Selasa, 14 Maret 2017

Sejarah Kota Padang (1): Muaro, Perkampungan Migran Orang Nias; Origin Perkembangan Kota Padang

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini


Cikal bakal Kota Padang berawal dari suatu tempat yangt berada pada sisi barat muara sungai Batang Arau, suatu perkampuangan yang diduga dihuni oleh para migran orang-orang Nias. Di tempat inilah pelaut-pelaut Eropa mulai membangun pos perdagangan karena posisinya yang strategis terlindung dari lautan India. Seiring dengan perkembangan pos perdagangan tersebut dan kebutuhan bangunan yang semakin banyak, lambat-laun areal permukiman orang-orang Nias tersebut terokupasi dan para pemukim menyingkir ke area kosong di belakang. Para migran ini tidak merasa dirugikan karena dengan kehadiran pos perdagangan tersebut mereka juga mendapat pekerjaan.

Foto Hoofd uit Nias te Padang1865
Bagaimana asal mula adanya orang-orang Nias di muara Batang Arau tersebut adalah suatu hal, bagaimana orang-orang Eropa memulai okupasi adalah hal yang akan ditelusuri lebih lanjut. Sebab awal okupasi orang-orang Eropa inilah yang dapat dijadikan sebagai starting point untuk mengidentifikasi kapan Kota Padang yang sekarang mulai terbentuk di masa lampau.

Penelusuran ini akan dapat memperjelas asal-usul Kota Padang yang sekarang. Agak sedikit membingungkan mengapa hari jadi Kota Padang ditabalkan sebagai hari yang mana terjadi penyerangan yang dilakukan penduduk Pauh dan Kota Tengah terhadap VOC pada 7 Agustus 1669. Hal serupa ini tidak hanya Kota Padang, juga ditemukan dalam penetapan hari jadi Kota Medan, hari jadi Jakarta, hari jadi Kota Bogor, hari jadi Kota Bandung dan beberapa kota utama lainnya.

Serial artikel Sejarah Kota Padang ditulis atas permintaan seorang kawan yang ingin mendapatkan gambaran sejarah kota tempat kelahirannya dengan seutuhnya, karena dirasakannya kronologis dan deskripsi sejarah yang ada dirasakannya kurang mengena. Permintaan beliau ini terdorong karea beliau sudah lama mengetahui saya menulis artikel-artikel tentang perkembangan awal sejarah kota. Awalnya saya enggan, karena saya tahu kawan-kawan dari Kota Padang banyak yang lebih paham dari saya tentang sejarah, dan saya sendiri bukan ahli sejarah, melainkan seorang ekonom yang membutuhkan aspek sejarah dalam pemahaman ekonomi dan bisnis Indonesia.

Untuk memenuhi permintaan kawan ini, saya coba semampu saja saja. Lagi pula memahami sejarah Kota Padang akan dengan sendirinya lebih memperluas dan memperkaya pemahaman saya tentang kota-kota utama di Indonesia. Namun demikian, artikel-artikel serial Sejarah Kota Padang ini tidak akan cepat terealisasi, karena harus berbagi waktu, sebab saya masih menulis Sejarah Kota Medan (artikel ke-54), Sejarah Jakarta (artikel ke-16), Sejarah Bogor (artikel ke-2), Sejarah Bandung (artikel ke-36), Sejarah Tapanuli (artikel ke-7) dan Sejarah Padang Sidempuan (artikel ke-18). Saya juga waktu sangat terbatas dan hanya menulis artikel-artikel serupa ini saat ada waktu senggang terutama saat menonton sepakbola di televisi.

Mari kita mulai dari artikel pertama tentang origin kota Padang. Artikel ini akan coba menelusuri masa-masa awal sebelum terbentuknya kota di muara sungai Batang Arau yang kini kita kenal sebagai Kota Padang. Sumber-sumber yang digunakan adalah berbagai surat kabar tempo doeloe, majalah dan buku-buku yang diterbitkan sejaman ditambah dengan peta-peta (atau sketsa) dan foto-foto (atau lukisan) sejauh yang bisa diakses. Tidak semua sumber disebutkan, karena sudah disebut di artikel-artikel saya yang lain. Sumber-sumber baru akan disebutkan untuk memudahkan para pembaca dapat menelusuri kembali.

Pantai Barat Sumatra

Peta pantai barat Sumatra. 1830
Pantai barat Sumatra tentu saja sudah dikenal sejak masa pra sejarah Indonesia (sebelum kedatangan orang-orang Eropa) karena perdagangan. Pelaut-pelaut orang-orang India, Persia, Arab dan Mesir yang melakukan kegiatan perdagangan diduga sangat intens sejak masa lampau bahkan sebelum adanya Agama Islam (Muhammad). Pemicunya adalah komoditi alamiah dari pedalaman pulau Sumatra seperti emas, kemenyan, benzoin. Pelabuhan Baros diduga adalah salah satu pelabuhan kuno di pantai barat Sumatra.

Dalam peta kuno, terbitan berbahasa Portugis tahun 1619 kota-kota pelabuhan penting di pantai barat Sumatra adalah Baros, Batahan dan Pariaman. Tiga kota pelabuhan ini besar kemungkinan sebagai simpul perdagangan dari pedalaman di Angkola (Baros), di Mandailing (Batahan) dan di Minangkabau (Pariaman). Di era perdagangan Eropa pelabuhan-pelabuhan untuk pedalaman ini bergeser ke pelabuhan yang lebih besar yang terbentuk kemudian di Sibolga (penggati Baros), Natal (pengganti Batahan) dan Padang (pengganti Pariaman). Peta kuno ini tidak berbeda jauh dengan sketsa pulau Sumatra hasil ekspedisi Cornelis de Houtman (1595-1597) yang diterbitkan dalam jurnal ‘Journael vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt aengeteeckent, ...’. Jurnal ini sepenuhnya berisi catatan hari demi hari tentang ekspedisi yang dilakukan oleh Cornelis de Houtman yang dimulai pada tanggal 2 April 1595.

Nama Padang sebagai nama tempat di dalam peta/sketsa tersebut belum teridentifikasi. Di dalam buku kono paling lengkap tentang identifikasi nama-nama tempat di dunia yang berjudul ‘Itinerarivm, ofte schipvaert naer Oost ofte Portugaels Indien’ yang terbit di Amsterdam tahun 1614 juga belum teridentifikasi. Nama-nama tempat yang teridentifikasi antara lain adalah Baros dan bahkan lebih spesiif menyebut Loboe.

P. van den Broek (lukisan 1720)
Aktivitas perdagangan Belanda (VOC) secara bertahap mulai dialihkan dari Maluku dan sekitarnya dan dipusatkan di Batavia sejak 1619. Sebelumnya (1616-1618) ekspedisi di bawah pimpinan P. van den Broek tiba di Arabia, Hindoestan dan Suratte. Kelak Pieter van den Broecke, eerste Directeur van Suratte, Persien en Arabien. Sejak itu berbagai tempat di jalur pelayaran menjadi wilayah-wilayah pengaruh kekuasaan VOC termasuk Coromandel, Malabar, China hingga Jepang. Wilayah-wilayah kekuasaan baru itu banyak diperoleh dari ‘pengusuran’ pelaut-pelaut Portugis.

Untuk mudahnya, aktivitas perdagangan Belanda (VOC) di Pantai Barat Sumatra diabgi ke dalam empat periode (lihat De Westkust en Miangkabau 1665-1668 door Hendrik Kroeskamp, 1931). Sejarah Pantai Barat Sumatra adalah sebagai berikut: 1. Periode dimana VOC hanya melakukan perdagangan secara longgar dan terbatas hubungan dengan komunitas di sekitar pantai, sampai sekitar 1615; 2. Periode dimana Pantai Barat Sumatra diperluas menjadi bagian perdagangan VOC, sampai sekitar 1663; 3. Penduduk Pantai Barat Sumatra sebagai sekutu VOC, sampai dengan 1666; dan 4. Penduduk Pantai Barat Sumatra sebagai subyek VOC.

Nama Padang Muncul

Belanda kemudian memperluas ke Sumatra tahun1664. Para pedagang VOC yang mulai melakukan aktivitas di pantai barat Sumatra adalah Bitter, Poleman dan Verspreet dan lainnya. Tempat yang dijadikan sebagai kantor pusat di pantai barat Sumatra adalah pelabuhan yang kelak dikenal sebagai Padang di muara sungai Batang Arau. Pada tahun 1666 Belanda berhasil mengusir Atjeh (lihat Groninger courant, 14-12-1824). Sebagaimana diketahui, hari jadi Kota Padang ditabalkan pada 7 Agustus 1669 yang dianggap sebagai hari yang mana terjadi penyerangan yang dilakukan penduduk Pauh dan Kota Tengah terhadap VOC di Kota Padang. Baros pada tahun 1668 terdapat post VOC. Kekuasaan Baros hingga ke Natal. Natal memberontak dan kemudian Inggris membantu.

Casteel Batavia (1657)
Inggris menetap di Natal antara tahun 1755-1760 dengan membangun benteng. Benteng yang dibangunan tahun 1755-1756 ini panjang 212 meter, lebar 150 meter disediakan dengan empat Bastions yang tinggi 10 meter masing-masing, dan dikelilingi oleh parit yang dalamnya 10 kaki dan lebar lebar 14 kaki. Benteng ini dibuat untuk melindungi penduduk di belakangnya dari musuh (baik dari darat maupun dari laut). Wilayah di sekitarnya di arah utara terdapat Linggabojo, Mandailing dengan populasi 3.000 jiwa dan di selatan terdapat Batahan, Mandailing dengan 2.500 jiwa. Wraga Natal sendiri terdiri dari berbagai asal-usul. Di dalam benteng sendiri terdapat satu bangunan tinggal dan empat bangunan untuk gudang rempah-rempah, tempat persenjataan, tempat tenaga kerja dan lainnya. Benteng ini mirip Casteel Batavia (di awal kehadiran Belanda). Di luar benteng yang  jaraknya 200 meter di sepanjang pantai terdapat rumah perjabat dan pegawai, termasuk Aisten Residen dan rumah sakit. Di sekitar bukit terdapat taman-taman botani dan taman-taman pemerintah. Di sebelah atas benteng adalah pasar dimana terdapat 200 rumah. Setelah ditinggal Inggris, benteng dan bangunan ini tidak menjadi perhatian VOC lagi dan hingga kehadiran Belanda kembali sudah banyak yang rusak berat.

Lalu post VOC di Baros ditarik. Di Singkel tahun 1672 VOC membuka pos perdagangan. Pada tahun 1679 kembali VOC (Cooper) ke pantai barat Sumatra dengan fokus eksplorasi tambang batubara di Solok dan tahun 1681 memulai pertambangan emas (di Passaman?).

Gambaran mengenai Padang saat itu sebagaimana dilaporkan Groninger courant, 14-12-1824 adalah sebagai berikut: ‘…kantor pusat telah didirikan. Jalan-jalan sangat aman. Ada banyak emas, lada dan makanan, dan orang-orang yang sangat fleksibel dan nyaman. Priaman, sedikit lebih jauh ke utara adalah, seperti telah kita lihat, rebutan antara Belanda dan Inggris… banyak emas dibawa dari pegunungan… Sebelumnya, ada juga lebih utara, kantor di Aijcrbangies dan Baros yang memiliki banyak emas dan merica, juga ada banyak kayu manis..’. Pos perdagangan VOC di Padang ini berakhir pada tahun 1670 (lihat Almanak, 1871).

Pada tahun 1679 kembali VOC (Cooper) ke pantai barat Sumatra dengan fokus eksplorasi tambang batubara di Solok dan tahun 1681 memulai pertambangan emas (di Passaman?).

Oprechte Haerlemsche courant, 11-04-1686
Sementara itu, Inggris mengirim seorang utusan ke Atjeh dan mendapat persetujuan untuk mendirikan maskapai di Pariaman tahun 1684 untuk perdagangan lada (Oprechte Haerlemsche courant, 11-04-1686). Pada tahun 1685 terjadi pertempuran berdarah antara Inggris dan Belanda, lalu Inggris pindah ke Bengkulu 1686. Pada tahun 1693 Belanda membuat kontrak dengan Raja Baros, untuk berbagai kebutuhan pokok, namun datang Inggris memprovokasi agar Baros tetap independen. Lalu lambat laun Belanda mundur ke Air Bangies dengan pusat di Padang dan juga memperluas di Indrapoera dan pantai selatan Palembang. Di pihak Inggris, Raflles ingin Padang dan Bengkulu disatukan. Pada tahun 1714 benteng Malborough dibangun dan pada tahun 1719 terjadi pemberontakan penduduk (lihat Groninger courant, 14-12-1824).

Pada tahun 1737 di pantai barat Sumatra terjadi beberapa pemberontakan yang dilakukan oleh pangeran dan segera dapat diselesaikan oleh R. de Klerk. Oleh karena kesibukan di Jawa, Belanda agak mengabaikan pantai barat Sumatra.

Nama Padang sebagai nama suatu tempat di pantai barat Sumatra paling tidak tahun 1744 sudah mulai dikenal (Amsterdamse courant, 11-02-1744). Nama Padang sebagai suatu tempat yang penting dipertegas dengan adanya laporan bahwa kapal Winter berangkat dari (pelabuhan) Padang (Leydse courant, 22-09-1745). Dari nama kapal ini, Winter diduga adalah kapal Inggris. Selanjutnya Inggris tahun 1752 mendirikan maskapai di Natal dan Tapanolei yang berada di bagian utara Pantai Barat (lihat Groninger courant, 14-12-1824).

Sementara basis kekuatan pelaut-pelaut Belanda lebih konsentrasi di Jawa (ibukota Batavia). Koloni-koloni Belanda (VOC) pernah terjadi di Baros, termasuk Natal (1668) dan Singkel (1672). Di pantai barat Sumatra juga kapal-kapal Belanda melakukan aktivitas pelayaran. Namun karena ada pemberonakan wilayah tersebut ditinggalkan. Pada tahun 1755-1760 Baros diambil alih oleh Inggris (Kekuasaan Baros termasuk sampai ke Natal).

Leeuwarder courant, 15-07-1761
Sebagaimana dilaporkan Amsterdamse courant, 07-07-1757, bahwa kapal de Princes van Oranje tiba di Porto Chinco; tanggal 30 Juli kapal Ouwerkerk tiba di Padang dan kapal de Chaloup de Overmaas tiba Porto Chinco. Juga ditemukan kapal de Spaarsaamheid tanggal 7 Maret tiba di Padang (Leydse courant, 06-07-1759). Kapal Pasgeld tanggal 23 Februari (1760) akan berangkat ke Padang dan China (Leydse courant, 12-12-1759).

Pada tahun 1761 terjadi pertempuran antara dua negara yang berseteru di Eropa di laut Pantai Barat Sumatra. Dalam hal ini Perancis mampu mengalahkan Inggris. Lalu Perancis mengambil alih pantai barat Sumatra dari Inggris. Laporan mengenai perseteruan Perancis dan Inggris ini dapat dibaca pada surat kabar Leeuwarder courant edisi no 219 tanggal 15-07-1761. Dalam perkembangan berikutnya, Inggris kembali mendapatkan kekuasaannya di pantai barat Sumatra.

Leydse courant, 26-06-1761
Leydse courant, 26-06-1761: ‘..4 Februari 1760, kapal Perancis berlabuh di fort Ayer Bongi (Air Bangis), 7 Februari 1860 Inggris mengambil pelabuhan Natal dari Perancis. Pelabuhan Natal ini diduduki oleh 40 Eropa dan 60 orang pribumi.

Pada dekade-dekade tersebut, kekuatan laut Inggris yang berbasis di India sangat kuat namun kecolongan di Pantai Barat Sumatra. Tempat-tempat yang menjadi perebutan tiga negara (Inggris, Perancis dan ditambah Belanda) di Pantai Barat Sumatra tampak silih berganti seperti di Bengkulu (dan Moco-moco), Padang (dan Pariaman), Air Bangie dan Nata; Tapanoeli (dan Baros). Struktur pemerintahan Belanda (VOC) pada tahun 1764 di Pantai Barat Sumatra adalah sebagai berikut:  yang diangkat sebagai Letnan Gubernur yang berkedudukan di Padang adalah Henry van Haveren dengan perangkat-perangkatnya termasuk di Pulau Chinco, Air Bangies dan Baros.

Leydse courant, 04-05-1764
Leydse courant, 04-05-1764: ‘Sumatra Westkust. Untuk Komandan Letnan Gubernur ditunjuk Merchant Henry van Haveren; Untuk Adminiflrateur pertama Gubernur adalah pedagang (Koopman) Mr. John Anthony Thierens, Sedangkan untuk Fifcaal dan Caffier disini digantikan oleh Merchant Jan Kalkoen van Limburg; Untuk pengawas adalah Pedagang Roeland Palm yang merangkap sebagai Rcsident dari (pulau) Chinco, dan Jan Boudewyns di Ayerbangis; serta Anthony Hend.Siebens untuk Baros. Sementara itu Adminiftreiur kedua di Padang ditunjuk untuk mempekerjakan orang lokal dibawah Koopman Frans Douglss dan yang terakhir untuk Sekretaris yang merangkap kepala Policie adalah di bawah Koopman Jan Fredrik William Nicolay’.

Pada waktu itu, pelabuhan Belanda di Padang seakan terjepit diantara dua kekuatan Eropa lainnya, yakni Inggris di Natal, Tapanoeli dan Bencoelen dan Perancis di Air Bangies. Tapanoeli (Telok Tapanoeli) dan Natal secara historis merupakan basis perdagangan Inggris di Pantai Barat Sumatra bagian utara.

Pada tahun 1773 suatu ekspedisi Inggris memasuki Angkola (kini Padang Sidempuan) untuk eksplorasi kulit manis. Ekspedisi ini melalui Loemoet dari pangkalan Inggris yang berada di Pulau Pontjang (Teluk Tapanoeli). Ekspedisi ini dipimpin oleh seorang botanis Miller (lihat W. Marsden 1911). Pusat kekuatan Inggris di Pantai Barat Sumatra pada nantinya berpusat di Bengkoelen (sebagai bagian dari Gubernur Jenderal Inggris di India).

Pada tahun 1781 Inggris mengambil alih milik Belanda di pantai barat Sumatra dan Sir Stamford Raffles diangkat menjadi Gubernur Bengkulu (lihat Groninger courant, 14-12-1824). Pada tahun 1783 Belanda damai dengan Inggris. Properti di pantai barat Sumatra dan di Pantai Coromandel (kecuali Negapatnam) dikembalikan kepada Belanda. Namun dalam perkembangannya VOC semakin melemah hingga akhirnya tahun 1800 Inggris memblokir Batavia (pusat dagang dan pemerintahan Belanda) dan menghacurkan maskapai Belanda di pulau Onrust. Pada tahun 1882 Belanda dan Inggris damai kembali. Meski demikian di beberapa tempat, Inggris masih sebagai ancaman. Pemerintah Hindia Belanda kemudian pada tahun 1808 di bawah kepemimpinan Daendles mulai menunjukkan kepercayaan diri. Namun karena adanya eskalasi politik di Eropa, kepercayaan diri Belanda sejenak terhenti.

Daendles dengan program tangan besi membangunan jalan trans-Java belum sepenuhnya berhasil pada tahun 1811 Inggris mengambilalih Jawa hingga tahun 1815 di bawah kepemimpinan Raffles. Dalam Almanak 1815 pemerintahan Inggris hanya terkonsentrasi di Jawa dan beberap tempat di Kalimantan. Di dalam Almanak ini tidak teridentifikasi administrasi Inggrsi di pantai barat Sumatra. Pada tahun 1816 komisaris Belanda, Mr. Cornelis Theodorus Elout, Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen en Arnold Adriaan Buyskes mengambilalih kembali kekuasaan Inggris. Baru pada tahun 1819 Belanda mengakuisisi kembali properti di pantai barat Sumatera di bawah kepemimpinan Kommissaris J. du Puy.

Belum lama Belanda bercokol kembali di Pantai Barat Sumatra (1819), tahun 1822 muncul (kembali) pemberontakan yang dilancarkan Padri di Padangsehe Bovenlanden yang kemudian mengirim Luitenant Kolonel AP Raаff. Saat pengaruh Belanda makin menguat di Padang dan Padangsch (Benelanden dan Bovenlanden), situasi dan kondisi Pantai Barat Sumatra berubah radikal. Ini seiring dengan perselisihan Belanda dengan Inggris yang telah lama, kemudian tahun 1824 disepakati perjanjian damai yang dikenal Traktaat London (17 Maret 1824). Implikasinya, pada tahun 1825 pelabuhan Natal dan fort Tapanoeli menjadi wilayah penguasaan Belanda (berdasarkan Traktak London, 17 Maret 1824).

Penduduk di Kota Natal sendiri adalah penduduk melting pot. Mereka adalah pendatang yang umumnya berdagang. Menurut Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1839, di Natal terdapat enam suku: 1. Soekoe Menangkabauw (Menangkabausche stam); 2. Soekoe Barat (Westelijke stam); 3. Soekoe Padang (stam van Padang), 4. Soekoe Bandar Sepoeloe (stam uit de plaatsen gelegen tusschen Padang en Benkoelen); 5. Soekoe Atje (stam van Atjin); 6. Soekoe Rauw (stam van Rauw). Setiap suku dikepalai oleh seorang Datu dan para Datu dipimpin oleh seorang Radja yang disebut Toeankoe Besar. Lanskap Natal juga meliputi hulu Kota Natal terdapat Linggabayu, di sebelah utara, di sebelah selatan Batahan dan Air Bangis (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1839). Di Linggabayu terdapat Radja (dan panglima) yang mana penduduknya Mandailing sebanyak 3.000 jiwa. Di Batahan  terdapat penduduk Mandailing sebanyak 2.500 jiwa yang dikepalai oleh seorang Radja. Wilayah Batahan termasuk pulau Tamang. Di selatan Batahan terdapat Air Bangis yang dikepalai oleh seorang Radja (dan Panghoeloe) yang diduga kuat lebih didominasi orang-orang Melayu dan orang-orang Rao.

Pada tahun 1825 reposisi pengusaan antara Inggris dan Belanda berakhir dengan terjadi tukar guling antara Malaka dan Bengkulu yang menandai secara de facto (pulau) Sumatra diklaim sebagai wilayah yang berada di bawah kekuasaan Belanda (meski sebagian pantai timur Sumatra dan Atjeh masih dianggap independen).

Sesungguhnya Inggris tidak puas dengan yang terjadi dengan perseteruan di Eropa berdampak di Sumatra. Inggris secara teknis sudah berada diambang pintu untuk menggabungkan Tapanoeli dengan Pantai Timur Sumatra dan Semenanjung (plus Singapoera) minus Malaka. ‘Hubungan manis’ Inggris dan Atjeh dengan kekuasaan tradisional Belanda di Padang membuat Sumatra bagian utara (yang parallel dengan Semenanjung) sebagai bagian yang terpisah dari Hindia Belanda. Faktor Malaka dan Bengkulu menghalangi segalanya tetapi menghilangkan halangan itu (melepas Bengkulu dan mendapatkan Malaka) dari sudut pandang geopolitik Inggris di Asia Tenggara lebih menguntungkan karena pengaruh Inggris sendiri di China semakin menguat dan pengaruh Perancis semakin melemah di Indochina. Meski demikian adanya, Belanda masih memiliki hubungan tradisional dengan Jepang.  

Pada saat ini gambaran populasi di pulau Sumatra, khususnya di kota-kota Pantai Barat Sumatra sangatlah kompleks. Tidak terkecuali di Kota Padang. Keragaman populasi di Kota Padang makin besar tatkala Pemerintah Hindia Belanda mulai secara intens mengekplorasi (memperluas territorial ke utara) dan mengeksploitasi (intensifikasi perkonomian berbasis kopi) di Pantai Barat Sumatra.

Kompleksitas populasi di kota-kota Pantai Barat Sumatra termasuk yang paling rumit di seluruh Hindia Belanda. Ada yang berasal dari Asia Barat, Afrika (Moor), Asia Selatan dan ada yang dari Asia Timur (terutama Siam dan Tiongkok). Dari dalam pulau ada orang Minangkabau, Kerintji, Batak dan Komering, sementara dari kepulauan terutama orang-orang Mentawai dan Nias. Tentu saja orang-orang Melayu (dari Riau) dan pelaut-pelaut Bugis dan Banjar. Populasi kota-kota di Pantai Barat Sumatra menjadi lebih kompleks dengan kehadiran orang-orang Eropa (Portugis, Inggris, Perancis dan Belanda). Penduduk Atjeh sendiri adalah berakar dari penduduk Alas dan Gajo yang diperkaya oleh orang-orang Asia Barat, Asia Selatan dan Eropa yang bersimpul pada orang-orang Moor (sebagai penguasa kesultanan-kesultanan) yang berada di pantai-pantai Atjeh mulai dari barat, utra hingga timur. Dengan kata lain, kota-kota pantai Atjeh juga adalah kota-kota melting pot seperti halnya kota-kota pantai yang berada di Pantai Barat Sumatra.

Pada tahun 1830 van den Bosch di Jawa melaksanakan program koffiestelsel termasuk di Preanger. Pantai barat Sumatra mulai mendapat perhatian serius sejak Assistent-Resident van Bencoelen, Knoerle dibunuh tahun 1833. Atas kejadian ini, Komisaris Jenderal van den Bosch melakukan ekspedisi ke Sumatra yang dimulai dari Palembang menuju Djambi termasuk didalamnya Luitenant Kolonel AV Michiels. Tindak lanjut dari ekspedisi Djambi, pada tahun 1834 dilakukan ekspedisi pertama ke Lampong untuk menekan Raden Imba Koesoema. Akhirnya, pada tahun 1935 Belanda melakukan perjanjian dengan Sultan Djambi.

Beberapa tahun kemudian Andreas Victor Michiels setelah mendapat kenaikan pangkat dari Luitenant Kolonel menjadi Kolonel akan menjadi tokoh penting di Pantai Barat Sumatra (akan dideskripsikan secara komprehensif pada artikel berikutnya). Hint.: Andreas Victor Michiels tidak saja memberi kontribusi besar di Pantai Barat Sumatra tetapi juga mengubah komposisi ekonomi di Hindia Belanda (yang selama ini berbasis di Jawa). Andreas Victor Michiels telah membuka jalan: Maluku masa lalu, Jawa masa kini dan Sumatra masa datang.

Era Baru Pantai Barat Sumatra

Perebutan pengaruh yang silih berganti di pantai barat Sumatra antara tiga negara utama (Inggris, Perancis dan Belanda) menunjukkan begitu pentingnya sentra-sentra produksi di pedalaman dan pusat-pusat perdagangan di pantai barat Sumatra. Komoditi alamiah seperti emas, kemenyan, benzoin, kulit manis dan lada menjadi pemicu segalanya. Tiga TKP utama berada di Bengcoelen, Padang dan Tapanoeli (teluk Tapanoeli). Wilayah pantai barat Sumatra dengan tiga pelabuhan utama selalu mendapat perhatian di Eropa. Surat kabar intens melaporkannya.

Kerajaan Belanda yang menganggap secara de facto pulau Sumatra adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehadirannnya di Oost Indie (Hindia Timur) ingin secara utuh menjaga ‘kedaulatannya’ di Sumatra. Dengan melihat perkembangan baru dan situasi dan kondisi yang makin kondusif di Oost Indie, pada tahun 1837 Prins Willem Frederik Hendrik datang langsung dari Belanda ke Nederlandsch-Indie. Ada beberapa hal khusus yang muncul setelah kedatangan pangeran Belanda datang ke Hindia Belanda. Salah satunya adalah Gouverneur Generaal DJ. de Eerens diminta membangun kembali istana Buîtenzorg yang runtuh akibat gempa belum lama berselang (1834). Kedua, Kolonel ÂV. Michiels diangkat sebagai Civiel en Militair Gouverneur van Sumatra’s Westkust untuk melaksanakan koffiej-kultuur (setelah dianggap cukup berhasil di Preanger).

Perubahan struktur pemerintahan Hindia Belanda di Pantai Barat Sumatra dengan menunjuk Kolonel Â. V. Michiels merupakan era baru di pantai barat Sumatra. Kerajaan Belanda melalui Pemerintah Hindia Belanda ingin memperkuat koloninya di pantai barat Sumatra. Ini semua karena perang yang sangat melelahkan di Jawa sudah dianggap usai dan kini gilirannya Sumatra. Hasilnya bagi Kerajaan Belanda/Pemerintah Hindia Belanda berhasil menumpas pemberontakan di pantai barat Sumatra utamanya di Padangsch Bovenlanden (Perang Bondjol/Tuanku Imam Bondjol) tahun 1837 dan di Angkola-Mandailing (Perang Pertibie/Tuanku Tambusai) tahun 1838.

Muaro, Cikal bakal Kota Padang (foto 1867)
Lalu kemudian setelah dianggap kondusif, pada tahun 1840 pembentukan Pemerintahan Hindia Belanda di pantai barat Sumatra diperluas hingga ke Singkel. Dengan demikian, teritori pantai barat Sumatra mulai dari Bencoelen (Moco-moco) hingga Singkel (Baros) semakin diintensifkan. Inilah awal era baru ekonomi di pantai barat Sumatra, dan kedudukan kota Padang menjadi sangat penting. Kota Padang tidak hanya sebagai ibukota pantai barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) juga dari kota ini semuanya dikonsolidasikan: ekonomi wilayah, politik dan administrasi pemerintahan (sipil dan militer). Dampaknya, kota Padang secara drastic tumbuh dan berkembang pesat. Muara, Cikal bakal Kota Padang (foto 1867)

Sketsa Kota Padang (1879)
Kota Padang, yang dulunya adalah suatu area yang dihuni para migran orang-orang Nias di muara sungai Batang Arau yang dijadikan sebagai pos perdagangan lambat-laun dikembangkan dan berkembang sebagai pusat pemerintahan di pantai barat Sumatra. Pertumbuhan kota semakin melaju, perkembangan kota tidak lagi hanya di sekitar muara tetapi merangsek ke arah timur (sejajar sungai Batang Arau) dan juga ke arah utara (sejajar pantai). Area diantara timur dan utara inilah kota Padang tumbuh dan berkembang. 

Ketika Medan masih suatu kampung, Padang Sidempuan sudah kota besar
Pada artikel berikutnya, riwayat pertumbuhan dan perkembangan kota Padang akan dideskripsikan secara rinci. Sejalan dengan perubahan kota, berbagai aspek dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi ke selatan (Bengkulu), ke timur (Padangsche Vovenlanden) dan ke utara (Tapanoeli termasuk didalamnya Singkel). Di bagian lain juga dikaitkan yang agak sedikit terpisah dengan Kota Padang yakni perubahan geopolitik dan perekonomian di pantai timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust) yang kelak berpusat di Medan (Deli). Satu lagi yang terpisah namun masih terkait adalah situasi dan kondisi geopolitik di Toba (Perang Batak/Sisingamangaradja) dan Atjeh (Perang Atjeh/Teuku Umar) yang merupakan resultante perkembangan Kota Medan (dan kemunduran Kota Padang). 


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak saya semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar