Selasa, 30 Januari 2018

Sejarah Bogor (24): Sejarah Cibinong dan Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk; Land Tjibinong Dipecah Jadi Oost dan West

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disin


Sejak era VOC, lahan-lahan di sepanjang sisi barat dan sisi timur sungai Tjiliwong, dari Tjililitan hingga Buitenzorg (baca: Bogor) sudah dipetakan dan dijual ke pihak swasta. Bahkan van Imhof, Gubernur Jenderal kemudian membeli lahan di Land Kampong Baroe yang sudah dipegang swasta. Di lahan tersebut, van Imhoff tahun 1745 membangun rumah villa untuk tempat peristirahatannya.  Villa milik van Imhoff inilah kelak yang menjadi Istana Buitenzorg (baca Istana Bogor yang sekarang).

Peta Cibinong, 1901
Pada tahun 1809 Pemerintahan Hindia Belanda, Gubernur Jenderal Daendels ingin membangun kota Buitenzorg. Persil-persil lahan di Land Kampong Baroe dibeli dari swasta. Dalam pembelian ini 1/10 menjadi bagian pribadi Daendels. Sejak itulah villa Buitenzorg diubah menjadi Istana Buitenzorg. Sedangkan lahan-lahan pemerintah disekitarnya disewakan kepada swasta. Inilah awal kota Buitenzorg sebagai milik pemerintah minus persil-persil yang menjadi bagian Daendels.

Program lainnya dari Gubernur Jenderal Daendels adalah membangun jalan pos Trans-Java dari Anjer hingga Panaroekan. Jalan pos (groote weg) ini dari Batavia menuju Buitenzorg, lalu melewati Tjisaroea, Tjianjoer, Baybang, Sumadang hingga ke Cheribon. Adanya jalan pos ini aliran komoditi kopi yang sudah menghasilkan di Preanger megalir ke Batavia semakin deras. Sementara itu Daendels membuat kontrak-kontrak baru dengan Bupati Tjiandjoer dan Bupati Bandoeng untuk menghasilkn kopi yang lebih banyak.

Namun tidak lama kemudian, pada tahun 1811 terjadi pendudukan Inggris di Jawa. Gubernur Raffles lebih memilih ibukota pemerintahan di Buitenzorg daripada di Batavia. Sejak inilah rute jalan pos Batavia-Buitenzorg semakin ramai. Pos-pos persinggahan berada di Bidara Tjina, Tandjong (kini Pasar Rebo), Tjimanggis, Tjibinong dan Tjilioear. Sementara itu lahan-lahan di sisi barat dan sisi timur sungai Tjiliwong telah bergonta-ganti kepemilikan lahan. Pada tahun 1816 Pemerintah Hindia Belanda kembali berkuasa menggantikan Inggris.

Salah satu pengumuman pertama Pemerintah Hindia Belanda (pasca pendudukan Inggris) adalah menghidupkan kembali lahan-lahan yang ditinggalkan oleh pengusaha-pengusaha Inggris dengan menetapkan biaya transportasi dari dan ke Batavia di seputar Batavia. Setiap penumpang pedati (dengan dua kerbau) dikenakan tarif. Dari Batavia ke Depok sebesar f2 (dua Gulden), ke Tjibinong (sisi timur Tjiliwong) dan Pondok Terong (sisi barat Tjiliwong) tarif sebesar f2.5 serta ke Buitenzorg sebesar f4 (lihat Bataviasche courant, 19-04-1817).

Land Tjibinong dan Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk

Sejak era VOC hingga pendudukan Inggris tidak diketahui siapa-siapa saja yang pernah memiliki Land Tjibinong. Pada saat Pemerintah Hindia Belanda berkuasa kembali, diduga kuat Land Tjibinong telah diakuisisi oleh Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk. Hal ini terkait dengan iklan yang dimuat pada surat kabar Bataviasche courant, 09-06-1821, bahwa S. Is. H. Riemsdijk akan menjual sebuah rumah di Land Tjilodong.

Bataviasche courant, 09-06-1821
Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk adalah seorang Indo (lahir di Hindia Timur, kini Indonesia) pada tahun 1785 di Batavia. Pada tahun 1805-1811 Scipio adalah pejabat tinggi di Pemerintah Hindia Belanda yang baru dibentuk di era Daendels. Sebagai mantan pejabat tinggi dan anak seorang kaya raya, Scipio mampu membeli lahan di Land Tjibinong pasca pendudukan Inggris,

Pada tahun 1820 Pemerintah Hindia Belanda Land Tjilodong dibukan dan ditawarkan pemerintah ke publik dengan pajak (NJOP) sebesar f43.319. Yang membeli lahan tersebut adalah Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk ingin menjual Land Tjibinong (karena ingin pindah ke Land Tjilodong). Namun Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk tidak lama kemudian dikabarkan meninggal dunia tanggal 11 Januari 1827.

Keluarga Riemsdijk termasuk satu diantara tujuh keluarga Indo yang terbilang sukses di awal Pemerintah Hindia Belanda sebagaimana ditulis PC Bloys van Treslong Prins dengan judul De Indo Europeesche Families yang dimuat dalam surat kabar Bataviaasch nieuwsblad, 26-08-1933. Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk meninggalkan seorang istri dan tujuh orang anak

Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk tampaknya tidak berhasil menjual properti di Land Tjibinong, Namun demikian, Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk terus mengembangkan Land Tjibinong bersama-sama dengan Land Tjilodong. Dengan kata lain Land Tjibinong dan Land Tjilodong yang berbatasan dimiliki oleh Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk, paling tidak hingga meninggal dunia (11 Januari 1827).

Bataviasche courant, 14-04-1827
Pada bulan April 1827, keluarga alm. Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk melalui Vendu Departement akan menjual dua lahan yakni Land Nangewer dan Land Tjibinong Oost (lihat Bataviasche courant, 14-04-1827). Disebutkan bahwa Land Nangewer ini terletak sekitar 10 jam ke selatan di luar kota (Batavia). Tidak ada keterangan memiliki properti kecuali disebut perkebunan. Sementara Land Tjibinong Oost sudah memiliki sejumlah properti. Disebutkan di lahan kering dan padang rumput Tjibinong Oost sudah ada sebuah rumah batu (baca beton) dengan atap, sebuah bangunan batu lainnya, sebuah gudang kayu dengan garasi dan memiliki jalan akses ke pasar. Disamping itu terdapat lima bangunan berupa gudang tempat pekerja orang-orang Tionghoa.

Seperti diketahui nanti, Land Tjibinong West bersama Land Tjilodong di bawah kepemilikan anak alm. Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk. Dengan demikian, Land Tjibinong telah dipecah menjadi dua, yakni menjadi Land Tjibinong Oost dan Land Tjibinong West. Land Tjibinong Oost telah dijual sementara Land Tjibinong West tetap dipertahankan oleh anak alm Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber ang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

5 komentar:

  1. Terima kasih Pak AMH sudah merespon email saya dan mengupload sejarah Cibinong.

    BalasHapus
  2. Sayang banyak sejarah yg terlupakan di Cibinong dan Cilodong

    BalasHapus
  3. Masih adakah sejarah yg terlupakan di Cibinong dan Cilodong?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul masih banyak yang terlupakan, isi artikel ini juga sering terlupakan, karena itu dibuat. Namun sejarah Cibinong dan Cilodong tidak berdiri sendiri, terkait dengan di wilayah lain (saling melengapi dan memperkuat), hal itulah disatukan dalam judul besar Sejarah Bogor, suatu sejarah yang berkesinambungan sejak zaman kuno (era Pakwan Pajajaean hingga kemerdekaan RI, Suatu waktu nanti akan terbentuk seluruh sejarah wilayah di Indonesia (selengkap dan seakurat mungkin(, Sebab sejarah adalah narasi fakta dan data

      Hapus