan cepat
terealisasi, karena harus berbagi waktu, sebab saya masih menulis Sejarah Kota
Medan (artikel ke-54), Sejarah Jakarta (artikel ke-16), Sejarah Bogor (artikel
ke-2), Sejarah Bandung (artikel ke-36), Sejarah Tapanuli (artikel ke-7) dan
Sejarah Padang Sidempuan (artikel ke-18). Saya juga waktu sangat terbatas dan
hanya menulis artikel-artikel serupa ini saat ada waktu senggang terutama saat
menonton sepakbola di televisi.
Mari kita mulai dari artikel pertama tentang
origin kota Padang. Artikel ini akan coba menelusuri masa-masa awal sebelum
terbentuknya kota di muara sungai Batang Arau yang kini kita kenal sebagai Kota
Padang. Sumber-sumber yang digunakan adalah berbagai surat kabar tempo doeloe,
majalah dan buku-buku yang diterbitkan sejaman ditambah dengan peta-peta (atau
sketsa) dan foto-foto (atau lukisan) sejauh yang bisa diakses. Tidak semua
sumber disebutkan, karena sudah disebut di artikel-artikel saya yang lain.
Sumber-sumber baru akan disebutkan untuk memudahkan para pembaca dapat
menelusuri kembali.
Pantai Barat Sumatra
Peta pantai barat Sumatra. 1830 |
Dalam peta kuno, terbitan berbahasa Portugis tahun 1619
kota-kota pelabuhan penting di pantai barat Sumatra adalah Baros, Batahan dan
Pariaman. Tiga kota pelabuhan ini besar kemungkinan sebagai simpul perdagangan
dari pedalaman di Angkola (Baros), di Mandailing (Batahan) dan di Minangkabau
(Pariaman). Di era perdagangan Eropa pelabuhan-pelabuhan untuk pedalaman ini
bergeser ke pelabuhan yang lebih besar yang terbentuk kemudian di Sibolga
(penggati Baros), Natal (pengganti Batahan) dan Padang (pengganti Pariaman).
Peta kuno ini tidak berbeda jauh dengan sketsa pulau Sumatra hasil ekspedisi
Cornelis de Houtman (1595-1597) yang diterbitkan dalam jurnal ‘Journael vande
reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking
hen ende vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot
tijt aengeteeckent, ...’. Jurnal ini sepenuhnya berisi catatan hari demi hari
tentang ekspedisi yang dilakukan oleh Cornelis de Houtman yang dimulai pada
tanggal 2 April 1595.
Nama Padang sebagai nama tempat di dalam
peta/sketsa tersebut belum teridentifikasi. Di dalam buku kono paling lengkap
tentang identifikasi nama-nama tempat di dunia yang berjudul ‘Itinerarivm, ofte
schipvaert naer Oost ofte Portugaels Indien’ yang terbit di Amsterdam tahun
1614 juga belum teridentifikasi. Nama-nama tempat yang teridentifikasi antara
lain adalah Baros dan bahkan lebih spesiif menyebut Loboe.
P. van den Broek (lukisan 1720) |
Untuk mudahnya, aktivitas perdagangan Belanda
(VOC) di Pantai Barat Sumatra diabgi ke dalam empat periode (lihat De Westkust
en Miangkabau 1665-1668 door Hendrik Kroeskamp, 1931). Sejarah Pantai Barat
Sumatra adalah sebagai berikut: 1. Periode dimana VOC hanya melakukan
perdagangan secara longgar dan terbatas hubungan dengan komunitas di sekitar pantai,
sampai sekitar 1615; 2. Periode dimana Pantai Barat Sumatra diperluas menjadi bagian
perdagangan VOC, sampai sekitar 1663; 3. Penduduk Pantai Barat Sumatra sebagai
sekutu VOC, sampai dengan 1666; dan 4. Penduduk Pantai Barat Sumatra sebagai
subyek VOC.
Nama Padang Muncul
Belanda kemudian memperluas ke Sumatra tahun1664.
Para pedagang VOC yang mulai melakukan aktivitas di pantai barat Sumatra adalah
Bitter, Poleman dan Verspreet dan lainnya. Tempat yang dijadikan sebagai kantor
pusat di pantai barat Sumatra adalah pelabuhan yang kelak dikenal sebagai
Padang di muara sungai Batang Arau. Pada tahun 1666 Belanda berhasil mengusir
Atjeh (lihat Groninger courant, 14-12-1824). Sebagaimana diketahui, hari jadi
Kota Padang ditabalkan pada 7 Agustus 1669 yang dianggap sebagai hari yang mana
terjadi penyerangan yang dilakukan penduduk Pauh dan Kota Tengah terhadap VOC
di Kota Padang. Baros pada tahun 1668 terdapat post VOC. Kekuasaan Baros hingga
ke Natal. Natal memberontak dan kemudian Inggris membantu.
Casteel Batavia (1657) |
Lalu post VOC di Baros ditarik. Di Singkel
tahun 1672 VOC membuka pos perdagangan. Pada tahun 1679 kembali VOC (Cooper) ke
pantai barat Sumatra dengan fokus eksplorasi tambang batubara di Solok dan
tahun 1681 memulai pertambangan emas (di Passaman?).
Gambaran mengenai Padang saat itu sebagaimana dilaporkan Groninger courant, 14-12-1824 adalah sebagai berikut: ‘…kantor pusat telah didirikan. Jalan-jalan sangat aman. Ada banyak emas, lada dan makanan, dan orang-orang yang sangat fleksibel dan nyaman. Priaman, sedikit lebih jauh ke utara adalah, seperti telah kita lihat, rebutan antara Belanda dan Inggris… banyak emas dibawa dari pegunungan… Sebelumnya, ada juga lebih utara, kantor di Aijcrbangies dan Baros yang memiliki banyak emas dan merica, juga ada banyak kayu manis..’. Pos perdagangan VOC di Padang ini berakhir pada tahun 1670 (lihat Almanak, 1871).
Pada tahun 1679 kembali VOC (Cooper) ke
pantai barat Sumatra dengan fokus eksplorasi tambang batubara di Solok dan
tahun 1681 memulai pertambangan emas (di Passaman?).
Oprechte Haerlemsche courant, 11-04-1686 |
Sementara itu, Inggris mengirim seorang utusan ke Atjeh
dan mendapat persetujuan untuk mendirikan maskapai di Pariaman tahun 1684 untuk
perdagangan lada (Oprechte Haerlemsche courant, 11-04-1686). Pada tahun 1685 terjadi pertempuran berdarah
antara Inggris dan Belanda, lalu Inggris pindah ke Bengkulu 1686. Pada tahun 1693
Belanda membuat kontrak dengan Raja Baros, untuk berbagai kebutuhan pokok,
namun datang Inggris memprovokasi agar Baros tetap independen. Lalu lambat laun
Belanda mundur ke Air Bangies dengan pusat di Padang dan juga memperluas di
Indrapoera dan pantai selatan Palembang. Di pihak Inggris, Raflles ingin Padang
dan Bengkulu disatukan. Pada tahun 1714 benteng Malborough dibangun dan pada
tahun 1719 terjadi pemberontakan penduduk (lihat Groninger courant, 14-12-1824).
Pada tahun 1737 di pantai barat Sumatra
terjadi beberapa pemberontakan yang dilakukan oleh pangeran dan segera dapat
diselesaikan oleh R. de Klerk. Oleh karena kesibukan di Jawa, Belanda agak
mengabaikan pantai barat Sumatra.
Nama Padang sebagai nama suatu tempat di pantai barat
Sumatra paling tidak tahun 1744 sudah mulai dikenal (Amsterdamse courant, 11-02-1744).
Nama Padang sebagai suatu tempat yang penting dipertegas dengan adanya laporan
bahwa kapal Winter berangkat dari (pelabuhan) Padang (Leydse courant, 22-09-1745).
Dari nama kapal ini, Winter diduga adalah kapal Inggris. Selanjutnya Inggris
tahun 1752 mendirikan maskapai di Natal dan Tapanolei yang berada di bagian
utara Pantai Barat (lihat Groninger courant, 14-12-1824).
Sementara basis kekuatan pelaut-pelaut
Belanda lebih konsentrasi di Jawa (ibukota Batavia). Koloni-koloni Belanda
(VOC) pernah terjadi di Baros, termasuk Natal (1668) dan Singkel (1672). Di pantai
barat Sumatra juga kapal-kapal Belanda melakukan aktivitas pelayaran. Namun
karena ada pemberonakan wilayah tersebut ditinggalkan. Pada tahun 1755-1760 Baros
diambil alih oleh Inggris (Kekuasaan Baros termasuk sampai ke Natal).
Leeuwarder courant, 15-07-1761 |
Sebagaimana dilaporkan Amsterdamse courant, 07-07-1757, bahwa kapal de Princes van
Oranje tiba di Porto Chinco; tanggal 30 Juli kapal Ouwerkerk tiba di Padang dan
kapal de Chaloup de Overmaas tiba Porto Chinco. Juga ditemukan kapal de
Spaarsaamheid tanggal 7 Maret tiba di Padang (Leydse courant, 06-07-1759). Kapal
Pasgeld tanggal 23 Februari (1760) akan berangkat ke Padang dan China (Leydse
courant, 12-12-1759).
Pada tahun 1761 terjadi pertempuran antara dua negara yang berseteru di Eropa di laut Pantai Barat Sumatra. Dalam hal ini Perancis mampu mengalahkan Inggris. Lalu Perancis
mengambil alih pantai barat Sumatra dari Inggris. Laporan mengenai perseteruan
Perancis dan Inggris ini dapat dibaca pada surat kabar Leeuwarder courant edisi
no 219 tanggal 15-07-1761. Dalam perkembangan berikutnya, Inggris kembali
mendapatkan kekuasaannya di pantai barat Sumatra.
Leydse courant, 26-06-1761 |
Leydse courant, 26-06-1761: ‘..4 Februari 1760, kapal
Perancis berlabuh di fort Ayer Bongi (Air Bangis), 7 Februari 1860 Inggris
mengambil pelabuhan Natal dari Perancis. Pelabuhan Natal ini diduduki oleh 40
Eropa dan 60 orang pribumi.
Pada dekade-dekade tersebut, kekuatan laut
Inggris yang berbasis di India sangat kuat namun kecolongan di Pantai Barat
Sumatra. Tempat-tempat yang menjadi perebutan tiga negara (Inggris, Perancis
dan ditambah Belanda) di Pantai Barat Sumatra tampak silih berganti seperti di Bengkulu
(dan Moco-moco), Padang (dan Pariaman), Air Bangie dan Nata; Tapanoeli (dan Baros).
Struktur pemerintahan Belanda (VOC) pada tahun 1764 di Pantai Barat Sumatra
adalah sebagai berikut: yang diangkat
sebagai Letnan Gubernur yang berkedudukan di Padang adalah Henry van Haveren
dengan perangkat-perangkatnya termasuk di Pulau Chinco, Air Bangies dan Baros.
Leydse courant, 04-05-1764 |
Leydse courant, 04-05-1764:
‘Sumatra Westkust. Untuk Komandan Letnan Gubernur ditunjuk Merchant Henry van Haveren;
Untuk Adminiflrateur pertama Gubernur adalah pedagang (Koopman) Mr. John
Anthony Thierens, Sedangkan untuk Fifcaal dan Caffier disini digantikan oleh
Merchant Jan Kalkoen van Limburg; Untuk pengawas adalah Pedagang Roeland Palm
yang merangkap sebagai Rcsident dari (pulau) Chinco, dan Jan Boudewyns di
Ayerbangis; serta Anthony Hend.Siebens untuk Baros. Sementara itu Adminiftreiur
kedua di Padang ditunjuk untuk mempekerjakan orang lokal dibawah Koopman Frans Douglss
dan yang terakhir untuk Sekretaris yang merangkap kepala Policie adalah di
bawah Koopman Jan Fredrik William Nicolay’.
Pada waktu itu, pelabuhan Belanda di Padang
seakan terjepit diantara dua kekuatan Eropa lainnya, yakni Inggris di Natal, Tapanoeli
dan Bencoelen dan Perancis di Air Bangies. Tapanoeli (Telok Tapanoeli) dan
Natal secara historis merupakan basis perdagangan Inggris di Pantai Barat
Sumatra bagian utara.
Pada tahun 1773 suatu ekspedisi Inggris memasuki Angkola
(kini Padang Sidempuan) untuk eksplorasi kulit manis. Ekspedisi ini melalui
Loemoet dari pangkalan Inggris yang berada di Pulau Pontjang (Teluk Tapanoeli).
Ekspedisi ini dipimpin oleh seorang botanis Miller (lihat W. Marsden 1911). Pusat
kekuatan Inggris di Pantai Barat Sumatra pada nantinya berpusat di Bengkoelen
(sebagai bagian dari Gubernur Jenderal Inggris di India).
Pada tahun 1781 Inggris mengambil alih milik
Belanda di pantai barat Sumatra dan Sir Stamford Raffles diangkat menjadi
Gubernur Bengkulu (lihat Groninger courant, 14-12-1824). Pada tahun 1783
Belanda damai dengan Inggris. Properti di pantai barat Sumatra dan di Pantai
Coromandel (kecuali Negapatnam) dikembalikan kepada Belanda. Namun dalam
perkembangannya VOC semakin melemah hingga akhirnya tahun 1800 Inggris memblokir
Batavia (pusat dagang dan pemerintahan Belanda) dan menghacurkan maskapai
Belanda di pulau Onrust. Pada tahun 1882 Belanda dan Inggris damai kembali.
Meski demikian di beberapa tempat, Inggris masih sebagai ancaman. Pemerintah
Hindia Belanda kemudian pada tahun 1808 di bawah kepemimpinan Daendles mulai
menunjukkan kepercayaan diri. Namun karena adanya eskalasi politik di Eropa,
kepercayaan diri Belanda sejenak terhenti.
Daendles dengan program tangan besi membangunan jalan
trans-Java belum sepenuhnya berhasil pada tahun 1811 Inggris mengambilalih Jawa
hingga tahun 1815 di bawah kepemimpinan Raffles. Dalam Almanak 1815
pemerintahan Inggris hanya terkonsentrasi di Jawa dan beberap tempat di
Kalimantan. Di dalam Almanak ini tidak teridentifikasi administrasi Inggrsi di
pantai barat Sumatra. Pada tahun 1816 komisaris Belanda, Mr. Cornelis Theodorus
Elout, Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen en Arnold Adriaan Buyskes
mengambilalih kembali kekuasaan Inggris. Baru pada tahun 1819 Belanda
mengakuisisi kembali properti di pantai barat Sumatera di bawah kepemimpinan
Kommissaris J. du Puy.
Belum lama Belanda bercokol kembali di Pantai
Barat Sumatra (1819), tahun 1822 muncul (kembali) pemberontakan yang
dilancarkan Padri di Padangsehe Bovenlanden yang kemudian mengirim Luitenant
Kolonel AP Raаff. Saat pengaruh Belanda makin menguat di Padang dan Padangsch
(Benelanden dan Bovenlanden), situasi dan kondisi Pantai Barat Sumatra berubah
radikal. Ini seiring dengan perselisihan Belanda dengan Inggris yang telah
lama, kemudian tahun 1824 disepakati perjanjian damai yang dikenal Traktaat
London (17 Maret 1824). Implikasinya, pada tahun 1825 pelabuhan Natal dan fort
Tapanoeli menjadi wilayah penguasaan Belanda (berdasarkan Traktak London, 17
Maret 1824).
Penduduk di Kota Natal sendiri adalah penduduk melting
pot. Mereka adalah pendatang yang umumnya berdagang. Menurut Tijdschrift voor
Neerland's Indië jrg 2, 1839, di Natal terdapat enam suku: 1. Soekoe
Menangkabauw (Menangkabausche stam); 2. Soekoe Barat (Westelijke stam); 3.
Soekoe Padang (stam van Padang), 4. Soekoe Bandar Sepoeloe (stam uit de
plaatsen gelegen tusschen Padang en Benkoelen); 5. Soekoe Atje (stam van
Atjin); 6. Soekoe Rauw (stam van Rauw). Setiap suku dikepalai oleh seorang Datu
dan para Datu dipimpin oleh seorang Radja yang disebut Toeankoe Besar. Lanskap
Natal juga meliputi hulu Kota Natal terdapat Linggabayu, di sebelah utara, di
sebelah selatan Batahan dan Air Bangis (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indië
jrg 2, 1839). Di Linggabayu terdapat Radja (dan panglima) yang mana penduduknya
Mandailing sebanyak 3.000 jiwa. Di Batahan
terdapat penduduk Mandailing sebanyak 2.500 jiwa yang dikepalai oleh
seorang Radja. Wilayah Batahan termasuk pulau Tamang. Di selatan Batahan
terdapat Air Bangis yang dikepalai oleh seorang Radja (dan Panghoeloe) yang
diduga kuat lebih didominasi orang-orang Melayu dan orang-orang Rao.
Pada tahun 1825 reposisi pengusaan antara
Inggris dan Belanda berakhir dengan terjadi tukar guling antara Malaka dan
Bengkulu yang menandai secara de facto (pulau) Sumatra diklaim sebagai wilayah
yang berada di bawah kekuasaan Belanda (meski sebagian pantai timur Sumatra dan
Atjeh masih dianggap independen).
Sesungguhnya Inggris tidak puas dengan yang terjadi
dengan perseteruan di Eropa berdampak di Sumatra. Inggris secara teknis sudah
berada diambang pintu untuk menggabungkan Tapanoeli dengan Pantai Timur Sumatra
dan Semenanjung (plus Singapoera) minus Malaka. ‘Hubungan manis’ Inggris dan
Atjeh dengan kekuasaan tradisional Belanda di Padang membuat Sumatra bagian
utara (yang parallel dengan Semenanjung) sebagai bagian yang terpisah dari
Hindia Belanda. Faktor Malaka dan Bengkulu menghalangi segalanya tetapi
menghilangkan halangan itu (melepas Bengkulu dan mendapatkan Malaka) dari sudut
pandang geopolitik Inggris di Asia Tenggara lebih menguntungkan karena pengaruh
Inggris sendiri di China semakin menguat dan pengaruh Perancis semakin melemah
di Indochina. Meski demikian adanya, Belanda masih memiliki hubungan
tradisional dengan Jepang.
Pada saat ini gambaran populasi di pulau
Sumatra, khususnya di kota-kota Pantai Barat Sumatra sangatlah kompleks. Tidak
terkecuali di Kota Padang. Keragaman populasi di Kota Padang makin besar
tatkala Pemerintah Hindia Belanda mulai secara intens mengekplorasi (memperluas
territorial ke utara) dan mengeksploitasi (intensifikasi perkonomian berbasis
kopi) di Pantai Barat Sumatra.
Kompleksitas populasi di kota-kota Pantai Barat Sumatra
termasuk yang paling rumit di seluruh Hindia Belanda. Ada yang berasal dari
Asia Barat, Afrika (Moor), Asia Selatan dan ada yang dari Asia Timur (terutama
Siam dan Tiongkok). Dari dalam pulau ada orang Minangkabau, Kerintji, Batak dan
Komering, sementara dari kepulauan terutama orang-orang Mentawai dan Nias.
Tentu saja orang-orang Melayu (dari Riau) dan pelaut-pelaut Bugis dan Banjar.
Populasi kota-kota di Pantai Barat Sumatra menjadi lebih kompleks dengan
kehadiran orang-orang Eropa (Portugis, Inggris, Perancis dan Belanda). Penduduk
Atjeh sendiri adalah berakar dari penduduk Alas dan Gajo yang diperkaya oleh
orang-orang Asia Barat, Asia Selatan dan Eropa yang bersimpul pada orang-orang
Moor (sebagai penguasa kesultanan-kesultanan) yang berada di pantai-pantai
Atjeh mulai dari barat, utra hingga timur. Dengan kata lain, kota-kota pantai
Atjeh juga adalah kota-kota melting pot seperti halnya kota-kota pantai yang
berada di Pantai Barat Sumatra.
Pada tahun 1830 van den Bosch di Jawa
melaksanakan program koffiestelsel termasuk di Preanger. Pantai barat Sumatra
mulai mendapat perhatian serius sejak Assistent-Resident van Bencoelen, Knoerle
dibunuh tahun 1833. Atas kejadian ini, Komisaris Jenderal van den Bosch melakukan
ekspedisi ke Sumatra yang dimulai dari Palembang menuju Djambi termasuk
didalamnya Luitenant Kolonel AV Michiels. Tindak lanjut dari ekspedisi Djambi,
pada tahun 1834 dilakukan ekspedisi pertama ke Lampong untuk menekan Raden Imba
Koesoema. Akhirnya, pada tahun 1935 Belanda melakukan perjanjian dengan Sultan Djambi.
Beberapa tahun kemudian Andreas Victor Michiels setelah
mendapat kenaikan pangkat dari Luitenant Kolonel menjadi Kolonel akan menjadi
tokoh penting di Pantai Barat Sumatra (akan dideskripsikan secara komprehensif
pada artikel berikutnya). Hint.: Andreas Victor Michiels tidak saja memberi
kontribusi besar di Pantai Barat Sumatra tetapi juga mengubah komposisi ekonomi
di Hindia Belanda (yang selama ini berbasis di Jawa). Andreas Victor Michiels
telah membuka jalan: Maluku masa lalu, Jawa masa kini dan Sumatra masa datang.
Era Baru Pantai Barat Sumatra
Perebutan pengaruh yang silih berganti di
pantai barat Sumatra antara tiga negara utama (Inggris, Perancis dan Belanda)
menunjukkan begitu pentingnya sentra-sentra produksi di pedalaman dan
pusat-pusat perdagangan di pantai barat Sumatra. Komoditi alamiah seperti emas,
kemenyan, benzoin, kulit manis dan lada menjadi pemicu segalanya. Tiga TKP
utama berada di Bengcoelen, Padang dan Tapanoeli (teluk Tapanoeli). Wilayah
pantai barat Sumatra dengan tiga pelabuhan utama selalu mendapat perhatian di
Eropa. Surat kabar intens melaporkannya.
Kerajaan Belanda yang menganggap secara de
facto pulau Sumatra adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehadirannnya di
Oost Indie (Hindia Timur) ingin secara utuh menjaga ‘kedaulatannya’ di Sumatra.
Dengan melihat perkembangan baru dan situasi dan kondisi yang makin kondusif di
Oost Indie, pada tahun 1837 Prins Willem Frederik Hendrik datang langsung dari
Belanda ke Nederlandsch-Indie. Ada beberapa hal khusus yang muncul setelah
kedatangan pangeran Belanda datang ke Hindia Belanda. Salah satunya adalah Gouverneur
Generaal DJ. de Eerens diminta membangun kembali istana Buîtenzorg yang runtuh
akibat gempa belum lama berselang (1834). Kedua, Kolonel ÂV. Michiels diangkat
sebagai Civiel en Militair Gouverneur van Sumatra’s Westkust untuk melaksanakan
koffiej-kultuur (setelah dianggap cukup berhasil di Preanger).
Perubahan struktur pemerintahan Hindia Belanda di Pantai Barat
Sumatra dengan menunjuk Kolonel Â. V. Michiels merupakan era baru di pantai
barat Sumatra. Kerajaan Belanda melalui Pemerintah Hindia Belanda ingin
memperkuat koloninya di pantai barat Sumatra. Ini semua karena perang yang
sangat melelahkan di Jawa sudah dianggap usai dan kini gilirannya Sumatra.
Hasilnya bagi Kerajaan Belanda/Pemerintah Hindia Belanda berhasil menumpas
pemberontakan di pantai barat Sumatra utamanya di Padangsch Bovenlanden (Perang
Bondjol/Tuanku Imam Bondjol) tahun 1837 dan di Angkola-Mandailing (Perang
Pertibie/Tuanku Tambusai) tahun 1838.
Muaro, Cikal bakal Kota Padang (foto 1867) |
Lalu kemudian setelah dianggap kondusif, pada
tahun 1840 pembentukan Pemerintahan Hindia Belanda di pantai barat Sumatra
diperluas hingga ke Singkel. Dengan demikian, teritori pantai barat Sumatra
mulai dari Bencoelen (Moco-moco) hingga Singkel (Baros) semakin diintensifkan.
Inilah awal era baru ekonomi di pantai barat Sumatra, dan kedudukan kota Padang
menjadi sangat penting. Kota Padang tidak hanya sebagai ibukota pantai barat
Sumatra (Sumatra’s Westkust) juga dari kota ini semuanya dikonsolidasikan:
ekonomi wilayah, politik dan administrasi pemerintahan (sipil dan militer).
Dampaknya, kota Padang secara drastic tumbuh dan berkembang pesat. Muara, Cikal
bakal Kota Padang (foto 1867)
Sketsa Kota Padang (1879) |
Kota Padang, yang dulunya adalah suatu area yang dihuni
para migran orang-orang Nias di muara sungai Batang Arau yang dijadikan sebagai
pos perdagangan lambat-laun dikembangkan dan berkembang sebagai pusat
pemerintahan di pantai barat Sumatra. Pertumbuhan kota semakin melaju,
perkembangan kota tidak lagi hanya di sekitar muara tetapi merangsek ke arah
timur (sejajar sungai Batang Arau) dan juga ke arah utara (sejajar pantai).
Area diantara timur dan utara inilah kota Padang tumbuh dan berkembang.
Ketika Medan masih suatu kampung, Padang Sidempuan sudah kota besar |
Pada artikel berikutnya, riwayat pertumbuhan
dan perkembangan kota Padang akan dideskripsikan secara rinci. Sejalan dengan
perubahan kota, berbagai aspek dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi ke
selatan (Bengkulu), ke timur (Padangsche Vovenlanden) dan ke utara (Tapanoeli
termasuk didalamnya Singkel). Di bagian lain juga dikaitkan yang agak sedikit
terpisah dengan Kota Padang yakni perubahan geopolitik dan perekonomian di
pantai timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust) yang kelak berpusat di Medan (Deli).
Satu lagi yang terpisah namun masih terkait adalah situasi dan kondisi geopolitik
di Toba (Perang Batak/Sisingamangaradja) dan Atjeh (Perang Atjeh/Teuku Umar)
yang merupakan resultante perkembangan Kota Medan (dan kemunduran Kota Padang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar